DANTHABHUMI SUTTA
Sumber : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya I,
Oleh : Tim Penerjemah Tripitaka,
Penerbit : Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta, 1992
Oleh : Tim Penerjemah Tripitaka,
Penerbit : Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta, 1992
1. Demikian telah saya dengar:
Pada suatu ketika Sang Bhagava menetap di Rajagaha di Vihara Veluvana, di Tempat Memberi Makan Tupai-tupai.
Pada suatu ketika Sang Bhagava menetap di Rajagaha di Vihara Veluvana, di Tempat Memberi Makan Tupai-tupai.
2. Pada saat itu Samanera Aciravata tinggal dalam gubuk di
hutan. Kemudian, ketika Pangeran Jayasena sedang berjalan-jalan sebagai latihan,
ia menemui Samanera Aciravata dan memberikan hormat kepadanya, dan setelah tegur
sapa menghormat dan ramah itu diucapkan, duduklah ia di satu sisi. Setelah
duduk, ia berkata: “Aggivessana, aku telah mendengar hal ini: Seorang bhikkhu
yang tinggal di sini, dengan tekun, penuh semangat dan menguasai diri akan
memperoleh penyatuan pikiran.”
“Demikianlah, Pangeran, demikianlah: seorang bhikkhu yang hidup di sini dengan tekun, penuh semangat dan menguasai diri akan dapat memperoleh penyatuan pikiran.”
“Demikianlah, Pangeran, demikianlah: seorang bhikkhu yang hidup di sini dengan tekun, penuh semangat dan menguasai diri akan dapat memperoleh penyatuan pikiran.”
3. “Baik kiranya apabila Guru Aggivessana mengajari saya Dhamma
sesuai dengan apa yang telah didengar dan dikuasainya.”
“Aku tidak dapat mengajari kamu Dhamma, Pangeran, sesuai dengan apa yang telah aku dengar dan kuasai. Kemudian Pangeran, apabila aku mengajarkan Dhamma kepadamu sesuai dengan apa yang aku dengar dan kuasai, kamu tidak akan mengetahui arti apa yang aku katakan itu dan hal itu akan menimbulkan kebosanan dan gangguan bagiku.”
“Aku tidak dapat mengajari kamu Dhamma, Pangeran, sesuai dengan apa yang telah aku dengar dan kuasai. Kemudian Pangeran, apabila aku mengajarkan Dhamma kepadamu sesuai dengan apa yang aku dengar dan kuasai, kamu tidak akan mengetahui arti apa yang aku katakan itu dan hal itu akan menimbulkan kebosanan dan gangguan bagiku.”
4. “Biarlah Guru Aggivessana mengajarkan Dhamma kepadaku sesuai
dengan apa yang telah didengar dan dikuasainya. Barangkali aku bisa mengetahui
arti dari apa yang dikatakan oleh Guru Aggivessana.”
“Aku mau mengajar Dhamma kepadamu, Pangeran … apabila kamu mengerti tentang apa yang aku katakan, itu adalah baik. Bila kamu tidak mengerti tentang apa yang aku katakan, maka tinggalkanlah itu dan janganlah mengajukan pertanyaan kepadaku lagi.”
“Aku mau mengajar Dhamma kepadamu, Pangeran … apabila kamu mengerti tentang apa yang aku katakan, itu adalah baik. Bila kamu tidak mengerti tentang apa yang aku katakan, maka tinggalkanlah itu dan janganlah mengajukan pertanyaan kepadaku lagi.”
5. Kemudian Samanera Aciravata mengajarkan Dhamma kepada
Pangeran Jayasena sesuai dengan apa yang yang telah ia dengar dan
kuasai.
Setelah hal ini dikatakan, Pangeran Jayasena berkata: “Tidak mungkin Guru Aggivessana, tidak mungkin seorang bhikkhu yang hidup rajin dan menguasai diri akan mencapai penyatuan pikiran.”
Kemudian setelah mengatakan kepada Samanera Aciravata bahwa itu tidak mungkin dan tidak dapat terjadi, Pangeran Jayasena bangkit dari duduknya dan pergi.
Setelah hal ini dikatakan, Pangeran Jayasena berkata: “Tidak mungkin Guru Aggivessana, tidak mungkin seorang bhikkhu yang hidup rajin dan menguasai diri akan mencapai penyatuan pikiran.”
Kemudian setelah mengatakan kepada Samanera Aciravata bahwa itu tidak mungkin dan tidak dapat terjadi, Pangeran Jayasena bangkit dari duduknya dan pergi.
6. Segera setelah Pangeran Jayasena pergi, Samanera Aciravata
pergi menemui Sang Buddha, dan setelah melakukan penghormatan kepada Beliau, ia
duduk di satu sisi. Setelah melakukan itu, ia menceritakan semua kepada Sang
Buddha tentang pembicaraannya dengan Pangeran Jayasena. Setelah cerita itu
selesai, Sang Buddha berkata:
7. “Aggivessana, bagaimana mungkin terjadi bahwa sesuatu yang
dikenal melalui penglepasan (nekkhamma), dilihat melalui penglepasan, dicapai
melalui penglepasan, disadari melalui penglepasan akan dapat diketahui, dilihat,
dicapai atau disadari oleh Pangeran Jayasena, yang hidup di tengah-tengah
kesenangan duniawi itu, menikmati keinginan-keinginan duniawi, terhanyut oleh
keinginan-keinginan duniawi, dilanda oleh demam keinginan-keinginan duniawi, dan
sangat cenderung mencari keinginan-keinginan duniawi? Itu tidak mungkin.
8. Seandainya terdapat dua ekor gajah yang dapat dijinakkan,
atau dua ekor kuda yang dapat dijinakkan, atau dua ekor lembu yang dapat
dijinakkan yang kesemuanya itu sudah dijinakkan dan menjadi sangat jinak dan
berdisiplin baik, dan juga gajah-gajah yang dapat dijinakkan atau kuda-kuda yang
dapat dijinakkan atau lembu-lembu yang dapat dijinakkan namun tidak dijinakkan
dan tidak didisiplinkan; bagaimana kamu memahami ini, Aggivessana, gajah-gajah,
kuda-kuda atau lembu-lembu yang telah dijinakkan dengan baiknya, didisiplinkan
dengan baiknya, apakah barangkali mereka yang telah dijinakkan itu akan pergi
seperti mereka yang telah jinak pergi, apakah mereka akan mencapai tingkatan
dari yang telah jinak itu?”
