Sabtu, 03 November 2012

CHACHAKKA SUTTA

CHACHAKKA SUTTA
Sumber : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya I,
Oleh : Tim Penerjemah Tripitaka,
Penerbit : Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta, 1992

1. Demikian telah saya dengar:
Pada suatu saat Sang Bhagava berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman Anathapindika. Di sana beliau berkhotbah kepada para bhikkhu demikian “Para Bhikkhu.”
“Bhante,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagava lalu berkata demikian:

2. “Para Bhikkhu, Aku akan menerangkan Dhamma yang baik pada awalnya, baik pada pertengahan dan baik pada akhirnya, dengan arti dan ungkapan yang benar, dan Aku akan memberitahukan kehidupan brahma1) yang sangat sempurna dan murni, yang disebut Chachakka. Dengar dan perhatikan baik-baik apa yang akan Aku katakan.”
“Baiklah, Bhante,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagava berkata demikian:

(Ringkasan)
 
3. (i-vi) “Enam landasan di dalam diri seorang dapat dimengerti. Enam landasan luar dapat dimengerti. Enam kelompok kesadaran dapat dimengerti. Enam kelompok kontak dapat dimengerti. Enam kelompok perasaan dapat dimengerti. Enam kelompok keinginan dapat dimengerti. 

(A. Uraian)
 
4. (i)1-6. ‘Enam landasan di dalam diri seseorang dapat dimengerti,’ demikian dikatakan. Lalu dengan dasar apa hal ini dikatakan? Enam landasan itu adalah mata, telinga, hidung, lidah, badan, pikiran. Maka berdasarkan hal-hal tersebut dapat dikatakan: ‘Enam landasan di dalam diri seseorang dapat dimengerti.’ Ini adalah enam yang pertama. 

5. (ii) 1-6. ‘Enam landasan luar dapat dimengerti,’ demikian dikatakan. Lalu dengan dasar apa hal ini dikatakan? Enam landasan itu adalah bentuk, suara, bebauan, rasa, wujud, dhamma. Maka, berdasarkan hal-hal tersebut dapat dikatakan: ‘Enam landasan luar dapat dimengerti.’ Ini adalah enam yang kedua.

6. (iii) 1-6. ‘Enam kelompok kesadaran dapat dimengerti,’ demikian dikatakan. Lalu dengan dasar apa hal ini dikatakan? Tergantung pada penglihatan dan kesadaran akan bentuk-bentuk penglihatan timbul, tergantung pada pendengaran dan kesadaran akan suara-suara timbul, tergantung pada penciuman dan kesadaran akan bebauan timbul, tergantung pada pencerapan dan kesadaran akan rasa-rasa timbul, tergantung pada tubuh dan kesadaran akan wujud-wujud tubuh timbul, tergantung pada pikiran dan kesadaran akan dhamma-dhamma pikiran timbul. Maka dengan dasar-dasar tersebut dapat dikatakan: ‘Enam kelompok kesadaran dapat dimengerti.’ Ini adalah enam yang ketiga.

7. (iv) 1-6. ‘Enam kelompok kontak dapat dimengerti,’ demikian dikatakan. Lalu dengan dasar apa hal ini dikatakan? Tergantung pada penglihatan dan kesadaran akan bentuk-bentuk penglihatan muncul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak; tergantung pada pendengaran dan kesadaran akan suara-suara timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak; tergantung pada penciuman dan kesadaran akan bebauan timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak; tergantung pada pencerapan dan kesadaran akan rasa-rasa timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak; tergantung pada badan dan kesadaran akan wujud-wujud tubuh timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak; tergantung pada pikiran dan kesadaran akan dhamma-dhamma pikiran timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak. Maka dengan dasar tersebut dapat dikatakan: ‘Enam kelompok kontak dapat dimengerti.’ Ini adalah enam yang keempat.

8. (v) 1-6.’Enam kelompok perasaan dapat dimengerti,’ demikian dikatakan. Lalu dengan dasar apa hal ini dikatakan? Tergantung pada penglihatan dan kesadaran akan bentuk-bentuk penglihatan timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan; tergantung pada pendengaran dan kesadaran akan suara-suara timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak; dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan; tergantung pada penciuman dan kesadaran akan bebauan timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan; tergantung pada pencerapan dan kesadaran akan rasa-rasa timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan; tergantung pada tubuh dan kesadaran akan wujud-wujud badan timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan. Maka dengan dasar-dasar tersebut dapat dikatakan: ‘Enam kelompok perasaan dapat dimengerti.’ Ini adalah enam yang kelima.

9. (vi) 1-6. ‘Enam kelompok perasaan dapat dimengerti,’ demikian dikatakan. Lalu dengan dasar apa hal ini dikatakan? Tergantung pada penglihatan dan kesadaran akan bentuk-bentuk penglihatan timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan, dengan perasaan seperti keadaan maka ada keinginan; tergantung pada pendengaran dan kesadaran akan suara-suara timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak; dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan, dengan perasaan seperti keadaan maka ada keinginan; tergantung pada penciuman dan kesadaran akan bebauan timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan, dengan perasaan seperti keadaan maka ada keinginan; tergantung pada pencerapan dan kesadaran akan rasa-rasa timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan, dengan perasaan seperti keadaan maka ada keinginan; tergantung pada tubuh dan kesadaran akan wujud-wujud tubuh timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan, dengan perasaan seperti keadaan maka ada keinginan; tergantung pada pikiran dan kesadaran akan dhamma-dhamma pikiran timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan maka ada perasaan, dengan perasaan seperti keadaan maka ada keinginan. Maka dengan dasar-dasar tersebut dapat dikatakan: ‘Enam kelompok kesadaran dapat dimengerti.’ Ini adalah enam yang keenam.

(B. Tanpa Aku)

10.1. (i). ‘Jika seseorang berkata bahwa penglihatan adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan. Naik dan turunnya penglihatan adalah jelas2). Sekarang karena naik dan turunnya jelas, maka dia mengikuti dirinya sendiri naik dan turun. Oleh karena itu, jika seseorang berkata bahwa penglihatan adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan.
(ii). ‘Jika seseorang berkata bahwa bentuk-bentuk adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan …’
(iii). ‘Jika seseorang berkata bahwa kesadaran penglihatan adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan … ‘
(iv). ‘Jika seseorang berkata bahwa kontak penglihatan adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan … ‘
(v). ‘Jika seseorang berkata bahwa perasaan adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan …’
(vi). ‘Jika seseorang berkata bahwa keinginan adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan …’

11.2. (i). ‘Jika seseorang berkata bahwa pendengaran adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan …’
(ii). ‘… suara-suara adalah aku sendiri …
(iii). ‘… kesadaran akan suara adalah aku sendiri …
(iv). ‘… kontak pendengaran adalah aku sendiri …
(v). ‘… perasaan adalah aku sendiri …
(vi). ‘… keinginan adalah aku sendiri … tidak dapat dipertahankan.

12.3. (i). ‘Jika seseorang berkata bahwa penciuman adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan …
(ii). ‘… bebauan adalah aku sendiri …
(iii). ‘… kesadaran penciuman adalah aku sendiri …
(iv). ‘… kontak penciuman adalah aku sendiri …
(v). ‘… perasaan adalah aku sendiri …
(vi). ‘… keinginan adalah aku sendiri … tidak dapat dipertahankan.

13.4. (i). ‘Jika seseorang berkata bahwa pencerapan adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan …
(ii). ‘… rasa-rasa adalah aku sendiri …
(iii). ‘… kesadaran akan pencerapan adalah aku sendiri …
(iv). ‘… kontak pencerapan adalah aku sendiri …
(v). ‘… perasaan adalah aku sendiri …
(vi). ‘… keinginan adalah aku sendiri … tidak dapat dipertahankan.

14.5. (i) ‘Jika seseorang berkata bahwa badan adalah aku sendiri, … hal itu tidak dapat dipertahankan …
(ii). ‘… bentuk-bentuk adalah aku sendiri …
(iii). ‘… kesadaran akan tubuh adalah aku sendiri …
(iv). ‘… kontak badan adalah aku sendiri …
(v). ‘… perasaan adalah aku sendiri …
(vi). ‘… keinginan adalah aku sendiri … tidak dapat dipertahankan.

15.6. (i). ‘Jika seseorang berkata bahwa pikiran adalah aku sendiri, hal itu tidak dapat dipertahankan. Sekarang sejak naik dan turunnya adalah suatu hal yang jelas mengikuti naik dan turunnya itu sendiri. Oleh karena itu, jika seseorang berkata bahwa pikiran adalah aku sendiri, itu tidak dapat dipertahankan.’
(ii). ‘… dhamma-dhamma adalah aku sendiri …
(iii). ‘… kesadaran akan pikiran adalah aku sendiri …
(iv). ‘… kontak pikiran adalah aku sendiri …
(v). ‘… perasaan adalah aku sendiri …
(vi). ‘… keinginan adalah aku sendiri … tidak dapat dipertahankan.

(C. Asal Mula Penjelmaan)

16. Sekarang para bhikkhu, jalan yang menuntun kemunculan dari penjelmaan adalah demikian:

17.1. (i-vi). Seseorang melihat mata sebagai ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.’
Dia melihat bentuk-bentuk sebagai ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.’
Dia melihat kesadaran akan penglihatan sebagai ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.’
Dia melihat kontak mata sebagai ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.’
Dia memandang perasaan sebagai ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.’
Dia melihat keinginan sebagai ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.’

18.2. (i-vi). Seseorang memandang telinga sebagai ‘Ini adalah milikku …

19.3. (i-vi). Seseorang memandang hidung sebagai ‘Ini adalah milikku …

20.4. (i-vi). Seseorang memandang lidah sebagai ‘Ini adalah milikku …

21.5. (i-vi). Seseorang memandang tubuh sebagai ‘Ini adalah milikku …

22.6. (i-vi). Seseorang memandang pikiran sebagai ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.’
Dia memandang dhamma-dhamma sebagai ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.’
Dia memandang kesadaran akan pikiran sebagai ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.’
Dia memandang kontak pikiran sebagai ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.’
Dia memandang perasaan sebagai ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.’
Dia memandang keinginan sebagai ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah diriku.’

(D. Terhentinya Penjelmaan)

23. Sekarang para bhikkhu, jalan yang menuntun ke pembebasan penjelmaan adalah sebagai berikut:

24.1. (i-vi). Seseorang memandang mata sebagai ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
Dia memandang bentuk-bentuk sebagai ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
Dia memandang kesadaran akan penglihatan sebagai ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
Dia memandang kontak penglihatan sebagai ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
Dia memandang perasaan sebagai ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
Dia memandang keinginan sebagai ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

25.2. (i-vi). Seseorang memandang kuping sebagai ‘Ini bukan milikku …’

26.3. (i-vi). Seseorang memandang hidung sebagai ‘Ini bukan milikku …’

27.4. (i-vi). Seseorang memandang lidah sebagai ‘Ini bukan milikku …’

28.5. (i-vi). Seseorang memandang tubuh sebagai ‘Ini bukan milikku …’

29.6. (i-vi). Seseorang memandang pikiran sebagai ‘Ini bukan milikku …’

(E. Kecenderungan Pokok)

30.1.(i-vi). Para bhikkhu, timbulnya kesadaran akan penglihatan tergantung pada mata dan bentuk-bentuk, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan timbul yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau tidak menyakitkan maupun tidak menyenangkan. Ketika seseorang dalam perasaan senang, dia menyukainya, dia menyatakan dan menerimanya, kemudian kecenderungan pokok mendasarinya. Ketika seseorang dalam perasaan sedih, dia bersedih pilu dan meratap, memukul dadanya meneteskan air mata dan menjadi kusut pikirannya, kemudian kecenderungan pokok bertahan untuk mendasarinya. Ketika seseorang tidak dalam perasaan yang menyakitkan maupun yang menyenangkan, dia tidak mengerti sebagaimana adanya, awal dan akhir dari perasaan itu, atau kepuasan, bahaya dan pelarian (dalam setiap kasus), kemudian kecenderungan pokok mengabaikan untuk mendasari. Selanjutnya, para bhikkhu, dia akan mengakhiri penderitaan tanpa meninggalkan kecenderungan pokok untuk bertahan pada perasaan menyenangkan, tanpa menghapus kecenderungan pokok bertahan untuk perasaan yang menyakitkan, tanpa menghapus kecenderungan pokok mengabaikan baik perasaan yang menyakitkan maupun yang menyenangkan, tanpa menghentikan ketakpedulian atau memiliki pengetahuan benar – ini tidak mungkin.

31.2. (i-vi). Kesadaran pendengaran timbul tergantung …

32.3. (i-vi). Kesadaran penciuman timbul tergantung …

33.4. (i-vi). Kesadaran pencerapan timbul tergantung …

34.5. (i-vi). Kesadaran badan timbul tergantung …

35.6. (i-vi). Kesadaran pikiran timbul tergantung …

(F. Terlepasnya Kecenderungan Pokok)

36.1. (i-vi). Para bhikkhu, tergantung pada penglihatan dan kesadaran akan bentuk-bentuk penglihatan timbul, kesamaan dari ketiganya adalah kontak, dengan kontak seperti keadaan lalu timbul apa yang dirasakan seperti menyenangkan atau menyakitkan atau tidak menyakitkan maupun tidak menyenangkan. Ketika seseorang dalam perasaan senang, dia tidak menikmati atau menegaskan atau menerimanya, kemudian tidak ada kecenderungan pokok yang berkeinginan untuk mendasarinya. Ketika seseorang dalam perasaan sedih, dia tidak merasa sedih, berduka cita dan meratap, dia tidak memukuli dadanya, meneteskan air mata dan menjadi bingung, lalu tidak ada kecenderungan pokok yang bertahan mendasarinya. Meskipun seseorang tidak dalam perasaan sedih maupun senang dia mengerti apa yang sebenarnya, asal dan akhir dari perasaan tersebut, atau kepuasan, bahaya dan pelarian (dalam setiap hal), lalu tidak ada kecenderungan pokok yang mengabaikan dasarnya. Kemudian sesungguhnya, para bhikkhu, bahwa dia akan di sini dan mengakhiri penderitaan dengan menghentikan kecenderungan pokok untuk perasaan menyenangkan, dengan menghapus kecenderungan pokok untuk melawan perasaan menyakitkan, dan dengan menghapus kecenderungan pokok untuk mengabaikan perasaan yang tidak menyakitkan maupun yang tidak menyenangkan, menghentikan kebodohan dan mempunyai pengetahuan benar, hal itu mungkin.

37.2. (i-vi). Tergantung pada telinga dan suara-suara …

38.3. (i-vi). Tergantung pada hidung dan bebauan …

39.4. (i-vi). Tergantung pada lidah dan rasa-rasa …

40.5. (i-vi). Tergantung pada badan dan wujud-wujud …

41.6. (i-vi). Tergantung pada pikiran dan dhamma-dhamma … Kemudian para bhikkhu, bahwa dia harus mengakhiri penderitaan, di sini dan sekarang dengan menghentikan kecenderungan pokok yang menginginkan perasaan yang menyenangkan, dengan menghapus kecenderungan pokok melawan perasaan menyakitkan, dan dengan menghapus kecenderungan pokok untuk mengabaikan baik perasaan yang menyakitkan maupun yang menyenangkan, menghentikan ketakpedulian dan mempunyai pengetahuan benar hal itu adalah mungkin.

