Minggu, 04 Agustus 2013

Paritta Khusus

Paritta Khusus

AbhayaParitta
VijayaSutta 


sumber :  http://dhammacitta.org/perpustakaan/kategori/mp3/chanting-pali/

Paritta untuk Kebaktian Umum

Apakah perbuatan baik dapat merubah nasib


APAKAH PERBUATAN BAIK DAPAT MERUBAH NASIB ?
Telah banyak sekali kudengar tentang ramalan- ramalan para nabi dan astrolog dan hal yang di atas itu menarik perhatianku. Ini disebakan karena ramalan-ramalan itu kadang-kadang tepat dan sukar dimengerti.
Pada umumnya aku tak dapat menerima atau percaya mukjizat-mukjizat yang belum kusaksikan sendiri. Di samping itu aku sebenarnya tidak pernah percaya occultisme atau astrologi. Kalau ada orang yang membicarakan hal ini, pada umumnya aku hanya menganggukkan kepala saja dan berkata ”ya” atau ’’tidak”, sekedar untuk jangan membuat mereka tersinggung. Tetapi peristiwa yang akan kututurkan di bawah ini benar-benar terjadi kepada diriku sendiri. Kalau anda nanti tidak percaya, aku pun tidak .akan merasa tersinggung, karena pada mulanya aku sendiripun tidak percaya. Namun kalau sekiranya peristiwa yang akan kututurkan di bawah ini membuat anda lebih mempunyai rasa perikemanusiaan dan manis budi terhadap masyarakat di sekeliling anda, maka hal itu membuat aku gembira sekali, karena pengalamanku telah mem­buat beberapa di antara saudara menjadi bahagia.
Cerita ini di mulai beberapa bulan sebelum pe­cah perang Pasifik: Aku sedang membaca sebuah harian dan istriku masuk ke dalam rumah setelah memberi dana kepada para bhikkhu. Ia langsung menghampiriku dengan tergesa-gesa. Setelah duduk di sebelahku, ia berkata: ’’Suamiku sayang, apakah kau tahu bahwa Yai Plag dan Tan Ma, tukang kebon yang tinggal di belakang rumah kita telah berun­tung sekali? Mereka telah menarik hadiah pertama dari lotre.”
Tanpa berpaling aku menjawab dengan singkat: ’'Ah, aku rasa itu memang sudah menjadi rezeki mereka.”
Istriku agak kecewa karena aku tidak begitu perhatikan berita tersebut. Ia kemudian berkata: "Aku rasa itu bukan semata-mata rezeki, sayang.”
"Kalau bukan rezeki, lalu habis apa? Apakah tidak wajar, bahwa ada yang menjadi pemenang hadiah pertama?” jawabku sambil terus mem­baca surat kabar.
’’Duduk persoalannya sebenarnya begini”, kata istriku sambil terus berusaha untuk menarik per­hatianku. Orang mengatakan, bahwa ada seorang bhikkhu bernama Tan Achan Pak Kow, baru datang dari daerah pegunungan di Utara, menginap di kuti Tan Maha, yaitu Bhante yang setiap hari kita bawakan makanan. Beliau telah meramalkan rezeki Yai Plag dan Tan Ma pada hari raya yang baru lalu. Diceritakan, bahwa Yai Plag dan Tan Ma pergi ke vihara dan mengeluh karena penghidupannya sengsara. Kemudian Tan Achan begitu baik hati untuk memeriksa nasib mereka dan meramalkan, bahwa dalam waktu satu minggu pasangan itu akan men­dapat rezeki yang besar. Beliau juga memberi ke­pastian, bahwa mereka selanjutnya akan hidup beruntung. Hari ini genap seminggu dan pasangan itu benar-benar telah mendapat rezeki besar seperti yang telah diramalkan. Sungguh mengherankan sekali!”
Istriku memandang wajahku dan mencoba me­nerka apakah aku menaruh perhatian atau tidak terhadap ceritanya. Kutahu, bahwa ia ingin sekali meyakinkan aku agar percaya kepada ramalan nasib. Tetapi memang sudah menjadi watakku, untuk tidak mau percaya begitu saja tanpa ada bukti yang meyakinkan. Tetapi untuk jangan membuatnya kecewa aku lalu menjawab: ’’Aduh, tepat benar dan apakah kamu tahu apa yang akan dilakukan­nya sekarang? Mereka mungkin akan membeli se­buah rumah yang mungil. dan hidup sebagai orang hartawan.”
Istriku tidak menaruh perhatian terhadap kelakarku dan melanjutkan: ’’Sayang, aku ingin meng­ajakmu menjumpai Achan Pa Kow, karena akhir- akhir ini aku sering mendapat impian buruk.”
’’Janganlah terlalu percaya kepada impian buruk, karena ini akan menimbulkan kekhawatiran yang tidak perlu. Dinda harus tahu, kalau kita banyak tidur kitapun akan banyak mimpi”, kataku sambil menghiburnya.
Tetapi.rupanya hal ini tidak berhasil, karena ia tetap menghendaki agar aku pergi menemui Tan Achan untuk meramalkan nasibku. Ketika aku melihat wajahnya yang agak sedih, aku merasa kasihan sekali. Rupanya ia begitu khawatir sekali. Biarpun dalam hati kecilku aku tidak begitu per­caya, tetapi untuk menghiburnya aku akhirnya se- tuju untuk pergi menemui Tan Achan. Hal ini kula- kukan untuk mengusir rasa kekhawatiran dari hati istriku.
Kemudian kami langsung berangkat menuju vihara di mana Tan Achan menginap yang kebetul­an memang tidak jauh dari rumah kami.
Tiba di vihara kami diberi tahu, bahwa Tan Achan sedang keluar, yaitu dijemput oleh seorang yang tinggi kedudukannya.
Tempat itu sudah penuh sesak oleh orang-orang yang juga sedang menunggu kedatangan Tan Achan. Mungkin hal ini disebabkan, karena ramalannya yang tepat telah tersiar luas di antara penduduk kota.
Sambil menunggu kedatangan Tan Achan, aku mencoba-coba untuk menggambarkan bagaimana rupa dan pribadi Tan Achan tersebut. Aku menggambarkan beliau sebagai orang yang sudah lanjut usianya, kalau jalan harus memakai tongkat, tangannya memegang biji tasbih sedangkan mulutnya tak henti-hentinya berkomat-kamit memanjatkan doa.
Kami duduk mengobrol dengan Tan Maha me­ngenai berbagai persoalan sambil menantikan kembalinya Tan Achan. Setelah Tan Achan tiba kembali, Tan Maha lalu memperkenalkan kami sebagai kenalan baik beliau dan kami lalu memberi hormat kepada Tan Achan dengan berlutut tiga kali. Aku merasa malu karena apa yang kugambarkan tentang beliau ternyata meleset sama sekali. Kenyataannya beliau orangnya masih muda dan gagah sedangkan wajahnya dihias dengan senyuman yang menye­nangkan. Beliau kelihatannya sabar sekali dan kami merasa seolah-olah terkena getaran halus yang me­nyenangkan yang membuat kami merasa tenang dan bahagia. Hal ini memperkuat keyakinan kami terha­dap diri beliau.