“Ya, Yang Mulia.”
“Tetapi kedua gajah, kuda atau lembu yang dapat dijinakkan itu, namun tidak dijinakkan dan tidak didisiplinkan; apakah mereka yang tidak dijinakkan itu dapat pergi seperti yang jinak pergi, apakah mereka dapat mencapai tingkatan seperti yang dilakukan oleh gajah, kuda atau lembu yang jinak?”
“Tidak, Yang Mulia.”
“Demikian juga, Aggivessana, bahwa apa yang diketahui melalui penglepasan (nekkhamma) … akan selalu diketahui … oleh Pangeran Jayasena yang hidup di tengah-tengah keinginan-keinginan indera … itu tidaklah mungkin.
“Ya, Yang Mulia.”
“Tetapi kedua gajah, kuda atau lembu yang dapat dijinakkan itu, namun tidak dijinakkan dan tidak didisiplinkan; apakah mereka yang tidak dijinakkan itu dapat pergi seperti yang jinak pergi, apakah mereka dapat mencapai tingkatan seperti yang dilakukan oleh gajah, kuda atau lembu yang jinak?”
“Tidak, Yang Mulia.”
“Demikian juga, Aggivessana, bahwa apa yang diketahui melalui penglepasan (nekkhamma) … akan selalu diketahui … oleh Pangeran Jayasena yang hidup di tengah-tengah keinginan-keinginan indera … itu tidaklah mungkin.
9. Seandainya di sana terdapat batu karang tinggi tidak jauh
dari desa atau kota dan dua orang pergi ke luar dari desa atau kota itu dan
mendekati batu karang dengan bergandengan tangan, dan setelah melakukan hal itu,
salah satu dari kedua orang itu tetap tinggal di kaki batu karang itu sedangkan
yang lain memanjat ke atas batu karang itu; kemudian seorang yang tetap tinggal
di kaki batu karang itu berkata kepada temannya yang ada di atas: ‘Hai teman,
apa yang kamu lihat dengan berdiri di atas batu karang itu?’ Temannya menjawab:
‘Berdiri di atas batu karang ini, temanku, aku melihat taman-taman indah dan
semak belukar padang rumput dan danau-danau.’ Kemudian teman yang pertama
berkata: ‘Tidak mungkin teman, tidak dapat terjadi, bahwa kamu berdiri di atas
batu karang akan melihat taman-taman indah dan semak belukar dan padang rumput
dan danau-danau.’ Kemudian yang lain itu turun dari puncak batu karang itu dan
sambil mengajak temannya di kaki batu karang itu, ia menggandeng temannya
menaiki puncak batu karang itu, dan kemudian setelah membiarkannya bernapas
sebentar, ia bertanya: ‘Ah, temanku, apa yang kamu lihat sambil berdiri di atas
batu karang ini?’ Yang pertama menjawab: ‘Berdiri di atas batu karang, temanku,
aku melihat taman-taman yang indah dan semak-semak belukar dan padang rumput dan
danau-danau.’ Kemudian yang lain berkata: ‘Baru saja kita mendengar kamu
berbicara demikian: Tidak mungkin, teman, tidak bisa terjadi, bahwa kamu berdiri
di atas puncak batu karang akan dapat melihat taman-taman indah dan semak
belukar dan padang rumput dan danau-danau.’ Kemudian yang pertama menjawab:
‘Saya dihalangi oleh batu karang besar ini sehingga saya tidak melihat apa yang
ada di sana untuk dilihat.’
10. Demikian juga, Aggivessana, Pangeran Jayasena telah
dihalangi, ditutupi, dirintangi dan disisihkan oleh gunung kebodohan yang lebih
besar, bahwa apa yang harus diketahui melalui penglepasan (nekkhama) … akan
selalu diketahui … oleh Pangeran Jayasena, yang hidup di tengah-tengah
keinginan-keinginan indera … itu tidak mungkin.
11. Aggivesana, apabila kedua perumpamaan ini terjadi padamu
secara serentak (sementara berbicara) kepada Pangeran Jayasena, ia akan
memperoleh kepercayaan dalam dirimu, dan setelah memperoleh kepercayaan, ia
mengenal dirimu dengan nyata.”
“Yang Mulia, bagaimana kedua perumpamaan ini dapat terjadi padaku secara serentak dan belum pernah terdengar sebelumnya, seperti mereka telah lakukan kepada Yang Diberkahi?”
“Yang Mulia, bagaimana kedua perumpamaan ini dapat terjadi padaku secara serentak dan belum pernah terdengar sebelumnya, seperti mereka telah lakukan kepada Yang Diberkahi?”
12. “Aggivessana, seandainya raja mulia dari kasta ksatria yang
diberkati dengan upacara-upacara perminyakan memberi perintah kepada pengawas
hutan gajah demikian: ‘Pengawas hutan gajah yang baik, naikilah gajah raja dan
pergilah ke hutan gajah, kemudian apabila kamu melihat gajah hutan, ikatlah dia
ke leher gajah raja itu.’ Kemudian sambil menjawab, ‘Baik, Tuan,’ pengawas hutan
gajah itu menunggangi gajah raja dan pergi ke hutan gajah. Kemudian ketika ia
melihat gajah hutan, ia mengikatnya ke leher gajah raja. Kemudian gajah raja
membimbingnya keluar ke tempat terbuka dan itulah cara bagaimana gajah-gajah
hutan keluar ke daerah terbuka, karena seekor gajah hutan menggantungkan diri
pada tempat itu, yakni hutan gajah, maka penjaga hutan gajah itu memberitahukan
raja mulia ksatria yang telah diupacarai dengan minyak: ‘Tuanku, gajah hutan
telah memasuki tempat terbuka.’ Kemudian, raja mulia ksatria yang telah
diupacarai dengan minyak itu memberikan perintah kepada penjinak gajahnya
demikian: ‘Hai, penjinak gajah yang baik, jinakkanlah gajah hutan ini supaya ia
dapat mengurangi kebiasaan-kebiasaan hutannya, untuk mengurangi ingatan-ingatan
dan keinginan-keinginan di hutan, untuk mengurangi kegelisahan, rasa capai dan
demam di hutan, supaya dapat mempunyai kebiasaan-kebiasaan seperti kemauan
manusia.’ ‘Baik, Tuan,’ demikian penjinak gajah itu menjawab. Kemudian ia
membenamkan sebuah tiang besar di dalam tanah dan mengikat gajah hutan itu ke
tiang tersebut pada lehernya untuk mengurangi kebiasaan-kebiasaan hutannya … dan
untuk menanamkan kecintaan padanya terhadap kebiasaan-kebiasaan manusia.