(Kesimpulan)

42. Oleh karena itu, lalu seorang siswa mulia terpelajar yang baik menjadi bebas terhadap penglihatan, menjadi bebas terhadap bentuk-bentuk, menjadi bebas terhadap kesadaran akan penglihatan, menjadi bebas terhadap kontak penglihatan, menjadi bebas terhadap perasaan, menjadi bebas terhadap keinginan.
Dia menjadi bebas terhadap telinga …
Dia menjadi bebas terhadap hidung …
Dia menjadi bebas terhadap lidah …
Dia menjadi bebas terhadap tubuh …
Dia menjadi bebas terhadap pikiran, dia menjadi bebas terhadap dhamma-dhamma, menjadi bebas terhadap kesadaran akan pikiran, menjadi bebas terhadap kontak pikiran, menjadi bebas terhadap perasaan, menjadi bebas terhadap keinginan.
Menjadi bebas, (keinginannya) lenyap; dengan lenyapnya (keinginan) dia terbebas; ketika (pikirannya) terbebas, datanglah pengetahuan ‘Dia terbebas.’ Dia mengerti: ‘Kelahiran adalah melelahkan, kehidupan brahmana telah ditempuh, apa yang harus dikerjakan sudah dikerjakan, tidak akan ada kehidupan lagi.’ ”
Inilah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagava. Para bhikkhu merasa puas, dan gembira di dalam kata-kata Sang Bhagava.
Lalu sementara khotbah disampaikan pikiran-pikiran enam puluh bhikkhu tersebut terbebas dari noda-noda tanpa melekat.

Catatan :
 
1) Di sini diartikan ‘sebuah cara berlatih’. 

2) Hal ini menunjukkan keadaan mental yang berbeda-beda.

DANTHABHUMI SUTTA

DANTHABHUMI SUTTA
Sumber : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya I,
Oleh : Tim Penerjemah Tripitaka,
Penerbit : Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta, 1992

1. Demikian telah saya dengar:
Pada suatu ketika Sang Bhagava menetap di Rajagaha di Vihara Veluvana, di Tempat Memberi Makan Tupai-tupai.

2. Pada saat itu Samanera Aciravata tinggal dalam gubuk di hutan. Kemudian, ketika Pangeran Jayasena sedang berjalan-jalan sebagai latihan, ia menemui Samanera Aciravata dan memberikan hormat kepadanya, dan setelah tegur sapa menghormat dan ramah itu diucapkan, duduklah ia di satu sisi. Setelah duduk, ia berkata: “Aggivessana, aku telah mendengar hal ini: Seorang bhikkhu yang tinggal di sini, dengan tekun, penuh semangat dan menguasai diri akan memperoleh penyatuan pikiran.”
“Demikianlah, Pangeran, demikianlah: seorang bhikkhu yang hidup di sini dengan tekun, penuh semangat dan menguasai diri akan dapat memperoleh penyatuan pikiran.”

3. “Baik kiranya apabila Guru Aggivessana mengajari saya Dhamma sesuai dengan apa yang telah didengar dan dikuasainya.”
“Aku tidak dapat mengajari kamu Dhamma, Pangeran, sesuai dengan apa yang telah aku dengar dan kuasai. Kemudian Pangeran, apabila aku mengajarkan Dhamma kepadamu sesuai dengan apa yang aku dengar dan kuasai, kamu tidak akan mengetahui arti apa yang aku katakan itu dan hal itu akan menimbulkan kebosanan dan gangguan bagiku.”

4. “Biarlah Guru Aggivessana mengajarkan Dhamma kepadaku sesuai dengan apa yang telah didengar dan dikuasainya. Barangkali aku bisa mengetahui arti dari apa yang dikatakan oleh Guru Aggivessana.”
“Aku mau mengajar Dhamma kepadamu, Pangeran … apabila kamu mengerti tentang apa yang aku katakan, itu adalah baik. Bila kamu tidak mengerti tentang apa yang aku katakan, maka tinggalkanlah itu dan janganlah mengajukan pertanyaan kepadaku lagi.”

5. Kemudian Samanera Aciravata mengajarkan Dhamma kepada Pangeran Jayasena sesuai dengan apa yang yang telah ia dengar dan kuasai.
Setelah hal ini dikatakan, Pangeran Jayasena berkata: “Tidak mungkin Guru Aggivessana, tidak mungkin seorang bhikkhu yang hidup rajin dan menguasai diri akan mencapai penyatuan pikiran.”
Kemudian setelah mengatakan kepada Samanera Aciravata bahwa itu tidak mungkin dan tidak dapat terjadi, Pangeran Jayasena bangkit dari duduknya dan pergi.

6. Segera setelah Pangeran Jayasena pergi, Samanera Aciravata pergi menemui Sang Buddha, dan setelah melakukan penghormatan kepada Beliau, ia duduk di satu sisi. Setelah melakukan itu, ia menceritakan semua kepada Sang Buddha tentang pembicaraannya dengan Pangeran Jayasena. Setelah cerita itu selesai, Sang Buddha berkata: 

7. “Aggivessana, bagaimana mungkin terjadi bahwa sesuatu yang dikenal melalui penglepasan (nekkhamma), dilihat melalui penglepasan, dicapai melalui penglepasan, disadari melalui penglepasan akan dapat diketahui, dilihat, dicapai atau disadari oleh Pangeran Jayasena, yang hidup di tengah-tengah kesenangan duniawi itu, menikmati keinginan-keinginan duniawi, terhanyut oleh keinginan-keinginan duniawi, dilanda oleh demam keinginan-keinginan duniawi, dan sangat cenderung mencari keinginan-keinginan duniawi? Itu tidak mungkin. 

8. Seandainya terdapat dua ekor gajah yang dapat dijinakkan, atau dua ekor kuda yang dapat dijinakkan, atau dua ekor lembu yang dapat dijinakkan yang kesemuanya itu sudah dijinakkan dan menjadi sangat jinak dan berdisiplin baik, dan juga gajah-gajah yang dapat dijinakkan atau kuda-kuda yang dapat dijinakkan atau lembu-lembu yang dapat dijinakkan namun tidak dijinakkan dan tidak didisiplinkan; bagaimana kamu memahami ini, Aggivessana, gajah-gajah, kuda-kuda atau lembu-lembu yang telah dijinakkan dengan baiknya, didisiplinkan dengan baiknya, apakah barangkali mereka yang telah dijinakkan itu akan pergi seperti mereka yang telah jinak pergi, apakah mereka akan mencapai tingkatan dari yang telah jinak itu?”
“Ya, Yang Mulia.”
“Tetapi kedua gajah, kuda atau lembu yang dapat dijinakkan itu, namun tidak dijinakkan dan tidak didisiplinkan; apakah mereka yang tidak dijinakkan itu dapat pergi seperti yang jinak pergi, apakah mereka dapat mencapai tingkatan seperti yang dilakukan oleh gajah, kuda atau lembu yang jinak?”
“Tidak, Yang Mulia.”
“Demikian juga, Aggivessana, bahwa apa yang diketahui melalui penglepasan (nekkhamma) … akan selalu diketahui … oleh Pangeran Jayasena yang hidup di tengah-tengah keinginan-keinginan indera … itu tidaklah mungkin.

9. Seandainya di sana terdapat batu karang tinggi tidak jauh dari desa atau kota dan dua orang pergi ke luar dari desa atau kota itu dan mendekati batu karang dengan bergandengan tangan, dan setelah melakukan hal itu, salah satu dari kedua orang itu tetap tinggal di kaki batu karang itu sedangkan yang lain memanjat ke atas batu karang itu; kemudian seorang yang tetap tinggal di kaki batu karang itu berkata kepada temannya yang ada di atas: ‘Hai teman, apa yang kamu lihat dengan berdiri di atas batu karang itu?’ Temannya menjawab: ‘Berdiri di atas batu karang ini, temanku, aku melihat taman-taman indah dan semak belukar padang rumput dan danau-danau.’ Kemudian teman yang pertama berkata: ‘Tidak mungkin teman, tidak dapat terjadi, bahwa kamu berdiri di atas batu karang akan melihat taman-taman indah dan semak belukar dan padang rumput dan danau-danau.’ Kemudian yang lain itu turun dari puncak batu karang itu dan sambil mengajak temannya di kaki batu karang itu, ia menggandeng temannya menaiki puncak batu karang itu, dan kemudian setelah membiarkannya bernapas sebentar, ia bertanya: ‘Ah, temanku, apa yang kamu lihat sambil berdiri di atas batu karang ini?’ Yang pertama menjawab: ‘Berdiri di atas batu karang, temanku, aku melihat taman-taman yang indah dan semak-semak belukar dan padang rumput dan danau-danau.’ Kemudian yang lain berkata: ‘Baru saja kita mendengar kamu berbicara demikian: Tidak mungkin, teman, tidak bisa terjadi, bahwa kamu berdiri di atas puncak batu karang akan dapat melihat taman-taman indah dan semak belukar dan padang rumput dan danau-danau.’ Kemudian yang pertama menjawab: ‘Saya dihalangi oleh batu karang besar ini sehingga saya tidak melihat apa yang ada di sana untuk dilihat.’ 

10. Demikian juga, Aggivessana, Pangeran Jayasena telah dihalangi, ditutupi, dirintangi dan disisihkan oleh gunung kebodohan yang lebih besar, bahwa apa yang harus diketahui melalui penglepasan (nekkhama) … akan selalu diketahui … oleh Pangeran Jayasena, yang hidup di tengah-tengah keinginan-keinginan indera … itu tidak mungkin. 

11. Aggivesana, apabila kedua perumpamaan ini terjadi padamu secara serentak (sementara berbicara) kepada Pangeran Jayasena, ia akan memperoleh kepercayaan dalam dirimu, dan setelah memperoleh kepercayaan, ia mengenal dirimu dengan nyata.”
“Yang Mulia, bagaimana kedua perumpamaan ini dapat terjadi padaku secara serentak dan belum pernah terdengar sebelumnya, seperti mereka telah lakukan kepada Yang Diberkahi?”

12. “Aggivessana, seandainya raja mulia dari kasta ksatria yang diberkati dengan upacara-upacara perminyakan memberi perintah kepada pengawas hutan gajah demikian: ‘Pengawas hutan gajah yang baik, naikilah gajah raja dan pergilah ke hutan gajah, kemudian apabila kamu melihat gajah hutan, ikatlah dia ke leher gajah raja itu.’ Kemudian sambil menjawab, ‘Baik, Tuan,’ pengawas hutan gajah itu menunggangi gajah raja dan pergi ke hutan gajah. Kemudian ketika ia melihat gajah hutan, ia mengikatnya ke leher gajah raja. Kemudian gajah raja membimbingnya keluar ke tempat terbuka dan itulah cara bagaimana gajah-gajah hutan keluar ke daerah terbuka, karena seekor gajah hutan menggantungkan diri pada tempat itu, yakni hutan gajah, maka penjaga hutan gajah itu memberitahukan raja mulia ksatria yang telah diupacarai dengan minyak: ‘Tuanku, gajah hutan telah memasuki tempat terbuka.’ Kemudian, raja mulia ksatria yang telah diupacarai dengan minyak itu memberikan perintah kepada penjinak gajahnya demikian: ‘Hai, penjinak gajah yang baik, jinakkanlah gajah hutan ini supaya ia dapat mengurangi kebiasaan-kebiasaan hutannya, untuk mengurangi ingatan-ingatan dan keinginan-keinginan di hutan, untuk mengurangi kegelisahan, rasa capai dan demam di hutan, supaya dapat mempunyai kebiasaan-kebiasaan seperti kemauan manusia.’ ‘Baik, Tuan,’ demikian penjinak gajah itu menjawab. Kemudian ia membenamkan sebuah tiang besar di dalam tanah dan mengikat gajah hutan itu ke tiang tersebut pada lehernya untuk mengurangi kebiasaan-kebiasaan hutannya … dan untuk menanamkan kecintaan padanya terhadap kebiasaan-kebiasaan manusia. Kemudian ia melayani gajah hutan itu dengan kata-kata yang lemah lembut, enak bagi telinga, dan penuh kasih sayang sehingga merasuk ke dalam hati, sopan santun, diinginkan oleh banyak orang serta baik untuk banyak orang; dan segera setelah ia dilayani dengan kata-kata seperti itu, ia mau mendengarkan, memasang telinga, dan membentuk pikirannya dalam pengetahuan itu; kemudian penjinak gajah menghadiahi gajah itu dengan rumput dan air; dan segera setelah gajah hutan itu menerima rumput dan air itu darinya, ia tahu ‘Sekarang ia dapat hidup; ia adalah gajah raja.’ Kemudian penjinak gajah itu membuatnya bertingkah laku sebagai berikut: ‘Bangkit, tuan! Duduk, tuan!’ dan segera setelah gajah raja itu mematuhi perintah-perintah dari penjinak gajah untuk bangkit dan berdiri, dan menjalankan instruksi-instruksinya, kemudian penjinak gajah itu lebih lanjut membuatnya bertindak sebagai berikut: ‘Maju, tuan; Mundur, tuan.’ Dan segera setelah gajah raja itu sudah mau mematuhi perintah-perintah untuk maju dan mundur, dan melaksanakan instruksi-instruksinya, kemudian penjinak gajah lebih lanjut membuatnya bertindak sebagai berikut: ‘Bangun, tuan; Tidur, tuan!’ dan segera setelah gajah raja itu mematuhi perintah-perintah penjinak gajah untuk bangun dan tidur dan untuk melakukan instruksi-instruksinya, kemudian penjinak gajah lebih lanjut membuatnya bertindak sebagai apa yang dinamakan keadaan tenang sekali, penjinak gajah itu mengikatkan tameng yang sangat besar ke belalainya, dan seorang dengan sebuah tombak di tangan duduk di atas lehernya, dan orang-orang dengan membawa lembing-lembing di tangan mereka mengelilinginya di segala penjuru, dan si penjinak gajah itu sendiri berdiri di depannya dengan membawa tombak panjang di tangan, dan dalam membuat keadaan tenang sekali itu ia tidak menggerakkan kaki depan maupun kaki belakang, juga tidak menggerakan badan depan maupun belakang, juga tidak menggerakkan kepala atau telinganya, belalai atau gadingnya; gajah raja itu menahan tusukan dari lembing-lembing, pedang-pedang, anak panah dan benda-benda lain, dan suara-suara genderang kosong serta terompet, dan dengan melenyapkan segala kesalahan dan cacad, dengan rasa takut yang telah dilenyapkan, ia pantas menjadi milik raja, untuk dipekerjakan dalam kerajaan, dan dianggap sebagai salah satu kaki-tangan raja. 

13. Demikian juga, Aggivessana, di sini seorang Tathagata muncul di dunia ini, Arahat dan Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan tindak tanduk, suci, pengenal alam-alam, pemimpin yang tak terbandingkan dari manusia yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, mencapai penerangan sempurna dan diberkati. 

14. Beliau menyatakan alam ini dengan dewata-dewatanya, Mara-maranya dan Brahmananya, generasi ini dengan bhikkhu-bhikkhu dan orang-orang sucinya, dengan raja-raja dan rakyat, yang telah disadari oleh diri Beliau sendiri dengan pengetahuan sendiri. 

15. Beliau mengajarkan Dhamma yang baik pada permulaan, baik di tengah-tengah dan baik pada akhirnya, dengan arti dan ungkapan (yang benar), dan Beliau mengumumkan suatu kehidupan luhur yang benar-benar sempurna dan suci. 