Tamu-tamu yang telah menunggu sebelum Kami tiba, secara bergiliran menghampiri Tan Achan dan mohon diberi pelindung dan lain-lain lagi. Setelah ditolong keperluannya maka pulanglah mereka ke rumah masing-masing, sehingga akhirnya hanya kami berdua suami-istri yang berada di ruangan itu. Tanpa ragu-ragu istriku mohon kepada beliau untuk memeriksa nasibku. Meskipun hal ini membuat hatiku sedikit tidak enak namun aku diam saja.
Tan Achan duduk bersimpuh, merapatkan kedua tangannya di dada dan menutup matanya untuk beberapa menit lamanya. Kemudian ia membuka matanya dan berkata: ’’Nyonya, suami nyonya sebe­narnya tidak senang diperiksa nasibnya.”
Aku agak heran mendengar kata-kata itu, karena aku tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa aku kurang senang, tetapi Tan Achan secara tepat mengetahui perasaanku. Aku bertanya-tanya dalam diriku, alangkah luar biasa daya tangkap Tan Achan, sehingga dari mata, air muka atau salah satu sikapku beliau dapat mengetahui apa yang sedang kupi­kir.
Sewaktu aku sedang keheran-heranan, aku men­dengar istriku berkata kembali: ’’Bhante, saya te­lah berketetapan hati untuk memohon dengan sa­ngat agar nasib kami dapat diberitahukan dan kami harap jangan sampai dikecewakan.”
Tan Achan kembali menutup matanya untuk beberapa waktu lamanya dan setelah ia membuka matanya, ia nampaknya seperti orang yang bersusah hati. Dengan perlahan ia membalikkan badannya, sehingga dapat menatap mataku dengan tajam. Kemudian dengan sungguh-sungguh ia ber­kata: ”Aku sebenarnya tidak senang untuk mem­beritahukan jalan hidupmu, karena dalam satu dua tahun ini kamu akan mendapat kecelakaan yang me­ngerikan. Aku tidak akan memberitahukan kece­lakaan apa, karena hal ini akan membuatmu gelisah. Sekarang segala sesuatunya berjalan baik, tetapi lain tahun dan tahun setelah itu kamu harus berhati- hati.”
’’Bhante, mohon diberitahukan bagaimana akibat dari kecelakaan itu? Saya rasa saya cukup tabah untuk mendengarnya”, tanyaku dengan pera­saan ingin tahu.
Untuk beberapa waktu lamanya Tan Achan diam seperti sedang bermeditasi dan aku merasa seolah-olah beliau tidak dapat mengambil ke putus­an. Akhirnya ia bekata: ’’Kamu ditakdirkan untuk mati secara mengerikan sekali tanpa ada orang yang tahu.”
Kata-kata ini membuat seluruh tubuhku terasa gemetar, karena tidak kuduga akan mendengar kata-kata yang begitu menyeramkan.
Biasanya aku selalu tenang dan tidak takut ke­pada bahaya atau kecelakaan yang mungkin me­nimpa diriku. Setelah mendengar ramalan itu aku masih belum yakin bahwa apa yang diramalkan itu betul-betul akan terjadi. Meskipun aku tidak kaya raya, tetapi aku tidak kekurangan suatu apa, lagi pula aku masih didampingi oleh seorang istri yang sangat mencintai dan memujaku seolah-olah seorang dewa.
Bagaimana aku dapat percaya, bahwa dalam waktu dekat aku akan menemui ajalku secara me­ngerikan dan tanpa ada yang tahu, padahal aku selalu didampingi istriku yang setia.
Waktu istriku mendengar kata-kata Tan Achan, ia mendadak menjadi gelisah dan kelihatan sedih sekali. Lalu ia bertanya: ’’Bhante, apakah ada jalan yang dapat merubah nasib suamiku menjadi baik? Saya mohon dengan sangat supaya diberitahukan.”
Tan Achan lalu menjelaskan, bahwa upacara untuk merubah nasib seseorang hanya dapat mem­bantu agar orang merasa lebih baik, tetapi sebenar­nya tidak dapat menolong apa-apa, sebab segala sesuatu harus berjalan sesuai dengan karma (perbuatan) kita masing-masing.
Ada orang yang merasa heran mengapa ia ter­timpa kemalangan, padahal menurut hematnya dalam penghidupan ini ia selalu berbuat baik. Hal ini disebabkan oleh perbuatan-perbuatannya yang buruk di penghidupan yang lampau yang sekarang berbuah di penghidupan ini. Mereka harus mem­bayar untuk perbuatan-perbuatannya yang buruk dan setelah itu mereka baru dapat mengecap keba­hagiaan dari perbuatan-perbuatannya yang baik. Ada orang lain lagi yang terlebih dulu menikmati akibat baik dari perbuatannya di penghidupan-penghidupan yang lampau dan kemudian baru men­derita sebagai akibat buruk dari perbuatan-perbuat­an yang dilakukannya.
Jalan penghidupan bukanlah semata-mata merupa­kan jalan di dalam taman dengan pemandangan- pemandangan yang indah permai saja. Sebelum tiba di tempat tujuan, seringkali kita harus melalui tempat yang tidak menyenangkan dan sewaktu- waktu mungkin bertemu dengan hutan belukar. Beliau melanjutkan, bahwa untuk merubah nasib sebenarnya tergantung dari diri kita sendiri. Kita harus berusaha untuk membebaskan diri dari pe­rasaan benci, iri hati, loba dan pikiran yang selalu ingin mementingkan diri sendiri saja. Waktu menyatakan ini Tan Achan tertawa dan wajahnya kelihat­an bersinar.
Setelah itu ia berkata kepada istriku : ’’mengenai nasib nyonya, dalam waktu enam bulan nyonya akan kehilangan seorang dari lingkungan rumah tangga dan tidak lama lagi nyonya akan kehilangan barang-barang yang berharga.”
Aku mendengarkan semua ini dengan perasaan tidak menentu dan aku sama sekali tidak menduga, bahkan bermimpipun tidak, bahwa apa yang diucapkan Tan Achan kelak benar-benar terbukti.
Kira-kira enam bulan setelah kami mengunjungi Tan Achan, supir kami yang sudah lama bekerja, tiba-tiba diserang penyakit. Pada mulanya ia hanya demam sedikit, tetapi ketika sudah hampir sembuh ia mendadak diserang penyakit paru-paru dan akhirnya tidak tertolong lagi. Kami berdua merasa sedih sekali dengan meninggalnya supir kami yang jujur dan setia itu.
Setelah ia diperabukan, aku teringat apa yang telah diramalkan oleh Tan Achan. Ramalan yang pertama sekarang telah terbukti. Meskipun untuk pertama kalinya aku memperoleh bukti yang nyata, namun aku masih berpikir bahwa itu hanya kebe­tulan belaka.
Tidak lama setelah supir tua kami meninggal dunia, kami telah menerima bekerja seorang supir baru yang masih muda usianya, Cherd namanya.
Setelah ia bekerja untuk beberapa bulan lama­nya, istriku kehilangan barang-barang perhiasannya. Istriku telah lalai untuk menyimpan barang-barang perhiasannya di tempat yang aman, bahkan petinyapun turut hilang.
Kami yakin, bahwa pencurinya mesti salah se­orang yang bekerja di rumah kami. Semua pelayan-pelayan tua telah bekerja pada kami untuk waktu yang lama dan telah terbukti kejujurannya, kecuali Cherd, supir yang baru masuk itu.
Mengenai orang ini kami sebenarnya tidak menge­tahui apa-apa dan ia melamar pekerjaan pada kami melalui istri dari supir kami yang telah meninggal dunia.
