GANAKA MOGGALLANA SUTTA
Sumber : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya I,
Oleh : Tim Penerjemah Tripitaka,
Penerbit : Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta, 1992
Oleh : Tim Penerjemah Tripitaka,
Penerbit : Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta, 1992
1. Demikian telah saya dengar:
Pada suatu kesempatan Sang Bhagava tinggal di Savatthi di Vihara Timur di istana Ibu Migara. Kemudian Brahmana Ganaka Moggallana menghadap Sang Bhagava dan memberi salam, dan kemudian setelah pembicaraan yang sopan dan ramah tamah selesai, ia duduk di satu sisi. Setelah itu, ia berkata demikian kepada Sang Bhagava:
Pada suatu kesempatan Sang Bhagava tinggal di Savatthi di Vihara Timur di istana Ibu Migara. Kemudian Brahmana Ganaka Moggallana menghadap Sang Bhagava dan memberi salam, dan kemudian setelah pembicaraan yang sopan dan ramah tamah selesai, ia duduk di satu sisi. Setelah itu, ia berkata demikian kepada Sang Bhagava:
2. “Guru Gotama, di istana Ibu Migara ini terlihat adanya
latihan yang progresif, kerja yang aktif dan praktik yang progresif, sampai ke
langkah terakhir dari sebuah tingkatan 1), dan juga
pada beberapa brahmana terlihat adanya latihan yang progresif, kerja yang
progresif dan praktik yang progresif, dalam hal belajar; dan juga pada beberapa
brahmana lain terlihat adanya latihan yang progresif … ; … ,di dalam seni
memanah; dan juga para akuntan seperti kami yang hidup melalui pekerjaan sebagai
akuntan, terlihat adanya latihan yang progresif … yang berarti, di dalam
perhitungan… karena, ketika kami mendapatkan seseorang yang bekerja magang,
pertama-tama kami meminta ia untuk menghitung: satu-satu, dua-dua, tiga-tiga,
empat-empat, lima-lima, enam-enam, tujuh-tujuh, delapan-delapan,
sembilan-sembilan, sepuluh-sepuluh, dan kami juga meminta ia untuk menghitung
sampai seratus sekarang apakah hal ini mungkin, Guru Gotama, di dalam hal Dhamma
dan Vinaya ini, untuk menjelaskan latihan yang progresif, kerja yang progesif
dan praktik yang progresif, dengan cara yang sama?”
3. “Dimungkinkan brahmana, dalam hal ini Dhamma dan Vinaya ini
untuk menggambarkan latihan yang progresif, kerja yang progresif dan praktik
yang progesif.
Seperti seorang ahli penjinak kuda, dalam menjinakkan seekor kuda yang masih liar, memberikan latihan pertama dengan meletakkan alat makan pada mulut kuda itu, kemudian disusul dengan latihan lebih lanjut, maka begitu juga brahmana, Sang Tathagata dalam menjadikan seseorang terkendali, menertibkannya pertama kali dengan jalan ini:
Seperti seorang ahli penjinak kuda, dalam menjinakkan seekor kuda yang masih liar, memberikan latihan pertama dengan meletakkan alat makan pada mulut kuda itu, kemudian disusul dengan latihan lebih lanjut, maka begitu juga brahmana, Sang Tathagata dalam menjadikan seseorang terkendali, menertibkannya pertama kali dengan jalan ini:
4. ‘Marilah bhikkhu, jadilah suci, terkendali dengan
pengendalian Patimokkha 2) (peraturan para bhikkhu),
sempurna dalam tingkah laku dan usaha, dan dengan menyadari perasaan takut dalam
kesalahan kecil sekalipun, berlatihlah dengan menjalankan sila-sila
latihan.’
Segera setelah bhikkhu itu menjalani hidup suci, terkendali dengan pengendalian Patimokkha, sempurna dalam tingkah laku dan usaha, dan dengan menyadari perasaan takut dalam kesalahan kecil sekalipun, melatih diri sendiri dengan menjalankan sila-sila latihan, …. Sang Tathagata menertibkannya lebih lanjut:
Segera setelah bhikkhu itu menjalani hidup suci, terkendali dengan pengendalian Patimokkha, sempurna dalam tingkah laku dan usaha, dan dengan menyadari perasaan takut dalam kesalahan kecil sekalipun, melatih diri sendiri dengan menjalankan sila-sila latihan, …. Sang Tathagata menertibkannya lebih lanjut:
5. ‘Marilah bhikkhu, jagalah indera-inderamu. Di dalam melihat
sesuatu dengan mata, pahami bahwa tidak ada tanda-tanda atau ciri-ciri khas yang
melaluinya, jika kamu tidak menjaga indera penglihatan, hal-hal jahat yang tidak
menguntungkan dari ketamakan dan kesedihan akan menyerangmu; praktikkan jalan
pengendalian, jaga indera penglihatan, usahakan pengendalian indera penglihatan.