16. Seorang perumah-tangga atau anak laki-laki dari perumah-tangga atau seseorang yang terlahir dalam suatu kasta mendengar Dhamma. Setelah mendengar Dhamma itu ia memperoleh kepercayaan pada Tathagata. Dengan memiliki kepercayaan itu, ia mempertimbangkan atau memikirkan demikian: ‘Kehidupan rumah-tangga itu penuh sesak dan kotor; hidup bebas itu terbuka lebar-lebar. Tidak mungkin dengan hidup dalam rumah-tangga menjalani hidup suci dan sempurna dan suci bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana kalau aku mencukur habis rambut kepala dan jenggot, mengenakan jubah kuning, dan pergi dari kehidupan rumah-tangga ke kehidupan tanpa rumah-tangga?’
Lalu pada kesempatan lain, setelah meninggalkan barangkali sejumlah kecil, barangkali sejumlah besar harta benda, meninggalkan barangkali sejumlah kecil, barangkali sejumlah besar sanak keluarga, ia mencukur habis rambut kepala dan jenggotnya, mengenakan jubah kuning, dan pergilah ia mengembara dari hidup berumah-tangga ke penghidupan tanpa rumah-tangga.
Dengan pergi berkelana dan memiliki latihan dan cara hidup bhikkhu, dengan meninggalkan pembunuhan mahkluk hidup, ia menjadi seorang berpantang dari membunuh mahkluk hidup; dengan pentungan serta senjata dikesampingkan, lemah lembut dan baik, ia melakukan perbuatan penuh kasih sayang terhadap semua makhluk.
Dengan tidak mengambil apa-apa yang tidak diberikan kepadanya, ia menjadi seseorang yang berpantang dari mengambil apa yang tidak diberikan; mengambil (hanya) yang diberikan saja, mengharap apa yang diberikan, ia melakukan perbuatan suci di dalam dirinya sendiri dengan tidak mencuri.
Dengan meninggalkan kehidupan yang tidak suci, ia menjadi seseorang yang hidup suci, yang hidup berpisah, berpantang dari nafsu birahi tak senonoh.
Dengan berpantang dari berbohong, ia menjadi seorang yang berpantang dari berbicara tidak benar, ia berbicara benar, menggantungkan diri pada kebenaran, dapat dipercaya, bertanggung jawab dan tidak menipu dunia.
Dengan meninggalkan ucapan-ucapan memfitnah, ia menjadi seseorang yang berpantang dari fitnahan: sebagai seorang yang bukan orang pengulang (kata-kata) di mana-mana tentang apa yang didengar di sini dengan tujuan mengakibatkan perpecahan dari sini, ataupun bukan sebagai pengulang dari apa yang ia dengar di mana saja dengan tujuan menyebabkan perpecahkan dari situ, yang karena itu menjadi seorang pemersatu dari yang terpecah-belah, sebagai pembina persahabatan, dan menikmati keharmonisan, mensyukuri keharmonisan, merasa senang dalam keharmonian, ia menjadi seorang pembicara kata-kata yang mengembangkan keharmonisan atau kerukunan.
Dengan meninggalkan kata-kata kasar atau keras, ia menjadi seseorang yang berpantang dari ucapan-ucapan kasar: ia menjadi seorang pembicara kata-kata seperti yang tidak bersalah, menyenangkan bagi telinga dan penuh cinta kasih, sehingga merasuk ke dalam sanubari, sopan, diinginkan oleh banyak orang dan baik bagi banyak orang.
Dengan meninggalkan pergunjingan, ia menjadi seorang yang berpantang dari pergunjingan itu: sebagai seseorang yang menceritakan apa yang benar dan bermanfaat serta Dhamma dan Vinaya, ia menjadi pembicara tentang kata-kata yang tepat, patut diingat, masuk akal, terukur dan dihubungkan dengan kebaikan.
Ia menjadi seorang yang berpantang mengganggu biji-bijian dan tanam-tanaman.
Ia menjadi seseorang yang makan hanya dalam sebagian hari saja, menolak (makanan) pada malam hari dan makanan terlambat (lewat tengah hari).
Ia menjadi seorang yang berpantang dari dansa, nyanyi, dan musik dan pertunjukan-pertunjukan teater.
Ia menjadi seseorang yang berpantang mengenakan perhiasan-perhiasan, memperindah tubuh dengan wewangian dan memolesi badannya dengan salep wangi.
Ia menjadi seorang yang berpantang dari tempat duduk tinggi dan besar.
Ia menjadi seorang yang berpantang dari menerima emas dan perak, dan pergi meninggalkan kehidupan berumah-tangga ke penghidupan tanpa rumah-tangga.
Lalu itulah cara seorang siswa mulia datang ke tempat terbuka karena para dewa dan manusia berpegang erat padanya, yakni kelima buah simpul dari keinginan indera.”

17. Kemudian Sang Tathagata lebih lanjut mendisiplinkan dirinya sebagai berikut: “Marilah bhikkhu, jadilah orang suci, kekanglah dirimu dengan pengendalian Patimokkha (peraturan para bhikkhu), sempurna dalam tingkah laku dan perbuatan, dan melihat ketakutan sekalipun dalam perbuatan salah yang sekecil apapun, latihlah dengan memanfaatkan ajaran-ajaran latihan.”
Segera sesudah bhikkhu itu menjadi luhur, mengekang diri dengan pantangan-pantangan Patimokkha, sempurna dalam tingkah laku dan perbuatan, dan melihat ketakutan dalam perbuatan salah yang sekecil apapun, melatih diri sendiri dengan menjalankan sila-sila latihan, kemudian Sang Tathagata lebih lanjut mendisiplinkan dirinya:

18. “Marilah bhikkhu, jagalah pintu-pintu indera itu baik-baik. Apabila melihat suatu bentuk dengan mata, janganlah memahami atau melihat tanda-tanda atau bentuk-bentuk yang melalui pintu itu karena, apabila kamu membiarkan pintu matamu itu tidak terjaga, hal-hal jahat yang tidak menguntungkan tentang kekikiran dan kesedihan akan dapat menerobos masuk ke dalam dirimu; latihlah cara pengekangan diri, jagalah daya penglihatan matamu, jalanilah cara pengekangan dari daya kemampuan mata. Apabila mendengar suara dengan telinga … apabila membau suatu bebauan dengan hidung … apabila mengecap suatu rasa dengan lidah … apabila meraba dengan anggota badan … apabila mencerap dhamma dengan pikiran, janganlah tanggapi adanya tanda-tanda atau bentuk-bentuk yang melaluinya, apabila kamu tinggalkan pintu pikiranmu tidak terjaga, hal-hal jahat yang tidak menguntungkan tentang kekikiran dan kedukaan akan dapat masuk menerobos dirimu. Latihlah cara atau jalan tentang pengekangan, jaga daya kemampuan pikiran, jalankanlah pengekangan daya kemampuan pikiran.”
Segera setelah bhikkhu menjaga pintu-pintu indera tetap terjaga dengan baiknya, maka Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:

19. “Marilah bhikkhu, jadilah seorang yang mengetahui takaran yang tepat dalam bersantap. Dengan merefleksi diri secara bijaksana, kamu harus merawat dirimu sendiri dengan makanan bukan untuk kesenangan, bukan pula untuk menjadikan dirimu menjadi keracunan, pula bukan untuk ketampanan maupun kecakapan dirimu, (tetapi) hanya untuk daya tahan dan kelangsungan tubuh ini, untuk mengakhiri keadaan tidak mengenakkan, dan untuk membantu kesucian hidup itu. Oleh karena itu, Aku akan mengakhiri perasaan-perasaan lama tanpa membangkitkan perasaan-perasaan baru dan tanpa noda, Aku akan hidup dalam kesenangan dan keadaan sehat.”
Segera setelah bhikkhu mengetahui takaran yang tepat dalam makan, kemudian Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:

20. “Marilah bhikkhu, tetaplah bertekun diri pada kesiagaan penuh. Pada siang hari sementara kamu sedang berjalan atau duduk, sucikanlah pikiranmu dari hal-hal yang menghancurkan. Pada jaga pertama terhadap datangnya sang malam ketika kamu sedang berjalan jalan atau duduk-duduk, sucikanlah pikiranmu dari hal-hal yang menghancurkan. Di tengah-tengah penjagaan malam, rebahlah ke sisi kanan dalam kedudukan seperti singa tidur dengan satu kaki menindih kaki lain, penuh kesadaran dan waspada penuh, sesudah mengingat di dalam pikiran waktu untuk bangun. Sesudah bangun dalam jaga ketiga sementara kaku berjalan atau duduk, sucikan pikiranmu dari hal-hal yang menghancurkan itu.”
Segera setelah bhikkhu itu mencurahkan perhatiannya yang penuh, kemudian Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:

21. “Marilah bhikkhu, milikilah kesadaran penuh dan kewaspadaan penuh. Jadilah seorang yang bertindak penuh kesadaran ketika sedang bergerak ke depan dan ke belakang; yang bertingkah laku dengan penuh kesadaran ketika memandang dan mengalihkan pandangan; yang bertingkah laku dengan penuh kesadaran ketika melenturkan, meregangkan tubuh; yang bertingkah laku dengan penuh kesadaran ketika sedang mengenakan lapisan tambalan, mangkok dan jubah-jubah; yang bertingkah laku dengan penuh kesadaran ketika sedang buang air besar serta kecil; yang bertingkah laku dalam kewaspadaan penuh ketika sedang berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun, berbicara dan berdiam.”
Segera setelah bhikkhu itu memiliki kesadaran penuh serta kesiagaan penuh, maka Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:

22. “Marilah bhikkhu, ambillah tempat perenungan yang terpencil: ke sebuah hutan, di bawah akar pohon, ke batu karang, ke celah bukit, ke gua gunung, ke tempat penimbunan mayat, ke hutan kayu sunyi, ke tempat terbuka, ke segundukan jerami.”
Ia menempuh jalan ke tempat perenungan yang terpencil: ke dalam hutan … sekembalinya dari berpindapata sesudah makan ia duduk, melipat kakinya bersila, menegakkan badannya dan pikirannya diusahakan penuh dengan kewaspadaan. Dengan meninggalkan sifat ketamakan akan dunia, ia mengusahakan pikirannya agar tetap bebas dari sifat kekikiran, ia menyucikan pikirannya dari ketamakan, meninggalkan kemauan jahat dan kebencian, ia mengusahakan agar pikirannya tetap pada keadaan bebas dari kemauan jahat dan selalu cinta kasih kepada semua mahkluk hidup, ia menyucikan pikirannya dari kemauan jahat dan kebencian; meninggalkan rasa kelesuan dan kantuk, ia tetap mengusahakan dirinya bebas dari kelesuan kantuk, sadar akan cahaya dan waspada serta siaga sepenuhnya ia menyucikan pikirannya dari rasa kelesuan serta kantuk itu; dengan meninggalkan hasutan dan kecemasan, ia mengusahakan dirinya agar tetap tidak dapat dihasut, dengan pikirannya ditenangkan di dalam dirinya sendiri, ia menyucikan pikirannya dari hasutan serta kecemasan; dengan meninggalkan keadaan tidak menentu, ia mengusahakan dirinya agar selalu melenyapkan ketidakpastian, tidak meragukan dhamma yang menguntungkan, ia menyucikan pikirannya dari ketidakpastian itu.

23. Setelah melepaskan kelima hambatan ini, kekotoran pikiran yang memperlemah pengertian, ia mengusahakan diri agar menghayati badan jasmani sebagai badan jasmani, tekun, siaga penuh dan sadar, telah membuang sifat tamak dan rakus akan dunia; ia tetap mengusahakan dirinya untuk menghayati perasaan sebagai perasaan … ia tetap mengusahakan dirinya untuk menghayati dhamma-dhamma itu sebagai dhamma-dhamma, tekun, sepenuhnya siaga dan sadar, telah membuang sifat tamak dan rakus akan dunia. 

24. Tepat seperti halnya penjinak gajah membenamkan tiang besar ke dalam tanah untuk mengikat gajah hutan di lehernya untuk mengurangi atau memperlemah kebiasaan-kebiasaan hutan pada gajah itu … dan untuk menanamkan pada gajah itu kebiasaan-kebiasaan yang disukai manusia, demikian juga empat dasar kewaspadaan merupakan penguatan bagi pikiran siswa mulia untuk memperlemah kebiasaan-kebiasaan dari hal kerumah-tanggaannya, untuk memperlemah keinginan-keinginan kerumah-tanggaannya, untuk mencapai atau memperoleh jalan benar dan realisasi Nibbana.” 

25. Kemudian Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut sebagai berikut: “Marilah bhikkhu, usahakan terus menghayati badan sebagai badan tetapi jangan memikirkan bentuk pikiran yang dihubungkan dengan badan: usahakan terus menerus menghayati perasaan-perasaan sebagai perasaan … pikiran sebagai pikiran … usahakan terus menerus menghayati dhamma-dhamma sebagai dhamma-dhamma tetapi janganlah memikirkan bentuk pikiran yang dihubungkan dengan dhamma-dhamma. 

26. Dengan penenangan penerapan awal dari penenangan berlanjut, ia memasuki jalur dan berada di dalam jhana kedua … 

27. … jhana ketiga … yang mempunyai keseimbangan dan kesadaran penuh. 

28. Apabila pikirannya yang sudah terpusatkan, terang benderang, tanpa cacad, bersih dari ketidaksempurnaan, lunak dapat ditundukkan, berpengaruh, mantap, dan tenang tak tak tergoyahkan, ia mengatur, ia mencenderungkan pikirannya kepada pengetahuan tentang peringatan kembali kehidupan lampau.
Ia mengingat-ingat kehidupan lampaunya yang berganda-ganda itu, yaitu satu kelahiran … lima kelahiran, sepuluh kelahiran … limapuluh kelahiran … seratus kelahiran … seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kalpa penyusutan alam, banyak kalpa perluasan alam, banyak kalpa penyusutan dan perluasan alam: ‘Di sana aku dinamakan demikian, dari suku demikian, dengan sifat penampilan demikian, itulah kehidupanku,’ demikianlah pengalaman kesenangan dan penderitaan, demikianlah jangka waktu hidupku; dan setelah meninggal dari tempat itu, saya muncul di suatu tempat lain; dan di sana saya juga diberi nama demikian, dari suku bangsa demikian, dengan sifat penampilan demikian, demikianlah kehidupanku, demikianlah pengalamanku tentang kesukaan dan penderitaan, demikianlah jangka waktu hidupku; dan setelah aku meninggal dari sana muncul di sini. Jadi dengan ingatan rinci dan khusus ia mengingat kembali masa kehidupannya yang banyak itu.

29. Apabila pikiran yang sudah terkonsentrasikan itu demikian disucikan, terang benderang, tanpa cacad, bersih dari segala ketidaksempurnaan, lunak, terkendali, mantap, dan telah mencapai keadaan tenang tak terganggu, ia mengarahkan, ia mencenderungkan pikirannya kepada pengetahuan tentang kemusnahan serta kemunculan kembali dari makhluk-makhluk itu.
Dengan mata surgawi yang telah disucikan dan melampaui penglihatan manusiawi, ia melihat makhluk-makhluk mati dan lahir kembali, yang lemah, yang kuat, cantik, buruk, berkelakuan baik dan buruk; ia mengerti bagaimana makhluk-makhluk itu terus menerus bertumimbal lahir sesuai dengan kamma-kamma mereka, demikian: ‘Makhluk-makhluk yang tak patut ini yang bertingkah laku, berucapan dan berpikiran tidak baik, mencaci maki muliawan-muliawan, berpandangan salah, membawa pandangan salah di dalam kamma-kamma mereka, setelah terurainya sang badan setelah kematian, muncul dalam alam penderitaan, dalam nasib buruk, dalam keadaan tanpa kebahagiaan sama sekali atau kenestapaan, bahkan pula ke dalam neraka; tetapi makhluk-makhluk yang patut ini, yang bertindak tanduk baik dengan badan, ucapan dan pikiran, bukan pencaci maki para Muliawan, berpandangan benar, membawa pandangan benar dalam kamma-kamma mereka, setelah terurainya badan, setelah kematian, muncul dengan peruntungan yang baik, bahkan di dalam alam surgawi.’ Jadi, dengan pandangan mata batin surgawi yang telah disucikan dan melampaui batas dari manusiawi itu, ia melihat makhluk-makhluk lenyap dan muncul kembali, lemah dan kuat, bertingkah laku baik dan buruk: ia mengerti bagaimana makhluk-makhluk itu terus menerus bertumimbal lahir sesuai dengan kamma-kamma mereka.