Istriku sama sekali tidak kelihatan kesal atas ke­hilangan barang-barang perhiasannya dan aku me­narik kesimpulan, bahwa ia tahu cepat atau lambat ia pasti akan kecurian atau kerampokan, la menga­takan, bahwa barang-barang perhiasan dan emas adalah benda-benda dunia yang dapat dicari gantinya, lagipula ia telah diperingati oleh Tan Achan dan ini turut mempengaruhi ia tidak begitu memikirkan tentang kehilangan barang-barang perhiasannya. Tetapi aku merasa ia sebenarnya lebih khawatir tentang apa yang akan terjadi atas diriku. Setelah dua peristiwa terjadi sesuai dengan apa yang telah diramalkan, istriku menjadi gelisah dan takut, bahwa ramalan mengenai diriku kelak pun benar-benar akan terbukti.
Beberapa hari setelah dilakukan pemeriksaan terhadap pencurian perhiasan, supir baru kami tidak datang lagi dan kami juga tidak dapat meng­hubunginya, karena kami tidak tahu alamatnya.
Sekarang aku harus menyetir sendiri dan istriku tentu saja merasa khawatir sehingga ia hanya mem­perbolehkan aku setir mobil kalau hal itu benar- benar perlu sekali. Dalam hati kecilnya ia selalu dirundung kecemasan akan terjadinya kecelakaan sebagaimana telah diramalkan oleh Tan Achan.
Pada suatu hari ketika aku sedang mengendarai mobil di suatu jalan di Bangkok, dari jauh kulihat sebuah mobil hitam sedang berusaha menghindari tubrukan dengan sebuah beca; tetapi sangat menye­dihkan sekali sebagai gantinya ia lalu menubruk seorang yang sedang berjalan kaki.
Orang itu sedang memikul barang dagangan berupa kue-kue dan gula-gula dan sebagai akibat tubrukan itu kue dan gula-gula tersebut jatuh berserakan di jalan sewaktu ia terjatuh. Supirnya tidak berhenti, sebaliknya ia malahan menancap gas untuk secepat mungkin menyingkir dari tempat tersebut. Pada saat itu memang masih belum begitu ramai dan waktu kecelakaan terjadi juga tidak ada mobil polisi, sehingga mobil bercat hitam tersebut dengan mudah dapat menghilang. Ketika aku tiba di tempat terjadinya kecelakaan, aku hentikan mobilku di tepi jalan dan keluar dari mobil untuk melihat bagaimana keadaan orang yang telah kena tubruk.
Si pedagang pikulan, seorang wanita tua berumur lebih dari enarnpuluh tahun, dengan susah payah mencoba bangun. Melihat hal tersebut aku segera datang untuk membantunya. Syukur, bahwa orang tua tersebut tidak mendapat luka berat. Beberapa orang yang kebetulan lewat membantu mengumpul­kan kue dan gula-gula yang telah berserakkan. Aku sendiripun membantu untuk mengumpulkan uangnya. Kasihan sekali wanita tua itu, sebab orang yang sudah demikian lanjut usianya selayaknya berdiam di rumah atau menjaga cucunya dan bukan untuk berjualan keliling dengan memikul keranjang yang berat.
’’Nenek, apakah kau terluka?” aku bertanya, ’’apakah pakaianmu cabik?”
’’Untung tidak apa-apa, tuan”, jawabnya. ’’Saya hanya sakit sedikit di sana-sini.”
”Di mana rumahmu, nek? Aku akan mengantar­mu pulang ke rumah.”
Setelah ia memberitahukan alamat rumahnya, aku persilakan ia untuk naik ke mobil. Tetapi ia kelihatannya ragu-ragu, sehingga aku perlu mena­ruh dahulu keranjang dan pikulannya ke dalam mobil. Wanita tua itu merangkapkan kedua tangannya di depan dada dan dengan suara terharu ia ber­kata: ”Oh, tuan sungguh baik sekali. Bukan tuan yang menubruk saya, tetapi justru tuanlah yang menolong saya, sedangkan orang yang menubruk saya pergi kabur. Tetapi saya tidak marah kepada orang itu, karena kita tidak mungkin dapat meng­hindari nasib.
Aku terperanjat ketika mendengar bahwa nasib tidak dapat dirubah. Lalu kuingat apa yang telah diramalkan oleh Tan Achan dan pada saat itu pula aku mengambil keputusan, bahwa sebelum aku meninggal dunia aku ingin melakukan perbuatan- perbuatan baik sebanyak mungkin yang akan mem­buat orang-orang yang sedang menderita menjadi bahagia.
”Nenek, mengapa engkau sendiri yang harus pergi berdagang? Apakah engkau tidak mempunyai anak atau cucu ?”
’’Sebenarnya saya mempunyai anak dan cucu”, jawabnya. ’’Saya tinggal bersama-sama dengan menantu dan tiga orang cucu, tetapi pada waktu ini menantuku sedang sakit dan saya harus meng­gantikannya berdagang.”
Sebelum membawanya pulang ke rumah, aku terlebih dulu singgah di sebuah klinik di mana aku minta kepada dokter-jaga yang kebetulan kenalan baikku, untuk memeriksa luka dari nenek itu. Setelah luka-lukanya diberi obat aku lalu menuju ke alamat rumah si wanita tua tersebut.
Kuhentikan mobilku di muka sebuah lorong yang sempit dan membantunya keluar dari mobil. Orang-orang kampung datang berkerumun dan ber­tanya apa yang sebenarnya telah terjadi. Apakah mobilku barangkali yang menubruk wanita tua itu. Sebelum aku sempat menjawab, nenek itu mendahuluiku: ”Oh, bukan tuan ini yang menubrukku. Orang lain yang telah menubrukku, tetapi ia lantas melarikan kendaraannya. Sedangkan tuan ini begitu baik hati untuk menolongku.”
Aku membuka pintu belakang mobil dan menge­luarkan barang dagangan si nenek yang segera disambut oleh orang banyak untuk kemudian di bawa ke rumah nenek tersebut, sedangkan yang lain lagi berjalan sambil menuntun si nenek.
Kuikuti mereka sampai di ujung lorong, di mana terlihat jembatan kecil yang terdiri dari dua helai papan melintasi sebuah selokan yang airnya hitam dan penuh sarang nyamuk.
Di kanan kiri lorong dan sejauh mata memandang hanya kemesuman dan kekotoran saja yang terlihat. Dalam hidupku belum pernah aku pergi ke tempat semacam itu dan tidak terasa timbul rasa kasihan dalam diriku kepada orang-orang miskin yang ter­paksa harus tinggal di tempat yang seburuk itu.
Sekarang kami tiba di pondok si nenek dan ia mempersilakan aku masuk ke pondoknya. Aku demikian tenggelam dalam lamunanku memikirkan penderitaan orang-orang ini yang terpaksa harus hidup dari hari ke hari, sehingga aku tidak mendengar beberapa orang anak memberi hormat kepada nenek mereka.
Aku masuk ke dalam gubuk dan melihat seke­lilingku. Tidak ada apa-apa yang dapat dikatakan berharga, sebab semuanya serba usang. Nenek itu menarik keluar sebuah peti bekas, membersihkan­nya dengan sehelai lap yang mesum dan mempersilakan aku untuk duduk.