Kemudian ia melayani gajah hutan itu dengan kata-kata yang lemah lembut, enak
bagi telinga, dan penuh kasih sayang sehingga merasuk ke dalam hati, sopan
santun, diinginkan oleh banyak orang serta baik untuk banyak orang; dan segera
setelah ia dilayani dengan kata-kata seperti itu, ia mau mendengarkan, memasang
telinga, dan membentuk pikirannya dalam pengetahuan itu; kemudian penjinak gajah
menghadiahi gajah itu dengan rumput dan air; dan segera setelah gajah hutan itu
menerima rumput dan air itu darinya, ia tahu ‘Sekarang ia dapat hidup; ia adalah
gajah raja.’ Kemudian penjinak gajah itu membuatnya bertingkah laku sebagai
berikut: ‘Bangkit, tuan! Duduk, tuan!’ dan segera setelah gajah raja itu
mematuhi perintah-perintah dari penjinak gajah untuk bangkit dan berdiri, dan
menjalankan instruksi-instruksinya, kemudian penjinak gajah itu lebih lanjut
membuatnya bertindak sebagai berikut: ‘Maju, tuan; Mundur, tuan.’ Dan segera
setelah gajah raja itu sudah mau mematuhi perintah-perintah untuk maju dan
mundur, dan melaksanakan instruksi-instruksinya, kemudian penjinak gajah lebih
lanjut membuatnya bertindak sebagai berikut: ‘Bangun, tuan; Tidur, tuan!’ dan
segera setelah gajah raja itu mematuhi perintah-perintah penjinak gajah untuk
bangun dan tidur dan untuk melakukan instruksi-instruksinya, kemudian penjinak
gajah lebih lanjut membuatnya bertindak sebagai apa yang dinamakan keadaan
tenang sekali, penjinak gajah itu mengikatkan tameng yang sangat besar ke
belalainya, dan seorang dengan sebuah tombak di tangan duduk di atas lehernya,
dan orang-orang dengan membawa lembing-lembing di tangan mereka mengelilinginya
di segala penjuru, dan si penjinak gajah itu sendiri berdiri di depannya dengan
membawa tombak panjang di tangan, dan dalam membuat keadaan tenang sekali itu ia
tidak menggerakkan kaki depan maupun kaki belakang, juga tidak menggerakan badan
depan maupun belakang, juga tidak menggerakkan kepala atau telinganya, belalai
atau gadingnya; gajah raja itu menahan tusukan dari lembing-lembing,
pedang-pedang, anak panah dan benda-benda lain, dan suara-suara genderang kosong
serta terompet, dan dengan melenyapkan segala kesalahan dan cacad, dengan rasa
takut yang telah dilenyapkan, ia pantas menjadi milik raja, untuk dipekerjakan
dalam kerajaan, dan dianggap sebagai salah satu kaki-tangan raja.
13. Demikian juga, Aggivessana, di sini seorang Tathagata
muncul di dunia ini, Arahat dan Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna dalam
pengetahuan dan tindak tanduk, suci, pengenal alam-alam, pemimpin yang tak
terbandingkan dari manusia yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia,
mencapai penerangan sempurna dan diberkati.
14. Beliau menyatakan alam ini dengan dewata-dewatanya,
Mara-maranya dan Brahmananya, generasi ini dengan bhikkhu-bhikkhu dan
orang-orang sucinya, dengan raja-raja dan rakyat, yang telah disadari oleh diri
Beliau sendiri dengan pengetahuan sendiri.
15. Beliau mengajarkan Dhamma yang baik pada permulaan, baik di
tengah-tengah dan baik pada akhirnya, dengan arti dan ungkapan (yang benar), dan
Beliau mengumumkan suatu kehidupan luhur yang benar-benar sempurna dan suci.
16. Seorang perumah-tangga atau anak laki-laki dari
perumah-tangga atau seseorang yang terlahir dalam suatu kasta mendengar Dhamma.
Setelah mendengar Dhamma itu ia memperoleh kepercayaan pada Tathagata. Dengan
memiliki kepercayaan itu, ia mempertimbangkan atau memikirkan demikian:
‘Kehidupan rumah-tangga itu penuh sesak dan kotor; hidup bebas itu terbuka
lebar-lebar. Tidak mungkin dengan hidup dalam rumah-tangga menjalani hidup suci
dan sempurna dan suci bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana kalau aku
mencukur habis rambut kepala dan jenggot, mengenakan jubah kuning, dan pergi
dari kehidupan rumah-tangga ke kehidupan tanpa rumah-tangga?’
Lalu pada kesempatan lain, setelah meninggalkan barangkali sejumlah kecil, barangkali sejumlah besar harta benda, meninggalkan barangkali sejumlah kecil, barangkali sejumlah besar sanak keluarga, ia mencukur habis rambut kepala dan jenggotnya, mengenakan jubah kuning, dan pergilah ia mengembara dari hidup berumah-tangga ke penghidupan tanpa rumah-tangga.