30. Apabila pikiran yang terkonsentrasi itu disucikan dan terang benderang, tanpa cacad, bersih dari ketidakmurnian, dan menjadi lunak, terkendali, berpengaruh kuat, mantap dan mencapai keadaan tidak terganggu, ia mengarahkan, ia mencenderungkan pikirannya kepada pengetahuan pelenyapan noda-noda.
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah penderitaan.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah asal mula penderitaan.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah penghentian dari penderitaan.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah jalan menuju ke penghentian penderitaan.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah noda-noda.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah asal mula noda-noda.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah penghentian noda-noda.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah jalan menuju ke penghentian noda-noda.’ Apabila ia mengetahui dan melihat demikian, pikiran telah dibebaskan dari noda-noda keinginan atau nafsu dunia/indera, dari noda-noda tentang menjadi/terbentuk dari noda-noda dari kebodohan. Apabila telah dibebaskan datanglah pengetahuan ‘Ia telah terbebaskan.’ Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Kelahiran telah habis, kehidupan suci telah dijalani, apa yang dapat dilakukan telah dilakukan, tiada lain yang akan terjadi.’

31. Bhikkhu itu adalah seorang yang menahan dingin dan panas, lapar dan haus, dan terkena nyamuk dan lalat, angin, matahari, dan binatang-binatang merayap, yang menahan kata-kata yang tidak disenangi dan buruk, dan perasaan-perasaan badani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, tidak disetujui, menggelisahkan, dan mengancam kehidupan; dengan lenyapnya segala nafsu, kebencian dan khayal, dengan cacad yang telah disingkirkan, ia pantas mendapat hadiah-hadiah, pantas mendapat keramahtamahan, pantas mendapat pemberian-pemberian, pantas memperoleh penghormatan, suatu ladang perbuatan jasa yang tiada bandingnya bagi dunia.

32. Jika gajah raja menjadi tua dan mati sebelum dijinakkan dan belum didisiplinkan, itu adalah kematian yang belum dijinakkan sehingga ia dianggap sudah mati. Jika gajah raja meninggal pada umur setengah baya belum terjinakkan dan belum didisiplinkan, itu adalah kematian yang belum dijinakkan dan ia telah dianggap sudah mati. Apabila gajah raja ketika masih muda mati dan belum dijinakkan serta belum didisiplinkan, itu adalah suatu kematian yang belum dijinakkan dan ia telah dianggap sudah mati.
Demikian juga halnya, apabila seorang bhikkhu sepuh mati dengan noda-noda yang belum lenyap, itu adalah suatu kematian yang belum terjinakkan dan ia dianggap telah mati. Jika seorang bhikkhu madya mati … jika seorang bhikkhu muda/baru mati dengan noda-noda yang belum habis, itu adalah kematian belum terjinakkan dan ia dianggap telah mati.
Jika gajah raja ketika sudah tua usia mati dengan telah terjinakkan dan terdisiplinkan dengan baik, ia adalah merupakan kematian yang terjinakkan dan ia dianggap sudah mati. Jika gajah raja mati pada umur setengah baya …. Apabila gajah raja ketika masih muda mati dengan terjinakkan dan terdisiplinkan dengan baik, itu kematian yang terjinakkan dan ia dianggap telah mati.
Demikian juga, apabila seorang bhikkhu sepuh meninggal dengan noda-noda telah terlenyapkan, itu merupakan kematian yang telah terjinakkan dan ia diangap telah mati. Jika seorang bhikkhu madya meninggal … Jika seorang bhikkhu muda mati dengan noda-noda telah habis, itu adalah kematian yang terjinakkan dan ia dianggap telah mati.”

33. Inilah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagava. Samanera Aciravata menjadi puas dan senang dengan kata-kata Sang Buddha itu.

KAYAGATASATI SUTTA

KAYAGATASATI SUTTA
Sumber : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya I,
Oleh : Tim Penerjemah Tripitaka,
Penerbit : Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta, 1992

1. Demikian telah saya dengar:
Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berdiam di Jetavana, Anathapindikarama, kota Savatthi.

2. Ketika itu beberapa bhikkhu sedang duduk di upatthana sala, tempat mereka bertemu setelah berkeliling pindapatta dan makan. Ketika itu di antara mereka terlontar ucapan: “Teman, sangat menakjubkan dan mengagumkan, betapa perhatian seksama tentang jasmani telah dikatakan oleh Sang Bhagava yang tahu dan melihat, Arahat Samma Sambuddha, apabila dikembangkan dan sering dipraktikkan akan menghasilkan pahala dan manfaat besar.”
Pada waktu sore pembicaraan mereka terhenti karena Sang Bhagava telah selesai bermeditasi, memasuki sala dan duduk di tempat yang telah disediakan. Setelah duduk, Beliau berkata: “Para bhikkhu, apakah yang menjadi pokok pembicaraan kalian di sini? Apakah pembicaraan yang baru terhenti tadi?”
“Bhante, ketika kami sedang duduk di upatthana sala ini, tempat kami bertemu setelah berkeliling pindapatta dan makan, di antara kami terlontar ucapan: ‘Avuso, sangat menakjubkan dan mengagumkan, telah dikatakan oleh Sang Bhagava, yang tahu dan melihat, Arahat Samma Sambuddha, betapa perhatian seksama pada jasmani apabila dikembangkan dan sering dipraktikkan akan menghasilkan pahala dan manfaat besar.’ Inilah pembicaraan kami yang terhenti ketika Sang Bhagava tiba.”

3. “Para bhikkhu, bagaimana perhatian seksama pada jasmani dikembangkan dan sering dipraktikkan akan menghasilkan pahala dan manfaat besar?
Para bhikkhu, begini, setelah seorang bhikkhu pergi ke hutan, ke bawah sebuah pohon atau ke sebuah gubuk kosong dan duduk di sana; setelah duduk bersila dengan posisi tubuh tegak, ia memusatkan perhatiannya dan dengan penuh perhatian ia menarik napas dan mengeluarkan napas.
Ketika menarik napas panjang, ia mengerti: ‘Saya bernapas panjang’; Ketika mengeluarkan napas panjang ia mengerti: ‘Saya mengeluarkan napas panjang’. Ketika menarik napas pendek ia mengerti: ‘Saya menarik napas pendek’. Ketika mengeluarkan napas pendek ia mengerti: ‘Saya mengeluarkan napas pendek’. Ia melatih diri sebagai berikut: ‘Saya akan menarik napas sambil menyelami jasmani secara keseluruhan’. Ia melatih diri sebagai berikut: ‘Saya akan mengeluarkan napas sambil menyelami jasmani secara keseluruhan’. Ia melatih diri sebagai berikut: ‘Saya akan menarik napas sambil menenangkan proses jasmani’. Ia melatih diri sebagai berikut: ‘Saya akan mengeluarkan napas sambil menenangkan proses jasmani.’
Bagaikan seorang kusir atau pembantunya, ketika membuat belokan panjang ia mengerti: ‘Saya membuat belokan panjang’, atau ketika membuat belokan pendek ia mengerti: ‘Saya membuat belokan pendek’, demikian juga pada saat menarik napas panjang, ia mengerti: ‘Saya menarik napas panjang’, … ia melatih diri sebagai berikut: ‘Saya akan mengeluarkan napas sambil menenangkan proses jasmani’.

4. Karena ia tekun berlatih, rajin, bersungguh-sungguh dan penuh disiplin diri maka semua ingatan dan keinginannya yang didasarkan pada kehidupan berkeluarga disingkirkan; dengan menyingkirkan hal-hal itu pikirannya menjadi terpusat pada dirinya sendiri, tenang, bersatu dan terkonsentrasi. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

5. Para bhikkhu, demikian pula ketika seorang bhikkhu berjalan ia mengerti: ‘Saya berjalan’, ketika sedang berdiri, ia mengerti: ‘Saya berdiri’, ketika sedang duduk ia mengerti: ‘Saya sedang duduk’, ketika sedang berbaring ia mengerti: ‘Saya sedang berbaring’, atau ia mengerti semua aktivitas tubuhnya. 

6. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

7. Para bhikkhu, demikian pula bhikkhu adalah seorang yang bertindak dengan penuh kesadaran ketika bergerak kian kemari, bertindak dengan penuh kesadaran ketika melihat ke sini dan ke sana, bertindak dengan penuh kesadaran ketika mengeraskan dan melemaskan otot, bertindak dengan penuh kesadaran ketika mengenakan jubah, jubah sanghati dan membawa patta, bertindak penuh kesadaran ketika makan, minum dan menghirup, bertindak penuh kesadaran ketika sedang berjalan, berdiri, duduk, berbaring, bangun, berbicara dan berdiam diri. 

8. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

9. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu memperhatikan dengan seksama tubuh ini, dari telapak kaki ke atas dan dari ujung rambut ke bawah, yang penuh dengan berbagai macam kotoran, yaitu: ‘Dalam tubuh ini ada rambut kepala, bulu roma, kuku, gigi, kulit, daging, otot, tulang, sumsum tulang, ginjal, jantung, hati, sekat ronga badan, limpa, paru-paru, usus, isi perut, …, kotoran, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak (gemuk), ludah, upil, cairan persendian dan air kencing.
Bagaikan sebuah kantung yang terbuka pada kedua ujungnya yang berisi penuh dengan biji-bijian seperti beras, beras merah, kacang, kacang polong, padi-padian dan beras putih, lalu seseorang dengan mata terang membuka kantung itu dan memperhatikan dengan seksama isinya: ‘Ini adalah beras, beras merah, kacang, kacang polong, padi-padian dan beras putih’. Demikian pula bhikkhu memperhatikan dengan seksama tubuh ini dari telapak kaki ke atas dan dari ujung rambut ke bawah, yang penuh dengan berbagai macam kotoran, yaitu … dan air kencing.

10. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

11. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu memperhatikan dengan seksama tubuh ini yang terdiri dari beberapa unsur, yaitu: ‘Dalam tubuh ini terdapat unsur tanah, air, api dan udara.
Bagaikan seorang tukang jagal berpengalaman atau muridnya, setelah menyembelih seekor sapi kemudian menjual daging sapi itu dalam bentuk irisan-irisan kecil di persimpangan jalan; demikian juga, seorang bhikkhu memperhatikan dengan seksama tubuh ini yang terdiri dari baberapa unsur, yaitu: ‘Dalam tubuh ini terdapat unsur tanah, air, api dan udara.’

12. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

13. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu bagaikan ia sedang memperhatikan mayat-mayat yang berusia satu hari, dua hari, tiga hari yang telah membengkak, lebam dan mengeluarkan cairan, yang berada di atas tanah kuburan: ‘Demikian pula sifat dari tubuh ini, tubuh ini akan menjadi seperti itu, tubuh ini pasti jadi seperti itu.’ 

14. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

15. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu menilai tubuh ini bagaikan ia sedang memperhatikan mayat-mayat yang sedang dimakan oleh burung-burung gagak, elang, burung nasar, anjing, serigala dan bermacam-macam kelompok cacing, yang berada di atas tanah kuburan: ‘Tubuh ini pun bersifat seperti itu, tubuh ini akan menjadi seperti itu, tubuh ini pasti jadi seperti itu.’ 

16. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

17. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu menilai tubuh ini bagaikan ia sedang memperhatikan bagian-bagian mayat, seperti kerangka yang dilekati daging dan darah dipersatukan oleh urat-urat, yang ada di atas tanah kuburan: ‘Tubuh ini pun bersifat seperti itu,… jadi seperti itu.’ 

18. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

19. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu menilai tubuh ini bagaikan ia sedang memperhatikan bagian-bagian mayat, seperti kerangka yang tanpa daging dan lumuran darah yang dipersatukan oleh urat-urat, yang ada di atas tanah kuburan: ‘Tubuh inipun bersifat seperti itu, … jadi seperti itu.’ 

20. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

21. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu menilai tubuh ini bagaikan ia sedang memperhatikan bagian-bagian mayat, seperti kerangka yang tanpa daging dengan darah yang dipersatukan oleh urat-urat, yang ada di atas tanah kuburan: ‘Tubuh inipun bersifat seperti itu, … jadi seperti itu.’ 

22. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

23. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu menilai tubuh ini bagaikan ia sedang memperhatikan bagian-bagian mayat, seperti tulang-tulang tanpa urat-urat yang berserakkan: tulang tangan di sini, di sana ada tulang kaki, tulang kering, tulang paha, tulang pinggul, tulang punggung, tulang rusuk, tulang dada, tulang tangan, tulang bahu, tulang leher, tulang iga, tulang rahang, tulang gigi, dan tengkorak, yang ada di atas tanah kuburan: ‘Tubuh ini pun bersifat seperti itu, … jadi seperti itu.’ 

24. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

25. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu menilai tubuh ini bagaikan ia sedang memperhatikan bagian-bagian mayat, seperti tulang belulang yang telah berwarna putih, bagaikan warna kulit kerang, yang ada di atas tanah kuburan: ‘Tubuh ini pun bersifat seperti itu, … jadi seperti itu.’ 

26. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

27. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu menilai tubuh ini bagaikan ia sedang memperhatikan bagian-bagian mayat, seperti tumpukan tulang yang telah lebih dari setahun, yang ada di atas tanah kuburan: ‘Tubuh ini pun bersifat seperti itu, … jadi seperti itu.’ 

28. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

29. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu menilai tubuh ini bagaikan ia sedang memperhatikan bagian-bagian mayat, seperti tulang belulang yang membusuk rapuh menjadi debu, yang ada di atas tanah kuburan: ‘Tubuh ini pun bersifat seperti itu, … jadi seperti itu.’ 

30. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

31. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu agak bebas dari nafsu indera, bebas dari hal-hal (dhamma) yang tak berguna, ia mencapai dan berada dalam Jhana I yang disertai oleh vitakka (usaha pikiran untuk menangkap obyek), vicara (obyek telah tertangkap oleh pikiran), piti (kegiuran) dan sukha (kebahagian) yang dihasilkan oleh viveka (ketenangan). 

32. Ia membuat piti dan sukha yang dihasilkan oleh viveka meresapi, merendami, mengisi dan meliputi seluruh tubuhnya, sehingga tidak ada bagian tubuhnya yang tidak diliputi oleh piti dan sukha yang dihasilkan oleh viveka. Bagaikan seorang pencuci atau pembantunya penumpahkan bubuk pencuci (sabun) ke dalam sebuah baskom logam, sedikit demi sedikit memercikinya dengan air, mengaduknya sehingga air membasahi butir-butir bubuk sabun, merendamnya dan meliputi seluruh bagian luar dan dalam, tetapi bubuk itu tidak menjadi air. Demikian pula, seorang bhikkhu membuat piti dan sukha yang dihasilkan oleh viveka meresapi, meredami, mengisi dan meliputi seluruh tubuhnya, sehingga tidak ada bagian tubuhnya yang tidak diliputi oleh piti dan sukha yang dihasilkan oleh viveka. 

33. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

34. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu dengan menghilangkan vitakka dan vicara, ia mencapai dan berada dalam Jhana II disertai kegiuran, kebahagiaan, keyakinan yang kuat dan pikiran terpusat, tanpa vitakka dan vicara. 

35. Ia membuat piti dan sukha yang dihasilkan oleh samadhi meresapi, merendami, mengisi dan meliputi seluruh tubuhnya, sehingga tidak ada bagian tubuhnya yang tidak diliputi oleh piti dan sukha yang dihasilkan oleh samadhi. Bagaikan sebuah danau bermata air di dasarnya, tanpa air mengalir masuk dari timur, barat, utara atau selatan, juga tanpa tambahan air hujan, maka air dingin dari mata air di dasar danau akan meresapi, merendami, mengisi dan memenuhi seluruh danau, sehingga tidak ada bagian danau yang tidak dipenuhi oleh air dingin. Demikian pula, seorang bhikkhu membuat piti dan sukha yang dihasilkan oleh samadhi meresapi, merendami, mengisi dan memenuhi seluruh tubuhnya, sehingga tidak ada bagian tubuh yang tidak dipenuhi oleh piti dan sukha yang dihasilkan oleh samadhi. 

36. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti ini, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

37. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu dengan melenyapkan piti, ia diliputi upekha (keseimbangan), penuh sati (perhatian) dan sampajana (pengertian), ia menikmati sukha jasmaniah, ia mencapai dan berada dalam Jhana III, seperti yang dinyatakan oleh para ariya: Ia menikmati sukha yang disertai upekha dan sati. 

38. Ia membuat sukha meresapi, merendami, mengisi dan memenuhi seluruh tubuhnya, sehingga tidak ada bagian tubuh yang tidak dipenuhi sukha. Bagaikan sebuah kolam bunga bakung air, kolam bunga teratai putih atau merah, ada beberapa bakung, teratai putih atau merah yang bertunas, bertumbuh, berkembang di bawah permukaan dan tidak muncul di permukaan air, semuanya dari ujung hingga keakar-akarnya diresapi, direndami, diisi dan dipenuhi oleh air dingin, sehingga tidak ada bunga bakung, teratai putih atau merah yang tidak dipenuhi oleh air dingin. Demikian pula, seorang bhikkhu membuat sukha meresapi, merendam, mengisi dan memenuhi seluruh tubuhnya, sehingga tidak ada bagian tubuhnya yang tidak dipenuhi sukha. 

39. Karena ia tekun berlatih, rajin, … Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

40. Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu dengan melenyapkan sukha (kebahagiaan) dan dukkha (penderitaan) jasmaniah, yang didahului oleh lenyapnya somanassa (kesenangan batin) dan domanassa (penderitaan batin), ia mencapai dan berada dalam Jhana IV, dengan kondisi bukan menderita maupun bukan menyenangkan, disertai sati dan upekha yang suci. 

41. Ia duduk dengan pikiran terang dan suci yang meliputi seluruh tubuhnya, sehingga tidak ada bagian tubuhnya yang tidak diliputi oleh pikiran terang dan suci. Bagaikan seorang yang duduk dibungkus dengan kain putih dari kepalanya sampai ke kakinya, sehingga tidak ada bagian tubuhnya yang tidak tertutup oleh kain putih tersebut. Demikian pula, seorang bhikkhu duduk dengan pikiran yang terang dan suci meliputi seluruh tubuhnya, sehingga tidak ada bagian tubuhnya yang tidak diliputi oleh pikiran terang dan suci. 

42. Karena ia tekun berlatih, rajin …. Dengan cara seperti itu, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian seksama pada jasmani. 

43. Bilamana seorang telah mengembangkan dan terus menerus mempraktikkan kayagata sati (perhatian seksama pada jasmani), berarti ia telah mensertakan kusala dhamma (dhamma baik atau berguna) dan pengetahuan benar. Bagaikan seorang yang mengarahkan pikirannya pada samudra besar yang mencakup sungai apapun yang bermuara pada samudra tersebut. Demikian pula, seorang bhikkhu yang telah mengembangkan dan terus menerus mempraktikkan kayagata sati, berarti ia telah mensertakan kusala dhamma dan pengetahuan benar. 

44. Bilamana seseorang tidak mengembangkan dan tidak terus-menerus mempraktikkan kayagata sati, maka Mara mendapat kesempatan dan obyek pada orang itu. 

45. Para bhikkhu, bagaimana pendapat kalian, andaikata seseorang melemparkan sebuah bola batu yang berat ke setumpuk tanah liat basah, apakah bola batu yang berat itu akan masuk ke dalam tumpukan tanah liat itu?”
“Ya, Bhante.”
“Para bhikkhu, demikian pula bilamana seseorang tidak mengembangkan dan tidak terus-menerus mempraktikkan kayagata sati, maka Mara mendapat kesempatan dan obyek pada orang itu.

46. Para bhikkhu, bagaimana pendapat kalian, andaikata ada sepotong kayu kering dan ada seseorang yang datang dengan membawa sebuah tongkat pemantik api sambil berpikir: ‘Saya akan menyalakan api, saya akan menimbulkan panas’; apakah orang itu akan dapat menyalakan api dan menimbulkan panas bila sepotong kayu kering tadi digosokkan dengan tongkat pemantik api itu?”
“Ya, Bhante.”
“Para bhikkhu, demikian pula bilamana seseorang tidak mengembangkan dan tidak terus-menerus mempraktikkan kayagata sati, maka Mara mendapat kesempatan dan obyek pada orang itu.

47. Para bhikkhu, bagaimana pendapat kalian, andaikata ada sebuah bejana kosong berdiri di atas sebuah tempat bejana dan ada orang yang datang sambil membawa air, apakah ia dapat menuangkan air ke dalam bejana itu?”
“Ya, Yang Mulia.”
“Para bhikkhu, demikian pula bilamana seseorang tidak mengembangkan dan tidak terus-menerus mempraktikkan kayagata sati, maka Mara mendapat kesempatan dan obyek pada orang itu.
48. Bilamana seseorang telah mengembangkan dan terus menerus mempraktikkan kayagata sati, maka Mara tidak mendapat kesempatan dan obyek pada orang itu. 

49. Para bhikkhu, bagaimana pendapat kalian, andaikata ada orang yang melemparkan sebuah gulungan benang yang ringan pada daun pintu, yang berbuat dari kayu keras; apakah gulungan benang yang ringan itu dapat menembus daun pintu yang terbuat dari kayu keras tersebut?”
“Tidak, Bhante.”
“Para bhikkhu, demikian pula bilamana seseorang telah mengembangkan dan terus-menerus mempraktikkan kayagata sati, maka Mara tidak mendapat kesempatan dan obyek pada orang itu.

50. Para bhikkhu, bagaimana pendapat kalian, andaikata ada sepotong kayu basah dan ada orang yang datang dengan membawa sebuah tongkat pemantik api sambil berpikir: ‘Saya akan menyalakan api, saya akan menimbulkan panas’; apakah orang itu akan dapat menyalakan api dan menimbulkan panas bila sepotong kayu basah tadi digosokkan dengan tongkat pemantik api itu?”
“Tidak, Bhante.”
“Para bhikkhu, demikian pula bilamana seseorang telah mengembangkan dan terus-menerus mempraktikkan kayagata sati, maka Mara tidak mendapat kesempatan dan obyek pada orang itu.”

51. Para bhikkhu, bagaimana pendapat kalian, andaikata ada sebuah bejana yang ada di atas sebuah tempat bejana, yang berisi penuh dengan air dan meluap, sehingga burung gagak dengan mudah meminum airnya dan ada orang datang sambil membawa air; apakah dia dapat menuangkan air ke dalam bejana itu?”
“Tidak, Bhante.”
“Para bhikkhu, demikian pula bilamana seseorang telah mengembangkan dan terus-menerus mempraktikkan kayagata sati, maka Mara tidak mendapat kesempatan dan obyek pada orang itu.

52. Bilamana seseorang telah mengembangkan dan terus-menerus mempraktikkan kayagata sati, maka ia mempunyai abhinna (kemampuan batin) yang dapat membuktikan segala sesuatu (dhamma) sesuai dengan kecenderungan pikirannya, kapan saja bila ia mau. 

53. Andaikata ada sebuah bejana air yang berdiri di atas sebuah tempat bejana, yang berisi penuh dengan air sampai meluap, sehingga burung gagak dengan mudah meminum airnya, lalu seorang perkasa memiringkan bejana tersebut, apakah air akan tumpah setiap kali bejana dimiringkan?”
“Ya, Bhante.”
“Para bhikkhu, demikian pula bilamana seseorang telah mengembangkan dan terus-menerus mempraktikkan kayagata sati, maka ia mempunyai abhinna yang dapat membuktikan segala sesuatu (dhamma), sesuai dengan kecenderungan pikirannya, kapan saja bila ia mau.

54. Andaikata pada sebidang tanah terdapat sebuah kolam segi empat yang lengkap dengan tanggul-tanggulnya, berisi penuh dengan air sampai meluap sehingga burung gagak mudah meminum airnya, lalu seorang perkasa merobohkan tanggulnya, apakah air akan tumpah?
“Ya, Bhante.”
“Para bhikkhu, demikian juga bilamana seseorang telah mengembangkan dan terus-menerus mempraktikkan kayagata sati, … kapan saja bila ia mau.

55. Andaikata ada sebuah kereta yang lengkap dengan kuda-kuda pilihan dan dilengkapi cambuk siap digunakan, dan kereta itu sudah siap di perempatan jalan sehingga seorang kusir yang mahir mengendalikan kuda-kuda akan dengan mudah menaiki kereta, memegang tali kekang, menjalankan kereta itu kian kemari ke arah mana saja yang ia sukai. Para bhikkhu, demikian pula bila seorang bhikkhu telah mengembangkan dan terus-menerus mempraktikkan kayagata sati, .. . kapan saja bila ia mau. 

56. Bilamana kayagata sati dikembangkan, terus-menerus dipraktikkan, dijadikan sebagai sarana dan dasar, dibentuk, dikonsolidasikan, dilaksanakan dengan baik, maka ada sepuluh manfaat akan diperolehnya. Apakah kesepuluh manfaat itu? 

57. Ia menjadi penakluk kebencian, senang dan kebencian tidak menguasainya, ia dapat mengatasi kebencian bilamana kebencian muncul. 

58. Ia menjadi penakluk rasa takut dan ngeri, rasa takut dan ngeri tidak menguasainya, ia dapat mengatasi rasa takut dan ngeri bila hal-hal itu muncul. 

59. Ia menjadi tahan rasa dingin, rasa panas, lapar, haus, gigitan nyamuk, lalat, angin, matahari dan segala binatang merayap; ia tahan mendengar kata-kata menyakitkan dan yang tak disukai; ia tahan terhadap penderitaan fisik seperti sakit, pedih, goresan, sayatan, tusukan, tidak menyenangkan, menekan dan membahayakan keselamatan. 

60. Ia menjadi orang yang dengan sekehendak hatinya mendapatkan dengan mudah dan tanpa kesulitan mencapai empat tingkat Jhana, yang merupakan tingkat pikiran yang lebih tinggi dan merasakan kesenangan pada saat sekarang. 

61. Ia memiliki bermacam-macam iddhividha atau ‘kemampuan batin fisik’ yaitu ia dapat memperbanyak dirinya, atau dari banyak kembali menjadi seorang, menembus benteng atau dinding, menyelam dalam tanah bagaikan menyelam dalam air, berjalan di atas air bagaikan berjalan di tanah, terbang di angkasa bagaikan burung, ia dapat menyentuh matahari dan bulan, dengan tubuhnya ia dapat pergi ke alam brahma. 

62. Ia memiliki telinga dewa, sehingga ia dapat mendengar suara yang dekat, jauh maupun terhalang, suara para dewa dan makhluk tak tertampak lainnya. 

63. Ia dapat mengetahui pikiran orang lain (lihat sutta 77, paragraf 33). 

64. Ia mempunyai kemampuan untuk mengingat kembali kehidupan-kehidupannya pada masa yang lampau …. (lihat sutta 77, paragraf 34)… hingga perbuatan-perbuatan yang sekecil-kecilnya dan sedetailnya. 

65. Dengan mata kedewaannya … (lihat sutta 77, paragraf 35) … berdasarkan karma-karma yang dilakukannya. 

66. Pada saat sekarang ini, dengan abhinna ia merealisasikan dirinya sendiri, ia mencapai cetovimutti (kesucian melalui samadhi) dan pannavimutti (kesucian melalui kebijaksanaan) dengan melenyapkan semua asava (kotoran batin). 

67. Bilamana kayagata sati dikembangkan, terus-menerus dipraktikkan, dijadikan sebagai sarana dan dasar, dibentuk dan dikonsolidasikan, dilaksanakan dengan baik, maka ada sepuluh manfaat akan diperolehnya.”
Inilah yang dibabarkan oleh Sang Bhagava. Para bhikkhu merasa puas dan gembira dengan apa yang diuraikan Sang Bhagava.

GANAKA MOGGALLANA SUTTA

GANAKA MOGGALLANA SUTTA
Sumber : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya I,
Oleh : Tim Penerjemah Tripitaka,
Penerbit : Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta, 1992

1. Demikian telah saya dengar:
Pada suatu kesempatan Sang Bhagava tinggal di Savatthi di Vihara Timur di istana Ibu Migara. Kemudian Brahmana Ganaka Moggallana menghadap Sang Bhagava dan memberi salam, dan kemudian setelah pembicaraan yang sopan dan ramah tamah selesai, ia duduk di satu sisi. Setelah itu, ia berkata demikian kepada Sang Bhagava:

2. “Guru Gotama, di istana Ibu Migara ini terlihat adanya latihan yang progresif, kerja yang aktif dan praktik yang progresif, sampai ke langkah terakhir dari sebuah tingkatan 1), dan juga pada beberapa brahmana terlihat adanya latihan yang progresif, kerja yang progresif dan praktik yang progresif, dalam hal belajar; dan juga pada beberapa brahmana lain terlihat adanya latihan yang progresif … ; … ,di dalam seni memanah; dan juga para akuntan seperti kami yang hidup melalui pekerjaan sebagai akuntan, terlihat adanya latihan yang progresif … yang berarti, di dalam perhitungan… karena, ketika kami mendapatkan seseorang yang bekerja magang, pertama-tama kami meminta ia untuk menghitung: satu-satu, dua-dua, tiga-tiga, empat-empat, lima-lima, enam-enam, tujuh-tujuh, delapan-delapan, sembilan-sembilan, sepuluh-sepuluh, dan kami juga meminta ia untuk menghitung sampai seratus sekarang apakah hal ini mungkin, Guru Gotama, di dalam hal Dhamma dan Vinaya ini, untuk menjelaskan latihan yang progresif, kerja yang progesif dan praktik yang progresif, dengan cara yang sama?” 

3. “Dimungkinkan brahmana, dalam hal ini Dhamma dan Vinaya ini untuk menggambarkan latihan yang progresif, kerja yang progresif dan praktik yang progesif.
Seperti seorang ahli penjinak kuda, dalam menjinakkan seekor kuda yang masih liar, memberikan latihan pertama dengan meletakkan alat makan pada mulut kuda itu, kemudian disusul dengan latihan lebih lanjut, maka begitu juga brahmana, Sang Tathagata dalam menjadikan seseorang terkendali, menertibkannya pertama kali dengan jalan ini:

4. ‘Marilah bhikkhu, jadilah suci, terkendali dengan pengendalian Patimokkha 2) (peraturan para bhikkhu), sempurna dalam tingkah laku dan usaha, dan dengan menyadari perasaan takut dalam kesalahan kecil sekalipun, berlatihlah dengan menjalankan sila-sila latihan.’
Segera setelah bhikkhu itu menjalani hidup suci, terkendali dengan pengendalian Patimokkha, sempurna dalam tingkah laku dan usaha, dan dengan menyadari perasaan takut dalam kesalahan kecil sekalipun, melatih diri sendiri dengan menjalankan sila-sila latihan, …. Sang Tathagata menertibkannya lebih lanjut:

5. ‘Marilah bhikkhu, jagalah indera-inderamu. Di dalam melihat sesuatu dengan mata, pahami bahwa tidak ada tanda-tanda atau ciri-ciri khas yang melaluinya, jika kamu tidak menjaga indera penglihatan, hal-hal jahat yang tidak menguntungkan dari ketamakan dan kesedihan akan menyerangmu; praktikkan jalan pengendalian, jaga indera penglihatan, usahakan pengendalian indera penglihatan. Di dalam mendengar suara dengan telinga …. Di dalam mencium wangi-wangian dengan hidung …. Di dalam mencicipi rasa dengan lidah …. Di dalam meraba benda dengan tubuh …. Di dalam menyadari dhamma dengan pikiran, pahami bahwa tidak ada tanda-tanda atau ciri-ciri khas yang melaluinya, jika kamu tidak menjaga pikiran, hal-hal jahat yang tidak menguntungkan dari ketamakan dan kesedihan akan menyerangmu; praktikkan jalan pengendalian, jaga indera-indera pikiran, usahakan pengendalian indera pikiran.’

Segera setelah bhikkhu itu menjaga indera-inderanya, kemudian Sang Tathagata menertibkannya lebih lanjut:
6. ‘Marilah bhikkhu, jadilah seorang yang tahu tentang makan yang benar. Sangatlah bijaksana bagimu untuk memberikan zat-zat makanan yang berguna pada tubuhmu sendiri dengan makanan dan bukan untuk kesenangan maupun untuk merusak maupun untuk mempercantik maupun untuk menghias diri, tetapi hanya untuk daya tahan dan kelangsungan tubuh ini, untuk akhir dari keadaan yang tidak menyenangkan dan untuk membantu kehidupan suci. Oleh karena itu, saya harus mengakhiri perasaan-perasaan lama tanpa menimbulkan perasaan-perasaan baru dan rasa tidak bersalah; saya akan hidup dalam keadaan yang menyenangkan dan sehat.’
Segera setelah bhikkhu itu mengetahui hal makan yang benar, kemudian Sang Tathagata menertibkannya lebih lanjut:

7. ‘Marilah bhikkhu, tetaplah waspada. Pada siang hari ketika sedang berjalan dan duduk, sucikan pikiran dari hal-hal yang mempersulit. Dalam keadaan jaga pertama pada malam hari ketika berjalan dan duduk, sucikan pikiran dari hal-hal yang mempersulit. Dalam keadaan jaga kedua pada malam hari, berbaringlah pada sisi kanan dalam posisi singa tidur dengan satu kaki bertumpang tindih pada satu kaki lain, berhati-hati dan dengan penuh kesadaran, setelah memikirkan waktu untuk bangun. Setelah bangun, di dalam keadaan jaga ketiga ketika berjalan dan duduk, sucikan pikiran dari hal-hal yang mempersulit.’
Segera setelah bhikkhu itu tetap waspada, kemudian Sang Tathagata menertibkannya lebih lanjut:

8. ‘Marilah bhikkhu, berhati-hatilah dan penuh kesadaran. Jadilah seorang yang bertindak dengan penuh kesadaran pada saat bergerak; seorang yang bertindak dengan penuh kesadaran pada saat memandang; seorang yang bertindak dengan penuh kesadaran pada saat mengenakan lapis tambalan, mangkuk dan jubah; seorang yang bertindak dengan penuh kesadaran pada saat makan, minum, mengunyah dan merasakan; seorang yang bertindak dengan penuh kesadaran pada saat mengosongkan isi perut dan membuang air; seorang yang bertindak dengan penuh kesadaran pada saat berjalan, berdiri, duduk, tidur, terjaga, berbicara dan diam.’
Segera setelah bhikkhu itu terjaga dan penuh kesadaran, kemudian Sang Tathagata menertibkannya lebih lanjut:

9. ‘Marilah bhikkhu, usahakan ke tempat perenungan terpencil, ke hutan, ke akar pohon, ke celah bukit, ke gua gunung, ke lahan pekuburan, ke hutan terpencil, ke lapangan terbuka, ke tumpukan jerami. Ia pergi ke tempat perenungan terpencil: ke hutan …. Sekembalinya dari pindapata, setelah makan, dia duduk, melipat kaki secara bersilangan, mengatur badannya tegak lurus dan membentuk kewaspadaannya. Setelah menghentikan ketamakan dunia, pikirannya bebas dari ketamakan. Setelah menghentikan keinginan jahat dan kebencian, pikirannya bebas dari keinginan jahat dan iba dengan semua makhluk hidup; ia menyucikan pikirannya dari keinginan jahat dan kebencian. Setelah menghentikan kelesuan dan kekantukan, ia bebas dari kelesuan dan kekantukan; berhati-hati dan penuh kesadaran; ia menyucikan pikirannya dari kelesuan dan kekantukan. Setelah menghentikan kegelisahan dan kekhawatiran, ia tidak gelisah dengan pikiran yang tenang dalam dirinya sendiri; ia menyucikan pikirannya dari kegelisahan dan kekhawatiran. Setelah menghentikan ketidakpastian, ia tetap dengan kepastian, tidak ragu dengan dhamma-dhamma yang berguna; dia menyucikan pikirannya dari ketidakpastian. 

10. Setelah meninggalkan lima rintangan tersebut, ketidaksempurnaan pikiran yang melemahkan pengertian, benar-benar menjauhkan diri dari nafsu-nafsu keinginan, menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak berguna, dia masuk dan tinggal di dalam jhana pertama … dengan kebahagiaan dan (secara jasmani) kesenangan dari pengasingan diri. Lalu, dengan meneruskan yang pertama dan memperpanjang latihan-latihannya … jhana kedua dengan kegembiraan dan kesenangan dari konsentrasi. Lalu, dengan lenyapnya kegembiraan … jhana ketiga … ‘Dia mempunyai kegembiraan yang kokoh, yang tenang dan berhati-hati.’ Lalu dengan meninggalkan kesenangan dan kesedihan … jhana keempat … dan memiliki kemurnian dari kewaspadaan karena ketenangan. 

11. Inilah petunjuk-Ku kepada para bhikkhu yang sedang menjalani latihan yang lebih tinggi, tetap dengan pikiran-pikiran yang belum tercapai, bercita-cita tinggi mencapai penghentian tertinggi dari perbudakan. Tetapi dhamma-dhamma ini mendorong kepada perasaan gembira yang kekal pada saat ini maupun perhatian dan kesadaran penuh bagi para bhikkhu yang telah menjadi Arahat dengan tiada noda, yang telah menempuh kehidupan, mengerjakan apa yang harus dikerjakan, melepaskan beban, mencapai tujuan tertinggi, menghancurkan semua belenggu kehidupan, yang terbebas melalui pengetahuan benar.” 

12. Setelah hal ini dikatakan, Ganaka Mogallana dari kasta brahmana berkata kepada Sang Bhagava: “Tetapi apakah semua siswa Guru Gotama setelah diberi nasehat dan petunjuk demikian, mencapai tujuan tertinggi, Nibbana, atau tidak mencapai Nibbana?”
“Setelah mereka diberi nasehat dan petunjuk, demikian brahmana, beberapa dari para pengikut-Ku mencapai tujuan tertinggi, Nibbana, dan beberapa tidak mencapainya.”

13. “Guru Gotama, karena ada Nibbana dan ada jalan yang menuju ke Nibbana, dan Guru Gotama sebagai penunjuk jalan, apakah sebabnya, apakah alasannya, setelah para siswa Guru Gotama diberi nasehat dan petunjuk oleh-Nya, beberapa mencapai tujuan tertinggi, Nibbana dan beberapa tidak?” 

14. “Sekarang mengenai hal itu, brahmana, Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan sebaliknya; jawablah seperti kamu kehendaki. Bagaimana kamu memahami hal ini. Apakah kamu mengetahui jalan yang menuju ke Rajagaha?”
“Ya Guru Gotama, saya mengetahui jalan yang menuju ke Rajagaha.”
“Bagaimana kamu memahami hal ini, brahmana: Seandainya seseorang datang dan dia ingin pergi ke Rajagaha, dan dia mendekatimu dan berkata: ‘Yang Mulia, saya ingin pergi ke Rajagaha; tunjukkan saya jalan ke Rajagaha.’ Lalu kamu berkata kepadanya: ‘Sekarang laki-laki yang baik, jalan ini menuju ke Rajagaha. Ikuti jalan ini dan kamu akan menjumpai sebuah desa, ikuti jalan itu dan kamu akan menjumpai sebuah kota, ikuti jalan itu dan kamu akan menjumpai Rajagaha dengan taman-tamannya dan rumput-rumputnya dan lahan-lahannya dan danau-danaunya.’ Lalu setelah diberi nasehat dan petunjuk olehmu, ia mengambil jalan yang salah dan pergi ke Barat; lalu pria kedua mendekatimu dan berkata: ‘Yang Mulia, saya ingin pergi ke Rajagaha, tunjukkan saya jalan ke Rajagaha.’ Lalu kamu berkata kepadanya: ‘Sekarang laki-laki yang baik, jalan ini menuju ke Rajagaha. Ikuti jalan ini dan kamu akan menjumpai sebuah desa, ikuti jalan itu dan kamu akan menjumpai sebuah kota, ikuti jalan itu dan kamu akan menjumpai Rajagaha dengan taman-tamannya dan rumput-rumputnya dan lahan-lahannya dan danau-danaunya.’ Lalu setelah dia diberi nasehat dan petunjuk olehmu, ia sampai ke Rajagaha dengan selamat. Sekarang brahmana, karena ada Rajagaha dan ada jalan menuju ke Rajagaha dan kamu sendiri sebagai penunjuk jalan, apakah sebabnya, apakah alasannya, setelah mereka diberi nasehat dan petunjuk olehmu, laki-laki yang satu mengambil jalan yang salah dan pergi ke Barat dan yang lain sampai dengan selamat ke Rajagaha?”
“Apa yang harus saya lakukan dengan itu, Guru Gotama? Saya adalah seorang yang menunjukkan jalan.”
“Demikian juga brahmana, dalam hal ini, ada Nibbana dan ada jalan yang menuju ke Nibbana dan dalam hal ini Aku sebagai penunjuk jalan, tetapi ketika para siswa-Ku setelah diberi nasehat dan petunjuk oleh-Ku beberapa mencapai tujuan tertinggi, Nibbana, dan beberapa tidak mencapai. Apa yang harus Aku lakukan dengan itu, brahmana? Sang Tathagata adalah seorang yang menunjukkan jalan.”

15. Setelah hal ini dikatakan, Ganaka Moggallana dari kasta brahmana berkata demikian kepada Sang Bhagava: “Ada beberapa orang yang tidak percaya dan meninggalkan kehidupan rumah-tangga ke kehidupan tanpa rumah bukan karena kepercayaan tetapi mencari mata pencaharian, yang bersifat curang, menipu, berkhianat, angkuh 3), lemah dan secara pribadi sombong, berbicara kasar, banyak bicara, tidak dapat menjaga indera-inderanya, tidak mempedulikan makan yang benar, tidak waspada, tidak … kebhikkhuan, tidak menunjukkan rasa hormat yang besar terhadap latihan, sibuk, ceroboh, berbuat salah, lalai dalam perenungan diri, menganggur, kurang semangat, pelupa, kurang kesadaran, tidak dapat konsentrasi, berpikiran sesat, tanpa pengertian dan omong kosong –Guru Gotama tidak mengharapkan hal-hal demikian.
Tetapi sebaliknya ada beberapa orang yang meninggalkan kehidupan rumah-tangga karena kepercayaan ke kehidupan tanpa rumah, yang tidak curang atau menipu atau berkhianat, atau angkuh atau secara pribadi sombong atau berbicara kasar atau banyak bicara atau dapat menjaga indera-inderanya, memperhatikan cara makan yang benar, penuh kewaspadaan, memperhatian kebhikkhuan, menunjukkan rasa hormat pada latihan, tidak sibuk, tidak ceroboh, tidak berbuat salah, maju dalam perenungan diri, bersemangat, berusaha dengan diri sendiri, berhati-hati, penuh kesadaran, konsentrasi, dengan pikiran yang bersatu, penuh pengertian dan tidak omong kosong — Guru Gotama mengharapkan hal-hal demikian.”

16. “Seperti akar orris hitam yang terkenal sebagai yang terbaik dari akar wangi-wangian dan cendana merah yang terkenal sebagai yang terbaik dari kayu wangi-wangian dan bunga melur yang terkenal sebagai yang terbaik dari bunga wangi-wangian, demikian juga nasehat Guru Gotama tertinggi di antara segala ajaran pada saat ini.” 

17. “Luar biasa Guru Gotama; luar biasa Guru Gotama! Dhamma telah dijelaskan dengan beberapa cara oleh Guru Gotama, seperti meluruskan sesuatu yang bengkok dan mengungkapkan hal-hal yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, membawa lampu di tengah kegelapan bagi mereka yang mempunyai mata untuk dapat melihat. Saya berlindung kepada Buddha, kepada Dhamma dan kepada Sangha. Biarlah Guru Gotama menerima saya sebagai seorang pengikut yang telah mengambil perlindungan sejak saat ini sampai akhir kehidupan.” 

Catatan :
 
1) Ini berarti menyatakan bahwa dalam susunan itu kerja ditambahkan di sini untuk membuat perumpamaan tersebut lebih dapat dimengerti. 

2) Ini adalah nama untuk 227 peraturan yang sangat mendasar bagi kehidupan bhikkhu. Peraturan tersebut diucap-ulangkan pada saat bulan purnama dan bulan muda di vihara dengan dihadiri oleh para bhikkhu. 

3) Penerjemah mengartikan bingung atau pikiran kacau.

Subha Sutta

Subha Sutta
Kepada Subha
Sumber : Majjhima Nikaya 5
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris
Oleh : Dra. Wena Cintiawati, Dra. Lanny Anggawati
Penerbit : Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, 2008

1. DEMIKIAN YANG SAYA DENGAR. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman Anathapindika. 

2. Pada saat itu, seorang siswa brahmana Subha, putra Todeyya, sedang berdiam di rumah kediaman seorang perumah-tangga di Savatthi untuk suatu urusan bisnis.908 Kemudian siswa brahmana Subha, putra Todeyya, bertanya kepada perumah-tangga pemilik tempat yang didiaminya: “Perumah-tangga, aku telah mendengar bahwa Savatthi tidak kekurangan Arahat. Petapa atau brahmana siapa yang bisa kita datangi hari ini untuk diberi hormat?”
“Tuan yang mulia, Yang Terberkahi sedang berdiam di Savafthi di Hutan Jeta, Taman Anathapindika. Engkau bisa pergi dan memberi hormat kepada Yang Terberkahi, tuan yang mulia.” [197] 

3. Kemudian, setelah menyatakan setuju kepada si perumah tangga, siswa brahmana Subha, putra Todeyya, menemui Yang Terberkahi dan bertukar salam dengan Beliau. Setelah ramah tamah dan percakapan yang bersahabat ini telah selesai, dia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Yang Terberkahi: 

4. “Guru Gotama, para brahmana mengatakan hal ini: ‘Para perumah-tangga telah mencapai jalan yang benar, Dhamma yang bajik. Orang yang meninggalkan keduniawian [menuju kehidupan tak-berumah] tidak mencapai jalan yang benar,
Dhamma yang bajik.’ Bagaimana pendapat Guru Gotama tentang hal ini?”
“Di sini, siswa, aku adalah orang yang berbicara sesudah membuat analisis;909 aku tidak berbicara secara berpihak. Aku tidak memuji cara praktek yang salah, baik pada pihak perumah-tangga maupun pihak yang telah meninggalkan keduniawian; karena tak peduli apakah orang itu perumah-tangga atau telah meninggalkan keduniawian, dia yang telah memasuki praktek yang salah, disebabkan oleh prakteknya yang salah itulah maka dia tidak mencapai jalan yang benar, Dhamma yang bajik. Aku memuji praktek yang benar, baik pada pihak perumah-tangga maupun pihak yang telah meninggalkan keduniawian; karena tak peduli apakah orang itu perumah tangga atau telah meninggalkan keduniawian, dia yang telah memasuki praktek yang benar, disebabkan oleh prakteknya yang benar itulah maka dia mencapai jalan yang benar, Dhamma yang bajik.” 

5. “Guru Gotama, para brahmana mengatakan hal ini:’Karena pekerjaan dalam kehidupan berumah-tangga melibatkan banyak kegiatan, banyak fungsi, banyak kesibukan, dan banyak urusan, maka pekerjaan itu menghasilkan buah yang besar. Karena pekerjaan dalam kehidupan yang telah meninggalkan keduniawian melibatkan sedikit kegiatan, sedikit fungsi, sedikit kesibukan, dan sedikit urusan, maka pekerjaan itu menghasilkan buah yang sedikit pula.’ Bagaimana pendapat Guru Gotama tentang hal ini?”
“Di sini juga, siswa, aku adalah orang yang berbicara sesudah membuat analisis; aku tidak berbicara secara berpihak. Ada pekerjaan yang melibatkan banyak kegiatan, banyak fungsi, banyak kesibukan, dan banyak urusan, yang bila gagal, akan menghasilkan buah yang sedikit. Ada pekerjaan yang melibatkan banyak kegiatan, banyak fungsi, banyak kesibukan, dan banyak urusan, yang bila berhasil, akan menghasilkan buah yang besar. Ada pekerjaan yang melibatkan sedikit kegiatan, sedikit fungsi, sedikit kesibukan, dan sedikit urusan, yang bila gagal, akan menghasilkan buah yang sedikit. Ada pekerjaan yang melibatkan sedikit kegiatan, sedikit fungsi, sedikit kesibukan, dan sedikit urusan, yang bila berhasil, akan menghasilkan buah yang besar

6. “Apakah, siswa, [198] pekerjaan yang melibatkan banyak kegiatan … yang bila gagal, akan menghasilkan buah yang sedikit? Bercocok tanam adalah pekerjaan yang melibatkan banyak kegiatan … yang bila gagal, akan menghasilkan buah yang sedikit. Dan siswa, apakah pekerjaan yang melibatkan banyak kegiatan … yang bila berhasil, akan menghasilkan buah yang besar? Sekali lagi, bercocok tanam adalah pekerjaan yang melibatkan banyak kegiatan … yang bila berhasil, akan menghasilkan buah yang besar. Siswa, dan apa pekerjaan yang melibatkan sedikit kegiatan … yang bila gagal, akan menghasilkan buah yang sedikit? Berdagang adalah pekerjaan menghasilkan buah yang seclikit.910 Dan apakah, siswa, pekerjaan yang melibatkan seclikit kegiatan … yang bila berhasil, akan menghasilkan buah yang besar? Sekali lagi, berdagang adalah pekerjaan yang melibatkan sedikit kegiatan … yang bila berhasil, akan menghasilkan buah yang besar. 

7. “Sama halnya bercocok tanam, siswa, merupakan pekerjaan yang melibatkan banyak kegiatan … tetapi menghasilkan buah yang sedikit bila gagal, demikian pula pekedaan dalam kehidupan perumah-tangga melibatkan banyak kegiatan, banyak fungsi, banyak kesibukan, dan banyak urusan, tetapi menghasilkan buah yang sedikit bila gagal. Sama halnya bercocok tanam merupakan pekerjaan yang melibatkan banyak kegiatan … dan menghasilkan buah yang banyak bila berhasil, demikian pula pekerjaan dalam kehidupan perumah-tangga melibatkan banyak kegiatan, banyak fungsi, banyak kesibukan, dan banyak urusan, dan menghasilkan buah yang banyak bila berhasil. Sama halnya berdagang merupakan pekerjaan yang melibatkan sedikit kegiatan … dan menghasilkan buah yang sedlikit bila gagal, demikian pula pekedaan orang yang telah meninggalkan keduniawian yang melibatkan seclikit kegiatan, sedikit fungsi, sedikit kesibukan, dan seclikit urusan, dan menghasilkan buah yang sedikit bila gagal. Sama halnya berdagang merupakan pekedaan yang melibatkan sedikit kegiatan … dan menghasilkan buah yang besar bila berhasil, demikian pula (199] pekerjaan orang yang telah meninggalkan keduniawian yang melibatkan sedikit kegiatan, sedikit fungsi, sedikit kesibukan, dan sedikit urusan, dan menghasilkan buah yang besar bila berhasil.” 

8. “Guru Gotama, para brahmana menetapkan lima hal dalam melakukan perbuatan baik, untuk mencapai kebajikan.”
“Jika tidak menyulitkan engkau, siswa, tolong nyatakan kepada kelompok ini lima hal yang ditetapkan oleh para brahmana dalam melakukan perbuatan baik, untuk mencapai kebajikan.”
“Tidak menyulitkan saya, Guru Gotama, ketika para mulia seperti Guru Gotama dan yang lain sedang duduk bersama [dalam kelompok].”
“Jika demikian, nyatakan hal itu, siswa.” 

9. “Guru Gotama, kebenaran adalah hal pertama yang ditetapkan oleh para brahmana untuk melakukan perbuatan baik, untuk mencapai kebajikan. Petapaan adalah hal kedua … Selibat adalah hal ketiga … Belajar adalah hal keempat … Kedermawanan adalah hal kelima yang ditetapkan oleh para brahmana dalam melakukan perbuatan baik, untuk mencapai kebajikan. Ini adalah lima hal yang ditetapkan oleh para brahmana dalam melakukan perbuatan baik, untuk mencapai kebajikan. Bagaimana pendapat Guru Gotama?”
“Kalau begitu, bagaimana, siswa,911 di antara para brahmana itu adakah satu brahmana saja yang berkata demikian: ‘Aku menyatakan hasil dari lima hal ini setelah mewujudkannya sendiri melalui pengetahuan langsung’?” – “Tidak, Guru Gotama.”
“Kalau begitu, bagaimana, siswa, di antara para brahmana itu adakah satu guru atau guru dari guru sampai tujuh generasi sebelumnya yang berkata demikian:’Aku menyatakan hasil dari lima hal ini setelah mewujudkannya sendiri melalui pengetahuan langsung’?” – “Tidak, Guru Gotama.” [200]
“Kalau begitu, bagaimana, siswa, para penglihat brahmana kuno, para pencipta hymne, penggubah hymne, mereka yang hymne kunonya telah sejak dulu dilagukan, diucapkan, dan dikumpulkan dan para brahmana masa-kini masih melagukan dan mengulang, mengulangi apa yang dulu diucapkan, menghafalkan kembali apa yang dulu dihafalkan – mereka adalah Atthaka, Vamaka, Vamadeva, Vessamitta, Yamataggi, Angirasa, Bharadvaja, Vasettha, Kassapa, dan Bhagu – apakah bahkan para penglihat brahmana kuno ini dulu berkata demikian: ‘Kami menyatakan hasil dari lima hal ini karena telah mewujudkannya sendiri melalui pengetahuan langsung’?” “Tidak, Guru Gotama.”
“Jadi, siswa, tampaknya di antara para brahmana itu tidak adasatu pun yang berkata demikian: ‘Aku menyatakan hasil dari lima hal ini setelah mewujudkannya sendiri melalui pengetahuan langsung.’ Dan di antara para brahmana itu tidak ada satu guru atau guru dari guru sampai tujuh generasi sebelumnya yang berkata demikian:’Aku menyatakan hasil dari lima hal ini setelah mewujudkannya sendiri melalui pengetahuan langsung.’ Dan para penglihat brahmana kuno, para pencipta hymne, penggubah hymne … bahkan para penglihat brahmana kuno ini dulu tidak berkata demikian: ‘Kami menyatakan hasil dari lima hal ini setelah mewujudkannya sendiri melalui pengetahuan langsung.’Andaikan saja ada sebaris orang buta yang masing-masing bersentuhan dengan berikutnya: orang yang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat. Demikian pula, siswa, sehubungan dengan pernyataan mereka itu para brahmana tampaknya mirip dengan sebaris orang buta: orang yang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat.” 

10. Ketika hal ini dikatakan, siswa brahmana Subha, putra Todeyya, menjadi marah dan tidak senang dengan perumpamaan sebaris orang buta, dan dia mencerca, menghina, dan mengecam Yang Terberkahi, dengan berkata: “Petapa Gotama akan menjadi paling buruk.” Kemudian dia berkata kepada Yang Terberkahi: “Guru Gotama, brahmana Pokkharasati dari kelompok Upamanna, penguasa Hutan Subhaga, berkata demikian:912′ Beberapa petapa dan brahmana di sini menyatakan kondisi-kondisi supra-manusiawi, perbedaan-perbedaan dalam pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki para mulia. Tetapi apa yang mereka katakan [201] ternyata menggelikan; ternyata hanya kata-kata belaka, yang kosong dan tidak bermakna. Karena bagaimana seorang manusia mengetahui atau melihat atau memiliki kondisi supramanusiawi, perbedaan dalam pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki para mulia? Itu tidak mungkin.” 

11. “Kalau begitu, siswa, bagaimana brahmana Pokkharasati memahami pikiran-pikiran semua petapa dan brahmana, setelah melingkupinya dengan pikirannya sendiri ?”
“Guru Gotama, brahmana Pokkharasati bahkan tidak memahami pikiran budak perempuannya Punnika, setelah melingkupinya dengan pikirannya sendiri, jadi bagaimana dia dapat memahami pikiran-pikiran semua petapa dan brahmana?” 

12. “Siswa, seandainya saja ada laki-laki yang terlahir buta, yang tidak dapat melihat bentuk gelap dan terang, yang tidak dapat melihat bentuk biru, kuning, merah, atau merah muda , yang tidak dapat melihat apa yang rata dan tak-rata, yang tidak dapat melihat bintang atau matahari dan bulan. Dia mungkin berkata demikian: Tdak ada bentuk gelap dan terang, dan tak ada seorang pun yang melihat bentuk gelap dan terang; tidak ada bentuk biru, kuning, merah, atau merah muda, dan tak seorang pun yang melihat bentuk biru, kuning, merah, atau merah muda; tidak ada yang rata dan tak-rata, dan tak ada seorang pun yang melihat yang rata dan tak-rata; tidak ada bintang dan tidak ada matahari dan bulan, dan tidak ada seorang pun yang melihat bintang dan matahari dan bulan. Aku tidak mengetahui ini semua, aku tidak melihat itu semua, oleh sebab itu, itu semua tidak ada.’ Ketika berbicara demikian, siswa, apakah dia berbicara dengan benar?”
“Tidak, Guru Gotama. Ada bentuk gelap dan terang, dan mereka yang melihat bentuk gelap dan terang … ada bintang dan matahari dan bulan, dan mereka yang melihat bintang dan matahari dan bulan. [202] Berkata, ‘Aku tidak mengetahui itu semua, aku tidak melihat itu semua, oleh sebab itu, itu semua tidak ada,’dia berbicara dengan tidak benar.” 

13. “Demikian juga, siswa, brahmana Pokkharasati itu buta dan tidak bisa melihat. Bahwa dia bisa mengetahui atau melihat atau memahami kondisi supra-manusiawi, perbedaan dalam pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki para mulia – hal ini tidak mungkin. Bagaimana pendapatmu, siswa? Apa yang lebih baik bagi brahmana-brahmana kaya dari Kosala seperti misalnya brahmana Canki, brahmana Tarukkha, brahmana Pokkharasati, brahmana Anussoni, atau ayahmu brahmana Todeyya – bahwa pernyataan yang mereka buat sejalan dengan kesepakatan duniawi atau menyimpang dari kesepakatan duniawi ?”- “Bahwa mereka sejalan dengan kesepakatan duniawi, Guru Gotama.”
“Apa yang lebih baik bagi mereka, bahwa semua pernyataan yang mereka buat itu dipikirkan dengan baik atau sembarangan?” – “Dipikirkan dengan baik, Guru Gotama.” “Apa yang lebih baik bagi mereka, bahwa mereka membuat semua pernyataan setelah merefleksikannya atau tanpa merefleksikannya?” – “Setelah merefleksikannya, Guru Gotama.” – “Apa yang lebih baik bagi mereka, bahwa semua pernyataan yang mereka buat itu bermanfaat atau tidak bermanfaat?” – “Bermanfaat, Guru Gotama.” 

14. “Bagaimana pendapatmu, siswa? Jika demikian hainya, apakah pernyataan yang dibuat oleh brahmana Pokkharasati sejalan dengan kesepakatan duniawi atau menyimpang dari kesepakatan duniawi?” – “Menyimpang dari kesepakatan duniawi, Guru Gotama.” – “Apakah pernyataan yang dibuat itu dipikirkan dengan baik atau sembarangan?” – “Sembarangan,Guru Gotama.” – “Apakah pernyataan itu dibuat setelah merefleksilkannya atau tanpa merefleksikannya?” – “Tanpa merefleksikannya, Guru Gotama.” – “Apakah pernyataan yang dibuat itu bermanfaat atau ticlak bermanfaat?” – “Ticlak bermanfaat, Guru Gotama.” [203] 

15. “Ada lima penghalang ini, pelajar. Apakah yang lima itu? Penghalang nafsu indera, penghalang niat-jahat, penghalang kemalasan dan kelambanan, penghalang kegelisahan dan penyesalan, serta penghalang keraguan. Inilah lima penghalang itu. Brahmana Pokkharasati itu terbelenggu, terhalang, tertutup, dan diselimuti oleh lima penghalang ini. Bahwa dia bisa mengetahui atau melihat atau memahami kondisi supra-manusiawi, perbedaan di dalam pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki para mulia – hal ini tidak mungkin. 

16. “Ada lima tali kesenangan indera, siswa. Apakah yang lima itu? Bentuk yang dapat dikognisi oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan disukai, yang
berhubungan dengan nafsu indera dan memancing nafsu jasmani. Suara yang dapat dikognisi oleh telinga … Bebauan yang dapat dikognisi oleh hidung … Citarasa yang dapat dikognisi oleh lidah … Sentuhan yang dapat dikognisi oleh tubuh yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan disukai, yang berhubungan dengan nafsu indera dan memancing nafsu jasmani. Inilah lima tali kesenangan indera itu. BrahmanaPokkharasati itu terikat oleh lima tali kesenangan indera ini,tergila-gila olehnya dan benar-benar tidak dapat terlepas darinya; dia menikmati semua itu tanpa melihat bahaya di dalamnya atau memahami jalan keluar darinya. Bahwa dia bisa mengetahui atau melihat atau memahami kondisi supramanusiawi, perbedaan di dalam pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki para mulia – hal ini tidak mungkin. 

17. “Bagaimana pencdapatmu, siswa? Manakah dari dua api ini yang akan memiliki nyala, warna, dan cahaya yang [lebih baik] – api yang mungkin menyala bergantung atas bahan bakarnya, seperti misalnya rumput dan kayu, atau api yang mungkin menyala tanpa bergantung pada bahan bakarnya, seperti misalnya rumput dan kayu?”
“Seandainya saja mungkin, Guru Gotama, bagi api untuk menyala tanpa bergantung atas bahan bakarnya seperti misalnya rumput dan kayu, api seperti itu yang akan memiliki nyala, warna dan cahaya [yang lebih baik].”
“Hal itu memang tidak mungkin, siswa, memang tidak bisa terjadi bahwa api menyala tanpa bergantung atas bahan bakarnya seperti misalnya rumput dan kayu kecuali melalui [penggunaan] kekuatan supranatural. Sebagaimana halnya api yang menyala dengan bergantung atas bahan bakarnya seperti misalnya rumput dan kayu, kukatakan, demikian juga halnya dengan kegiuran [204] yang bergantung atas lima tali kesenangan indera. Sebagaimana halnya api yang menyala tanpa bergantung atas bahan bakarnya seperti misalnya rumput dan kayu, kukatakan, demikian pula kegiuran yang terlepas dari kesenangan-kesenangan indera, terlepas dari kondisi-kondisi yang tak-bajik. Dan apakah itu, siswa, kegiuran yang terlepasdari kesenangan-kesenangan indera, terlepas dari kondisi-kondisi yang tak-bajik itu? Di sini, sangat terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari kondisi-kondisi yang tak-bajik, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana pertama, yang dibarengi pemikiran pemicu dan pemikiran yang bertahan, dengan kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesendirian. Inilah kegiuran yang terlepas dari kesenangan-kesenangan indera, terlepas dari keadaan-keadaan yang tak bajik. Begitu pula, dengan berhentinya pernikiran pemicu dan pemikiran yang bertahan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana kedua, yang memiliki keyakinan-diri dan kemanunggalan pikiran tanpa pemikiran pemicu dan pemikiran yang bertahan, dengan kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari konsentrasi. Inilah juga kegiuran yang terlepas dari kesenangan-kesenangan indera, terlepas dari kondisi-kondisi yang tak-bajik. 

18. “Dari lima hal itu, siswa, yang ditetapkan oleh para brahmana untuk melakukan perbuatan baik, untuk mencapai kebajikan, yang mana dari lima hal itu yang mereka tetapkan sebagai yang paling besar buahnya untuk melakukan perbuatan baik, untuk mencapai kebajikan?”
Dari lima hal itu, Guru Gotama, yang ditetapkan oleh para brahmana untuk melakukan perbuatan jasa, untuk mencapai kebajikan, mereka menetapkan kedermawanan sebagai yang paling besar buahnya untuk melakukan perbuatan baik, untuk mencapai kebajikan.” 

19. “Bagaimana pendapatmu, siswa? Di sini, seorang brahmana mungkin sedang mengadakan persembahan besar, dan dua brahmana lain pergi ke sana karena berpikir untuk mengambil bagian dalam persembahan besar itu. Satu brahmana di antara mereka berpikir: “Oh, seandainya saja aku bisa memperoleh tempat duduk terbaik, air terbaik, dana makanan terbaik di ruang makan; seandainya saja tidak ada brahmana lain yang memperoleh tempat duduk terbaik, air terbaik, dana makanan terbaik di ruang makan!’Tetapi mungkin saja seorang brahmana lain, bukan brahmana tadi itu, yang memperoleh tempat duduk terbaik, air terbaik, dana makanan terbaik di ruang makan. Ketika memikirkan tentang hal ini, [205] brahmana yang pertama itu mungkin menjadi marah dan tidak senang. Hasil macam apa yang dijelaskan oleh para brahmana tentang hal ini?”
“Guru Gotama, para brahmana tidak memberikan persembahan dengan cara demikian, dengan berpikir: ‘Biarkan yang lain menjadi marah dan tidak senang karena ini.’ Alih-alih, para brahmana memberikan persembahan dengan dimotivasi oleh kasih-sayang.”
“Karena demikian halnya, siswa, bukankah hal ini merupakan landasan keenam para brahmana untuk melakukan perbuatan baik, yaitu motivasi kasih-sayang?”913
“Memang demikian halnya, Guru Gotama, hal inilah landasan keenam para brahmana untuk melakukan perbuatan baik, yaitu motivasi kasih-sayang.” 

20. “Lima hal itu, siswa, yang ditetapkan oleh para brahmana untuk melakukan perbuatan baik, untuk mencapai kebajikan di mana kamu sering melihat lima hal itu, di antara para perumah-tangga atau di antara mereka yang meninggalkan keduniawian?”
“Lima hal itu, Guru Gotama, yang clitetapkan oleh para brahmana untuk melakukan perbuatan baik, untuk mencapai kebajikan, saya sering melihatnya di antara mereka yang meninggalkan keduniawian, jarang di antara para perumah-tangga. Karena seorang perumah-tangga memiliki banyak kegiatan, banyak fungsi, banyak kesibukan, dan banyak urusan: dia tidak konsisten dan tidak selalu berkata benar, mempraktekkan kepetapaan, menjalankan kehidupan selibat, tekun belajar, atau tekun melakukan kedermawanan. Tetapi seorang yang tak berumah memiliki sedikit kegiatan, sedikit fungsi, sedikit kesibukan, dan sedikit urusan: dia konsisten dan selalu berkata benar, mempraktekkan kepetapaan, menjalankan kehidupan selibat, tekun belajar, dan tekun melakukan kedermawanan. Jadi lima hal yang ditetapkan oleh para brahmana untuk melakukan perbuatan baik, untuk mencapai kebajikan, sering saya lihat di antara mereka yang tak-berumah, jarang di antara para perumah-tangga.” 

21. “Lima hal itu, siswa, yang ditetapkan oleh para brahmana untuk melakukan perbuatan baik, untuk mencapai kebajikan, [206] kusebut peralatan pikiran, yaitu, untuk mengembangkan pikiran tanpa rasa permusuhan clan tanpa niat-jahat. Di sini,siswa, seorang bhikkhu adalah pembicara kebenaran. Berpikir: ‘Aku adalah pembicara kebenaran,’ dia memperoleh inspirasi di dalam maknanya, memperoleh inspirasi di dalam Dhamma, memperolah kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Kegembiraan yang berhubungan dengan kebajikan inilah yang kusebut peralatan pikiran. Di sini, siswa, seorang bhikkhu adalah petapa … orang yang selibat … orang yang tekun belajar … seseorang yang tekun melakukan kedermawanan. Berpikir: ‘Aku adalah orang yang tekun melakukan kedermawanan,’dia memperoleh inspirasi di dalam maknanya, memperoleh inspirasi di dalarn Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Kegembiraan yang berhubungan dengan kebajikan inilah yang kusebut peralatan pikiran. Jadi lima hal yang clitetapkan oleh para brahmana untuk melakukan perbuatan baik, untuk mencapai kebajikan itu, kusebut peralatan pikiran, yaitu, untuk mengembangkan pikiran tanpa rasa permusuhan dan tanpa niat-jahat.” 

22. Ketika hal ini dikatakan, siswa brahmana Subha, putra Todeyya, berkata kepada Yang Terberkahi: “Guru Gotama, saya telah mendengar bahwa petapa Gotama mengetahui jalan menuju ke kelompok Brahma.”
“Bagaimana pendapatmu, siswa? Apakah desa Nalakara ada di dekat sini, tidakjauh dari tempat ini?”
“Ya, tuan, desa Nalakara ada di dekat sini, tidak jauh dari tempat ini.”
“Bagaimana pendapatmu, siswa? Seandainya saja ada seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di desa Nalakara, dan segera setelah meninggalkan Nalakara dia ditanya tentang jalan menuju desa itu. Akankah orang itu akan lambat atau ragu-ragu menjawabnya?”
“Tidak, Guru Gotama. Mengapa demikian? Karena orang itu telah dilahirkan dan dibesarkan di Nalakara, dan kenal baik dengan semua jalan menuju ke desa itu.”
“Meskipun demikian, seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di Nalakara [207] bisa saja lambat dan ragu-ragu menjawab ketika ditanya tentang jalan menuju ke desa itu, tetapi Tathagata, ketika ditanya tentang alam-Brahma atau jalan menuju ke alam-Brahma, tidak pernah lambat dan ragu-ragu menjawabnya. Aku memahami Brahma, siswa, dan aku memahami alam-Brahma, dan aku memahami jalan menuju ke alam-Brahma, dan aku memahami bagaimana seseorang harus berlatih agar muncul kembali di alam-Brahma. 

23. “Guru Gotama, saya telah mendengar Guru Gotama mengajarkan jalan menuju ke kelompok Brahma. Sungguh bagus jika Guru Gotama mengajarkan pada saya jalan menuju ke kelompok Brahma.”
“Jika demikian, siswa, dengarkan dan perhatikan baik-baik apa yang akan kukatakan.”
“Ya, tuan,” jawabnya. Yang Terberkahi berkata demikian: 

24. “Apakah, siswa, jalan menuju ke kelompok Brahma itu? Di sini, seorang bhikkhu yang berdiam dengan melingkupi satu penjuru dengan pikiran yang dipenuhi cinta-kasih, demikian juga penjuru yang kedua, demikian juga penjuru yang ketiga, demikian juga penjuru yang keempat; demikian juga ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke mana pun, dan kepada sernua seperti juga kepada dirinya sendiri, dia berdiam dengan melingkupi dunia yang sepenuhnya terliputi oleh pikiran yang dipenuhi cinta-kasih, yang melimpah, tak-terhingga, tak-terukur, tanpa rasa permusuhan dan tanpa niat-buruk. Ketika pembebasan pikiran dengan cinta-kasih ini dikembangkan dengan cara itu, tidak lagi tersisa tindakan yang membatasi, tidak ada lagi yang tersisa di sana. Sama hainya peniup terompet yang bersemangat dapat membuat dirinya terdengar tanpa kesulitan ke empat penjuru, demikian juga, ketika pembebasan pikiran dengan cinta-kasih ini dikembangkan dengan cara itu, tidak lagi tersisa tindakan yang membatasi, tidak ada lagi yang tersisa di sana .915 Inilah jalan menuju ke kelompok Brahma. 

25-27. “Sekali lagi, seorang bhikkhu berdiam dengan melingkupi satu penjuru dengan pikiran yang dipenuhi kasih sayang …dengan pikiran yang dipenuhi kegembiraan yang bersimpati … dengan pikiran yang dipenuhi ketenang-seimbangan, demikian juga penjuru yang kedua, demikian juga penjuru yang ketiga, demikian juga penjuru yang keempat; demikian juga ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke mana pun, dan kepada sernua seperti juga kepada dirinya sendiri, dia berdiam dengan melingkupi dunia yang sepenuhnya terliputi oleh pikiran yang dipenuhi cinta-kasih, yang melimpah, tak-terhingga, [208] takterukur, tanpa rasa permusuhan dan tanpa niat-buruk. Ketika pembebasan pikiran dengan ketenang-seimbangan ini dikembangkan dengan cara itu, tidak lagi tersisa tindakan yang membatasi, tidak ada lagi yang tersisa di sana. Sama halnya peniup terompet yang bersemangat dapat membuat dirinya terdengar tanpa kesulitan ke empat penjuru, demikian juga, ketika pembebasan pikiran dengan ketenang-seimbangan ini dikembangkan dengan cara itu, tidak lagi tersisa tindakan yang membatasi, tidak ada lagi yang tersisa di sana. Inilah juga jalan menuju ke kelompok Brahma.” 

28. Ketika hal ini dikatakan, siswa brahmana Subha, putra Todeyya, berkata kepada Yang Terberkahi: ” “Luar biasa, Guru Gotama! Luar biasa, Guru Gotama! Guru Gotama telah membuat Dhamma menjadi jelas dengan banyak cara, seakan-akan Beliau menegakkan kembali apa yang tadinya terjungkir balik, mengungkapkan apa yang tadinya tersembunyi, menunjukkan jalan bagi orang yang tersesat, atau memberikan penerangan di dalam kegelapan bagi mereka yang mempunyai mata untuk melihat bentuk. Saya pergi kepada Guru Gotama untuk perlindungan dan kepada Dhamma dan kepada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini, biarlah Guru Gotama mengingat saya sebagai pengikut awam yang telah pergi kepada Beliau untuk perlindungan sepanjang hidup.” 

29. “Dan sekarang, Guru Gotama, kami mohon diri. Kami sibuk dan punya banyak pekerjaan.”
“Sekarang adalah saatnya, siswa, untuk melakukan apa yang engkau pikir sesuai.”
Kemudian siswa brahmana Subha, putra Todeyya, setelah bersukacita dan bergembira di dalam kata-kata Yang Terberkahi, bangkit dari tempat duduknya, dan setelah memberi hormat kepada Yang Terberkahi, dengan menjaga agar Beliau tetap di sisi kanannya, dia pun pergi. 

30. Pada saat itu, brahmana Janussoni sedang meninggalkan Savatthi di tengah hari di dalam kereta serba-putih yang ditarik oleh kuda-kuda putih.916 Dia melihat siswa brahmana Subha, putra Todeyya, datang dari kejauhan dan bertanya kepadanya: “Dari mana Tuan Bharadvaja datang di tengah hari ini?”
“Tuan, saya datang dari menemui petapa Gotama.”
“Bagaimana pendapat Guru Bharadvaja tentang kejernihan dari kebijaksanaan petapa Gotama? Apakah Beliau bijaksana, apakah Beliau tidak bijaksana?” [209]
“Tuan, siapakah saya sehingga bisa mengetahui kejernihan dari kebijaksanaan petapa Gotama? Seseorang tentu harus setara Beliau untuk bisa mengetahui kejernihan dari kebijaksanaan petapa Gotama.”
“Guru Bharadvaja memuji petapa Gotama dengan pujian yang sungguh sangat tinggi.”
“Tuan, siapakah saya sehingga bisa memuji petapa Gotama? Petapa Gotama dipuji oleh yang terpuji sebagai yang terbaik di antara para dewa dan manusia. Tuan, lima hal yang ditetapkan oleh para brahmana untuk melakukan perbuatan baik, untuk mencapai kebajikan, oleh petapa Gotama disebutkan sebagai peralatan pikiran, yaitu, untuk mengembangkan pikiran yang tanpa rasa permusuhan dan tanpa niat-jahat.” 

31. Ketika hal ini dikatakan, brahmana Janussoni turun dari kereta serba-putihnya yang ditarik oleh kuda-kuda putih, dan setelah mengatur jubah luarnya di satu bahu, dia menangkupkan tangannya dalam penghormatan ke arah Yang Terberkahi dan berseru: Ini merupakan berkah bagi Raja Pasenadi dari Kosala, ini merupakan berkah bagi Raja Pasenadi dari Kosala sehingga Sang Tathagata, yang telah mantap dan sepenuhnya tercerahkan, bertempat tinggal di negerinya.” 

Catatan
 
908 Todeyya adalah seorang brahmana kaya, tuan tanah di Tudigama, sebuah desa di dekat Savatthi. MN 135 juga membicarakan Subha yang sama. 

909 Vibhajjavado kho aham ettha. Pernyataan-pernyataan ini menjelaskan sebutan bagi Buddhisme sebagai vibhjjavada, “doktrin analisa”. 

910 Tampaknya, pada waktu itu perdagangan masih berada pada tahap awal perkembang annya. Pernyataan yang sama ini tidak mungkin dibuat sekarang ini! 

911 Sama sepeti di MN 95.13. 

912 Pernyataan ini pastilah dibuat sebelum Pokkharasati menjadi pengikut Buddha, seperti yang disebutkan pada MN 95.9. 

913 Anukampajatika. 

914 Pengetahuan ini ada berkenaan dengan kekuatan ketiga Tathagata, yang mengetahui jalan-jalan menuju semua tempat tujuan. Lihat MN 12.12. 

915 MA menjelaskan tindakan yang membatasi (pamanakatam kammam) sebagai kamma yang berhubungan dengan lingkup indera (kamavacara). Tindakan ini dibandingkan dengan tindakan yang tanpa-batas atau tak-terukur, yaitu, jhana-jhana yang berkenaan dengan lingkup materi-halus atau lingkup tanpa-materi. Dalam hal ini, brahmavihara memang dimaksudkan untuk dikembangkan pada tingkatan jhana. Ketika jhana yang berkenaan dengan lingkup materi-halus atau lingkup tanpa-materi telah dicapai atau dikuasai, sebuah kamma yang berhubungan dengan lingkup indera tidak dapat mengalahkannya dan memperoleh kesempatan untuk memberikan hasilnya sendiri. Alih-alih, kamma yang berhubungan dengan lingkup materi-halus atau lingkup tanpa materi mengalahkan kamma lingkup-indera dan memberikan hasilnya sendiri. Dengan menghambat hasil dari kamma lingkup-indera, brahmavihara yang telah dikuasi pun mengarah pada kelahiran kembali di kelompok Brahma. 

916 Seperti di MN 27.2