Tanpa ragu-ragu sedikit pun aku lantas duduk dan tidak ambil pusing apakah  celanaku akan menjadi kotor atau tidak. Waktu aku sedang melihat-lihat bagian dalam gubuk itu, terlihat tubuh seorang wanita muda yang sedang tidur di balik kelambu mesum di salah satu sudut dan tubuhnya ditutupi oleh selembar selimut yang sudah usang. Dari mukanya dapat terlihat jelas, bahwa ia sedang menderita sakit. Di dekatnya ada sebuah lumpang dan segelas air, di mana terlihat terapung-apung beberapa kuntum bunga yasmin. Umurnya kutaksir kira-kira tigapuluh tahun, tetapi ini hanya perkiraanku belaka sebab kalau sedang sakit biasanya orang akan nam­pak lebih tua dari umur sebenarnya. Di sampingnya duduk dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak perempuan itu adalah yang paling kecil dan kukira baru berumur tiga tahun. Rambutnya diikat menjadi kuncir dan bajunya terbuat dari bahan yang murah. Anak laki-laki yang tua ber­umur kira-kira delapan tahun dan adiknya berumur lima tahun. Kedua-duanya tidak berpakaian. Nenek lalu memerintahkan anak laki-laki itu berpakaian. Kemudian mereka bertiga diperintahkan untuk memberi hormat kepadaku.
Wanita muda yang sakit pun berusaha untuk bangun, tetapi aku katakan kepadanya agar terus saja tidur. Sebab dari wajahnya terlihat jelas, bahwa ia sedang diserang demam.
’Tuan, wanita itu menantuku”, kata si nenek. ”Ia sudah tujuh hari sakit dan anak-anak itu adalah cucuku. Saya tidak tahu bagaimana harus memberi mereka makan. Karena itu saya berusaha untuk membeli gula-gula dan menjualnya kembali. Dari keuntungan yang tidak seberapa itu saya belikan beras dan sayur untuk kita makan bersama.”
Saya menanyakan apa pekerjaan anaknya. Ia menjawab: ”Dulu anak saya bekerja sebagai supir, tetapi sejak beberapa bulan ini tidak pernah pulang ke rumah. Ada orang yang mengatakan, bahwa ia bekerja di daerah Bankapi, tetapi ada orang lain lagi mengatakan, bahwa ia sekarang sedang berada di penjara. Bagi kami, apakah ia pulang atau tidak sama saja, sebab ia tidak pernah memberi kami uang.”
Kemudian aku bertanya apakah menantu itu su­dah diperiksa oleh dokter. ’’Dari mana saya punya uang, tuan, untuk membawa ia ke dokter. Saya telah meramukan jamu agar panasnya turun. Apa lagi yang dapat saya lakukan? Kami miskin sekali, sehingga sulit sekali untuk dapat membeli makanan untuk sekian banyak mulut.”
Saya merasa kasihan sekali dan berhasrat benar un­tuk menolong keluarga tersebut. Kepada nenek itu aku katakan: ’’Nenek, sekarang aku akan panggil dokter. Engkau tak usah khawatir tentang pemba­yarannya. Aku akan tanggung semua biayanya. Aku tidak ingin mendapat balas jasa apa-apa dari apa yang aku akan lakukan. Hal ini aku lakukan semata-mata karena terdorong oleh perasaan prikemanusiaan.” Kemudian aku selipkan beberapa lembar uang kertas ke tangan si nenek sambil berkata: ’Terimalah uang ini, nek dan pergilah beli beberapa helai pakaian untuk cucumu dan makanan yang dapat menyegarkan menantumu.”
Aku lalu berdiri dan ingin meninggalkan tempat itu secepat mungkin, karena aku tidak ingin men­dengar ucapan terima kasihnya. Tetapi nenek itu dengan air mata yang berlinang-linang menyusulku dan sambil menangis berlutut memeluk kakiku. Dengan tersendat-sendat ia berkata: ”Oh, tuan! Sang Buddha akhimya menaruh belas kasihan ke­pada saya. Saya begitu bahagia, sehingga saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Tuan telah mem­berikan saya uang demikian banyaknya, sehingga melebihi keuntungan berjualan gula-gula selama be­berapa tahun lamanya. Hari ini saya sebenarnya sudah putus asa, karena beras dan bahan bakar sudah habis sedangkan uang tidak ada. Sewa pondok sudah lama tidak saya bayar. Oh, hampir saja saya tidak percaya tentang apa yang telah terjadi. Bagai­kan impian yang indah saja.”
Sebenarnya uang yang kuberikan itu tidaklah be­gitu besar jumlahnya, tetapi bagi orang yang sangat miskin seperti nenek itu yang hampir tidak makan tentu saja jumlah itu merupakan jurnlah yang sangat besar.
Aku menjemput seorang kawan yang menjadi dokter untuk memeriksa menantu nenek yang sakit itu. Setelah diperiksa kawanku mengatakan, bahwa si sakit menderita penyakit malaria dan memberikan suntikan serta obat untuk dimakan. Kawanku agak heran, karena ia sama sekali tidak mengira bahwa aku akan membawanya ke gubuk seperti itu. Baru setelah aku memberi penjelasan ia mengerti dan juga turut bergembira.
Hari itu aku pulang ke rumah dengan hati yang senang dan bahagia. Setelah aku ceritakan peristiwa di atas kepada istriku, iapun turut bergembira.
Setelah kejadian di atas, pernah beberapa kali aku bertamu ke rumah si nenek dan sedapat mung­kin aku berusaha untuk menolong keluarga yang malang itu. Sekarang tampak banyak perubahan di rumah nenek itu. Cucu-cucunya sekarang memakai pakaian yang agak bersih dan rumahnya juga kelihatan lebih bersih dan terurus. Tentu saja hal terse­but membuat aku gembira dan bahagia, karena pertolonganku sedikit banyak telah membawa kebaha­giaan pada keluarga miskin ini dan tentunya khusus bagi ketiga anak itu.
Sekarang si nenek dapat berdiam di rumah un­tuk mengasuh cucu-cucunya sedangkan menantunya berjualan gula-gula.
Pada suatu hari setelah aku habis makan malam, seorang pelayan masuk dan memberi tahu, bahwa ada seorang tamu ingin berjumpa denganku Aku menjawab agar tamu tersebut dipersilakan masuk. Ketika tamu itu masuk aku lantas mengenalnya, yaitu kawanku sewaktu masih sama-sama berseko­lah.
Dari kawan-kawan lain telah kudengar, bahwa ia sekarang tinggal di Utara dan memiliki sebuah perusahaan besar. Kedatangannya membuat aku gembira sekali.
Setelah kami melepaskan perasaan rindu masing- masing, aku lalu memandang wajahnya dengan lebih teliti. Pada wajah kawanku jelas dapat terlihat tan­da-tanda penderitaan yang hebat dan kedua mata­nya guram, sehingga mudah dapat diketahui bahwa ia sedang sakit atau sedang ditimpa kemalangan. Ia kelihatannya gelisah sekali, seolah-olah ia berada dalam bahaya besar. Aku ajak ia ke kamar kerja, di mana kami dapat berbincang-bincang tanpa dapat didengar oleh orang lain.
Setelah kami berada berdua aku lantas tanya kepadanya: ”Aku rasa engkau sedang memikirkan sesuatu. Harap engkau beritahukan saja kepadaku kalau sekiranya ada sesuatu yang dapat aku bantu”.
Ketika mendengar tawaran ini matanya agak lebih bercahaya dan tanpa ragu-ragu lagi ia berkata: ’’Dugaan engkau memang tepat sekali. Aku seka­rang sedang dalam kesulitan besar. Kira-kira dua ratus orang pekerja dan pegawaiku sedang menan­tikan pertolongan. Andaikata aku gagal maka mereka akan kehilangan pekerjaan sedangkan ke­luarganya mungkin akan kelaparan. Semua uangku sudah habis dan aku sekarang tidak mengekspor barang-barang lagi. Telah sepuluh hari lamanya aku berada di Bangkok, namun sampai sekarang aku masih belum berhasil untuk mendapatkan pinjaman uang untuk melanjutkan usahaku. Aku telah mene­mui beberapa orang teman karibku yang di waktu yang lalu pernah aku tolong dan sekarang keadaan mereka telah baik. Aku minta pertolongan mereka, namun dengan mengajukan berbagai alasan mereka semua menolak untuk menolongku. Sekarang eng­kau adalah orang yang terakhir yang akan aku hubungi. Biarpun kita sudah lama tidak pernah berhubungan semenjak kita keluar sekolah, tetapi aku memberanikan diri datang kemari untuk mo­hon pertolonganmu.
Bukan hanya untuk diriku saja, tetapi terlebih lebih untuk dua ratus keluarga yang mungkin akan kelaparan.”
Setelah mendengar ceritanya aku lalu mengata­kan, bahwa aku mengerti keadaannya dan merasa bersimpati sekali. Selanjutnya kukatakan, bahwa tentu saja aku ingin menolongnya kalau saja hal ini tidak berada di luar kemampuanku. Kawanku ke­mudian memberikan angka pasti yang akan cukup untuk dapat keluar dari kesulitan. Angka ini meru­pakan jumlah yang besar, yang dalam keadaan biasa tidak mungkin akan kuberikan. Tetapi sekarang aku telah bertekad untuk sebanyak mungkin melaku­kan perbuatan baik sebelum aku meninggalkan dunia yang fana ini. Lagipula aku telah mendengar dari kawan-kawan yang lain, bahwa kawanku ini termasuk orang yang jujur dan baik hati, sehingga dengan tidak ragu-ragu lagi aku mengambil kepu- tusan untuk memberikan pinjaman yang diminta. Aku selalu percaya kepada pepatah kuno yang berbunyi : ’’Uang tidak dapat di bawa mati.” Oleh karena itu alangkah baiknya apabila uang itu dapat aku gunakan untuk tujuan-tujuan baik sewaktu aku masih hidup.
Wajah kawanku bersinar kegirangan ketika men­dengar, bahwa aku bersedia memberikan pinjaman sejumlah yang diperlukan.
”0h, engkau telah menolong jiwaku”, katanya dengan suara tersendat-sendat karena perasaan haru. ’’Besok pagi aku akan datang kembali dengan membawa pengacaraku, untuk kemudian kita dapat menandatangani akte pinjaman.”
Kepadanya kukatakan, bahwa hal itu sama sekali tidak perlu. Aku lalu menarik laci meja-tulis, menge­luarkan buku cheque dan menulis cheque untuk jumlah yang diperlukan. Ia kelihatan terperajat sekali, seakan-akan melihat iblis di siang tengah hari ketika aku mengulurkan cheque yang telah aku tanda tangani. Ia menerimanya dan memandangi cheque tersebut seperti orang yang lupa ingatan dan kemudian ia berlutut di depanku sambil me­meluk kakiku. Ia menangis tersedu-sedu dan air matanya berderai di kakiku. Akupun turut mena­ngis ketika mengangkatnya bangun.
’’Sekarang banyak jiwa akan tertolong”, katanya setelah agak tenang. ’’Ketika aku berkunjung ke mari, sebenarnya aku tidak menyangka akan men­dapat perlakuan yang demikian baiknya, sebab se­mua kawan-kawanku yang lain yang keadaannya sekarang sudah baik, telah menolak untuk meno­longku. Untuk itu aku merasa sangat kecewa. Aku dapat diumpamakan sebagai orang yang hampir tenggelam dan akan menjangkau apa saja yang dapat aku pegang. Kini suatu mukjizat telah terjadi. Eng­kau telah menolong jiwaku dan juga telah mem­berikan harapan untuk melanjutkan perjuanganku. Sebenarnya aku mengira bahwa hari ini merupakan hari penghabisan bagiku.”
”Mengapa kaukatakan demikian?” tanyaku de­ngan heran.
’’Engkau adalah harapanku yang terakhir”, jawabnya. ”Kalau sekiranya aku gagal di sini, maka aku akan kembali ke hotel dan akan membunuh diri.” Untuk membuktikan kata-katanya, ia menge­luarkan sepucuk pistol Colt 6,35 mm dari dalam tasnya bersama tiga pucuk surat. Surat pertama ditujukan kepada polisi setempat, surat kedua kepada ibunya dan surat ketiga kepada istrinya. Dalam suratnya kepada polisi ia menulis, bahwa ia telah melakukan bunuh diri. Dalam surat yang ditujukan kepada ibu dan istrinya ia menyampai­kan salam perpisahan dan beberapa pesan yang singkat.
Bulu badanku berdiri waktu aku membaca surat-surat tersebut. Aku gembira sekali, bahwa aku telah memutuskan untuk menolongnya.
Setelah kawanku pergi, aku ceritakan peristiwa ini kepada istriku. Iapun turut gembira atas kejadian tersebut. Waktu mendengar bagaimana kawanku menyatakan terima kasihnya iapun turut mena­ngis.
Tak lama setelah kejadian di atas, Thailand ikut terlibat dalam kanca peperangan. Harga barang-ba­rang melonjak tinggi dan demikian pula dengan harga obat-obatan, terutama obat-obatan yang mahal harganya, sehingga banyak orang yang meninggal karena penyakit radang paru-paru.
Apa yang telah diramalkan oleh Tan Achan tidak pernah kulupakan dan aku tahu, bahwa ajalku su­dah dekat. Meskipun demikian aku tenang-tenang saja. Aku tidak memperoleh anak dari istriku, walaupun kami telah menikah lebih dari sepuluh tahun lamanya. Pernah istriku mengusulkan agar aku mengambil saja seorang istri kedua, tetapi usul tersebut dengan tegas kutolak. Aku sangat meng­hargai usulnya, tetapi aku lebih senang untuk mem­biarkan saja keadaan ini seperti yang dikehendaki oleh nasib.
Namun demikian aku belum dapat melihat tanda-tanda adanya kemungkinan, bahwa aku akan meninggal secara mengerikan dan tanpa ada orang yang tahu, karena aku bukanlah orang yang tidak beruang dan banyak juga dikenal orang.
Selain itu Tan Achan juga mengatakan, bahwa upacara-upacara untuk merubah nasib seseorang hanyalah untuk membantu supaya perasaannya lebih enak, tetapi sebenarnya tidak dapat meno­long apa-apa. Tan Achan juga mengatakan, tidak seorang pun selain diri kita sendiri yang dapat menyingkirkan ketamakan kita dan keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Aku setuju sekali dengan hal di atas, karena aku sendiri telah men­dapat kepuasaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata dengan cara menolong orang yang se­dang ditimpa kemalangan.
Sejak aku diramalkan nasibku, aku senantiasa ber­usaha untuk selalu melakukan perbuatan baik. Meskipun aku tahu, bahwa perbuatan-perbuatan baikku mungkin baru akan berakibat dalam waktu yang lama sekali, tetapi aku tahu pula, bahwa perbuatan jahat akan berakibat lebih cepat. Sebe­narnya aku tidak mengharapkan jasa apa-apa dari perbuatan baikku.