Dengan pergi berkelana dan memiliki latihan dan cara hidup bhikkhu, dengan meninggalkan pembunuhan mahkluk hidup, ia menjadi seorang berpantang dari membunuh mahkluk hidup; dengan pentungan serta senjata dikesampingkan, lemah lembut dan baik, ia melakukan perbuatan penuh kasih sayang terhadap semua makhluk.
Dengan tidak mengambil apa-apa yang tidak diberikan kepadanya, ia menjadi seseorang yang berpantang dari mengambil apa yang tidak diberikan; mengambil (hanya) yang diberikan saja, mengharap apa yang diberikan, ia melakukan perbuatan suci di dalam dirinya sendiri dengan tidak mencuri.
Dengan meninggalkan kehidupan yang tidak suci, ia menjadi seseorang yang hidup suci, yang hidup berpisah, berpantang dari nafsu birahi tak senonoh.
Dengan berpantang dari berbohong, ia menjadi seorang yang berpantang dari berbicara tidak benar, ia berbicara benar, menggantungkan diri pada kebenaran, dapat dipercaya, bertanggung jawab dan tidak menipu dunia.
Dengan meninggalkan ucapan-ucapan memfitnah, ia menjadi seseorang yang berpantang dari fitnahan: sebagai seorang yang bukan orang pengulang (kata-kata) di mana-mana tentang apa yang didengar di sini dengan tujuan mengakibatkan perpecahan dari sini, ataupun bukan sebagai pengulang dari apa yang ia dengar di mana saja dengan tujuan menyebabkan perpecahkan dari situ, yang karena itu menjadi seorang pemersatu dari yang terpecah-belah, sebagai pembina persahabatan, dan menikmati keharmonisan, mensyukuri keharmonisan, merasa senang dalam keharmonian, ia menjadi seorang pembicara kata-kata yang mengembangkan keharmonisan atau kerukunan.
Dengan meninggalkan kata-kata kasar atau keras, ia menjadi seseorang yang berpantang dari ucapan-ucapan kasar: ia menjadi seorang pembicara kata-kata seperti yang tidak bersalah, menyenangkan bagi telinga dan penuh cinta kasih, sehingga merasuk ke dalam sanubari, sopan, diinginkan oleh banyak orang dan baik bagi banyak orang.
Dengan meninggalkan pergunjingan, ia menjadi seorang yang berpantang dari pergunjingan itu: sebagai seseorang yang menceritakan apa yang benar dan bermanfaat serta Dhamma dan Vinaya, ia menjadi pembicara tentang kata-kata yang tepat, patut diingat, masuk akal, terukur dan dihubungkan dengan kebaikan.
Ia menjadi seorang yang berpantang mengganggu biji-bijian dan tanam-tanaman.
Ia menjadi seseorang yang makan hanya dalam sebagian hari saja, menolak (makanan) pada malam hari dan makanan terlambat (lewat tengah hari).
Ia menjadi seorang yang berpantang dari dansa, nyanyi, dan musik dan pertunjukan-pertunjukan teater.
Ia menjadi seseorang yang berpantang mengenakan perhiasan-perhiasan, memperindah tubuh dengan wewangian dan memolesi badannya dengan salep wangi.
Ia menjadi seorang yang berpantang dari tempat duduk tinggi dan besar.
Ia menjadi seorang yang berpantang dari menerima emas dan perak, dan pergi meninggalkan kehidupan berumah-tangga ke penghidupan tanpa rumah-tangga.
Lalu itulah cara seorang siswa mulia datang ke tempat terbuka karena para dewa dan manusia berpegang erat padanya, yakni kelima buah simpul dari keinginan indera.”
Lalu pada kesempatan lain, setelah meninggalkan barangkali sejumlah kecil, barangkali sejumlah besar harta benda, meninggalkan barangkali sejumlah kecil, barangkali sejumlah besar sanak keluarga, ia mencukur habis rambut kepala dan jenggotnya, mengenakan jubah kuning, dan pergilah ia mengembara dari hidup berumah-tangga ke penghidupan tanpa rumah-tangga.
Dengan pergi berkelana dan memiliki latihan dan cara hidup bhikkhu, dengan meninggalkan pembunuhan mahkluk hidup, ia menjadi seorang berpantang dari membunuh mahkluk hidup; dengan pentungan serta senjata dikesampingkan, lemah lembut dan baik, ia melakukan perbuatan penuh kasih sayang terhadap semua makhluk.
Dengan tidak mengambil apa-apa yang tidak diberikan kepadanya, ia menjadi seseorang yang berpantang dari mengambil apa yang tidak diberikan; mengambil (hanya) yang diberikan saja, mengharap apa yang diberikan, ia melakukan perbuatan suci di dalam dirinya sendiri dengan tidak mencuri.
Dengan meninggalkan kehidupan yang tidak suci, ia menjadi seseorang yang hidup suci, yang hidup berpisah, berpantang dari nafsu birahi tak senonoh.
Dengan berpantang dari berbohong, ia menjadi seorang yang berpantang dari berbicara tidak benar, ia berbicara benar, menggantungkan diri pada kebenaran, dapat dipercaya, bertanggung jawab dan tidak menipu dunia.
Dengan meninggalkan ucapan-ucapan memfitnah, ia menjadi seseorang yang berpantang dari fitnahan: sebagai seorang yang bukan orang pengulang (kata-kata) di mana-mana tentang apa yang didengar di sini dengan tujuan mengakibatkan perpecahan dari sini, ataupun bukan sebagai pengulang dari apa yang ia dengar di mana saja dengan tujuan menyebabkan perpecahkan dari situ, yang karena itu menjadi seorang pemersatu dari yang terpecah-belah, sebagai pembina persahabatan, dan menikmati keharmonisan, mensyukuri keharmonisan, merasa senang dalam keharmonian, ia menjadi seorang pembicara kata-kata yang mengembangkan keharmonisan atau kerukunan.
Dengan meninggalkan kata-kata kasar atau keras, ia menjadi seseorang yang berpantang dari ucapan-ucapan kasar: ia menjadi seorang pembicara kata-kata seperti yang tidak bersalah, menyenangkan bagi telinga dan penuh cinta kasih, sehingga merasuk ke dalam sanubari, sopan, diinginkan oleh banyak orang dan baik bagi banyak orang.