Di dalam mendengar suara dengan telinga …. Di dalam mencium wangi-wangian dengan
hidung …. Di dalam mencicipi rasa dengan lidah …. Di dalam meraba benda dengan
tubuh …. Di dalam menyadari dhamma dengan pikiran, pahami bahwa tidak ada
tanda-tanda atau ciri-ciri khas yang melaluinya, jika kamu tidak menjaga
pikiran, hal-hal jahat yang tidak menguntungkan dari ketamakan dan kesedihan
akan menyerangmu; praktikkan jalan pengendalian, jaga indera-indera pikiran,
usahakan pengendalian indera pikiran.’
Segera setelah bhikkhu itu menjaga indera-inderanya, kemudian Sang Tathagata menertibkannya lebih lanjut:
6. ‘Marilah bhikkhu, jadilah seorang yang tahu tentang makan
yang benar. Sangatlah bijaksana bagimu untuk memberikan zat-zat makanan yang
berguna pada tubuhmu sendiri dengan makanan dan bukan untuk kesenangan maupun
untuk merusak maupun untuk mempercantik maupun untuk menghias diri, tetapi hanya
untuk daya tahan dan kelangsungan tubuh ini, untuk akhir dari keadaan yang tidak
menyenangkan dan untuk membantu kehidupan suci. Oleh karena itu, saya harus
mengakhiri perasaan-perasaan lama tanpa menimbulkan perasaan-perasaan baru dan
rasa tidak bersalah; saya akan hidup dalam keadaan yang menyenangkan dan
sehat.’
Segera setelah bhikkhu itu mengetahui hal makan yang benar, kemudian Sang Tathagata menertibkannya lebih lanjut:
Segera setelah bhikkhu itu mengetahui hal makan yang benar, kemudian Sang Tathagata menertibkannya lebih lanjut:
7. ‘Marilah bhikkhu, tetaplah waspada. Pada siang hari ketika
sedang berjalan dan duduk, sucikan pikiran dari hal-hal yang mempersulit. Dalam
keadaan jaga pertama pada malam hari ketika berjalan dan duduk, sucikan pikiran
dari hal-hal yang mempersulit. Dalam keadaan jaga kedua pada malam hari,
berbaringlah pada sisi kanan dalam posisi singa tidur dengan satu kaki
bertumpang tindih pada satu kaki lain, berhati-hati dan dengan penuh kesadaran,
setelah memikirkan waktu untuk bangun. Setelah bangun, di dalam keadaan jaga
ketiga ketika berjalan dan duduk, sucikan pikiran dari hal-hal yang
mempersulit.’
Segera setelah bhikkhu itu tetap waspada, kemudian Sang Tathagata menertibkannya lebih lanjut:
Segera setelah bhikkhu itu tetap waspada, kemudian Sang Tathagata menertibkannya lebih lanjut:
8. ‘Marilah bhikkhu, berhati-hatilah dan penuh kesadaran.
Jadilah seorang yang bertindak dengan penuh kesadaran pada saat bergerak;
seorang yang bertindak dengan penuh kesadaran pada saat memandang; seorang yang
bertindak dengan penuh kesadaran pada saat mengenakan lapis tambalan, mangkuk
dan jubah; seorang yang bertindak dengan penuh kesadaran pada saat makan, minum,
mengunyah dan merasakan; seorang yang bertindak dengan penuh kesadaran pada saat
mengosongkan isi perut dan membuang air; seorang yang bertindak dengan penuh
kesadaran pada saat berjalan, berdiri, duduk, tidur, terjaga, berbicara dan
diam.’
Segera setelah bhikkhu itu terjaga dan penuh kesadaran, kemudian Sang Tathagata menertibkannya lebih lanjut:
Segera setelah bhikkhu itu terjaga dan penuh kesadaran, kemudian Sang Tathagata menertibkannya lebih lanjut:
9. ‘Marilah bhikkhu, usahakan ke tempat perenungan terpencil,
ke hutan, ke akar pohon, ke celah bukit, ke gua gunung, ke lahan pekuburan, ke
hutan terpencil, ke lapangan terbuka, ke tumpukan jerami. Ia pergi ke tempat
perenungan terpencil: ke hutan …. Sekembalinya dari pindapata, setelah makan,
dia duduk, melipat kaki secara bersilangan, mengatur badannya tegak lurus dan
membentuk kewaspadaannya. Setelah menghentikan ketamakan dunia, pikirannya bebas
dari ketamakan. Setelah menghentikan keinginan jahat dan kebencian, pikirannya
bebas dari keinginan jahat dan iba dengan semua makhluk hidup; ia menyucikan
pikirannya dari keinginan jahat dan kebencian. Setelah menghentikan kelesuan dan
kekantukan, ia bebas dari kelesuan dan kekantukan; berhati-hati dan penuh
kesadaran; ia menyucikan pikirannya dari kelesuan dan kekantukan. Setelah
menghentikan kegelisahan dan kekhawatiran, ia tidak gelisah dengan pikiran yang
tenang dalam dirinya sendiri; ia menyucikan pikirannya dari kegelisahan dan
kekhawatiran. Setelah menghentikan ketidakpastian, ia tetap dengan kepastian,
tidak ragu dengan dhamma-dhamma yang berguna; dia menyucikan pikirannya dari
ketidakpastian.
10. Setelah meninggalkan lima rintangan tersebut,
ketidaksempurnaan pikiran yang melemahkan pengertian, benar-benar menjauhkan
diri dari nafsu-nafsu keinginan, menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak
berguna, dia masuk dan tinggal di dalam jhana pertama … dengan kebahagiaan dan
(secara jasmani) kesenangan dari pengasingan diri. Lalu, dengan meneruskan yang
pertama dan memperpanjang latihan-latihannya … jhana kedua dengan kegembiraan
dan kesenangan dari konsentrasi. Lalu, dengan lenyapnya kegembiraan … jhana
ketiga … ‘Dia mempunyai kegembiraan yang kokoh, yang tenang dan berhati-hati.’
Lalu dengan meninggalkan kesenangan dan kesedihan … jhana keempat … dan memiliki
kemurnian dari kewaspadaan karena ketenangan.
11. Inilah petunjuk-Ku kepada para bhikkhu yang sedang
menjalani latihan yang lebih tinggi, tetap dengan pikiran-pikiran yang belum
tercapai, bercita-cita tinggi mencapai penghentian tertinggi dari perbudakan.
Tetapi dhamma-dhamma ini mendorong kepada perasaan gembira yang kekal pada saat
ini maupun perhatian dan kesadaran penuh bagi para bhikkhu yang telah menjadi
Arahat dengan tiada noda, yang telah menempuh kehidupan, mengerjakan apa yang
harus dikerjakan, melepaskan beban, mencapai tujuan tertinggi, menghancurkan
semua belenggu kehidupan, yang terbebas melalui pengetahuan benar.”
12. Setelah hal ini dikatakan, Ganaka Mogallana dari kasta
brahmana berkata kepada Sang Bhagava: “Tetapi apakah semua siswa Guru Gotama
setelah diberi nasehat dan petunjuk demikian, mencapai tujuan tertinggi,
Nibbana, atau tidak mencapai Nibbana?”
“Setelah mereka diberi nasehat dan petunjuk, demikian brahmana, beberapa dari para pengikut-Ku mencapai tujuan tertinggi, Nibbana, dan beberapa tidak mencapainya.”
“Setelah mereka diberi nasehat dan petunjuk, demikian brahmana, beberapa dari para pengikut-Ku mencapai tujuan tertinggi, Nibbana, dan beberapa tidak mencapainya.”
13. “Guru Gotama, karena ada Nibbana dan ada jalan yang menuju
ke Nibbana, dan Guru Gotama sebagai penunjuk jalan, apakah sebabnya, apakah
alasannya, setelah para siswa Guru Gotama diberi nasehat dan petunjuk oleh-Nya,
beberapa mencapai tujuan tertinggi, Nibbana dan beberapa tidak?”
14. “Sekarang mengenai hal itu, brahmana, Aku akan mengajukan
sebuah pertanyaan sebaliknya; jawablah seperti kamu kehendaki. Bagaimana kamu
memahami hal ini. Apakah kamu mengetahui jalan yang menuju ke Rajagaha?”
“Ya Guru Gotama, saya mengetahui jalan yang menuju ke Rajagaha.”
“Bagaimana kamu memahami hal ini, brahmana: Seandainya seseorang datang dan dia ingin pergi ke Rajagaha, dan dia mendekatimu dan berkata: ‘Yang Mulia, saya ingin pergi ke Rajagaha; tunjukkan saya jalan ke Rajagaha.’ Lalu kamu berkata kepadanya: ‘Sekarang laki-laki yang baik, jalan ini menuju ke Rajagaha. Ikuti jalan ini dan kamu akan menjumpai sebuah desa, ikuti jalan itu dan kamu akan menjumpai sebuah kota, ikuti jalan itu dan kamu akan menjumpai Rajagaha dengan taman-tamannya dan rumput-rumputnya dan lahan-lahannya dan danau-danaunya.’ Lalu setelah diberi nasehat dan petunjuk olehmu, ia mengambil jalan yang salah dan pergi ke Barat; lalu pria kedua mendekatimu dan berkata: ‘Yang Mulia, saya ingin pergi ke Rajagaha, tunjukkan saya jalan ke Rajagaha.’ Lalu kamu berkata kepadanya: ‘Sekarang laki-laki yang baik, jalan ini menuju ke Rajagaha. Ikuti jalan ini dan kamu akan menjumpai sebuah desa, ikuti jalan itu dan kamu akan menjumpai sebuah kota, ikuti jalan itu dan kamu akan menjumpai Rajagaha dengan taman-tamannya dan rumput-rumputnya dan lahan-lahannya dan danau-danaunya.’ Lalu setelah dia diberi nasehat dan petunjuk olehmu, ia sampai ke Rajagaha dengan selamat. Sekarang brahmana, karena ada Rajagaha dan ada jalan menuju ke Rajagaha dan kamu sendiri sebagai penunjuk jalan, apakah sebabnya, apakah alasannya, setelah mereka diberi nasehat dan petunjuk olehmu, laki-laki yang satu mengambil jalan yang salah dan pergi ke Barat dan yang lain sampai dengan selamat ke Rajagaha?”
“Apa yang harus saya lakukan dengan itu, Guru Gotama? Saya adalah seorang yang menunjukkan jalan.”
“Demikian juga brahmana, dalam hal ini, ada Nibbana dan ada jalan yang menuju ke Nibbana dan dalam hal ini Aku sebagai penunjuk jalan, tetapi ketika para siswa-Ku setelah diberi nasehat dan petunjuk oleh-Ku beberapa mencapai tujuan tertinggi, Nibbana, dan beberapa tidak mencapai. Apa yang harus Aku lakukan dengan itu, brahmana? Sang Tathagata adalah seorang yang menunjukkan jalan.”
“Ya Guru Gotama, saya mengetahui jalan yang menuju ke Rajagaha.”
“Bagaimana kamu memahami hal ini, brahmana: Seandainya seseorang datang dan dia ingin pergi ke Rajagaha, dan dia mendekatimu dan berkata: ‘Yang Mulia, saya ingin pergi ke Rajagaha; tunjukkan saya jalan ke Rajagaha.’ Lalu kamu berkata kepadanya: ‘Sekarang laki-laki yang baik, jalan ini menuju ke Rajagaha. Ikuti jalan ini dan kamu akan menjumpai sebuah desa, ikuti jalan itu dan kamu akan menjumpai sebuah kota, ikuti jalan itu dan kamu akan menjumpai Rajagaha dengan taman-tamannya dan rumput-rumputnya dan lahan-lahannya dan danau-danaunya.’ Lalu setelah diberi nasehat dan petunjuk olehmu, ia mengambil jalan yang salah dan pergi ke Barat; lalu pria kedua mendekatimu dan berkata: ‘Yang Mulia, saya ingin pergi ke Rajagaha, tunjukkan saya jalan ke Rajagaha.’ Lalu kamu berkata kepadanya: ‘Sekarang laki-laki yang baik, jalan ini menuju ke Rajagaha. Ikuti jalan ini dan kamu akan menjumpai sebuah desa, ikuti jalan itu dan kamu akan menjumpai sebuah kota, ikuti jalan itu dan kamu akan menjumpai Rajagaha dengan taman-tamannya dan rumput-rumputnya dan lahan-lahannya dan danau-danaunya.’ Lalu setelah dia diberi nasehat dan petunjuk olehmu, ia sampai ke Rajagaha dengan selamat. Sekarang brahmana, karena ada Rajagaha dan ada jalan menuju ke Rajagaha dan kamu sendiri sebagai penunjuk jalan, apakah sebabnya, apakah alasannya, setelah mereka diberi nasehat dan petunjuk olehmu, laki-laki yang satu mengambil jalan yang salah dan pergi ke Barat dan yang lain sampai dengan selamat ke Rajagaha?”
“Apa yang harus saya lakukan dengan itu, Guru Gotama? Saya adalah seorang yang menunjukkan jalan.”