Pada suatu malam ketika perang di Timur Jauh berlangsung kurang lebih satu tahun lamanya, pesawat Sekutu untuk pertama kalinya menjatuhkan bom di kota Bangkok. Beberapa bom jatuh di Jalan Yawaradj dan di gedung kedutaan Jerman, sehingga menimbulkan rasa cemas di kalangan penduduk kota Bangkok yang belum berpenga­laman dalam hal serangan-serangan udara. Diantara mereka ada yang mengungsi ke desa-desa ada yang pindah ke pinggir kota untuk sedapat mungkin berada jauh dari pusat kota dan tempat-tempat yang penting.
Aku menjadi khawatir mengenai diri nenek Yai Chome, menantu dan cucu-cucunya. Aku bermaksud untuk mengungsikan mereka ke tempat yang lebih aman kalau mereka menyetujuinya. Memang aku tahu beberapa tempat yang baik. Untuk keper­luan ini aku pergi menemuinya dan membicarakan hal tersebut.
’’Tetapi tuan sendiri mau ke mana?” tanya si nenek dengan penuh perasaan ingin tahu.
Aku katakan kepadanya, bahwa aku tidak akan mengungsi, karena kami tidak mempunyai anak yang harus dipikirkan. Lalu nenek Yai Chome menjawab, bahwa ia juga tidak ingin mengungsi kemana-mana. Aku mencoba membujuknya demi kepentingan cucu-cucunya. Aku juga mengatakan, bahwa mengenai tempat-tinggal ia tak usah pikir­kan, karena dengan mudah aku dapat mencarikan­nya.
’’Tuan sudah pernah menolong jiwa kami sekeluar­ga. Kalau tuan tidak mengungsi, apakah kami harus takut untuk tetap tinggal di sini. Tidak tuan, kami tidak takut akan bahaya. Kalau tuan tidak pergi, kamipun akan berdiam terus di rumah ini”, kata nenek itu.
Pada keesokan harinya, tepat pada hari Waisak, terjadilah peristiwa yang paling mengesankan dalam hidupku. Hari itu aku berada di daerah Pahurat untuk keperluan dagang. Tiba-tiba terde­ngar sirene tanda serangan udara. Ini berarti, bahwa pesawat-pesawat Sekutu sedang mendekati kota Bangkok dan akan membomnya pada waktu siang hari. Tidak lama lagi terdengarlah raungan pesa­wat-pesawat terbang di atas kota dan mulai men­jatuhkan bom mereka. Tempat-tempat perlindung­an seketika diserbu dan menjadi penuh sesak, ka­rena pada waktu itu bioskop baru saja selesai de­ngan pertunjukan pagi dan orang-orang yang menon­ton berlari-lari kesana-sini untuk mencari perlin­dungan.
Terdengar bom jatuh di dekat aku berada. Hal ini menyebabkan orang-orang menjadi lebih panik. Cepat-cepat aku lewati gedung bioskop dengan maksud untuk mencari tempat yang aman di vihara. Di depanku aku melihat seorang gadis kecil di tengah jalan sedang menangis-nangis mencari ibu­nya. Tetapi tidak seorangpun yang menaruh perhati­an kepadanya, karena pada waktu itu keadaan benar-benar sedang kacau-balau. Semua orang hanya berpikir untuk menyelamatkan dirinya sendiri saja. Timbullah rasa kasihan dalam hatiku melihat gadis kecil tersebut yang kukira berumur tiga tahun. Aku berlari ke arahnya untuk membawanya ke salah sebuah lubang perlindungan. Pada waktu itu aku mendengar bom-bom meletus makin dekat dan makin dekat.
Waktu aku hampir tiba di tempat ia berdiri; tiba-tiba anak itu terjatuh. Aku segera membungkuk untuk mengangkatnya bangun. Pada saat itulah sebuah bom meledak di dekat tempat kami berada. Pecahannya telah memapas bagian atas topi yang sedang kupakai, sehingga rambutku dapat terlihat dan kepalaku terasa dingin. Karena tekanan udara yang disebabkan oleh ledakam bom tersebut ham­pir-hampir saja aku jatuh menimpa si anak gadis. Saat itu aku benar-benar berada di antara hidup dan mati. Kalau sekiranya pada waktu itu gadis kecil tersebut tidak terjatuh dan aku tidak mem­bungkuk untuk mengangkatnya, maka pasti tamatlah riwayatku. Tentu cerita ini tidak akan sampai kepada saudara-saudara.
Aku peluk anak itu dan lari ke salah satu tem­pat perlindungan. Ketika aku melihat sekelilingku, aku melihat banyak orang yang terluka dan ber­darah, sedangkan banyak anggota badan manusia yang berserakan disana-sini. Alangkah beruntung­nya, bahwa aku beserta gadis itu masih hidup. Ketika aku melihat wajah gadis itu aku agak cemas, sebab ia tidak menangis lagi dan matanya meman­dang ke depan dengan tidak berkedip. Semula ku­kira, bahwa ia telah mati karena kaget. Untung saja perkiraanku keliru, sebab sebenarnya ia se­dang memandangi wajahku yang asing sekali baginya. Dengan memeluk gadis itu aku menuju ke Wat Sutat dan ledakan-ledakan bom lambat laun ber­henti.
Aku memasuki vihara yang ternyata sudah penuh dengan orang-orang yang mencari perlindungan. Di antara mereka aku melihat seorang wanita yang berumur kira-kira tigapuluh tahun, sedang mena­ngis. Di dekatnya berada tiga orang anak gadis dan seorang anak laki-laki. Mereka sedang sibuk mem­bicarakan seorang anak yang hilang, karena me­reka menduga, bahwa anak tersebut dibawa oleh orang yang lain ketika mereka berpisahan mencari tempat untuk berlindung.
Setelah mereka sekarang berkumpul kembali dan tidak melihat anak itu, mereka saling salah-menyalahkan satu sama lain. Ketika wanita muda itu melihat aku, ia lari mendekati lalu menarik anak tadi dari pelukanku. Anak itu lalu dipeluk erat-erat dan diciumi sambil menangis tersedu-sedu karena kebahagiaan.
”0h, anakku sayang, engkau seperti juga dila­hirkan kembali.” Dan ketika mereka sedang ter­tawa-tawa karena kegirangan, aku mencari jalan untuk keluar vihara melalui pintu samping. Sebab aku menduga mereka pasti akan mencari aku untuk menghaturkan terima kasih. Aku sudah merasa puas melihat keluarga anak itu bergembira karena gadis kecil itu telah selamat.
Sampai hari inipun aku belum dapat memasti­kan, apakah benar aku yang menolong anak itu ataukah bukan sebaliknya, anak itulah yang telah menolong jiwaku. Kalau sekiranya pada waktu itu aku terkena pecahan bom dan meninggal, siapakah yang akan dapat mengetahui dan mengenalnya kembali? Karena beberapa mayat yang bergelim­pangan di sekitar tempat itu tidak lagi dapat dikenal. Kalau demikian halnya, siapakah yang akan memberitahukan kepada istriku? Mungkin potongan-potongan badan manusia itu dikumpulkan men­jadi satu, lalu ditanam sebagai orang-orang yang tidak dikenal. Ketika membayangkan hal ini, tubuhku gemetar dan aku teringat kepada apa yang telah diramalkan oleh Tan Achan, yaitu aku akan meninggal dengan cara yang mengerikan dan tidak ada orang yang mengetahuinya. Tidak pernah kuduga, bahwa sebenarnya aku harus mati dengan cara yang demikian hebat. Tetapi untunglah peristiwa itu sekarang sudah berlalu. Aku hanya berdoa agar jangan mengalami peristiwa semacam itu lagi di kemudian hari. Ketika aku mengangkat gadis kecil itu dari tengah jalan, aku tidak memikir­kan bahaya. Pada saat itu pikiranku hanyalah untuk menolong anak itu, padahal orang lain berlari-lari mencari tempat yang selamat. Waktu itu tidak ada seorangpun yang memperhatikan gadis itu. Aku telah terlepas dari maut karena telah memper­taruhkan nyawaku untuk menolong orang lain. Aku sangat gembira, bahwa perbuatan baik yang kulakukan dapat berbuah dengan demikian cepatnya.