Dengan meninggalkan pergunjingan, ia menjadi seorang yang berpantang dari pergunjingan itu: sebagai seseorang yang menceritakan apa yang benar dan bermanfaat serta Dhamma dan Vinaya, ia menjadi pembicara tentang kata-kata yang tepat, patut diingat, masuk akal, terukur dan dihubungkan dengan kebaikan.
Ia menjadi seorang yang berpantang mengganggu biji-bijian dan tanam-tanaman.
Ia menjadi seseorang yang makan hanya dalam sebagian hari saja, menolak (makanan) pada malam hari dan makanan terlambat (lewat tengah hari).
Ia menjadi seorang yang berpantang dari dansa, nyanyi, dan musik dan pertunjukan-pertunjukan teater.
Ia menjadi seseorang yang berpantang mengenakan perhiasan-perhiasan, memperindah tubuh dengan wewangian dan memolesi badannya dengan salep wangi.
Ia menjadi seorang yang berpantang dari tempat duduk tinggi dan besar.
Ia menjadi seorang yang berpantang dari menerima emas dan perak, dan pergi meninggalkan kehidupan berumah-tangga ke penghidupan tanpa rumah-tangga.
Lalu itulah cara seorang siswa mulia datang ke tempat terbuka karena para dewa dan manusia berpegang erat padanya, yakni kelima buah simpul dari keinginan indera.”
17. Kemudian Sang Tathagata lebih lanjut mendisiplinkan dirinya
sebagai berikut: “Marilah bhikkhu, jadilah orang suci, kekanglah dirimu dengan
pengendalian Patimokkha (peraturan para bhikkhu), sempurna dalam tingkah laku
dan perbuatan, dan melihat ketakutan sekalipun dalam perbuatan salah yang
sekecil apapun, latihlah dengan memanfaatkan ajaran-ajaran latihan.”
Segera sesudah bhikkhu itu menjadi luhur, mengekang diri dengan pantangan-pantangan Patimokkha, sempurna dalam tingkah laku dan perbuatan, dan melihat ketakutan dalam perbuatan salah yang sekecil apapun, melatih diri sendiri dengan menjalankan sila-sila latihan, kemudian Sang Tathagata lebih lanjut mendisiplinkan dirinya:
Segera sesudah bhikkhu itu menjadi luhur, mengekang diri dengan pantangan-pantangan Patimokkha, sempurna dalam tingkah laku dan perbuatan, dan melihat ketakutan dalam perbuatan salah yang sekecil apapun, melatih diri sendiri dengan menjalankan sila-sila latihan, kemudian Sang Tathagata lebih lanjut mendisiplinkan dirinya:
18. “Marilah bhikkhu, jagalah pintu-pintu indera itu baik-baik.
Apabila melihat suatu bentuk dengan mata, janganlah memahami atau melihat
tanda-tanda atau bentuk-bentuk yang melalui pintu itu karena, apabila kamu
membiarkan pintu matamu itu tidak terjaga, hal-hal jahat yang tidak
menguntungkan tentang kekikiran dan kesedihan akan dapat menerobos masuk ke
dalam dirimu; latihlah cara pengekangan diri, jagalah daya penglihatan matamu,
jalanilah cara pengekangan dari daya kemampuan mata. Apabila mendengar suara
dengan telinga … apabila membau suatu bebauan dengan hidung … apabila mengecap
suatu rasa dengan lidah … apabila meraba dengan anggota badan … apabila mencerap
dhamma dengan pikiran, janganlah tanggapi adanya tanda-tanda atau bentuk-bentuk
yang melaluinya, apabila kamu tinggalkan pintu pikiranmu tidak terjaga, hal-hal
jahat yang tidak menguntungkan tentang kekikiran dan kedukaan akan dapat masuk
menerobos dirimu. Latihlah cara atau jalan tentang pengekangan, jaga daya
kemampuan pikiran, jalankanlah pengekangan daya kemampuan pikiran.”
Segera setelah bhikkhu menjaga pintu-pintu indera tetap terjaga dengan baiknya, maka Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:
Segera setelah bhikkhu menjaga pintu-pintu indera tetap terjaga dengan baiknya, maka Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:
19. “Marilah bhikkhu, jadilah seorang yang mengetahui takaran
yang tepat dalam bersantap. Dengan merefleksi diri secara bijaksana, kamu harus
merawat dirimu sendiri dengan makanan bukan untuk kesenangan, bukan pula untuk
menjadikan dirimu menjadi keracunan, pula bukan untuk ketampanan maupun
kecakapan dirimu, (tetapi) hanya untuk daya tahan dan kelangsungan tubuh ini,
untuk mengakhiri keadaan tidak mengenakkan, dan untuk membantu kesucian hidup
itu. Oleh karena itu, Aku akan mengakhiri perasaan-perasaan lama tanpa
membangkitkan perasaan-perasaan baru dan tanpa noda, Aku akan hidup dalam
kesenangan dan keadaan sehat.”
Segera setelah bhikkhu mengetahui takaran yang tepat dalam makan, kemudian Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:
Segera setelah bhikkhu mengetahui takaran yang tepat dalam makan, kemudian Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:
20. “Marilah bhikkhu, tetaplah bertekun diri pada kesiagaan
penuh. Pada siang hari sementara kamu sedang berjalan atau duduk, sucikanlah
pikiranmu dari hal-hal yang menghancurkan. Pada jaga pertama terhadap datangnya
sang malam ketika kamu sedang berjalan jalan atau duduk-duduk, sucikanlah
pikiranmu dari hal-hal yang menghancurkan. Di tengah-tengah penjagaan malam,
rebahlah ke sisi kanan dalam kedudukan seperti singa tidur dengan satu kaki
menindih kaki lain, penuh kesadaran dan waspada penuh, sesudah mengingat di
dalam pikiran waktu untuk bangun. Sesudah bangun dalam jaga ketiga sementara
kaku berjalan atau duduk, sucikan pikiranmu dari hal-hal yang menghancurkan
itu.”
Segera setelah bhikkhu itu mencurahkan perhatiannya yang penuh, kemudian Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:
Segera setelah bhikkhu itu mencurahkan perhatiannya yang penuh, kemudian Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:
21. “Marilah bhikkhu, milikilah kesadaran penuh dan kewaspadaan
penuh. Jadilah seorang yang bertindak penuh kesadaran ketika sedang bergerak ke
depan dan ke belakang; yang bertingkah laku dengan penuh kesadaran ketika
memandang dan mengalihkan pandangan; yang bertingkah laku dengan penuh kesadaran
ketika melenturkan, meregangkan tubuh; yang bertingkah laku dengan penuh
kesadaran ketika sedang mengenakan lapisan tambalan, mangkok dan jubah-jubah;
yang bertingkah laku dengan penuh kesadaran ketika sedang buang air besar serta
kecil; yang bertingkah laku dalam kewaspadaan penuh ketika sedang berjalan,
berdiri, duduk, tidur, bangun, berbicara dan berdiam.”
Segera setelah bhikkhu itu memiliki kesadaran penuh serta kesiagaan penuh, maka Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:
Segera setelah bhikkhu itu memiliki kesadaran penuh serta kesiagaan penuh, maka Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut:
22. “Marilah bhikkhu, ambillah tempat perenungan yang
terpencil: ke sebuah hutan, di bawah akar pohon, ke batu karang, ke celah bukit,
ke gua gunung, ke tempat penimbunan mayat, ke hutan kayu sunyi, ke tempat
terbuka, ke segundukan jerami.”
Ia menempuh jalan ke tempat perenungan yang terpencil: ke dalam hutan … sekembalinya dari berpindapata sesudah makan ia duduk, melipat kakinya bersila, menegakkan badannya dan pikirannya diusahakan penuh dengan kewaspadaan. Dengan meninggalkan sifat ketamakan akan dunia, ia mengusahakan pikirannya agar tetap bebas dari sifat kekikiran, ia menyucikan pikirannya dari ketamakan, meninggalkan kemauan jahat dan kebencian, ia mengusahakan agar pikirannya tetap pada keadaan bebas dari kemauan jahat dan selalu cinta kasih kepada semua mahkluk hidup, ia menyucikan pikirannya dari kemauan jahat dan kebencian; meninggalkan rasa kelesuan dan kantuk, ia tetap mengusahakan dirinya bebas dari kelesuan kantuk, sadar akan cahaya dan waspada serta siaga sepenuhnya ia menyucikan pikirannya dari rasa kelesuan serta kantuk itu; dengan meninggalkan hasutan dan kecemasan, ia mengusahakan dirinya agar tetap tidak dapat dihasut, dengan pikirannya ditenangkan di dalam dirinya sendiri, ia menyucikan pikirannya dari hasutan serta kecemasan; dengan meninggalkan keadaan tidak menentu, ia mengusahakan dirinya agar selalu melenyapkan ketidakpastian, tidak meragukan dhamma yang menguntungkan, ia menyucikan pikirannya dari ketidakpastian itu.
Ia menempuh jalan ke tempat perenungan yang terpencil: ke dalam hutan … sekembalinya dari berpindapata sesudah makan ia duduk, melipat kakinya bersila, menegakkan badannya dan pikirannya diusahakan penuh dengan kewaspadaan. Dengan meninggalkan sifat ketamakan akan dunia, ia mengusahakan pikirannya agar tetap bebas dari sifat kekikiran, ia menyucikan pikirannya dari ketamakan, meninggalkan kemauan jahat dan kebencian, ia mengusahakan agar pikirannya tetap pada keadaan bebas dari kemauan jahat dan selalu cinta kasih kepada semua mahkluk hidup, ia menyucikan pikirannya dari kemauan jahat dan kebencian; meninggalkan rasa kelesuan dan kantuk, ia tetap mengusahakan dirinya bebas dari kelesuan kantuk, sadar akan cahaya dan waspada serta siaga sepenuhnya ia menyucikan pikirannya dari rasa kelesuan serta kantuk itu; dengan meninggalkan hasutan dan kecemasan, ia mengusahakan dirinya agar tetap tidak dapat dihasut, dengan pikirannya ditenangkan di dalam dirinya sendiri, ia menyucikan pikirannya dari hasutan serta kecemasan; dengan meninggalkan keadaan tidak menentu, ia mengusahakan dirinya agar selalu melenyapkan ketidakpastian, tidak meragukan dhamma yang menguntungkan, ia menyucikan pikirannya dari ketidakpastian itu.
23. Setelah melepaskan kelima hambatan ini, kekotoran pikiran
yang memperlemah pengertian, ia mengusahakan diri agar menghayati badan jasmani
sebagai badan jasmani, tekun, siaga penuh dan sadar, telah membuang sifat tamak
dan rakus akan dunia; ia tetap mengusahakan dirinya untuk menghayati perasaan
sebagai perasaan … ia tetap mengusahakan dirinya untuk menghayati dhamma-dhamma
itu sebagai dhamma-dhamma, tekun, sepenuhnya siaga dan sadar, telah membuang
sifat tamak dan rakus akan dunia.
24. Tepat seperti halnya penjinak gajah membenamkan tiang besar
ke dalam tanah untuk mengikat gajah hutan di lehernya untuk mengurangi atau
memperlemah kebiasaan-kebiasaan hutan pada gajah itu … dan untuk menanamkan pada
gajah itu kebiasaan-kebiasaan yang disukai manusia, demikian juga empat dasar
kewaspadaan merupakan penguatan bagi pikiran siswa mulia untuk memperlemah
kebiasaan-kebiasaan dari hal kerumah-tanggaannya, untuk memperlemah
keinginan-keinginan kerumah-tanggaannya, untuk mencapai atau memperoleh jalan
benar dan realisasi Nibbana.”
25. Kemudian Sang Tathagata mendisiplinkan dirinya lebih lanjut
sebagai berikut: “Marilah bhikkhu, usahakan terus menghayati badan sebagai badan
tetapi jangan memikirkan bentuk pikiran yang dihubungkan dengan badan: usahakan
terus menerus menghayati perasaan-perasaan sebagai perasaan … pikiran sebagai
pikiran … usahakan terus menerus menghayati dhamma-dhamma sebagai dhamma-dhamma
tetapi janganlah memikirkan bentuk pikiran yang dihubungkan dengan
dhamma-dhamma.
26. Dengan penenangan penerapan awal dari penenangan berlanjut,
ia memasuki jalur dan berada di dalam jhana kedua …
27. … jhana ketiga … yang mempunyai keseimbangan dan kesadaran
penuh.
28. Apabila pikirannya yang sudah terpusatkan, terang
benderang, tanpa cacad, bersih dari ketidaksempurnaan, lunak dapat ditundukkan,
berpengaruh, mantap, dan tenang tak tak tergoyahkan, ia mengatur, ia
mencenderungkan pikirannya kepada pengetahuan tentang peringatan kembali
kehidupan lampau.
Ia mengingat-ingat kehidupan lampaunya yang berganda-ganda itu, yaitu satu kelahiran … lima kelahiran, sepuluh kelahiran … limapuluh kelahiran … seratus kelahiran … seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kalpa penyusutan alam, banyak kalpa perluasan alam, banyak kalpa penyusutan dan perluasan alam: ‘Di sana aku dinamakan demikian, dari suku demikian, dengan sifat penampilan demikian, itulah kehidupanku,’ demikianlah pengalaman kesenangan dan penderitaan, demikianlah jangka waktu hidupku; dan setelah meninggal dari tempat itu, saya muncul di suatu tempat lain; dan di sana saya juga diberi nama demikian, dari suku bangsa demikian, dengan sifat penampilan demikian, demikianlah kehidupanku, demikianlah pengalamanku tentang kesukaan dan penderitaan, demikianlah jangka waktu hidupku; dan setelah aku meninggal dari sana muncul di sini. Jadi dengan ingatan rinci dan khusus ia mengingat kembali masa kehidupannya yang banyak itu.
Ia mengingat-ingat kehidupan lampaunya yang berganda-ganda itu, yaitu satu kelahiran … lima kelahiran, sepuluh kelahiran … limapuluh kelahiran … seratus kelahiran … seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kalpa penyusutan alam, banyak kalpa perluasan alam, banyak kalpa penyusutan dan perluasan alam: ‘Di sana aku dinamakan demikian, dari suku demikian, dengan sifat penampilan demikian, itulah kehidupanku,’ demikianlah pengalaman kesenangan dan penderitaan, demikianlah jangka waktu hidupku; dan setelah meninggal dari tempat itu, saya muncul di suatu tempat lain; dan di sana saya juga diberi nama demikian, dari suku bangsa demikian, dengan sifat penampilan demikian, demikianlah kehidupanku, demikianlah pengalamanku tentang kesukaan dan penderitaan, demikianlah jangka waktu hidupku; dan setelah aku meninggal dari sana muncul di sini. Jadi dengan ingatan rinci dan khusus ia mengingat kembali masa kehidupannya yang banyak itu.
29. Apabila pikiran yang sudah terkonsentrasikan itu demikian
disucikan, terang benderang, tanpa cacad, bersih dari segala ketidaksempurnaan,
lunak, terkendali, mantap, dan telah mencapai keadaan tenang tak terganggu, ia
mengarahkan, ia mencenderungkan pikirannya kepada pengetahuan tentang kemusnahan
serta kemunculan kembali dari makhluk-makhluk itu.
Dengan mata surgawi yang telah disucikan dan melampaui penglihatan manusiawi, ia melihat makhluk-makhluk mati dan lahir kembali, yang lemah, yang kuat, cantik, buruk, berkelakuan baik dan buruk; ia mengerti bagaimana makhluk-makhluk itu terus menerus bertumimbal lahir sesuai dengan kamma-kamma mereka, demikian: ‘Makhluk-makhluk yang tak patut ini yang bertingkah laku, berucapan dan berpikiran tidak baik, mencaci maki muliawan-muliawan, berpandangan salah, membawa pandangan salah di dalam kamma-kamma mereka, setelah terurainya sang badan setelah kematian, muncul dalam alam penderitaan, dalam nasib buruk, dalam keadaan tanpa kebahagiaan sama sekali atau kenestapaan, bahkan pula ke dalam neraka; tetapi makhluk-makhluk yang patut ini, yang bertindak tanduk baik dengan badan, ucapan dan pikiran, bukan pencaci maki para Muliawan, berpandangan benar, membawa pandangan benar dalam kamma-kamma mereka, setelah terurainya badan, setelah kematian, muncul dengan peruntungan yang baik, bahkan di dalam alam surgawi.’ Jadi, dengan pandangan mata batin surgawi yang telah disucikan dan melampaui batas dari manusiawi itu, ia melihat makhluk-makhluk lenyap dan muncul kembali, lemah dan kuat, bertingkah laku baik dan buruk: ia mengerti bagaimana makhluk-makhluk itu terus menerus bertumimbal lahir sesuai dengan kamma-kamma mereka.
Dengan mata surgawi yang telah disucikan dan melampaui penglihatan manusiawi, ia melihat makhluk-makhluk mati dan lahir kembali, yang lemah, yang kuat, cantik, buruk, berkelakuan baik dan buruk; ia mengerti bagaimana makhluk-makhluk itu terus menerus bertumimbal lahir sesuai dengan kamma-kamma mereka, demikian: ‘Makhluk-makhluk yang tak patut ini yang bertingkah laku, berucapan dan berpikiran tidak baik, mencaci maki muliawan-muliawan, berpandangan salah, membawa pandangan salah di dalam kamma-kamma mereka, setelah terurainya sang badan setelah kematian, muncul dalam alam penderitaan, dalam nasib buruk, dalam keadaan tanpa kebahagiaan sama sekali atau kenestapaan, bahkan pula ke dalam neraka; tetapi makhluk-makhluk yang patut ini, yang bertindak tanduk baik dengan badan, ucapan dan pikiran, bukan pencaci maki para Muliawan, berpandangan benar, membawa pandangan benar dalam kamma-kamma mereka, setelah terurainya badan, setelah kematian, muncul dengan peruntungan yang baik, bahkan di dalam alam surgawi.’ Jadi, dengan pandangan mata batin surgawi yang telah disucikan dan melampaui batas dari manusiawi itu, ia melihat makhluk-makhluk lenyap dan muncul kembali, lemah dan kuat, bertingkah laku baik dan buruk: ia mengerti bagaimana makhluk-makhluk itu terus menerus bertumimbal lahir sesuai dengan kamma-kamma mereka.
30. Apabila pikiran yang terkonsentrasi itu disucikan dan
terang benderang, tanpa cacad, bersih dari ketidakmurnian, dan menjadi lunak,
terkendali, berpengaruh kuat, mantap dan mencapai keadaan tidak terganggu, ia
mengarahkan, ia mencenderungkan pikirannya kepada pengetahuan pelenyapan
noda-noda.
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah
penderitaan.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah asal mula penderitaan.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah penghentian dari penderitaan.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah jalan menuju ke penghentian penderitaan.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah noda-noda.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah asal mula noda-noda.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah penghentian noda-noda.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah jalan menuju ke penghentian noda-noda.’ Apabila ia mengetahui dan melihat demikian, pikiran telah dibebaskan dari noda-noda keinginan atau nafsu dunia/indera, dari noda-noda tentang menjadi/terbentuk dari noda-noda dari kebodohan. Apabila telah dibebaskan datanglah pengetahuan ‘Ia telah terbebaskan.’ Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Kelahiran telah habis, kehidupan suci telah dijalani, apa yang dapat dilakukan telah dilakukan, tiada lain yang akan terjadi.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah asal mula penderitaan.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah penghentian dari penderitaan.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah jalan menuju ke penghentian penderitaan.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah noda-noda.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah asal mula noda-noda.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah penghentian noda-noda.’
Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Ini adalah jalan menuju ke penghentian noda-noda.’ Apabila ia mengetahui dan melihat demikian, pikiran telah dibebaskan dari noda-noda keinginan atau nafsu dunia/indera, dari noda-noda tentang menjadi/terbentuk dari noda-noda dari kebodohan. Apabila telah dibebaskan datanglah pengetahuan ‘Ia telah terbebaskan.’ Ia mempunyai pengetahuan langsung demikian: ‘Kelahiran telah habis, kehidupan suci telah dijalani, apa yang dapat dilakukan telah dilakukan, tiada lain yang akan terjadi.’
31. Bhikkhu itu adalah
seorang yang menahan dingin dan panas, lapar dan haus, dan terkena nyamuk dan
lalat, angin, matahari, dan binatang-binatang merayap, yang menahan kata-kata
yang tidak disenangi dan buruk, dan perasaan-perasaan badani yang menyakitkan,
menyiksa, tajam, menusuk, tidak disetujui, menggelisahkan, dan mengancam
kehidupan; dengan lenyapnya segala nafsu, kebencian dan khayal, dengan cacad
yang telah disingkirkan, ia pantas mendapat hadiah-hadiah, pantas mendapat
keramahtamahan, pantas mendapat pemberian-pemberian, pantas memperoleh
penghormatan, suatu ladang perbuatan jasa yang tiada bandingnya bagi dunia.
32. Jika gajah raja menjadi tua dan mati sebelum dijinakkan dan
belum didisiplinkan, itu adalah kematian yang belum dijinakkan sehingga ia
dianggap sudah mati. Jika gajah raja meninggal pada umur setengah baya belum
terjinakkan dan belum didisiplinkan, itu adalah kematian yang belum dijinakkan
dan ia telah dianggap sudah mati. Apabila gajah raja ketika masih muda mati dan
belum dijinakkan serta belum didisiplinkan, itu adalah suatu kematian yang belum
dijinakkan dan ia telah dianggap sudah mati.
Demikian juga halnya, apabila seorang bhikkhu sepuh mati dengan noda-noda yang belum lenyap, itu adalah suatu kematian yang belum terjinakkan dan ia dianggap telah mati. Jika seorang bhikkhu madya mati … jika seorang bhikkhu muda/baru mati dengan noda-noda yang belum habis, itu adalah kematian belum terjinakkan dan ia dianggap telah mati.
Demikian juga halnya, apabila seorang bhikkhu sepuh mati dengan noda-noda yang belum lenyap, itu adalah suatu kematian yang belum terjinakkan dan ia dianggap telah mati. Jika seorang bhikkhu madya mati … jika seorang bhikkhu muda/baru mati dengan noda-noda yang belum habis, itu adalah kematian belum terjinakkan dan ia dianggap telah mati.
Jika gajah raja ketika sudah tua usia mati dengan telah
terjinakkan dan terdisiplinkan dengan baik, ia adalah merupakan kematian yang
terjinakkan dan ia dianggap sudah mati. Jika gajah raja mati pada umur setengah
baya …. Apabila gajah raja ketika masih muda mati dengan terjinakkan dan
terdisiplinkan dengan baik, itu kematian yang terjinakkan dan ia dianggap telah
mati.
Demikian juga, apabila seorang bhikkhu sepuh meninggal dengan noda-noda telah terlenyapkan, itu merupakan kematian yang telah terjinakkan dan ia diangap telah mati. Jika seorang bhikkhu madya meninggal … Jika seorang bhikkhu muda mati dengan noda-noda telah habis, itu adalah kematian yang terjinakkan dan ia dianggap telah mati.”
Demikian juga, apabila seorang bhikkhu sepuh meninggal dengan noda-noda telah terlenyapkan, itu merupakan kematian yang telah terjinakkan dan ia diangap telah mati. Jika seorang bhikkhu madya meninggal … Jika seorang bhikkhu muda mati dengan noda-noda telah habis, itu adalah kematian yang terjinakkan dan ia dianggap telah mati.”
33. Inilah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagava. Samanera
Aciravata menjadi puas dan senang dengan kata-kata Sang Buddha itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar