Tampilkan postingan dengan label Nalakapana Sutta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nalakapana Sutta. Tampilkan semua postingan

Minggu, 04 November 2012

VI. USIA TUA

buddha3
VI. USIA TUA

51 (1) Usia Tua

[Devata:]

183 “Apakah yang baik sampai usia tua?
Apakah yang baik ketika mantap?
Apakah yang merupakan batu mulia bagi manusia?
Apakah yang sulit dicuri para pencuri?”

[Yang Terberkahi:]

184 “Moralitas dalah yang baik sampai usia tua;
Keyakinan adalah yang baik ketika mantap;
Kebijaksanaan adalah yang merupakan batu mulia bagi manusia;
Jasa kebajikan adalah yang sulit dicuri para pencuri.”

52 (2) Tidak Melapuk <80>

185 “Apakah yang baik karena tidak melapuk?
Apakah yang baik bila dibuat pasti?
Apakah yang merupakan batu mulia bagi manusia ?
Apakah yang tidak dapat dicuri para pencuri?”116[137]

186 “Moralitas adalah yang baik karena tidak melapuk;
Keyakinan adalah yang baik bila dibuat pasti;
Kebijaksanaan adalah yang merupakan batu mulia bagi manusia;
Jasa kebajikan adalah yang tidak dapat dicuri oleh para pencuri.”

53 (3) Sahabat

187 “Apakah sahabat bagi orang dalam perjalanan?
Apakah sahabat bagi orang di rumahnya sendiri?
Apakah sahabat bagi orang dalam kebutuhan?
Apakah sahabat di kehidupan mendatang?”117

188 “Karavan adalah sahabat bagi orang dlam perjalanan; <81>
Ibu adalah sahabat bagi orang di rumahnya sendiri;
Kawan pada waktu kebutuhan muncul
Adalah sahabat orang berkali-kali.
Tindakan-tindakan berjasa yang telah dilakukan orang-
Itulah sahabt di kehidupan mendatang.”

54 (4) Penopang

189 “Apakah penopang bagi manusia?
Apakah pendamping terbaik di sini?
Makhluk-makhluk yang berdiam di bumi-
Melalui apa mereka mempertahankan kehidupan mereka?”

190 “Anak-anak adalah penopang bagi manusia,
Isteri adalah pendamping terbaik;
Makhluk yang berdiam di bumi
Mempertahankan kehidupan mereka melalui hujan”118 <82>

55 (5)  Menghasilkan (1)

191 “Apakah sesuatu yang menghasilkan seseorang?
Apakah yang dia miliki yang berputar-putar?
Apakah yang masuk ke dalam samsara?
Apakah rasa takut terbesarnya?” <83>

192 “Nafsulah yang menghasilkan seseorang;
Pikirkannaylah yang berputar-putar;
Makhluk yang masuk ke dalam samsara;
Penderitaanlah rasa takut terbesarnya.”

56 (6) Menghasilkan (2)

193 “Apakah sesuatu yang menghasilkan seseorang?
Apakah yang dia miliki yang berputar-putar?
Apakah yang masuk ke dalam samsara?
Dari apakah dia belum terbebas?”

194 “Nafsulah yang menghasilkan seseorang;
Pikirannyalah yang berputar-putar;
Makhluklah yang masuk ke dalam samsara;
Dia belum terbebas dari penderitaan.” [38]

57 (7) Menghasilkan (3)

195 “Apakah sesuatu yang menghasilkan seseorang?
Apakah yang dia miliki yang berputar-putar?
Apakah yang masuk ke dalam samsara?
Apakah yang menentukan nasibnya?”

196 “Nafsulah yang menghasilkan seseorang;
Pikirkannyalah yang berputar-putar;
Makhluklah yang masuk ke dalam samsara;
Kammalah yang menentukan nasibnya.”

58 (8) Jalan yang Menyimpang

197 “Apakah yang dinyatakan sebagai jalan yang menyimpang?
Apakah yang mengalami kehancuran siang malam? <84>
Apakah yang merupakan noda kehidupan suci?
Apakah yang merupakan mandi tanpa air?”

198 “Nafsu jasmani dinyatakan sebagai jalan yang menyimpang;
Kehidupan mengalami kehancuran siang dan malam;
Perempuan adalah noda kehidupan suci:
Di sinilah para lelaki terjerat.
Latihan keras dan kehidupan suci-
Itulah mandi tanpa air.”119

59 (9) Partner

199 “Apakah yang merupakan partner manusia?
Apakah yang memberinya instruksi?
Bergembira di dalam apakah maka maklhuk hidup
Terbebas dari semua penderitaan?”

200 “Keyakinan adalah pertner manusia,
Dan kebijaksanaanlah yang memberinya instruksi.<85>
Bergembira di dalam Nibbana, makhluk hidup
Terbebas dari semua penderitaan.”

60 (10) Puisi

201 “Apakah yang merupakan perancah syair?
Apakah yang membentuk penyusunan katanya?
Dengan dasar apakah maka syair dibentuk?
Apakah kediaman syair itu?”

202 “Mitra adalah pernacah syair,
Suku kata membentuk penyusunan katanya;
Syair bertumpu pada landasan nama;
Penyair adalah tempat kediaman syair.”120

V. TERBAKAR

17
V. TERBAKAR

41 (1) Terbakar

Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman Anathapindika. Kemudian, ketika malam telah larut, satu devata dengan keelokan yang memukau, yang menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Yang Terberkahi. <65> Setelah mendekat, dia memberi hormat kepada Yang Terberkahi, berdiri di satu sisi,dan berkata Beliau:

136 “Ketika rumah seseorang terbakar
Bejana yang dikeluarkan
Adalah bejana yang berguna,
Bukanlah bejana yang dibirkan terbakar di dalam.”

137 “Jadi ketika dunia ini terbakar
Dengan [api-api] usia tua dan kematian,
Orang seharusnya mengeluarkan [kekayaannya] dengan cara memberi:
Apa yang diberikan akan terselamatkan dengan baik [32] <66>

13996“Apa yang diberikan menghasilkan buah yang menyenangkan,
Tetapi tidak demikian halnya dengan apa yang tidak diberikan.
Pencuri mengambilnya, atau raja,
Harta itu terbakar oleh api atau hilang.”

140 “Dan akhirnya ketika orang meninggalkan tubuhnya
Bersama dengan harta miliknya.
Setelah memahami hal ini, manusia bijak
Seharusnya menimkatinya tetapi juga memberi.
Setelah memberi dan menikmatinya sesuai sarananya,
Tanpa cela dia menuju alam surgawi.”

42 (2) Memberi Apa ?

[Satu devata:]

141 “Memberikan apa sehingga orang memberikan kekuatan ?
Memberikan apa sehingga orang memberikan keelokan ?
Memberikan apa sehingga orang memberikan kemudahan?
Memberikan apa sehingga orang memberikan penglihatan?
Siapakah pemberi dari semuanya itu?
Karena ditanya, mohon Bhante menjelaskan kepadaku.” <67>

[Yang Terberkahi:]

142 “Memberikan makanan, orang memberikan kekuatan;
Memberikan pakaian, orang memberikan keelokan;
Memberikan kendaraan, orang memberikan kemudahan;
Memberikan lampu, orang memberikan penglihatan.

143 “Orang yang memberikan tempat tinggal
Adalah pemberi semuanya itu.
Tetapi orang yang mengajarkan Dhamma
Adalah pemberi Tanpa-kematian.”

43 (3) Makanan

144 “Mereka selalu bergembira dalam makanan,
Baik para dewa maupun manusia.
Jadi makhluk jenis apakah
Yang tidak bergembira dalam makanan ?”97

145 “Ketika mereka memberi karena keyakinan
Dengan hati penuh keyakinan,
Makanan menumpuk kepada [pemberi] itu sendiri
Baik di dunia ini maupun di dunia berikutnya. <68>

146 “Oleh karenanya, setelah menghilangkan kekikiran,
Penakluk noda seharusnya memberikan dana.
Jasa-jasa kebajikan itu merupakan penopang bagi makhluk hidup
[Ketika mereka muncul] di dunia lain.”

44 (4) Satu akar

[Satu devata:]

147 “Sang penglihat telah menyeberangi jurang dalam
Dengan akar tunggalnya, dua pusaran airnya,
Tiga noda, lima perluasannya,
Samudra dengan dua belas pusaran-arus.”98 [33]

45 (5) Sempurna

[Satu devata:]

148 “Lihatlah dia yang memiliki nama sempurna,
ang penglihat tujuan yang halus,
Sang pemberi kebijaksanaan, yang tidak melekat
Pada sarang kesenangan-kesenangan indera.<69>
Lihatlah orang bijaksana, yang tahu – segala,
Sang penglihat agung yang menapak pada jalan mulia.”99

46 (6) Peri

149 “Menggema dengan kelompok peri,
Dihantui oleh kelompok jin!
Hutan ini disebut ‘Memperdaya”;
Bagaimanakah orang bisa lolos darinya?”100

150 “’Jalan yang lurus’ demikian jalan itu disebut,
Dan ‘tanpa takut’ adalah tujuannya.
Keretanya disebut ‘tidak berderak,’
Dipasangi roda keadaan-keadaan bajik.

151 “Rasa malu adalah papan penopangnya,
Kewaspadaan adalah kain pelapisnya;
Aku menyebut Dhamma kusir kereta,
Dengan pandangan benar yang berlari di depan.101<70>

152“Dia yang memiliki kendaraan semacam itu-
Tak perduli perempuan atau laki-laki-
Melalui sarana kendaraan ini, telah
Tertarik mendekat ke Nibbana.”102

47 (7) Penanam Hutan

153 “Bagi siapa jasa kebajikan selalu bertambah,
baik siang maupun malam?
Siapa orang-orang yang pergi ke surga,
Yang mantap di dalam Dhamma, yang memiliki moralitas?”

154 “Mereka yang membangun taman atau hutan kecil,
Orang-orang yang membangun jembatan,
Tempat untuk minum dan sumur,
Mereka yang memberikan tempat tinggal :103

155 “Bagi merekalah jasa kebajikan selalu bertambah,
Baik siang maupun malam;
Mereka adalah orang-orang yang pergi surga,
Yang mantap di dalam Dhamma, yang memiliki moralitas.”<71>

48 (8) Hutan Jeta

[Devata Anathapindika:]

156 “Ini sungguh merupakan Hutan Jeta itu,
Tempat peristirahatan bagi Sangha para penglihat,
Yang didiami oleh Raja Dhamma,
Tempat yang memberiku kegembiraan.104 [34]

157 “Tindakan, pengetahuan, keluhuran,
Moralitas, kehidupan yang elok:
Melalui inilah para makhluk dunia dimurnikan,
Bukan melalui keturunan atau kekayaan.”

158 “Karena itu, orang yang bijaksana,
Demi untuk kebajikannya sendiri,
Dengan cermat harus memeriksa Dhamma:
Dengan demikian dia dimurnikan di dalamnya.

159 “Sariputta benar-benar memiliki kebijaksanaan,
Dengan moralitas dan dengan kedamaian di dalam.
Bahkan seorang bhikkhu yang telah pergi ke seberang
Paling-paling hanya dapat menyemainya.”105<72>

49 (9) kikir

[Devata:]

160 “Mereka yang kikir di sini di dunia ini,
Orang-orang yang pelit, para pencerca,
Orang-orang yang menciptakan penghalang
Bagi orang lain yang melakukan pemberian dana:

161 Akibat macam apa yang akan mereka tuai?
Tempat tujuan macam apa di masa depan?
Kami datang untuk menanyakan hal ini pada Yang terberkahi:
Bagaimana kami harus memahaminya ?”

[Yang Terberkahi:]

162 “Mereka yang kikir di sini di dunia ini,
Orang-orang yang pelit, para pencerca,
Orang-orang yang menciptakan penghalang
Bagi orang lain yang melakukan pemberian dana:
Mereka bisa terlahir kembali di neraka,
Di alam binatang atau Yama.106

163 :Jika mereka kembali ke alam manusia
Mereka terlahir kembali di keluarga miskin <73>
Di situ pakaian, makanan, kesenangan, dan olahraga
Diperoleh hanya dengan susah payah.

164 “apa pun yang mungkin diharapkan oleh orang tolol ini dari orang lain,
Bahkan itu pun tidak mereka peroleh.
Inilah hasilnya di dalam kehidupan ini juga;
Dan di masa depan tempat tujuan yang buruk.”

[Devata:]

165 “Kami memahami apa yang engkau katakana;
Kami tanyakan, O Gotama, pertanyaan lain:
Mereka di sini, yang ketika memperoleh alam manusia,
Bersifat ramah dan dermawan,
Yakin pada Buddha dan Dhamma
Dan sangat hormat terhadap Sangha:

166 Akibat macam apa yang akan mereka tuai?
Tempat tujuan macam apa di masa depan?
Kami datang untuk menanyakan hal ini pada Yang Terberkahi:
Bagaimana kami harus memahaminya ?”<74>

[Yang Terberkahi:]

167 “Mereka disini, yang ketika memperoleh alam manusia,
Bersifat ramah dan dermawan,
Yakin pada Buddha dan Dhamma
Dan sangat hormat terhadap Sangha,
Para makhluk ini menerangi surga-surga
Dimana mereka telah terlahir kembali.107 [35]

168 “Jika mereka kembali ke alam manusia
Mereka terlahir kembali di keluarga kaya.
Di situ pakaian, makanan, kesenangan, dan olahraga
Diperoleh tanpa kesulitan.

169 “Mereka bergembira bagaikan dewa yang mengendalikan
Harta-harta yang dikumpulkan oleh orang lain.108
Inilah hasilnya di dalam kehidupan ini juga;
Dan di masa depan tempat tujuan yang baik.” <75>

50 (10) Ghatikara

[Devata Ghatikara:]

170 “Tujuh bhikkhu yang terlahir kembali di Aviha
Telah sepenuhnya terbebas.
Dengan nafsu dan kebencian yang sepenuhnya hancur,
Meraka telah menyeberangi kemelekatan terhadap dunia.”109

[Yang Terberkahi}

171 “Dan siapakah mereka yang telah menyeberangi rawa itu,
Alam Kematian yang begitu sulit diseberangi?
Yang, setelah meninggalkan tubuh manusia ini,
Telah menanggulangi ikatan surgawi?”110

[Ghatikara:]

172 “Upaka dan Palaganda,
Dengan Pukkusati – ini adalah tiga.
Kemudian Bhaddiya dan Bhaddadeva
Dan Bahudanti dan Pingiya.
Mereka ini, setelah meninggalkan tubuh manusia,
Telah menanggulangi ikatan surgawi.”111

[Yang Terberkahi]

173 “Bagus kata yang kau ucapkan tentang mereka,
Dari antara mereka yang telah meninggalkan jeratan Mara.
Dhamma siapakan yang telah mereka pahami
Dan dengannya mereka memotong ikatan dumadi?”112

[Ghatikara:]

174 “Itu tidak terlepas dari Yang Terberkahi!
Itu tidak terlepas dari Ajaran-ajaran Bhante!
Dengan memahami Dhammamu
Mereka memotong ikatan dumadi.113

175 Di mana batin-dan bentuk lenyap,
Berhenti tanpa sisa:
Dengan memahami Dhamma itu di sini
Mereka memotong ikatan kehidupan

[Yang Terberkahi:]

176 “Sungguh dalam ucapak yang kau cetusan,
Sulit dipahami, sulit ditangkap.
Setelah memahami Dhamma siapa
Maka engkau mengeluarkan ucapan semacam itu?”<77>

[Ghatikara:):]

177 “Dimana lalu saya adalah pembuat tembikar,
Ghatikara di Vehalinga.
Saya menopang ibu dan ayahku saat itu
Sebagai pemgikut awam Buddha Kassapa.[36]

178 “Saya menjauhkan diri dari hubungan seksual,
Saya selibat, bebasa dari ikatan badaniah.
Saya adalah teman sedesamu,
Di masa lalu saya adalah sahabatmu.

179 “Saya adalah orang yang mengetahui
Tujuh bhikkhu yang terbebas ini,
Yang nafsu dan kebenciannya telah sepenuhnya hancur
Telah menyeberangi kemelekatan terhadap dunia.”

[Yang Terberkahi:]

180. “Memang Demikian halnya pada saat itu,
Seperti yang kau katakana, O Bhaggava:114
Di masa lalu engkau adalah pembuat tembikar, <78>
Ghatikaradi Vehalinga.
Engkah menopang ibu dan ayahmu saat itu
Sebagai pengikut awam Buddha Kassapa. [36]

181 “Engkau menjauhkan diri dari hubungan seksual,
Engkau selibat, bebas dari ikatan badaniah.
Engkau adalah teman sedesaku,
Di masa lalu engkau adalah sahabatku.”

182 Demikianlah pertemuan yang terjadi
Antara sahabat-sahabat di masa lalu itu,
Keduanya sekarang telah berkembang,
Pembawa tubuh akhir mereka.115

III. PEDANG

http://kalyana-mitta.com/wp-content/uploads/2012/03/parinibbana.jpg
III. PEDANG

21 (1) Pedang

Di Savatthi. Sambil berdiri di satu sisi, devata tersebut mengucapkan syair ini dihadapan Yang Terberkahi:

51 “Bagaikan dihantam oleh pedang,
Seolah-oleh kepalanya terbakar,
Seorang bhikkhu seharusnya berkelana dengan waspada
Untuk meninggalkan nafsu indera.”

[Yang Terberkahi:]

52 “Bagaikan dihantam oleh pedang,
Seolah-olah kepalanya terbakar,
Seorang bhikkhu seharusnya berkelana dengan waspada
Untuk meninggalkan pandangan tentang identitas.”40

22 (2) Itu menyentuh <28>

53 “Itu tidak menyentuh dia yang tidak menyentuh,
Tetapi kemudian akan menyentuh dia yang menyentuh.
Oleh karenanya, itu menyentuh dia yang menyentuh,
Dia yang menyalahkan orang yang tak bersalah.”41

54 “Jika orang menyalakan orang yang tak bersalah,
Orang yang murni tanpa roda,
Kejahatan akan berbalik menghantam si tolol itu sendiri
Bagaikan debu halus yang dilemparkan melawan angin.”42

23 (3) Kekusutan

55 “Kekusutan di dalam, kekusutan di luar,
Generasi ini terjerat dalam suatu kekusutan.
Saya menanyakan ini padamu, O Gotama,
Siapa yang dapat mengurangi kekusutan ini?”43 <29>

56 “Manusia yang mantap di dalam moralitas, bijaksana,
Yang mengembangkan pikiran dan kebijaksanaan,
Bhikkhu yang rajin dan berhati-hati:
Dia dapat menguraikan kekusutan ini.44

57 “Mereka yang nafsu dan kebencian
Bersama dengan ketidak-tahuannya telah dihapus,
Para Arahat dengan noda-noda yang telah dihancurkan:
Bagi mereka kekusutan ini telah diurai.45

58 “Di mana batin-dan bentuk berhenti,
Behenti tanpa sisa,
Demikian juga pergeseran dan persepsi tentang bentuk:
Di sinilah kekusutan ini dipotong.’46 [14]

24 (4) Pengendalian di dalam Pikiran

59 “ dari apa pun yang dikendalikan orang di dalam pikiran,
Dari situ tidak ada penderitaan yang menimpanya.<30>
Seandainya orang mengendalikan di dalam pikiran dari segalanya,
Dia terbebas dari semua penderitaan.”

60 “Orang tidak perlu mengendalikan di dalam pikiran dari segalanya
Bila pikiran telah ada di bawah kendali
Dari apa pun yang menyebabkan kejahatan datang,
Dari sinilaj orang harus mengendalikan di pikiran.”47

25 (5) Arahat

61 “Jika seorang bhikkhu adalah arahat,
Sempurna, dengan noda yang telah dihancurkan,
Orang yang menanggung tubuh terakhirnya,
Apakah dia masih berkata, ‘Saya berbicara’?
Dan apakah dia berkata,”Mereka berbicara kepadaku’?”48

62 “Jika seorang bhikkhu adalah Arahat, <31>
Sempurna, dengan noda yang telah dihancurkan,
Dia yang menanggung tubuh terakhirnya,
Dia mungkin masih berkata, ‘Saya berbicara,’
Dan dia mungkin berkata, ‘Mereka berbicara kepadaku.’
Terampil, mengetahui gaya percakapan dunia,
Dia menggunakan istilah-istilah sedemikian hanya sebagai ekspresi.”49

63 “Bila seorang bhikkhu adalah Arahat,
Sempurna, dengan noda yang telah dihancurkan,
Dia yang menanggung tubuh terakhirnya,
Apakah karena dia telah menemukan kesombongan
Sehingga dia berkata, ‘Saya berbicara,’
Sehingga dia berkata, ‘Mereka berbicara kepadaku’?”50

64 “Tidak ada simpul bagi dia yang telah meninggalkan kesombongan;
Baginya semua simpul kesombongan telah habis.
Walaupun orang bijak telah mentransendenkan yang dipahami,[15]
Dia mungkin masih berkata, ‘Saya berbicara,’
Terampil, mengetahui gaya percakapan dunia,
Dia menggunakan istilah-istilah sedemikian hanya sebagai ekspresi.”51

26 (6) Sumber-sumber Sinar

65 “Berapa banyakkah sumber sinar yang ada di dunia
Yang dengannya dunia diterangi?
Kami telah datang untuk menanyakan ini kepada Yang Terberkahi:
Bagaimana kami harus memahaminya?”

66 “Ada empat sumber sinar di dunia;
Yang kelima tidak ditemukan di sini.
Matahari bersinar pada siang hari,
Rembulan menerangi di malam hari,

67 “Dan api menyala di sana sini
Baik siang maupun malam
Tetapi Buddha adalah yang terbaik dari mereka yang bersinar:<33>
Beliau adalah sinar yang tak-tertandingi.”

27 (7) Arus-arus

68 “dari manakah arus-arus berbalik?
Di manakah putaran itu tidak lagi berpusar?
Dimanakah batin-dan-bentuk berhenti,
Berhenti tanpa sisa?”

69 “Di tempat air, bumi, api, dan udara,
Tidak memperoleh pijakan:
Dari sinilah arus-arus itu berbalik,
Di sinilah putaran itu tidak lagi perpusar;
Disinilah batin-danbentuk berhenti,
Berhenti tanpa sisa.”52

28 (8) Mereka dengan Kekayaan Besar <34>

71 53”Mereka yang besar kekayaan dan harta miliknya,
Bahkan para khattiya yang menguasai negeri.
Saling memandang dengan mata keserakahan,
Tidak terpuaskan dalam nafsu-nafsu indera.

72 Di antara meraka yang telah menjadi begitu keranjingan,
Yang mengalir bersama arus kehidupan,
Siapa di sini yang telah meninggalkan nafsu keinginan?
Siapa di dunia ini yang tidak lagi keranjingan?”54

73 “Setelah meninggalkan rumah dan meninggalkan keduniawian,
Setelah meninggalkan putra dan ternak yang disayangi,
Setelah meninggalkan nafsu jasmani dan kebencian,<35>
Setelah menghapus ketidak-tahuan-
Para Arahat dengan noda yang telah dihancurkan
Adalah mereka di dunia yang tidak lagi keranjingan.”[16]

29 (9) Empat Roda

74 “Memiliki empat roda dan sembilan pintu,
Yang terisi penuh dan terikat dengan keserakahan,
Terlahir dari rawa, O pahlawan besar!
Bagaimana orang lolos darinya?”55

75 “Setelah memotong tali dan pengikatnya,
Setelah memotong nafsu yang jahat dan keserakahan,
Setalah menarik nafsu keinginan sampai akarnya:
Demikianlah orang lolos darinya.”56

30 (10) Betis Rusa <36>

76 “Setelah mendatangi engkau, kami mengajukan pertanyaan
Tentang pahlawan yang ramping dengan betis rusa,
Tanpa keserakahan, bertahan hidup dengan sedikit makanan,
Berkelana sendiri bagaikan singa atau naga,
Tanpa perduli akan kesenangan-kesenangan indera:
Bagaimana orang terbebas dari penderitaan?”57

77 “Lima tali kesenangan indera di dunia,
Dengan pikiran yang dinyatakan sebagai yang keenam:
Setelah menghapus nafsu di sini,
Demikianlah orang terbebas dari penderitaan.”58<37>

II. NANDANA

http://agamabuddhaindo.files.wordpress.com/2010/09/lord-buddha-wallpaper-953.jpg
II. NANDANA

11 (1) Nandana

Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman Anathapindika. Di sana Yang Terberkahi berbicara kepada para bhikkhu demikian:”Para bhikkhu!”

“Yang Mulia Bhante,” jawab para bhikkhu. Yang Terberkahi berkata demikian:

“Pada suatu ketika di masa lalu, para bhikkhu, satu devata dari kelompok Tavatimsa sedang bersuka ria di Hutan Nandana,<11> memiliki dan melengkapi dengan lima tali kesenangan indera surgawi, ditemani oleh kelompok peri surgawi. Pada kesempatan itu, dia menyampaikan syair ini:

20 “Mereka tidak mengetahui kebahagiaan
Yang belum melihat Nandana,
Kediaman para dewa pria yang megah
Yang merupakan milik kelompok Tiga Puluh Dewa.’19 [6]

“Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu, satu devata menjawab devata tersebut dengan syair:

21 “Tidakkah engkau mengetahui, hai si tolol,
Peribahasa para Arahat?
Tidaklah kekal semua bentukan;
Sifatnya adalah muncul dan berhenti:
Setelah muncul, mereka berhenti:
Redanya bentukan-bentukan itulah kebahagiaan.’”20

12 (2) Sukacita

Di Savatthi. Sambil berdiri di satu sisi, devata tersebut mengucapkan syair ini di hadapan Yang Terberkahi:<12>

22 “Orang yang mempunyai putra bersikacita dalam putra-putranya,
Orang dengan ternak bersukacita dalam ternaknya.
Perolehan sungguh merupakan sukacita manusia;
Tanpa perolehan orang tidak bersukacita.”21

[Yang Terberkahi:]

23 “Orang yang mempunyai putra bersedih atas putra-putranya
Orang dengan ternak bersukacita dalam ternaknya.
Perolehan sungguh merupakan kesedihan manusia;
Tanpa perolehan orang tidak bersedih.”

13 (3) Tak ada yang Setara dengan itu bagi Seorang Putra

Di Savatthi. Sambil berdiri di satu sisi, devata tersebut mengucapkan syair ini di hadapan Yang Terberkahi:

24 “Tak ada kasih sayang seperti kasih sayang bagi seorang putra,
tak ada kekayaan setara dengan ternak,
Tak ada cahaya yang seperti matahari,
Di antara air, samuderalah yang paling tinggi.22

[Yang Terberkahi:]

25. “Tak ada kasih sayang seperti kasih sayang bagi diri sendiri,
Tak ada kekayaan yang setara dengan biji-bijian,
Tak ada sinar yang seperti kebijaksanaan,
Di antara air, hujanlah yang paling tinggi.<13>

14 (4) Khattiya

26 “Khattiya adalah yang terbaik di antara maklhuk berkaki dua,
Lembu, yang terbaik di antara yang berkaki empat;
Perawan adalah yang terbaik dari para istri,
Yang dilahirkan pertama, yang terbaik dari para putra.”23

27 “Buddha adalah yang terbaik di antara maklhuk berkaki dua,
Kuda, yang terbaik di antara yang berkaki empat;
Perempuan yang taat adalah yang terbaik dari para istri,
Putra yang berbakti, yang terbaik dari para outra.”[7]

15 (5) Bergumam

28 “Ketika jam tengah hari tiba
Dan burung-burung telah hinggap,<14>
Hutan yang megah itu sendiri bergumam:
Betapa mengerikan hal itu tampak olehku!”24

29 “Ketika jam tengah hari tiba
Dan burung-burung telah hinggap, <14>
Hutan yang megah itu sendiri bergumam:
Betapa menyenangkan hal itu tampak olehku!”

16 (6) Kantuk dan Kemalasan

30 “Kantuk, kemalasan, peregangan yang malas, <15>
Tak puas hati, lamban setelah makan:
Karena ini, di antara para makhluk di sini,
Jalan mulia tidaklah muncul.”

31 “Kantuk, kemalasan, peregangan yang malas,
Tak puas hati, lamban setelah makan:
Ketika orang menghalau ini dengan semangat,
Jalan mulia pun terbuka.”25

17 (7) Sulit Dipraktekkan

32 “Kehidupan petapa sulit dipraktekkan
Dan sulit bagi yang tidak cocok untuk bertahan,
Ada bayak penghalang di sana
Di mana orang tolol gagal.”

33 “Berapa hari orang dapat mempraktekkan kehidupan petapa
Jika orang tidak mengendalikan pikirannya?
Orang akan gagal pada setiap langkah
Di bawah pengaruh niat seseorang.”26

34 “Dengan menarik buah pikiran
Seperti penyu menarik kaki tangannya ke dalam batoknya, <16>
Mandiri, tidak mengganggu yang lain, sepenuhnya padam,
Seorang bhikkhu tidak akan menyalahkan siapapun.”27

18 (8) Rasa Malu

35 “Adakah orang di suatu tempat di dunia
Yang terkendali oleh rasa malu,
Orang yang menarik diri dari kesalahan
Seperti kuda yang baik menarik diri dari cambuk?”28

36 “memang sedikit mereka yang terkendali oleh rasa malu
Yang menjalani kehidupan selalu waspada;
Sedikit, setelah mencapai akhir penderitaan,
Menjalani kehidupan dengan mantap di antara yang tidak mantap.”[8] <17>

19 (9) Gubuk Kecil

37 Tidaklah engkau memiliki gubuk kecil ?
Tidakkah engkau memiliki sarang kecil?
Tidakkah engkau memiliki garis-garis yang diperpanjang?
Apakah engkau bebas dari belenggu?”

38 “Sudah pasti aku tidak memiliki gubuk kecil,
Sudah pasti aku tidak memiliki sarang kecil,
Sudah pasti aku tidak memiliki garis-garis yang diperpanjang,
Sudah pasti aku bebas dari belenggu.”29

39 “Menurut pendapatmu, apakah yang saya sebut gubuk kecil?
Menurut pendapatmu, apakah yang saya sebut sarang kecil?
Menurut pendapatmu, apakah yang saya sebut garis-garis yang diperpanjang?
Menurut pendapatmu, apakah yang saya sebut belenggu?”30

40 “Ibulah yang kau sebut gubuk kecil,
Istri yang kau sebut sarang kecil, <18>
Putra-putralah yang kau sebut garis-garis yang diperpanjang,
Nafsu keinginanlah yang kau beritahukan sebagai belenggu.”

41 “memang baik pula engkau tidak memiliki gubuk kecil,
Baik bila engkau tidak memiliki sarang kecil,
Baik bila engkau tidak memiliki garis-garis yang diperpanjang,
Baik bila engkau bebas dari belenggu.”

20 (10) Samiddhi

Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Rajagaha di Taman Sumber Air Panas. Pada saat itu, Y.M. Samiddhi,. Setelah bangun ketika cahaya kemerahan pertama muncul di fajar hari, pergi ke sumber air panas untuk mandi. Setelah mandi di sumber air panas dan telah keluar dari situ, dia berdiri dengan mengenakan selembar jubah sambil mengeringkan kaki dan tangannya.

Kemudian, ketika malam telah larut, satu devata dengan keelokan yang memukau, yang menerangi seluruh sumber air panas tersebut, mendatangi Y.M. Samiddhi. Setelah mendekat, devata perempuan itu berdiri di udara dan berbicara kepada Y.M. Samiddhi dengan syair.’31 <19>

42 “Tanpa menikmati engkau mengumpulkan dana makan, bhikkhu,
Engkau tidak mencari makanan setelah engkau menikmatinya.
Pertama-tama nikmatilah, bhikku, kemudian carilah dana makanan:
Jangan biarkan waktu melewatimu!”[9]

43 “Saya tidak tahu jam berapa ini;
Waktu bersembunyi dan tak dapat dilihat.
Jadi, tanpa menikmati, saya mengumpulkan dana makanan:
Jangan biarkan waktu melewatiku!”32

Kemudian devata itu turun ke bumi dan berkata kepada Y.M. Samiddhi: ‘Engkau telah meninggalkan keduniawian sementara masih muda, bhikkhu, pemuda dengan rambut hitam, yang memiliki berkah kemudaan, di masa puncak kehidupan, tanpa pernah bermain –main dengan kesenangan-indera. Nikmatilah kesenangan-indera manusia, wahai bhikkhu; jangan meninggalkan pa yang langsung terlihat untuk mengejar apa yang makan waktu.”

“Saya bukannya meninggalkan apa yang langsung terlihat, sahabat, untuk mengejar apa yang makan waktu. Saya justru telah meninggalkan apa yang makan waktu untuk mengejar apa yang langsung terlihat. <20> Karena Yang Terberkahi, sahabat, telah mengatakan bahwa kesenangan-kesenangan indera justru membuang-waktu, penuh dengan penderitaan, penuh dengan keputusasaan, dan bahaya di dalam tetap lebih besar. Namun Dhamma ini langsung terlihat, langsung dapat dipraktekkan, mengundang orang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”33

“Bagaimana mungkin, bhikkhu, Yang Terberkahi telah mengatakan bahwa kesenangan-kesenangan indera justru membuang waktu, penuh dengan penderitaan, penuh dengan keputus-asaan, dan bahaya di dalamnya tetap lebih besar? Bagaimana mungkin Dhamma ini langsung terlihat, langsung dapat dopraktekkan, mengundang orang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana?”

“Saya baru saja ditasbihkan, sahabat, belum lama meninggalkan keduniawian, baru saja bertemu Dhamma dan vinaya ini. Saya tidak dapat menjelaskannya secara mendetil. Tetapi Yang Terberkahi, Sang Arahat, Yang Tercerahkan Sempurna, sedang berdiam di Rajagaha di Taman Sumber Air Panas. Datanglah pada Yang Terberkahi itu dan bertanyalah kepada Beliau tentang hal ini. Sebagaimana Beliau menerangkannya kepadamu, demikianlah engkau harus mengingatnya.”

“Tidak mudahlah bagi kami untuk mendekati Yang Terberkahi, wahai bhikkhu, karena Beliau dikelilingi oleh devata-devata lain yang memiliki pengaruh besar.34 Seandainya engkau mau datang pada Beliau <21> dan bertanya hal ini, kami akan ikut juga untuk mendengarkan Dhamma.”

“Baiklah, sahabat, jawab Y.M. Samiddhi. Maka Y.M. Samiddhi mendatangi Yang Terberkahi, memberi hormat kepada beliau, duduk di satu sisi, [10] dan melaporkan seluruh diskusi dengan devata itu, [11] <22-23. (syair 44-45, yang tercakup di dalam laporan, mengulangi syair 42-43) dengan menambahkan: “Jika pernyataan devata itu benar, Yang Mulia Bhante, maka devata itu pasti berada di dekat sini.”

Ketika hal ini dikatakan, devata tersebut berkata kepada Y.M. Samiddhi: “Bertanyalah, Bhikkhu! Bertanyalah, Bhikkhu! Karena saya telah tiba.”

Kemudian Yang Terberkahi berbicara kepada devata itu dengan syair:

46 “Para makhluk yang memahami apa yang dapat diekspresikan
Menjadi mantap di dalam apa yang dapat diekspresikan. <24>
Karena tidak sepenuhnya memahami apa yang dapat diekspresikan,
Mereka jatuh di bawah kuk Kematian.35

47 “Tetapi setelah sepenuhnya memahami apa yang dapat diekspresikan,
Seseorang tidak memahami ‘dia yang mengekspresikan.’
Karena baginya hal seperti itu tidak ada
Yang dapat digunakan orang untuk menggambarkan dia.36

“Jika engkau memahami, wahai makhluk halus, berbicaralah.”

“Saya tidak memahami secara mendetil, Yang Mulia Bhante, arti dari apa yang secara ringkas telah dinyatakan oleh Yang Terberkahi. Saya mohon, Yang Mulia Bhante, sudilah Yang Terberkahi menjelaskannya kepada saya dengan cara sedemikian sehingga saya bisa memahami secara mendetil arti dari apa yang secara ringkas telah Beliau nyatakan.”[12]

[Yang Terberkahi:]

48 “Dia yang memahami ‘Aku sama, lebih baik, atau lebih buruk,’
Karena hal itu mungkin terlibat dalam peselisihan.
Tetapi dia yang tidak tergoyah dalam tiga perbedaan
Tidak terpikir, ‘aku sama atau lebih baik.’37 <25>

“jika engkau memahami, wahai makhluk halus, berbicaralah,”

“Dalam hal ini juga, Yang Mulia Bhante, Saya tidak memahami secara mendetil … sudilah Yang Terberkahi menjelaskannya kepada saya dengan cara sedemikian sehingga saya bisa memahami secara mendetil arti dari apa yang secara telah beliau nyatakan.”

[Yang Terberkahi:]

49 “Dia telah meninggalkan perkiraan, tidak memangku kesombongan;38
Dia telah memotong nafsu di sini untuk batin-dan-bentuk.
Walaupun para dewa dan manusia mencarinya
Di sini dan di luar sana, di surga dan di semua kediaman,
Mereka tidak menemukan dia yang simpul-simpulnya telah terpotong,
Dia yang tak terganggu, yang bebas dari kerinduan.

“Jika engkau memahami, wahai maklhuk halus, berbicaralah.”

“Saya memahami secara mendetil, Yang Mulia Bhante, artinya dari apa yang secara ringkas telah dinyatakan oleh Yang Terberkahi demikian: <26>

50 “Orang seharusnya tidak melakukan kejahatan di semua dunia,
Tidak melalui ucapan, pikiran, atau tubuh.
Setelah meninggalkan kesenangan-kesenangan indera,
Waspada dan secara jernih memahami,
Orang seharusnya tidak mengejar suatu jalan
Yang menyakitkan dan merugikan.”39

I. BULUH

I. BULUH

1 (1) Menyeberangi Banjir

Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, taman Ananthapindika. Kemudian, ketika malam telah larut, satu devata dengan keelokan yang memukau, yang menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Yang Terberkahi. Setelah mendekat, dia memberi hormat kepada Yang Terberkahi, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Tuan yang baik, bagaimana engkau dulu menyeberangi banjir ?”1

“Dengan cara tidak berhenti, sahabat, dan dengan tidak menegang aku menyeberangi banjir.”2

“Tetapi bagaimana caranya, tuan yang baik, dengan tidak berhenti dan dengan tidak menegang engkau dulu menyeberangi banjir?”

“Bila aku berhenti, sahabat, maka aku tenggelam; tetapi bila aku meronta, maka aku terbawa arus. Dengan cara inilah, sahabat, dengan tidak berhenti dan tidak menegang aku menyeberangi banjir.”3 <2>

[Devata:]

1 “Setelah lama akhirnya saya melihat
Seorang brahmana yang sepenuhnya padam,
Yang dengan tidak berhenti, tidak menegang,
Telah menyeberangi kemelekatan pada dunia.”4

Itulah yang dikatakan devata tersebut.5 Sang Guru menyetujui. Kemudian, dengan berpikir, “Sang Guru telah menyetujui saya,” devata tersebut memberi hormat kepada Yang Terberkahi. Dan dengan menjaga Beliau di sisi kanannya, devata itu lenyap seketika itu juga. [2]

2 (2) Emansipasi

<3> Di Savatthi. Kemudian, ketika malam telah larut, satu devata dengan keelokan yang memukau, yang menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Yang Terberkahi. Setelah mendekat, dia memberi hormat kepada Yang Terberkahi, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Tuan yang baik, apakah engkau mengetahui emansipasi, pembebasan, kesendirian bagi para makhluk?”(6)

“Aku tahu, sahabat, emansipasi, pembebasan, kesendirian bagi para makhluk.”

“Tetapi dengan cara apa, tuan yang baik, engkau mengetahui emansipasi, pembebasan, kesendirian bagi para makhluk?”

[Yang Terberkahi:]

2 “Dengan hancur totalnya sukacita dalam dumadi.7
Dengan lenyapnya persepsi dan kesadaran,
Dengan berhenti dan reanya perasaan:<4>
Demikianlah, sahabat, aku mengetahui bagi para makhluk –
Emansipasi, pembebasan, kesendirian.”8

3 (3) Mencapai

Di Savathi. Sambil berdiri di satu sisi, devata tersebut mengucapkan syair ini di hadapan Yang Terberkahi:

3 “Kehidupan berlalu pergi, sungguh pendek rentang kehidupan ini:
Tak ada perlindungan bagi orang yang telah mencapai usia tua.
Karena melihat dengan jelas bahaya dalam kematian ini,
Orang seharusnya melakukan tindakan-tindakan berjasa yang membawa kebahagian.”9

[Yang Terberkahi]

4 “Kehidupan berlalu pergi, sungguh pendek rentang kehidupan ini;
Tak ada perlindungan bagi orang yang telah mencapai usia tua
Karena melihat dengan jelas bahaya dalam kematian ini,
Pencari kedamaian seharusnya meninggalkan umpan dunia.”10 [3] <5>

4 (4) Waktu Berlalu

Di Savatthi. Sambil berdiri di satu sisi, devata tersebut mengucapkan syair ini dihadapan Yang Terberkahi:

5 “Waktu berlalu, malam-malam dengan cepat lewat;
Tahap-tahap kehidupan silih berganti meninggalkan kita.11
Karena melihat dengan jelas bahaya dalam kematian ini,
Orang seharusnya melakukan tindakan-tindakan berjasa yang membawa kebahagiaan.”

[Yang Terberkahi:]

6 “Waktu berlalu, malam-malam dengan cepat lewat;
Tahap-tahap kehidupan silih berganti meninggalkan kita.
Karena dengan jelas melihat bahaya dalam kematian ini,
Pencari kedamaian dunia seharusnya meninggalkan umpan dunia.”

5 (5) Berapa Banyak Seseorang Harus Memotong ?

Di Savatthi. Sambil berdiri di satu sisi, devata tersebut mengucapkan syair ini dihadapan Yang Terberkahi:

7 “Berapa banyak seseorang harus memotong, berapa banyak meninggalkan
Dan berapa banyak selanjutnya seseorang harus mengembangkan?
Bhikkhu yang telah mengatasi berapa banyak ikatan
Disebut penyerang banjir?”

[Yang Terberkahi:] <6>

8 “Seseorang harus memotong lima, meninggalkan lima,
Dan selanjutnya harus mengembangkan lima lagi.
Bhikkhu yang telah mengatasi lima ikatan
Disebut penyeberang banjir.”12

6 (6) Terjaga

Di Savatthi. Sambil berdiri di satu sisi, devata tersebut mengucapkan syair ini di hadapan Yang Terberkahi:

9 “Berapa banyak orang yang tertidur ketika [yang lain] terjaga?
Berapa banyak yang terjaga ketika [yang lain] tertidur?
Dengan berapa banyak orang mengumpulkan debu?
Dengan berapa banyak orang dimurnikan?”

[Yang Terberkahi:]

10 “Lima tertidur ketika [yang lain] terjaga ;
Lima terjaga ketika [yang lain] tertidur.
Dengan lima hal orang mengumpulkan debu,
Dengan lima hal orang dimurnikan.’13 [4] <7>

7 (7) Belum menembus

Di Savatthi. Sambil berdiri di satu sisi, devata tersebut mengucapkan syair ini di hadapan Yang Terberkahi:

11 “Mereka yang belum menembus segala sesuatu,
Yang dapat dibawa ke dalam doktrin-doktrin lain,
Tertidur pulas, mereka belum terjaga:
Sudah waktunya bagi mereka untuk terjaga.”14

[Yang Terberkahi:]

12 “Mereka yang telah menembus segala sesuatu dengan baik,
Yang tidak dapat dibawa ke dalam doktrin-doktrin lain,
Mereka yang terjaga, karena telah tahu dengan benar,
Menjalani hidup dengan mantap di antara yang tidak mantap.”15

8 (8) Sepenuhnya Kacau

Di Savatthi. Sambil berdiri di satu sisi, devata tersebut mengucapkan syair ini di hadapan Yang Terberkahi:

13 “Mereka yang sepenuhnya kacau tentang segala sesuatu,
Yang dapat dibawa ke dalam doktrin-doktrin lain, <8>
Tertidur pulas, mereka belum terjaga:
Sudah waktunya bagi mereka untuk terjaga.”

[Yang Terberkahi:]

14 “mereka yang tidak kacau tentang segala sesuatu,
Yang tidak dapat dibawa ke dalam doktrin-doktrin lain,
Mereka yang terjaga, karena telah tahu dengan benar,
Menjalani kehidupan dengan mantap di antara yang tidak mantap.”

9 (9) Orang yang Cenderung Sombong

Di Savatthi. Sambil berdiri di satu sisi, devata tersebut mengucapkan syair ini di hadapan Yang teberkahi:

15 “Tidak ada penjinakan di sini bagi orang yang suka sombong,
Tidak juga ada kepetapaan bagi yang tidak berkonsentrasi:
Walaupun berdiam sendiri di hutan, tidak berhati-hati,
Orang tidak dapat ke pantai seberang melampaui alam Kamatian.”16

[Yang Terberkahi:]

16 “Setelah meninggalkan kesombongan, berkonsentrasi dengan baik,
Dengan pikiran yang tinggi, di mana-mana terbebas:<9>
Sementara berdiam sendiri di hutan, rajin,
Orang dapat menyeberang melampaui alam Kematian,”17

10 (10) Hutan

Di Savatthi. Sambil berdidi di satu sisi, devata tersebut mengucapkan syair ini di hadapan Yang Terberkahi:

17 “Mereka yang berdiam jauh di dalam hutan,
Damai, menjalani kehidupan suci,
Makan hanya satu kali sehari:
Mengapa air muka mereka begitu tenang?”18

[Yang Terberkahi:]

18 “Mereka tidak menyesali masa lampau,
Tidak pula mereka merindukan masa depan.
Mereka mempertahankan diri dengan apa yang ada:
Karena itulah air muka mereka begitu tenang.

19 “Karena merindukan masa depan,
Karena menyesali masa lampau,
Orang-orang dungu mengering dan melayu
Bagaikan alang-alang hijau yang ditebas.”

Devatasamyutta

http://www.nshi.org/wp-content/uploads/2011/07/gbr-1.jpg
Bab I
1. Devatasamyutta
Khotbah-khotbah yang Berhubungan dengan Devata
I.  Buluh
1. (1) Menyeberangi Banjir
2. (2) Emansipasi
3. (3) Mencapai
4. (4) Waktu Berlalu
5. (5) Berapa Banyak Seseorang Harus Menolong ?
6. (6) Terjaga
7. (7) Belum Menembus
8. (8) Sepenuhnya Kacau
9, (9) Orang Yang Cenderung Sombong
10. (10) Hutan
 
II. Nandana
11. (1) Nandana
12. (2) Sukacita
13. (3) Tak Ada yang Setara dengan Itu bagi Seseorang Putra
14. (4) Khattiya
15. (5) Bergumam
16. (6) Kantuk dan Kemalasan
17. (7) Sulit Dipraktekkan
18. (8) Rasa Malu
19. (9) Gubuk Kecil
20. (10) Samiddhi

III. Pedang
21. (1) Pedang
22. (2) Itu Menyentuh
23. (3) Kekusutan
24. (4) Pengendalian di dalam Pikiran
25. (5) Arahat
26. (6) Sumber-sumber Sinar
27. (7) Arus-arus
28. (8) Mereka dengan Kekayaan Besar
29. (9) Empat Roda
30. (10) Betis Rusa
 
IV. Kelompok Satullapa
31. (1) Dengan yang Baik
32. (2) Kekikiran
33. (3) Baik
34. (4) Tidak Ada
35. (5) Pencari-cari Kesalahan
36. (6) Keyakinan
37. (7) Pertemuan Besar
38. (8) Pecahan Batu
39. (9) Anak Perempuan Pajjunna (1)
40. (10) Anak Perempuan Pajjunna (2)
 
V. Terbakar
41. (1) Terbakar
42. (2) Memberi Apa ?
43. (3) Makanan
44. (4) Satu Akar
45. (5) Sempurna
46. (6) Peri
47. (7) Penanam Hutan
48. (8) Hutan Jeta
49. (9) Kikir
50. (10) Ghatikara
 
VI. Usia Tua
51 (1) Usia Tua
52. (2) Tidak Melapuk
53. (3) Sahabat
54. (4) Penopang
55. (5) Menghasilkan (1)
56. (6) Menghasilkan (2)
57. (7) Menghasilkan (3)
58. (8) Jalan yang Menyimpang
59. (9) Partner
60. (10) Puisi
 
VII. Dibebani
61. (1) Nama
62. (2) Pikiran
63. (3) Nafsu Keinginan
64. (4) Belenggu
65. (5) Ikatan
66. (6) Diserang
67. (7) Dijerat
68. (8) Tertutup
69. (9) Keinginan
70. (10) Dunia
 
VIII. Setelah Membunuh
71. (1) Setelah Membunuh
72. (2) Kereta
73. (3) Harta Karun
74. (4) Hujan
75. (5) Takut
76. (6) Tidak Melapuk
77. (7) Kedaulatan
78. (8) Cinta Kasih
79. (9) Persediaan untuk Perjalanan
80. (10) Sumber Cahaya
81. (11) Tanpa Konflik
 
Catatan :
Sumber :
Samyutta Nikaya
Kotbah-khotbah Sang Buddha yang Berhubungan
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh :
Dra. Wena Cintiawati
Endang Widyawati, S.Pd.
Dra. Lanny Anggawati

Diedit oleh :
Rudy Ananda Limiadi, S.Si.,M.M.

Diterbitkan oleh :
Wisma Sambodhi Klaten

Tabel 31 Alam Kehidupan

http://3.bp.blogspot.com/_lKJGYcm0Drc/TAxiDkNqKiI/AAAAAAAAAMU/RDqEWlbf-Jk/s1600/31alam.jpg

Pendahuluan

Pendahuluan
Sagathavagga disebut demikian karena semua sutta dalam buku ini mengandung syair, sedikitnya satu, tetapi biasanya lebih. Vagga tersebut dibagi menjadi sebelas samyutta yang seluruhnya berisi 271 sutta. Sebagian besar dari samyutta ini dibagi lagi menjadi beberapa vagga, yang masing-masing biasanya berisi 10 sutta. Di dalam empat samyutta (3,4,6,11), vagga yang terakhir mengandung hanya lima sutta, separuh dari jumlah standar, dan oleh karenanya disebut “kelompok lima” (pancaka). Empat samyutta tidak dibagi menjadi vagga yang terpisah (5, 8, 9, 10), dan dengan demikian bisa dianggap terbentuk dari vagga tunggal. Saya telah menomori sutta-sutta itu secara berurutan di dalam setiap samyutta mulai dari 1, dan nomor di dalam vagga diberikan dalam tanda kurung. Edisi PTS yang belakangan untuk Sagathavagga (Ee2), menomori sutta-sutta secara berurutan di seluruh koleksi, dari 1 sampai 271.
Jumlah syair bervariasi dari satu edisi ke edisi lain, bergantung atas perbedaan-perbedaan bacaannya dan atas cara-cara yang berbeda untuk pengelompokan pada atau baris menjadi bait; suatu urutan dua belas pada mungkin dibagi menjadi dua bait yang masing-masing terdiri atas enam baris atau tiga bait yang masing-masing terdiri atas empat baris. Ee2 merupakan satu-satunya yang menomori syair-syairnya, dan edisi ini memiliki 945; dari syair-syair ini saya tidak mencakupkan tiga (sy. 70, 138, 815), karena alasan alasan yang dijelaskan di dalam Catatan (Cat. 53, 96, 573). Banyak dari syair-syair ini yang muncul beberapa kali di dalam Samyutta Nikaya, biasanya di Sagathavagga, kadang-kadang di tempat lain, seperti yang dapat dilihat dari indeks 1 (A). Syair-syair itu juga memiliki banyak kesamaan di tempat lain di Kitab Pali. Sejumlah besar terdapat juga pada teks-teks seperti misalnya Thera- dan Therigatha, Suttanipata, Dhammapada, Jataka, dan juga di dalam Nikaya-Nikaya lain. Syair-syair itu juga dikutip di kitab-kitab yang berhubungan dengan Kitab Pali, seperti misalnya Milindapanha, Petakopadesa dan Nettippakarana. Sejumlah besar memiliki kesamaan di banyak literature Buddhis India non-Pali, seperti misalnya, Patna dan Dharmapadha Gandhari, Udanavarga, Mahatvastu, dan bahkan jauh di kemudian hari Yogacarabhumi. Semua kesamaan “eksternal” ini ditunjukkan di dalam Indeks 1 (B). Tak diragukan lagi, beberapa dari syair-syair itu bukanlah asli dari sutta-sutta di dalam koleksi kita melainkan masuk ke dalam kumpulan syair didaktik Buddhis yang mengalir bebas, yang dipilih oleh para pengumpul teks untuk dimasukkan ke dalam konteks-konteks khusus dengan cara memberinya lingkungan naratif seperti yang terdapat di Sagathavagga. Di antara sebelas samyutta di vagga ini, delapan samyutta berkisar di sekeliling pertemuan antara Sang Buddha (atau siswa-siswa Beliau) dengan para makhluk dari alam kehidupan lain. Kita akan berulang-kali bertemu dengan para makhluk dari alam bukan manusia di vagga-vagga yang lain juga. Karena itu, ringkasan pendek tentang gambaran Buddhis mengenai makhluk alam semesta akan membantu kita untuk mengindentifikasi mereka dan memahami tempat mereka di dalam kosmologi Buddhis awal. (Lihat Tabel 3, yang memberikan gambaran visual tentang kosmologi ini.)
Tabel 3
Tiga Puluh Satu Alam Kehidupan
menurut Kosmologi Theravada Tradisional
(lihat CMA 5:3 – 7)
Alam Tanpa-Bentuk (4 Tingkat)
(31) Landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi
(30) Landasan kekosongan
(29) Landasan kesadaran yang tak-terbatas
(28) Landasan ruang yang tak-terbatas
Alam Bentuk (16 tingkat)
Alam Jhana keempat : Lima Kediaman Murni
(27) Alam Akanittha
(26) Alam Berpenglihatan-Jernih
(25) Alam Indah
(24) Alam Terang
(23) Alam yang Bertahan – Lama
Alam Jhana keempat biasa
(22) Makhluk-makhluk tanpa-persepsi
(21) Dewa-dewa dengan buah besar
Alam Jhana ketiga
(20) Dewa-dewa dengan aura yang tetap
(19) Dewa-dewa dengan aura yang tak terukur
(18) Dewa-dewa dengan aura minor
Alam Jhana kedua
(17) Dewa-dewa dengan kecemerlangan yang mengalir
(16) Dewa-dewa dengan kecemerlangan yang tak-terukur
(15) Dewa-dewa dengan kecemerlangan minor
Alam jhana pertama
(14) Alam Mahabrahma
(13) Mentri-mentri Brahma
(12) Dewan kelompok Brahma
Alam lingkup-indera (11 Tingkat)
Tujuh tempat tujuan yang baik
Enam alam surga lingkup – indera
(11) Dewa-dewa Paranimmitavasavatti
(10) Dewa-dewa Nimmanarati
(9) Dewa-dewa Tusita
(8) Dewa-dewa Yama
(7) Dewa-dewa Tavatimsa
(6) Empat Raja Besar
Alam manusia
(5) Alam Manusia
Empat tempat tujuan buruk
(4) Kelompok asura
(3) Alam makhluk halus (peta)
(2) Alam binatang
(1) Alam-alam neraka
Teks-teks Buddhis awal menggambarkan alam semesta dengan tiga deretan-bertingkat utama, yang dibagi lagi menjadi banyak tingkat. Deretan-bertingkat yang paling rendah adalah alam lingkup-indera (kamadhatu), yang disebut demikian karena tenaga pendorong di alam ini adalah nafsu-indera. Alam lingkup-indera (dalam kosmologi yang paling tua) berisi sepuluh tingkat: neraka-neraka (niraya), yaitu alam-lama dengan penyiksaan yang luar biasa; alam binatang (tiracchanayoni); alam makhluk halus (pettivisaya), yaitu makhluk halus seperti bayangan yang terkena berbagai jenis kesengsaraan; alam manusia (manussaloka): dan enam surga lingkup-indera (saga) yang dihuni oleh para dewa, makhluk-makhluk surgawi yang menikmati kebahagiaan, keelokan, kekuatan, dan kemuliaan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan yang kita ketahuii di alam manusia. Belakangan, tradisi ini kemudian menambahkan asuravisaya-yaitu alam makhluk raksasa atau anti dewa- ke dalam tempat tujuan yang buruk, walaupun di dalam Nikaya para makhluk asura ini digambarkan menghuni suatu daerah yang berbatasan dengan surga Tavatimsa, dan dari sana mereka sering melancarkan serangan melawan para dewa.
Di atas alam lingkup –indera terdapat alam bentuk (rupadhatu). Di situ bentuk materi yang kasar telah lenyap. Yang ada hanyalah bentuk-bentuk yang lebih halus. Alam ini dibagi menjadi empat deretan-bertingkat utama dengan beberapa tingkat pada masing-masingnya. Penghuni alam-alam ini juga dewa, namun untuk membedakan mereka dengan dewa dari surga inderawi biasanya mereka disebut brahma. Masa hidup diberbagai alam brahma meningkat secara eksponensial, jauh lebih lama dari pada masa hidup di surga-surga inderawi. Di sini, nafsu-indera sudah banyak yang reda. Cara pengalaman yang lazim di sini bersifat meditative, bukannya melalui indera, karena alam-alam ini merupakan imbangan ontologis dari empat jhana atau pencerapan meditative. Alam-alam ini mencakup lima “kediaman Murni” (Suddhavasa), lingkup untuk tumimbal lahir yang dapat diakses hanya bagi Yang-Tidak-kembali-Lagi.
Di atas alam bentuk terdapat alam kehidupan yang bahkan jauh lebih tinggi lagi, yang disebut alam tanpa–bentuk (arupadhatu). Para makhluk di alam ini hanya terdiri atas pikiran semata, tanpa suatu landasan materi, karena bentuk fisik disini sepenuhnya tidak ada. Empat alam yang membentuk alam ini, yang secara berturut-turut makin halus, adalah imbangan ontology bagi empat aruppa atau pencapaian meditative tanpa-bentuk. Itulah sebabnya alam itu diberi nama demikian: landasan ruang yang tak-terbatas, landasan kesadaran yang tak-terbatas, dan landasan kekosongan, serta landasan bukan –persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi.
Sutta-sutta sering memadatkan kosmologi yang panjang lebar ini menjadi skema sederhana dari lima tempat tujuan (pancagati): neraka-neraka, alam binatang, daerah kekuasaan makhluk halus, alam manusia, dan dunia dewa. Yang terakhir ini mencakup semua dari berbagai alam dewa di tiga alam. Tiga yang pertama disebut alam kesengsaraan (apayabhumi), alam bawah (vinipata), atau tempat-tempat tujuan yang buruk (duggati); alam manusia dan alam dewa secara kolektif disebut tempat-tempat tujuan yang baik (sugati). Kelahiran–ulang ke alam-alam kesengsaraan merupakan buah dari kamma yang tak-bajik, kelahiran ulang ke tempat-tempat tujuan yang baik adalah buah dari kamma yang bajik. Di luar semua dunia dan alam-alam kehidupan kehidupan itu adalah Yang Tak-Terkondisi, Nibbana, tujuan akhir dari Ajaran Sang Buddha.
1.  DEVATASAMYUTTA
Devata adalah suatu kata-benda abstrak dari kata deva, tetapi di dalam Nikaya-nikaya kata ini digunakan secara tidak berbeda untuk menunjuk pada makhluk-makhluk surgawi tertentu, persis seperti kata bahasa Inggris “deity” (dewa), yang pada mulanya merupakan kata-benda abstrak yang berarti sifat yang agung, yang secara normal digunakan untuk menunjuk pada Tuhan yang maha-tinggi di agama-agama Ketuhanan, atau dewa individu atau dewi dari keyakinan politheis. Walaupun kata devata itu feminine, gendernya ditentukan oleh akhiran abstrak –ta dan tidak perlu harus berarti bahwa para devata itu perempuan. Teks-teks jarang menunjukkan jenis kelamin mereka, walaupun tampaknya mereka mungkin saja berjenis kelamin laki-laki atau perempuan dan mungkin kadang-kadang ada di luar perbedaan jenis kelamin.
Bagi Buddhisme; dewa bukannya makhluk yang tidak bisa mati, yang memiliki peran kreatif di dalam proses kosmik. Mereka hanyalah makhluk yang tinggi, yang amat berbahagia dan bersinar, yang sebelumnya tinggal di alam manusia tetapi kemudian terlahir kembali di alam kehidupan surgawi sebagai buah dantindakan-tindakan berjasa mereka. Dengan hanya sedikit perkecualian, mereka juga seperti manusia, sama terbelenggunya di dalam kebodohan batin dan nafsu, dan mereka juga membutuhkan bimbingan dari Yang Tercerahkan. Sang Buddha adalah “guru para dewa dan manusia” (sattha devamanussanam), dan walaupun betul-betul telah mantap di lam manusia, Beliau berada di atas dewa-dewa yang paling tinggi karena kebijaksanaan Beliau yang luar biasa serta kemurnian Beliau yang sempurna.
Para dewa biasanya datang mengunjungi Sang Buddha di keheningan malam yang telah larut, sementara isi dunia lainnya terlelap dalam tidur. Devatasamyutta memberi kita catatan mengenai percakapan-percakapan mereka. Kadang-kadang, para dewa datang untuk mengucapkan syair-syair yang memuji Sang Guru, kadang-kadang untuk mengajukan pertanyaan, kadang-kadang meminta instruksi, kadang-kadang untuk mendapatkan persetujuan tentang pandangan-pandangan mereka, kadang-kadang bahkan menantang atau mengejek Beliau. Ketika menghampiri Sang Buddha, mereka hampir selalu membungkuk untuk menghormat, karena Beliau adalah pemimpin moral dan spiritual mereka. Tidak membungkuk di hadapan Beliau, seperti yang dilakukan beberapa dewa (lihat 1:35), merupakan provokasi, yang sengaja tidak memberikan hormat yang seharusnya diberikan.
Masing-masing dari empat Nikaya itu dibuka dengan sutta yang bermakna dalam. Walaupun sangant pendek, sutta pertama SN ini kaya akan implikasi. Di sini, satu devata datang kepada Sang Buddha untuk menanyakan bagaimana Beliau “menyeberangi banjir,” yaitu, bagaimana caranya Beliau mencapai pembebasan. Dalam jawabannya, Sang Buddha menunjuk pada “jalan tengah” sebagai kunci pencapaian Beliau. Jawaban ini mengandung semangat Dhamma yang hakiki, yang menghindari semua ekstrem dalam pandangan, sikap, dan perilaku. Kitab komentar menarik percabangan pernyataan Sang Buddha itu dengan daftar yang mencakup tujuh ekstrem, yang bersifat filosofi dan praktis, yang dilampaui oleh jalan tengah.
Sutta berikutnya di Samyutta ini melingkupi spectrum pokok bahasan yang luas, yang urutannya tidak memiliki logika khusus. Sutta sutta ini berkisar dari yang sederhana sampai yang mendalam, dari yang biasa sampai yang tinggi, dari yang penuh humor sampai yang tegass. Pertukaran-pertukaran tersebut membahas praktek-praktek etis seperti misalnya berdana, melayani makhluk lain, dan tidak-menyakiti; kesulitan-kesulitan meninggalkan keduniawian dan kehidupan meditasi; panggilan untuk berusaha sepenuh hati; kesengsaraan-kesengsaraan kehidupan manusia dan kebutuhan akan ketenang-keseimbangan Arahat, dan beberapa yang menyentuh tingkat transcendental Arahat. Di sebagian besar sutta, sekian banyak prosa itu tidak memiliki fungsi lain kecuali membentuk kerangka untuk percakapan, yang lambat laun memudar dan menyisakan hanya pertukaran syair-syair dengan identitas para pembicara yang sudah diketahui. Tetapi kadang-kadang kita menemukan cerita-cerita ringkas, seperti misalnya cerita tentang devata perempuan yang mencoba merayu bhikkhu Samiddhi (1:20), atau tentang “para dewa yang mencari-cari kesalahan” yang menuduh bahwa Sang Buddha itu munafik (1:35), atau tentang kunjungan sekelompok dewa yang mengunjungi Sang Buddha ketika Beliau terluka oleh pecahan batu (1:38). Biasanya, identitas pribadi devata itu tidak diungkapkan, tetapi ada perkecualian, yaitu sepasang sutta dimana dua Kokanada bersaudara –putri-putri dewa cuaca Pajjunna – mengunjungi Sang Buddha dan memuji Beliau seta Dhamma Beliau (1:39-40). Kadang-kadang, syair-syair yang diucapkan oleh dewa yang tidak disebut namanya muncul lagi di tempat lain dengan identitas khusus; misalnya, syair 22 muncul lagi sebagai syair 461, yang dianggap berasal dari Mara Si jahat; syair 156-59 muncul lagi sebagai syair 312-15, yang dianggap berasal dari Anathapindika, yaitu reinkarnasi surgawi dari dermawan besar tersebut. Demikian juga, sutta-sutta jarang menunjuk dewa-dewa dari alam tertentu, tetapi ada perkecualian, seperti misalnya sutta-sutta tentang para dewa dari kelompok “yang memuji kebajikan” (satullapakayika deva; 1:31-34, dsb.) dan sutta tentang para dewa dari kediaman-kediaman Murni (suddhavasakayika deva; 1:37). Kitab komentar, yang dikutip di dalam catatan, sering memberikan lebih banyak informasi tentang latar belakangnya.
Ketika devata itu tidak memberikan pertanyaan melainkan menyampaikan suatu pendapat, biasanya ada perbedaan yang terjadi antara sudut pandangan dewa – yang biasanya absah dilihat dari dalam cakrawalanya yang terbatas – dengan sudut pandang Sang Buddha, yang melihat hal-hal jauh melebihi pemahaman para dewa itu (lihat, misalnya, syair 3-6). Kadang-kadang sekelompok dewa menyampaikan pendapat mereka, yang dilampaui oleh Sang Buddha dengan kostribusi Beliau sendiri yang jauh lebih mendalam (syair 78-84, 95-101). Di beberapa sutta, syair-syair itu tidak diucapkan dalam konteks percakapan melainkan mengungkapkan pandangan-pandangan pribadi dari dewa tersebut, yang secara taktis didukung oleh Sang Buddha (syair 136-40), dan dua syair sekadar dendang puji-pujian sederhana kepada Yang Terberkahi (syair 147, 148). Bermula dengan syair 183, sutta-sutta mengambil format standar, dengan para dewa yang mengajukan serangkaian teka-teki yang dijawab oleh Sang Buddha sampai mereka puas. Suatu contoh yang dapat diingat mengenai hal ini adalah teka-teki tentang jenis pembunuhan yang disetujui oleh Sang Buddha. Jawaban Sang Buddha adalah pembunuhan kemarahan (syair 223-24). Di satu sutta, kita menemukan humor yang lembut: satu devata mengajukan serangkaian pertanyaan kepada Sang Buddha, yang maksudnya jelas-jelas bersifat duniawi, tetapi sebelum Yang Terberkahi menjawab, ada devata lain yang menyela dan memberikan jawabannya sendiri, yang tetap saja bertingkat duniawi. Kemudian Sang Buddha menjawab, dengan mengangkat dialog itu sampai ke tingkat yang transenden (syair 229-31). Karena isinya yang bervariasi dan syair-syairnya sungguh tajam, di dalam tradisi Theravada, setidak-tidaknya di Sri Langka, Devatasamyutta amat popular sebagai sumber teks yang diambil untuk khotbah-khotbah.
2. DEVAPUTTASAMYUTTA
Devaputta, atau “putra dewa,” adalah dewa muda yang baru saja muncul di alam-alam surgawi yang sesuai dengan mereka; devaduhita, “putri dewa,” juga disebutkan di dalam kitab komentar tetapi tak satu pun muncul di samyutta ini. Kitab komentar mengatakan bahwa para makhluk ini terlahir kembali secara spontan di pangkuan para dewa. Walaupun sebagian besar dewa di samyutta sebelumnya tetap tidak bernama, para dewa muda ini selalu disebutkan namanya. Sungguh mengherankan melihat bahwa beberapa dari mereka – atau setidak-tidaknya syair-syair mereka – sudah muncul di Devatasamyutta (lihat 2:3, 4,16,19, 20, 21, 24, 27). Hal ini menyiratkan bahwa garis pembagi diantara dua kelompok dewa itu bukanlah garis yang keras dan pasti, seperti halnya garis pembagi di antara dewasa dan remaja bukanlah garis yang keras dan pasti. Cukup banyak dari syair-syair di bab ini yang berfokus pada pelatihan monastic, relatif lebih banyak disbanding di Devatasamyutta. Teks-teks itu sendiri tidak menyiratkan petunjuk-petunjuk mengenai mengapa demikian; setidak-tidaknya, tidak ada satu pun yang tampak nyata.
Beberapa sutta mengungkapkan pokok-pokok yang menarik bila dilihat dari perspektif doktrin. Misalnya saja, kita bertemu dengan dewa muda Damali yang berpikir bahwa Arahat masih harus tetap “berjuang tanpa lelah”, sampai Sang Buddha memberitahu dia bahwa Arahat telah menyelesaikan tugasnya dan tiak perlu berjuang lebih jauh (2.5). Kitab komentar mengatakan sutta ini bisa dibilang unik karena di sini Sang Buddha tidak berbicara memuji usaha. Sekali lagi, kita bertemu Tayana, yang syair-syairnya mengenai perjuangan dipuji oleh Yang Terberkahi. Dan, hari berikutnya, syair-syair itu dipuji oleh Beliau di hadapan para bhikkhu (2:8). Kedua sutta mengenai penangkapan Candima –dewa bulan- dan Suriya –dewa matahari- mencakupkan syair-syair yang pasti berfungsi sebagai mantra untuk menghentikan gerhana bulan dan matahari (2:9, 10); di Sri Langka, kedua sutta itu dimasukkan ke dalam Maha Pirit Pota, “Buku Besar Perlindungan,” yang terbentuk dari sutta-sutta dan paritta-paritta lain yang diulang untuk perlindungan fisik maupun spiritual. Kita juga bertemu dengan Subrahma, yang syair tunggalnya merupakan salah satu ungkapan yang paling ringkas dan tajam di literature dunia mengenai kesedihan dhati dari kondisi manusia (2:17). Cerita mengenai Rohitassa, yang mencoba mencapai akhir dunia dengan cara berkelana, memperoleh dari Sang Buddha jawaban penting tentang dimana dunia dan ujungnya akhirnya dapat ditemukan (2:26). Di samyutta ini kita juga bertemu dengan dua dewa muda yang bernama Venhu dan Siva (di 2:12 dan 2:21), yang mungkin merupakan prototipe awal dari dewa India yaitu Visnu dan Siva (bentuk Sanskerta untuk nama mereka); tetapi teks kami rupanya bermula dari periode sebelum mereka menjadi dewa utama dalam Hinduisme bakti yang theistic. Sutta terakhir di dalam bab tersebut (2:30) memperkenalkan kita kepada sekelompok dewa muda yang tadinya adalah siswa-siswa saingan Sang Buddha di India, yaitu Purana Kassapa, Makkhali Gosala, dan Nigantha Nataputta, guru-guru yang pandangan-pandangannya secara tegas ditolak oleh Sang Buddha. Maka, sungguh membingungkan bila siswa-siswa mereka terlahir kembali di surga, khususnya karena dua guru yang pertama itu menyebarkan doktrin-doktrin seperti misalnya fatalisme dan anarkisme moral. Tetapi kesimpulan yang dicapai di sutta itu adalah bahwa guru-guru semacam itu sungguh amat berbeda dari tingkatan manusia suci sejati, bagaikan serigala berbeda dari singa.
3. KOSALASAMYUTTA
Bab ini memperkenalkan kita kepada Raja Pasenadi dari Kosala. Menurut teks-teks Buddhis, Pasenadi amat sangat berbakti kepada Sang Buddha dan sering meminta nasehat Beliau, walaupun tidak ada catatan mengenai dia mencapai tahap pencerahan apa pun (tradisi Sri Langka pertengahan menganggap bahwa Pasenadi adalah seorang bodhisatta, yang tidak mencapai pencerahan agar dia bisa terus menggenapi keluhuran sempurna yang memuncak dalam ke-Buddha-an). Pasenadi telah dibawa kepada Sang Buddha oleh istrinya, Ratu Mallika, yang memiliki bakti terhadap Sang Guru sehingga tadinya raja merasa jengkel. Cerita mengenai bagaimana Mallika meyakinkan raja tentang kebijaksanaan Sang Buddha dikisahkan di MN No. 87; MN No. 89 memberi kita suatu cerita yang menyentuh mengenai pertemuan terakhir raja dengan Sang Guru ketika mereka berdua berusia 80-an. Sutta pertama dari Kosalasamyutta jelas mencatat pertemuan pertama Pasenadi dengan yang Terberkahi, setelah keyakinannya dibangkitkan oleh kepintaran Mallika. Di sini Sang Buddha digambarkan masih muda, dan ketika raja mempertanyakan pertanyaan bahwa petapa muda seperti dapat tercerahkan secara sempurna, Sang Buddha menjawab dengan serangkaian syair yang menghalau keraguan raja tersebut dan memberinya insirasi untuk pergi berlindung.
Tidak seperti dua samyutta pertama, Kosalasamyutta menggunakan banyak latar belakang prosa pada syair-syairnya, dan seringkali bait-baitnya hanya sekadar mengulang secara metrik moral dari khotbah Sang Buddha. Walaupun topik-topik yang dibahas tidaklah sangat mendalam, hampir semuanya relevan untuk umat awam yang sibuk, yang menghadapi tantangan yang sulit dalam menjalani kehidupan moral di dunia. Khususnya, yang pantas dicatat adalah penekanan yang diberikan pada perlunya tanpa-henti terus setia pada jalan kebenaran di tengah godaan-godaan dunia. Beberapa sutta (3:4, 5) menunjukkan betapa mudahnya terjatuh dari standar-standar keluhuran, terutama di zaman Sang Buddha – seperti juga di zaman kita- persaingan yang tajam untuk kekayaan, posisi, dan kekuasaan mendorong nilai-nilai etis yang sangat dijunjung tinggi keluar dari sirkulasi. Obat untuk melawan godaan adalah ketekunan (appamada). Ketika Sang Buddha memuji ketekunan dihadapan raja, arti kata itu tidak sama seperti arti di dalam teks monastic, yaitu bakti yang terus-menerus kepada meditasi. Di situ, artinya adalah keuletan dalam melaksanakan tindakan-tindakan berjasa. Untuk manusia seperti Pasenedi, tujuan langsungnya adalah kelahiran-ulang yang bahagia – bukannya Nibbana.
Percakapan raja dengan Mallika, di mana mereka berdua mengakui bahwa mereka menghargai diri mereka sendiri lebih daripada orang lain (3:8), memperoleh dari Sang Buddha satu syair yang memberikan kecenderungan etis terhadap tesis metafisika yang terdapat di Brhadaranyaka Upanisad. Hal ini juga muncul dalam percakapan antara suami istri bahwa di antara semua hal, diri sendirilah yang paling berharga. Ini membangkitkan pertanyaan yang menarik apakah hubungan yang dekat di antara keduanya hanyalah kebetulan semata (bukannya tidak mungkin) atau akibat dari pengulangan yang disengaja oleh Sang Buddha tentang Upanisad lama. Pada kesempatan lain, kita melihat raja mempertunjukkan kurangnya ketajaman penglihatan dalam penilaiannya mengenai para petapa (3:11) – mungkin suatu petunjuk bahwa komitmennya kepada Dhamma bukannya tidak goyah – dan tanggapan Sang Buddha menawarkan nasihat yang bijak mengenai bagaimana menilai watak seseorang.
Di Samyutta ini kita bahkan mendapatkan, dari bibir emas Sang Guru, nasihat yang mencerahkan untuk mengurangi berat (3:12), sementara dua sutta yang lain memberikan perspektif sejarah mengenai konflik antara Kosala dan Magadha, dengan perenungan mengenai perang dan kedamaian (3:14, – 15). Yang menarik pada waktu itu adalah syair Sang Buddha yang menjelaskan kepada raja bahwa seorang perempuan dapat lebih baik daripada laki-laki (3:16). Di tempat lain, Sang Buddha menolak ide yang disebarkan oleh para brahmana, bahwa kelahiran merupakan criteria penting bagi nilai-nilai spiritual, yang justru menekankan bahwa tanda-tanda sejati untuk keagungan spiritual adalah kemurnian etika dan kebijaksanaan (3:24).
Suatu tema yang diulang diseluruh samyutta ini adalah kematian yang tak-terhindarkan dan jalannya hukum kamma yang tidak dapat ditawar-tawar, yang memastikan bahwa tindakan-tindakan yang baik dan buruk akan bertemu dengan imbalan yang pasti. Para makhluk berlalu dari keadaan-keadaan yang terang menuju gelap dan dari gelap menuju terang, bergantung pada tindakan-tindakan mereka (3:21). Apa yang kita bawa bersama kita ketika mati adalah tindakan-tindakan baik dan buruk kita. Karena itu, kita harus memastikan untuk mengumpulkan jasa-jasa kebajikan, karena di alam berikutnya jasa-jasa inilah yang merupakan “penopang bagi para makhluk hidup” (3:4, 20, 22). Di antara beberapa teks mengenai kematian yang tak terhindarkan, yang paling mengesankan adalah sutta terakhir di bab itu (3:25), dengan perumpamaan yang mengejutkan tentang gunung-gunung yang bergerak maju dari semua penjuru, menghancurkan segalanya di sepanjang perjalanan mereka.
4. MARASAMYUTTA
Mara adalah Si jahat di dalam Buddhisme, Penggoda dan Raja Sensualitas yang cenderung menggoda para pemula dari Jalan menuju pembebasan dan membuat mereka terperangkap dalam siklus kelahiran dan kematian yang berulang-ulang. Kadang-kadang, teks-teks menggunakan kata “Mara” dalam pengertian kiasan, untuk mewakili penyebab-penyebab belenggu psikologis di dalam diri, seperti misalnya nafsu keserakahan dan nafsu jasmani (22:63-65), serta hal-hal di luar diri yang membelenggu kita, terutama lima kelompok khanda itu sendiri (23:11-12). Tetapi jelas bahwa dunia pemikiran sutta tidak menganggap Mara hanya sebagai personifikasi kelemahan moral umat manusia, melainkan sebagai dewa jahat sejati yang menghalangi usaha-usaha mereka yang ingin memenangkan tujuan akhir. Hal ini terbukti ketika Mara mengejar Sang Buddha dan para Arahat sesudah mereka mencapai pencerahan, yang tidak mungkin terjadi seandainya Mara hanya dianggap semata-mata sebagai proyeksi psikologis.
Marasamyutta dibuka disekitar Pohon Boddhi segera setelah Sang Buddha mencapai pencerahan tertinggi. Di sini, Mara menantang pernyataan Yang Terberkahi bahwa Beliau telah mencapai tujuan. Mara mengejek Sang Buddha karena telah meninggalkan jalan penyiksaan-diri (4:1), mencoba menakut-nakuti Beliau dengan cara berubah menjadi bentuk-bentuk yang mengerikan (4:2), dan mencoba mematahkan ketenang-seimbangan Beliau dengan cara menunjukkan bentuk-bentuk yang cantik dan seram (4:3). Bagi Sang Buddha untuk memenangkan pertandingan ini, Beliau hanya perlu menentang gertakan Mara, mengatakan bahwa musuh di hadapan Beliau ini tak lain adalah Si Jahat. Dengan demikian, Mara pasti lenyap, merasa frustasi dan berduka.
Mara juga muncul sebagai pengejek yang menyangkal bahwa makhluk yang tidak kekal dapat mencapai kemurnian sempurna (4:4, 15). Pada beberapa kesempatan, Mara mencoba mengacaukan para bhikkhu sementara mereka sedang mendengarkan khotbah Sang Buddha, tetapi setiap kali Sang Buddha mengetahui hal itu (4:16, 17, 19). Pada kesempatan lain, Mara mencoba menggoda Sang Guru dengan iming-iming kekuasaan duniawi, tetapi Sang Buddha dengan tegas menolaknya (4:20). Yang sangat mengesankan adalah Godhika Sutta (4:23). Di situ, bhikkhu Godhika yang terkena penyakit yang menghalangi kemajuan meditasinya, berencana untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Mara mengajukan dirinya sendiri di hadapan Sang Buddha, memohon agar Beliau melarang siswanya melakukan ketololan semacam itu, tetapi Sang Guru memuji bakti untuk mencapai tujuan sekalipun harus dibayar dengan nyawanya. Di akhir sutta, Mara sia-sia mencari kesadaran-kelahiran –ulang Godhika. Dia tidak menyadari bahwa bhikkhu itu telah mencapai Nibbana dan padam “dengan kesadaran yang tidak terbentuk.”
Dua sutta terakhir di samyutta ini membawa kita kembali ke lokasi pencerahan. Di sini, pertama-tama kita melihat Mara dan kemudian tiga putrid Mara – yaitu Tanha, Arati, dan Raga (Keserakahan, Ketidak-puasan, dan Nafsu)-mencoba untuk mencari titik kelemahan dan Buddha yang baru saja tercerahkan. Tetapi usaha mereka sia-sia dan mereka harus pergi dengan kecewa (4:24, 25).
5. BHIKKHUNISAMYUTTA
Bhikkhunisamyutta adalah kumpulan dari sepuluh sutta pendek dalam gabungan prosa dan syair, yang tidak dibagi menjadi vagga. Semua pelaku utamanya adalah para bhikkhuni, biarawati Buddhis. Walaupun beberapa dari tiga puluh tujuh syairnya memiliki parallel di dalam Therighata (disebutkan di dalam Catatan dan Indeks 1 (B), banyak yang unik di dalam koleksi ini, walaupun seringkali variasinya di dalam versi yang secara kasar parallel pun sudah memiliki daya tarik sendiri. Setidaknya, ada satu bhikkhuni di Bhikkhunisamyutta, yaitu Vajira, yang sama sekali tidak muncul di dalam Therighata, sementara kasus bhikkhuni lain, yaitu Sela, bersifat problematis. Bila dua koleksi itu diperbandingkan, terlihat beberapa perbedaan yang pantas dicatat dalam hal asal-mula penulisan. Karena SN dan Therighata jelas ditransmisikan melalui garis pengulang yang berbeda, syair-syair itu mudah sekali menyeleweng dari tempat narasi asalnya dan bergabung dengan cerita latar belakang lain yang menghubungkan mereka dengan penyusun lainnya.
Sepuluh sutta itu semuanya dibentuk menurut pola yang sama, yaitu konfrontasi langsung antara Mara dan satu bhikkhuni individu. Struktur ini mungkin menjelaskan mengapa Bhikkhunisamyutta ditempatkan persis setelah Marasamyutta. Setiap sutta dari koleksi ini bermula dengan seorang bhikkhuni yang pergi sendirian untuk melewatkan hari itu dalam meditasi kesendirian. Kemudian Mara mendekatinya dengan suatu tantangan –yaitu pertanyaan provokatif atau ejekan- yang bertujuan agar dia tergelincir dari konsentrasinya. Apa yang tidak disadari oleh Mara adalah bahwa setiap bhikkhuni ini adalah Arahat yang telah melihat secara mendalam menembus kebenaran Dhamma sehingga beliau sama sekali tidak bisa terkena godaan mara. Jauh dari menjadi bingung karena tantangan Mara, Bhikkhuni tersebut secara tepat menerka identitas lawannya dan menghadapi tantangannya dengan jawaban yang tajam.
Didalam dialog yang mempertemukan Raja Sensualitas dengan seorang bhikkhuni yang sendirian, mungkin kita mengharapkan bahwa setiap tawaran Mara itu ditujukan untuk bujukan seksual. Hal ini benar hanya di beberapa sutta saja. Tema-tema khotbah yang sesungguhnya itu amat bervariasi dan membuka kepada kita serangkaian luas perspektif mengenai sikap dan kebijaksanaan dalam kehidupan orang yang meninggalkan keduniawian. Perbedaan yang menyolok antara daya pikat dan kesengsaraan dari kenikmatan indera merupakan tema di 5:1, 4, dan 5. Di tiga kasus itu, para bhikkhuni semuanya secara tajam menegur Mara dengan syair-syair yang mengungkapkan bahwa mereka sama sekali tidak mengacuhkan permintaan-permintaan Mara.
Dialog Mara dengan Soma (5:2) mengungkapkan prasangka India kuno bahwa perempuan memiliki “hanya kebijaksanaan dua-jari” sehingga tidak dapat mencapai Nibbana. Balasan Soma merupakan peringatan yang sangat kuat bahwa pencerahan tidak bergantung pada gender tetapi pada kemampuan pikiran untuk konsentrasi dan kebijaksanaan-sifat-sisat yang dapat dimiliki manusia mana pun yang tekun berjuang untuk menembus kebenaran. Di 5:3, Mara mendatang Kisagotami, pahlawan perempuan pada perumpamaan terkenal tentang benih sawi, yang mencoba untuk membangkitkan insting keibuannya untuk memperoleh putra lagi. Maka, seruan Mara menyentuh pada sensualitas hanya secara tidak langsung, karena permohonan utamanya ditujukan pada keinginan perempuan untuk memperoleh anak.
Dua sutta terakhir merupakan karya besar filosofis, yang memadat menjadi beberapa bait ketat, tentang kebijaksanaan dengan kedalaman yang luar biasa dan implikasi yang luas. Ketika Mara menantang Sela dengan pertanyaan mengenai asal mula kehidupan pribadi, Sela menjawab dengan puisi mengagumkan yang memadatkan seluruh ajaran mengenai sebab-akibat yang saling bergantungan menjadi tiga bait empat-baris yang dihiasi kiasan-kiasan yang mencerahkan (5:9). Mara mengajukan masalah serupa kepada Vajira, yang menjawab dengan penjelasan rinci yang mencengangkan mengenai ajaran tentang tanpa-diri, yang menggambarkan sifat gabungan dari identitas seseorang dengan perumpamaan terkenal mengenai kereta kencana (5:10).
Walaupun dibentuk dengan latar belakang mitologi dalam dunia kuno yang adat kebiasaan dan norma-normanya tampak begitu jauh dari dunia kita sendiri, syair-syair para bhikkhuni kuno ini masih berbicara kepada kita dewasa ini melalui kesederhanaan yang luar biasa dan kejujurannya yang tak kenal kompromi. Syair-syair itu tidak membutuhkan ornamen atau tipu-daya untuk menyampaikan pesannya, karena syair-syair itu sendiri saja sudah cukup mengejutkan kita dengan kejernihan kebenaran yang polos.
6. BRAHMASAMYUTTA
Brahma adalah dewa tertinggi dari Brahmanisme awal, yang dipahami sebagai pencipta alam semesta dan dipuja oleh para brahmana dengan berbagai kurban dan ritual. Kadang-kadang, konsep Brahma ini tetap ada di dalam Kitab Buddhis, namun dipakai sebagai target untuk kritik dan sindiran ketimbang sebagai artikel keyakinan. Di dalam konteks-konteks semacam itu, kata “brahma” digunakan sebagai nama-diri, sering ditambah menjadi Mahabrahma, “Brahma Yang Agung.” Buddha menginterprestasikan kembali ide mengenai brahma dan mengubah satu dewa tunggal yang maha-kuasa dari para brahmana ini menjadi suatu kelompok dewa tinggi yang berdiam di alam bentuk (ruphadatu) jauh di atas surga-surga lingkup-indera. Kediaman mereka diacu sebagai `alam brahma,` yang ada banyak dengan berbagai dimensi dan tingkat kekuasaan. Di dalam dunia mereka, para brahma berdiam secara berkelompok, dan Mahabrahma (atau kadang-kadang brahma dengan nama yang lebih pribadi) dilihat sebagai penguasa kelompok itu, lengkap dengan para menteri dan dewannya. Seperti halnya semua makhluk hidup, para brahma itu pun tidak kekal, masih terikat pada lingkaran kelahiran-ulang, walaupun kadang-kadang mereka melupakan hal ini dan menganggap bahwa mereka tidak bisa mati.
Jalan untuk bisa terlahir – ulang di alam brahma adalah penguasaan atas jhana-jhana, yang masing-masingnya secara ontology sesuai dengan tingkat alam bentuk tertentu (lihat table 3). Kadang-kadang Sang Buddha menyebutkan empat “kediaman agung” (brahmavihara) sebagai sarana untuk kelahiran-ulang di alam brahma. Empat hal ini adalah meditasi-meditasi “yang tak-terukur” dengan objek cinta kasih, kasih sayang, sukacita altruis, dan ketenang-seimbangan (metta, karuna, mudita, upekkha).
Nikaya-nikaya menawarkan evaluasi yang saling bertentangan mengenai brahma, seperti yang dapat dilihat dari samyutta sekarang ini. Pada satu sisi, brahma-brahma tertentu digambarkan sebagai pelindung yang gagah berani untuk ajaran Sang Buddha dan merupakan pengikut Sang Guru yang penuh bakti. Tetapi justru karena amat panjangnya usia mereka dan tingginya tingkat mereka dalam hirarki kosmik, para brahma cenderung memiliki kebodohan dan kesombongan; sesungguhnya, mereka kadang-kadang membayangkan bahwa mereka merupakan pencipta yang maha-kuasa dan penguasa alam semesta. Mungkin dua evaluasi ini mencerminkan sikap Sang Buddha yang saling bertentangan terhadap para brahmana: kekaguman terhadap ideal spiritual kuno dari kehidupan brahmana (seperti yang masih bertahan di dalam ungkapan brahmacariya dan brahmavihara) yang dibarengi dengan penolakan terhadap kepura-puraan para brahmana kontemporer tentang superioritas yang didasarkan atas kelahiran dan garis keturunan.
Yang paling menonjol dari antara brahma yang penuh bakti kepada Sang Buddha adalah Brahma Sahampati, yang muncul beberapa kali di SN. Segera setelah pencerahan itu, brahma Sahampati turun dari kediamannya yang agung dan muncul dihadapan Yang Terberkahi untuk memohon kepada Beliau agar mengajarkan Dhamma kepada dunia (6:1). Dia menghargai penghormatan Sang Buddha kepada Dhamma (6:2), memuji seorang bhikkhu Arahat yang mengumpulkan dana makanan (6:23), mencela Devadatta yang jahat (6:12), dan, muncul lagi pada waktu Sang Buddha parinibbana, dimana dia mengucapkan syair pujian tentang Sang Buddha yang sudah mangkat (6:15). Dia juga muncul di bebrapa samyutta lain ( di 11:17, 22:80, 47:18, 43; dan 48:57).
Para brahma yang bodoh batinnya dilambangkan oleh Brahma Baka, yang menganggap bahwa dirinya kekal sehingga Sang Guru harus melepaskannya dari ilusi ini (6:4). Pada kesempatan lain, brahm lain yang tidak disebut namanya menganggap bahwa dia lebih tinggi daripada para Arahat. Sang Buddha dan empat siswa agung Beliau mengunjungi dunianya untuk membuatnya mengubah pandangan-pandangannya (6:5). Kita juga menyaksikan kontes antara brahma yang lalai, yang kaku dengan kesombongan, dan dua rekannya, yang merupakan pengikut Sang Buddha, yang menghalau ilusi-ilusinya (6:6). Sutta yang kedua dari belakang menunjukkan seorang siswa dari Buddha Sikhi lampau yang membuat seluruh kelompok brahma yang sombong menjadi terkagum-kagum karena dia mempertunjukkan kesaktian-kesaktian gaibnya (6:14). Samyutta inimjuga mengisahkan erita sedih mengenai bhikkhu Kokalika, pengikut Devadatta, yang mencoba menjatuhkan siswa-siswa utama yaitu Sariputta dan Mogallana dan harus menuai akibat kamma yaitu terlahir-ulang dineraka (6:9-10). Sutta terakhir dalam koleksi ini, yang dicakupkan di sini hanya karena syair tunggal Brahma Sahampati, merupakan parallel dari peristiwa kematian di Mahaparinibbana Sutta yang panjang di Digta Nikaya.
7. BRAHMANASAMYUTTA
Samyutta ini mencatat percakapan Sang Buddha dengan para brahmana dan berisi dua vagga, masing-masing dengan tema penyatu yang berbeda. Di vagga pertama, semua brahmana yang datang kepada Sang Buddha – yang sering marah (7:1-4) atau mencemooh (7:7-9) – amat merasa tergugah oleh kata-kata beliau sehingga mereka minta ditasbihkan ke dalam Sangha dan “tidak lama sesudahnya” mencapai tingkat Arahat. Sutta-sutta ini menunjukkan Sang Buddha sebagai perwujudan kesabaran dan kedamaian, yang mampu bekerja, di dalam diri mereka yang menyerang Beliau, suatu mukjizat tranformasi hanya karena ketenang-seimbangan Beliau yang tak tergoyahkan serta kebijaksanaan Beliau yang tak –tercela. Di dalam vagga ini kita juga melihat bagaimana Sang Buddha memberikan penilaian pada pernyataan brahmana bahwa status superior itu didasarkan atas kelahiran. Di sini, Beliau menginterprestasikan kata ‘brahmana’ dengan arti aslinya, sebagai orang suci, dan dengan landasan ini Beliau mengidentifikasi-ulang brahmana sejati sebagai Arahat. Tiga Kitab Veda yang dihormati dan tekun dipelajari oleh [para brahmana digantikan oleh tiga vijja atau tiga pengetahuan yang dimiliki oleh Arahat: pengetahuan tentang kelahiran lampau, tentang hukum kamma, dan tentang hancurnya noda-noda (7:8). Sutta yang terakhir menambahkan sentuhan humor, yang masih dapat dikenali sekarang ini, dengan menggambarkan perbedaan menyolok antara urusan kehidupan berumah-tangga yang menekan dan kebebasan yang terinjak-injak dari kehidupan meninggalkan keduniawian (7:10).
Di dalam vagga kedua, para brahmana datang untuk menantang Sang Buddha dengan cara yang berbeda lagi, dan dalam kesempatan itu sekali lagi Sang Buddha melejit dengan kecerdikan dan kebajikan Beliau yang tak ada habisnya. Tetapi di dalam vagga ini, walaupun Sang Buddha memberikan inspirasi pada lawan-lawan Beliau dengan keyakinan yang baru saja dimenangkan, para brahmana yang telah berubah itu tidak menjadi bhikkhu. Namun mereka menyatakan diri sebagai pengikut awam ‘yang telah pergi untuk perlindungan seumur hidup.’
8. VANGISASAMYUTTA
Bhikkhu Vangisa dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa yang terkemuka di antara mereka yang berbakat berkhotbah dengan penuh inspirasi (patibhanavantanam, di AN I 24,21). Judul ini mengacu padanya karena ketrampilannya menyusun syair secara spontan. Syair-syairnya membentuk bab yang paling panjang di Theragatha, yang tujuh puluh satu syairnya (th 1209-79) berhubungan dekat dengan syair-syair yang ada di samyutta ini tetapi tidak memiliki kerangka prosa. Puisi lain olh Vangisa, yang terdapat di SN II, 12, tidak dimasukkan ke dalam kumpulan ini tetapi memang memiliki imbangannya di dalam Theragatha.
Syair-syair Vangisa bukan sekadar aforisme metris (seperti begitu banyak syair di dalam koleksi ini) melainkan juga komposisi puisi yang secara ahli disusun sehingga dapat dengan baik memperoleh tempat yang terhormat di dalam puisi India awal. Syair-syair itu juga mengungkapkan, dengan kejujuran yang tuntas, berbagai cobaan dan godaan yang dihadapi pengarang di dalam karirnya sebagai bhikkhu. Karena memiliki kecondongan estetis dalam karakter dan aspirasi alami tentang keindahan sensual, vangisa pasti telah mlewati perjuangan yang sulit di masa awalnya sebagai bhikkhu yang menyesuaikan diri dengan disiplin ketat yang dituntut dari seorang bhikkhu, dengan pelatihan dalam pengendalian – indera dan penguasaan pikiran yang gigih. Sutta-sutta awal dalam bab ini (8:1-4) berbicara tentang perjuangannya melawan nafsu jasmani, kelemahannya menghadapi daya pikat lawan jenis, dan tekadnya yang kuat untuk pantang menyerah dan dengan berani terus berjalan di sepanjang jalan yang ditunjukkan oleh Gurunya. Sutta-sutta itu juga menceritakan kecenderungannya untuk angkuh, yang pasti berlanaskan atas bakat alamnya sebagai seorang penyair, dan tentang usahanya untuk menjinakkan kelemahan karakter ini. Nantinya, di dalam karirnya sebagai bhikkhu, jelas setelah memperoleh tingkat penguasaan diri yang lebih besar, dia sering memuji Sang Buddha melalui syair, dan pada satu kesempatan Yang Terberkahi memintanya unutk mencipta syair-syair langsung tanpa persiapan sebelumnya (8:8). Di dalam puisi-puisi lain, dia memuji siswa siswa agung yaitu Sariputta, Moggallana, dan Kondanna (8:6, 9, 10). Syair yang terakhir di samyutta ini, yang sebagian bersifat otobiografi, menutup dengan pernyataan bahwa pengarangnya telah menjadi Arahat yang dilengkapi dengan tiga pengetahuan sejati dan kekuatan-kekuatan spiritual lainnya (8:12).
9. VANASAMYUTTA
Samyutta ini terdiri atas empat belas sutta yang sebagian besar dibentuk sesuai dengan pola stereotype. Seorang bhikkhu sedang hidup sendiri di hutan yang lebat. Seharusnya, dia bermeditasi dengan rajin, tetapi kelemahan manusia menguasainya dan menyebabkan dia berbelok dari tugas-tugas keagamaannya. Kemudian, devata yang berdiam di hutan itu berbelas kasihan kepadanya dan menegurnya dengan syair untuk menyadarkan rasa kemendesakannya. Rupanya para devata ini bukanlah makhluk surgawi, seperti yang kia temui di devatasamyutta, melainkan bidadari hutan atau peri, dan tampaknya mereka perempuan. Pada beberapa kesempatan devata itu salah menilai perilaku tersebut. Maka, di 9: 2 devata tersebut datang untuk menegur bhikkhu karena tidur siang, tanpa menyadari bahwa bhikkhu itu sudah mencapai tingkat Arahat, dan di 9:8 karena bhikkhu itu bergaul terlalu dekat dengan seporang wanita, sekali lagi tanpa menyadari bahwa bhikkhu itu sudah mencapai tingkat Arahat (menurut kitab komentar). Di 9:6, devata perempuan dari surga Tavatimsa mencoba membujuk Y.M. Anuruddha untuk beraspirasi menuju kelahiran-ulang di alam, tetapi beliau menyatakan telah mengakhiri proses kelahiran – ulang dan tidak akan pernah mengambil kehidupan yang lain. Sutta terakhir dalam bab tersebut (9:14) juga muncul di Jataka. Yang menarik, di sini peran Boddhisatta di ambil oleh bhikkhu itu.
10. YAKKHASAMYUTTA
Yakkha adalah makhluk halus galak yang menghuni daerah-daerah terpencil, seperti misalnya hutan, bukit, dan gua yang telah ditinggalkan. Mereka digambarkan berwajah mengerikan dan berwatak pemarah. Tetapi jika diberi persembahan dan penghormatan tertentu, mereka menjadi jinak dan bisa melindungi manusia, bukannya mencelakakan mereka. Banyak kuli di berbagai daerah perdesaan India utara dibangun untuk menghormati para yakkha dan memastikan bantuan mereka. Walaupun hidup dalam kesengsaraan, para yakkha memiliki potensi untuk terjaga dan dapat mencapai jalan-jalan serta buah-buah kehidupan spiritual.
Sutta-sutta di bab ini mencakup berbagai macam topik. Yang menyatukannya bukanlah isi dari syair-syair itu melainkan fungsi propaganda yang menunjukkan Sang Buddha sebagai petapa yang tak-terkalahkan. Melalui sarana ketrampilannya, Beliau dapat menjinakkan dan mengubah bahkan raksasa yang paling ganas dan menakutkan sekalipun, seperti misalnya Suciloma (10:3) dan Alavaka (10:12). Samyutta ini juga mencakup dua kisah yang menarik mengenai yakkha-yakkha perempuan – makhluk-makhluk halus kepalaran – yang menghantui pinggiran Hutan Jeta. Karena amat tersentuh oleh khotbah-khotbah Sang Buddha dan pembacaan paritta para bhikkhu, mereka berubah menjadi pengikut awam yang saleh (10: 6, 7). Di Samyutta ini kita juga mendapatkan cerita mengenai pertemuan pertama Anathapindika dengan Sang Buddha, yang diiringi nasihat penuh persahabatan dari yakkha yang tenang (10:8). Di dalam tiga sutta, para yakkha menyampaikan syair-syair yang memuji para bhikkhuni (10:9-11).
11. SAKKASAMYUTTA
Di dalam pemujaan Buddhis awal, Sakka adalah penguasa para dewa di surga Tavatimsa, dan juga pengikut Sang Buddha. Percakapan panjang antara Sakka dan Sang Buddha, yang memuncak dalam pencapaian Sakka sebagai Pemasuk-Arus, dikisahkan di Sakkapanha Sutta (DN No. 20). Samyutta ini tidak mencatat perjumpaan Sang Buddha sendiri dengan Sakka, tetapi memberikan (dalam kata-kata Sang Buddha) penjelasan mengenai tindakan-tindakan dan percakapan –percakapan Sakka. Maka, Sutta-sutta tersebut disajikan sebagai fabel, tetapi fabel yang selalu menyimpan pesan moral. Samyutta ini juga mencakup Dhajagga Sutta yang terkenal (11:3). Di situ, Sang Buddha memuji perenungan para bhikkhu mengenai Tiga Permata – yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha – sebagai obat penawar rasa takut.
Di dalam legenda Buddhis, dewa-dewa Tavatimsa terus menerus diserang oleh asura – para raksasa, makhluk yang besar kekuatan fisiknya dan kasar ambisinya. Para asura berusaha menaklukkan para dewa dan menguasai tempat kediaman mereka. Sakkasamyutta berulang-ulang mengadu Sakka dalam pertempuran melawan pemimpin asura, Vepacitti dan Verocana. Dua sisi terserbut dapat dibaca sebagai symbol filosofi politik alternatif. Para pemimpin asura lebih suka menguasai melalui kekerasan dan pembalasan terhadap musuh; mereka merasionalkan penyerangan dan memuji etika ‘kekuatan membuat benar.’ Sebaliknya, Sakka mewakili penguasaan melalui keluhuran, kesabaran terhadap penyerang, dan perlakuan welas asih terhadap pelaku kesalahan (11:4, 5, 8). Sakka dan dewa-dewa menghormati para petapa dan orang-orang suci, sedangkan para asura menghina mereka. Dengan demikian, para petapa membantu para dewa tetapi mengutuk para asura (11:9, 10).
Di Samyutta ini Sakka muncul sebagai pengikut awam yang ideal. Dia memperoleh tempatnya sebagai pengusa para dewa, sementara dia masih sebagai manusia, dengan cara memenuhi tujuh sumpah yang mencakup standar-standar perumah-tangga yang luhur (11:11). Pemahamannya tentang keunggulan Sang Buddha lebih rendah dibanding pemahaman Brahma Sahampati (11:17). Tetapi di dalam tiga sutta, Sakka secara mengesankan menyatakan alasan-alasan untuk baktinya terhadap Sang Buddha, Sangha, dan bahkan perumah tangga yang penuh bakti (11:18 – 20). Di dalam tiga sutta terakhir, Sang Buddha mengangkat kesabaran dan sikap pemaaf Sakka sebagai model untuk para bhikkhu (11:23 – 25).