Setelah hari yang tak dapat kulupakan itu se­rangan udara makin lama makin hebat. Pada suatu pagi seorang bhikkhu datang mengunjungi rumahku dengan jubah kuningnya yang kelihatan anggun sekali. Beliau memberitahukan,bahwa beliau datang dari Utara. Selagi lewat di tempat ini beliau singgah untuk menjengukku, karena beliau telah men­dengar tentang diriku dari kawanku yang tinggal di Utara.
Kawan itu ternyata yang pernah kutolong beberapa waktu yang lalu ketika ia sedang dalam kesulitan keuangan.
Aku mengundang bhikkhu itu untuk bermalam di rumahku dan menyediakan makanan untuk sarapan pagi dan tengah hari. Istriku membersih­kan kamar tidur di ruangan atas untuk dipakai beliau, sedangkan kami sendiri pindah tidur di kamar bawah. Pada malam harinya kami mengobrol ke barat dan ke timur sampai pada suatu ketika istriku mohon agar beliau mau melihat nasib kami. Istriku ingin mengetahui, apakah aku seka­rang sudah terbebas dari bahaya atau belum dan apakah yang akan terjadi pada waktu yang akan datang.
’’Sebenarnya aku tidak suka meramalkan nasib”, jaWab beliau.
”Aku harus mengatakan hal-hal yang benar, sebab seorang bhikkhu tidak boleh berdusta. Kamu telah memohon agar aku mau melihat nasib dari suamimu dan sekarang aku terima permohonanmu itu. Kamu harus selalu ingat, bahwa kita, mau atau ti­dak mau, harus memetik buah dari perbuatan-perbuatan kita dari penghidupan ini dan juga dari penghidupan-penghidupan yang lampau.” 'Kemu­dian beliau menutup matanya dan bermeditasi.
Aku dan istriku saling pandang-memandang dan kira-kira setengah jam kemudian bhikkhu itu mem­buka matanya. Sambil tersenyum ia berkata: ”Wah. sebenarnya suamimu sudah harus mati pada hari Waisak yang lalu. Tetapi untunglah hari naas itu telah lalu. Sungguh suatu keajaiban. Lalu kupusat­kan pikiranku untuk mengetahui apa yang telah menyelamatkan jiwa suamimu, dan jawabannya ialah perbuatan-perbuatannya yang mulia yang menjadi penolongnya. Mulai dari sekarang kamu berdua akan menghadapi masa yang bahagia.  Sesudah itu kami masih bercakap-cakap untuk beberapa waktu lamanya dan kemudian mempersilahkan beliau untuk beristirahat di ruangan kamar atas. Ketika hendak menaiki tangga, beliau berpesan: ’’Malam nanti, apapun juga yang akan terjadi yang membuatmu cemas, kuharap dengan sangat supaya kamu tenang-tenang saja dan jangan mengganggu aku. Dan sekarang selamat malam.” Malam itu wajah istriku kelihatannya cerah dan gembira sekali; hal mana tidak pernah kulihat sejak beberapa tahun yang lalu.
Kesunyian malam itu diganggu dengan suara sirene. Aku dan istriku terbangun dan ia minta aku membangunkan bhikkhu yang tidur di kamar atas. Ketika itu aku teringat pesannya untuk jangan diganggu, meskipun apa juga yang terjadi.
Pesawat-pesawat Sekutu telah beterbangan di atas kota Bangkok dan mulai menjatuhkan bom. sehingga seluruh kota menjadi tergetar akibat le­dakannya. Aku memerintahkan agar semua orang masuk ke lubang perlindungan yang digali di ha­laman muka rumah kami. Kami mendengar pesawat melayang-layang di atas kepala kami dan ter­dengarlah ledakan yang satu disusul dengan ledak­an yang lain. Lubang perlindungan kami tergetar seperti sebuah perahu yang sedang dilanda gelombang besar. Kami harus berdiam di lubang perlin­dungan itu hingga pagi hari. Ketika aku keluar, ku­kira rumahku telah menjadi tumpukan puing, tetapi alangkah gembira ketika aku lihat, bahwa segala sesuatunya masih seperti sediakala.
Kami berdua mengantuk sekali, sehingga langsung saja masuk ke kamar tidur tanpa mengambil perhatian kepada orang-orang yang masih sibuk membicarakan serangan udara pada kemarin malam. Pagi itu aku bangun agak siang dan teringat, bahwa kami mempunyai tamu yang belum disediakan makanan pagi.
Ketika aku keluar dari kamar, aku mendengar dari istriku, bahwa bhikkhu tersebut sudah mening­galkan rumah kami, sewaktu aku masih tidur nyenyak. Tukang masak kami masih berjumpa dengan beliau pada pagi hari. Sebelum pergi beliau berpesan supaya jangan membangunkan kami. Selanjutnya beliau mengatakan, bahwa mulai sekarang aku akan hidup bahagia.
Ketika istriku keluar dari kamar tidur, waktu itu beliau sedang keluar pintu pekarangan, sehingga istriku hanya dapat melihat jubah kuningnya saja Istriku berlari-lari ke pintu pekarangan untuk mengundang beliau makan pagi, tetapi ketika ia sampai di muka pintu pekarangan, bhikkhu itu sudah tidak kelihatan lagi. Beliau juga tidak diketemukan sewaktu dicari-cari.
Pagi itu aku menemukan dua buah bom yang ti­dak meledak, terbenam dalam tanah di kiri-kanan tangga belakang. Untungnya, bahwa bom itu tidak mengenai semen, sebab kalau demikian hal­nya, pastilah ia akan meledak dan seluruh rumah tentu akan musnah.
Aku mengirim orang Untuk memberitahukan petugas yang berwenang. Tidak lama kemudian regu penjinak bom datang untuk menyingkirkan kedua bom tersebut.
Setelah itu tidak terjadi lagi hal-hal yang penting sampai tentara Jepang menyerah tanpa syarat ke­pada tentara Sekutu.
Beberapa hari kemudian aku pergi mengunjungi Yai Chome, si nenek. Ketika aku masuk ke rumahnya, aku terkejut melihat Cherd yang pernah be­kerja di rumahku sebagai supir untuk beberapa bulan lamanya. Kemudian ia telah menghilang secara mendadak dan diduga sebagai orang yang mencuri perhiasan istriku.
”Oh, apa kabar, Cherd?” tanyaku ketika hendak duduk. Tiba-tiba ia berlutut di depanku dan aku tambah heran ketika Yai Chome berkata kepada­ku: "Tuan, inilah Cherd, anakku. Ia telah dipenjarakan untuk beberapa waktu lamanya dan aku telah memberitahukan kepadanya, bahwa tuanlah bintang penolong kami. Tanpa pertolongan tuan, kami tak mungkin dapat hidup seperti sekarang ini. Mulai dari sekarang anak saya berjanji, bahwa ia telah tobat dan akan mulai dengan hidup yang baru”.
’’Selamat, selamat Cherd. Kamu tahu, bahwa kita semua harus menderita dan membayar untuk perbuatan-perbuatan kita yang tidak baik. Aku gem­bira, bahwa engkau telah bertobat dan mulai hari ini akan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan berguna,” kataku menghibur. Ia menangis tersedu-sedu, sebab ia tidak pernah bermimpi, bahwa akulah yang menjadi penolong ibu dan ke­luarganya.
’’Besok aku ingin datang mengunjungi tuan dan nyonya di rumah”, katanya, ’’sebab aku ingin mem­buat satu pengakuan”.
”Ah, tidak usahlah kamu datang,” kataku, ”aku yakin istriku akan turut gembira mendapat kabar tentang dirimu.”
Setelah bercakap-cakap untuk beberapa saat lamanya, akupun lalu pulang. Keesokan harinya ketika kami sedang makan, seorang pelayan mem­beritahukan, bahwa Cherd telah datang dan ingin bertemu dengan kami. Aku menyuruh Cherd masuk. Waktu masuk ia membawa sebuah bungkusan yang kelihatannya berat. Kemudian ia berlutut di hadapanku dan di hadapan istriku.
’Tuan,” katanya, ’’Ibu telah memberitahukan kepadaku, bahwa tuan telah menunjang keluarga kami dan iapun tiap malam berdoa di hadapan patung Sang Buddha untuk memohon agar tuan diberkahi banyak untung, umur panjang dan dijauhi dari marabahaya. Tuan telah membuat aku malu untuk semua perbuatan-perbuatanku di masa yang lalu. Aku sekarang telah sadar, bahwa aku telah mengambil jalan yang salah. Sayalah sebenarnya orang yang mencuri perhiasan-perhiasan nyonya dan sekarang aku datang untuk mengembalikannya lagi. Peti yang aku curi aku tanam di taman, karena takut ketahuan. Aku kira tuan pasti akan memanggil polisi dan menangkapku. Pada waktu itu datanglah kawan-kawanku yang membujuk aku untuk turut melakukan perampokan. Aku ikut mereka pergi ke salah sebuah rumah, tetapi pemiliknya rupa-rupanya telah mengetahuinya terlebih dulu sehingga kami dijebak oleh polisi dan akhirnya tertangkap. Saya di bawa ke depan pengadilan dan dihukum penjara. Karena saya membuat pengakuan lengkap sebelum di bawa ke depan pengadilan, maka saya mendapat keringanan hukuman.
Waktu keluar dari penjara, saya langsung pulang ke rumah dan mengira, bahwa keluarga saya berada dalam keadaan morat-marit. Tetapi apa yang kulihat justru sebaliknya. Ibu, istri dan anak-anakku semua berada dalam keadaan yang baik dan ini semua berkat kebaikan hati tuan. Karena itu saya akan selalu ingat budi kebaikan tuan. Saya menggali kembali peti yang telah saya tanam dan dengan ini saya mengembalikannya kepada tuan dan nyonya. Mohon ampun atas perbuatan saya yang terkutuk ini.”
Kemudian Cherd membuka bungkusan itu dan kami mengenali peti perhiasan kami yang masih penuh lumpur. Istriku membukanya dengan kunci yang masih disimpannya dan setelah diperiksa tidak ada sebuah barangpun yang hilang. Kemudian ia mengambil sebuah kalung dan dihadiahkan kepada Cherd untuk istrinya. Cherd terperanjat sekali untuk kebaikan istriku dan kembali ia berlutut untuk menyatakan terima kasihnya. Dan apa yang terjadi ini meyakinkan aku, bahwa Cherd sekarang telah berubah. Tetapi aku tahu pula, bahwa sese­orang dapat benubah pikiran apabila keadaannya sangat memaksa. Oleh karena itu aku mencarikan pekerjaan untuk Cherd, sehingga ia dapat mem­peroleh penghasilan yang cukup untuk memelihara keluarganya.
Tidak lama kemudian aku menerima sehelai surat dari kawanku yang dulu hampir saja bunuh diri andaikata pada waktu itu aku tidak menolong­nya. Ia memberi kabar, bahwa perusahaannya sekarang telah maju kembali dan ia telah mem­peroleh keuntungan yang besar. Ia bermaksud untuk membawa serta keluarganya ke Bangkok untuk bertemu dengan aku. Suratnya aku balas dengan menulis, bahwa ia tak usah repot-repot untuk membawa serta istri dan anak-anaknya, ha­nya semata-mata untuk mengucapkan terima kasih kepadaku tentang apa yang pernah kulakukan. Juga aku minta agar ia tak usah melakukan perjalanan itu kalau tidak diperlukan sekali, karena aku belum membutuhkan uang tersebut.
Sepuluh hari kemudian kawanku tiba di Bangkok bersama-sama dengan istri dan anak-anaknya. Me­reka membawa hio (dupa), lilin, mangkuk dan daun akasia. Aku kira, bahwa salah seorang dari anaknya ingin ditahbiskan menjadi bhikkhu, tetapi sebenar­nya mereka datang untuk ”dum-hua”.
Pada mulanya aku tidak tahu arti dari ”dum- hua” ini, karena kata-kata ini jarang sekali diguna­kan di Bangkok. Kemudian baru aku tahu, bahwa artinya ialah menyiramkan air suci pada telapak tangan orang tua yang dihormati.
Setelah upacara selesai, aku memberkahi mereka. Kemudian kawanku memberikan aku sehelai cheque dengan jumlah yang melebihi jumlah yang telah dipinjamnya dulu. Aku menolaknya. Ia mohon agar aku mau menerimanya, karena menurut pen­dapatnya nilai uang pada waktu itu lebih tinggi dari pada waktu sekarang. Lagipula, karena per­tolonganku jiwanya dan juga perusahaannya telah tertolong.
Aku menjelaskan kembali kepadanya, bahwa aku menolongnya tanpa ada pengharapan balas jasa apapun. Lagipula aku tidak mempunyai anak dan aku tidak dapat membawa uang kalau sekiranya kelak aku meninggal dunia.
Aku mempertahankan pendapatku, bahwa aku tidak mau mengambil uang yang lebih itu dan hanya mau menerima uang sebanyak yang dulu kupinjamkan.
Ia menulis cheque yang baru dan memujiku di hadapan istri dan anak-anaknya disertai pesan untuk selalu ingat dan berterima kasih kepadaku selama mereka masih hidup.
Aku merasa bahagia sekali dapat menolong sesama manusia dan kebahagiaan ini tidak dapat dibeli dengan uang, meskipun bagaimana besar se­kalipun.
Tidak pernah kulupa, bahwa pada hakekatnya segala sesuatu dalam hidup ini tergantung pada diri kita sendiri, bagaimana tertulis dalam kitab suci Samyutta Nikaya:
’’Sesuai dengan benih yang telah ditabur Begitulah yang akan dipetiknya”.
Pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan Pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula Tertaburlah olehmu biji-biji benih dan Engkau pulalah yang akan merasakan buah dari padanya.”
Sekarang aku dapat menghadapi maut dengan wajah tersenyum.
Dikutip dari Buku  PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)
Alihbahasa : Pandita S. Widyadharma
Cetiya Vatthu Dhaya - 1969