“Demikian juga brahmana, dalam hal ini, ada Nibbana dan ada jalan yang menuju ke Nibbana dan dalam hal ini Aku sebagai penunjuk jalan, tetapi ketika para siswa-Ku setelah diberi nasehat dan petunjuk oleh-Ku beberapa mencapai tujuan tertinggi, Nibbana, dan beberapa tidak mencapai. Apa yang harus Aku lakukan dengan itu, brahmana? Sang Tathagata adalah seorang yang menunjukkan jalan.”
15. Setelah hal ini dikatakan, Ganaka Moggallana dari kasta
brahmana berkata demikian kepada Sang Bhagava: “Ada beberapa orang yang tidak
percaya dan meninggalkan kehidupan rumah-tangga ke kehidupan tanpa rumah bukan
karena kepercayaan tetapi mencari mata pencaharian, yang bersifat curang,
menipu, berkhianat, angkuh 3), lemah dan secara
pribadi sombong, berbicara kasar, banyak bicara, tidak dapat menjaga
indera-inderanya, tidak mempedulikan makan yang benar, tidak waspada, tidak …
kebhikkhuan, tidak menunjukkan rasa hormat yang besar terhadap latihan, sibuk,
ceroboh, berbuat salah, lalai dalam perenungan diri, menganggur, kurang
semangat, pelupa, kurang kesadaran, tidak dapat konsentrasi, berpikiran sesat,
tanpa pengertian dan omong kosong –Guru Gotama tidak mengharapkan hal-hal
demikian.
Tetapi sebaliknya ada beberapa orang yang meninggalkan kehidupan rumah-tangga karena kepercayaan ke kehidupan tanpa rumah, yang tidak curang atau menipu atau berkhianat, atau angkuh atau secara pribadi sombong atau berbicara kasar atau banyak bicara atau dapat menjaga indera-inderanya, memperhatikan cara makan yang benar, penuh kewaspadaan, memperhatian kebhikkhuan, menunjukkan rasa hormat pada latihan, tidak sibuk, tidak ceroboh, tidak berbuat salah, maju dalam perenungan diri, bersemangat, berusaha dengan diri sendiri, berhati-hati, penuh kesadaran, konsentrasi, dengan pikiran yang bersatu, penuh pengertian dan tidak omong kosong — Guru Gotama mengharapkan hal-hal demikian.”
Tetapi sebaliknya ada beberapa orang yang meninggalkan kehidupan rumah-tangga karena kepercayaan ke kehidupan tanpa rumah, yang tidak curang atau menipu atau berkhianat, atau angkuh atau secara pribadi sombong atau berbicara kasar atau banyak bicara atau dapat menjaga indera-inderanya, memperhatikan cara makan yang benar, penuh kewaspadaan, memperhatian kebhikkhuan, menunjukkan rasa hormat pada latihan, tidak sibuk, tidak ceroboh, tidak berbuat salah, maju dalam perenungan diri, bersemangat, berusaha dengan diri sendiri, berhati-hati, penuh kesadaran, konsentrasi, dengan pikiran yang bersatu, penuh pengertian dan tidak omong kosong — Guru Gotama mengharapkan hal-hal demikian.”
16. “Seperti akar orris hitam yang terkenal sebagai yang
terbaik dari akar wangi-wangian dan cendana merah yang terkenal sebagai yang
terbaik dari kayu wangi-wangian dan bunga melur yang terkenal sebagai yang
terbaik dari bunga wangi-wangian, demikian juga nasehat Guru Gotama tertinggi di
antara segala ajaran pada saat ini.”
17. “Luar biasa Guru Gotama; luar biasa Guru Gotama! Dhamma
telah dijelaskan dengan beberapa cara oleh Guru Gotama, seperti meluruskan
sesuatu yang bengkok dan mengungkapkan hal-hal yang tersembunyi, menunjukkan
jalan kepada orang yang tersesat, membawa lampu di tengah kegelapan bagi mereka
yang mempunyai mata untuk dapat melihat. Saya berlindung kepada Buddha, kepada
Dhamma dan kepada Sangha. Biarlah Guru Gotama menerima saya sebagai seorang
pengikut yang telah mengambil perlindungan sejak saat ini sampai akhir
kehidupan.”
Catatan :
1) Ini berarti menyatakan bahwa dalam susunan itu kerja
ditambahkan di sini untuk membuat perumpamaan tersebut lebih dapat dimengerti.
2) Ini adalah nama untuk 227 peraturan yang sangat mendasar
bagi kehidupan bhikkhu. Peraturan tersebut diucap-ulangkan pada saat bulan
purnama dan bulan muda di vihara dengan dihadiri oleh para bhikkhu.
3) Penerjemah mengartikan bingung atau pikiran kacau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar