Selasa, 11 September 2012

MAHA DHAMMASAMADANA SUTTA




MAHA DHAMMASAMADANA SUTTA

Khotbah Besar tentang Cara-cara Menjalani Segala Sesuatu
Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya III,
Diterjemahkan oleh : Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati
Penerbit Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, Klaten, 2006
1.       DEMIKIAN YANG SAYA DENGAR. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman Anathapindika. Di sana Beliau menyapa para bhikkhu demikian: “Para bhikkhu.”-“Yang Mulia,” jawab mereka. Yang Terberkahi berkata demikian:
2.       “Para bhikkhu, sebagian besar makhluk memiliki harapan, keinginan, kerinduan ini: ‘Semoga hal-hal yang tidak diharapkan, yang tidak diinginkan, yang tidak menyenangkan lenyap, sedangkan hal-hal yang diharapkan, yang diinginkan, yang menyenangkan bertambah!’ Walaupun para makhluk memiliki harapan, keinginan, kerinduan ini, namun hal-hal yang tidak diharapkan,yang tidak diingikan, yang tidak menyenangkan bertambah, sedangkan hal-hal yang diharapkan, yang diinginkan, yang menyenangkan malahan lenyap. Para bhikkhu, menurutmu apa yang menyebabkan hal itu?”
          “Yang Mulia, ajaran—ajaran kami berakar dari Yang Terberkahi,  dibimbing oleh Yang Terberkahi, memiliki Yang Terberkahi sebagai sumbernya. Sungguh bagus bila Yang Terberkahi berkenan menjelaskan arti dari kata-kata itu. Setelah mendengarnya dari Yang Terberkahi, para bhikkhu akan mengingatnya.”
          “Kalau demikian, para bhikkhu, dengarkan dan perhatikan dengan seksama apa yang akan kukatakan.”
          “Ya Yang Mulia.” Jawab mereka. Yang Terberkahi berkata demikian:
3.       “Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tak-terpelajar yang tidak peduli pada para mulia dan tidak terampil dan tidak terdisiplin di dalam Dhamma mereka, yang tidak peduli pada manusia-manusia sejati dan tidak terampil dan tidak terdisiplin di dalam Dhamma mereka, tidak mengetahui hal-hal apa yang seharusnya dikembangkan dan hal-hal apa yang seharusnya tidak dikembangkan, dia tidak mengetahui hal-hal apa yang seharusnya diikuti dan hal-hal apa yang seharusnya tidak diikuti. Karena tidak tahu, dia mengembangkan hal-hal yang seharusnya tidak dikembangkan dan tidak mengembangkan hal-hal yang seharusnya dikembangkan, dia mengikuti hal-hal yang seharusnya tidak diikuti dan tidak mengikuti hal-hal yang seharusnya diikuti. Karena dia melakukan hal inilah maka hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan pun bertambah untuknya, sedangkan hal-hal yang diharapkan, yang diinginkan, yang menyenangkan pun lenyap. Mengapa demikian? Itulah yang terjadi pada orang yang tidak melihat.
4.       “Siswa mulia yang terpelajar, yang peduli pada para mulia dan terampil dan terdisiplin di dalam Dhamma mereka, yang peduli pada manusia-manusia sejati dan terampil dan terdisiplin di dalam Dhamma mereka, mengetahui hal-hal apa yang seharusnya dikembangkan dan hal-hal apa yang seharusnya tidak dikembangkan, dia mengetahui hal-hal apa yang seharusnya diikuti dan hal-hal apa yang seharusnya tidak diikuti. Karena tahu, dia mengembangkan hal-hal yang seharusnya dikembangkan dan tidak mengembangkan hal-hal yang seharusnya tidak dikembangkan, dia mengikuti hal-hal yang seharusnya diikuti dan tidak mengikuti hal-hal yang seharusnya tidak diikuti. Karena dia melakukan hal inilah maka hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan pun lenyap untuknya, sedangkan hal-hal yang diharapkan, yang diinginkan, yang menyenangkan pun bertambah. Mengapa demikian? Itulah yang terjadi pada orang yang melihat.
5.       “Para bhikkhu, ada empat cara untuk menjalani segala sesuatu. Apakah yang empat cara itu? Ada cara menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan. Ada cara menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan. Ada cara menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan. Ada cara menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan.

(ORANG BODOH)
6. (1) “Sekarang, para bhikkhu, orang bodoh- yang tidak mengetahui cara menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan – ini tidak memahami hal itu sebagaimana adanya demikian: ‘Cara menjalani segala sesuatu ini menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan.’ Karena tidak tahu, tidak memahami hal itu sebagaimana adanya demikian, orang yang bodoh mengembangkannya dan tidak menghindarinya; karena dia melakukan hal inilah maka hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan pun bertambah untuknya, sedangkan hal-hal yang diharapkan, yang diinginkan, yang menyenangkan pun lenyap, mengapa demikian? Itulah yang terjadi pada orang yang tidak melihat.
7. (2) “Sekarang, para bhikkhu, orang bodoh – yang tidak mengetahui cara menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan – ini tidak memahami hal itu sebagaimana adanya demikian: ‘Cara menjalani segala sesuatu ini menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan. ‘Karena tidak tahu, tidak memahami hal itu sebagaimana adanya demikian, orang yang bodoh mengembangkannya dan tidak menghindarinya; karena dia melakukan hal inilah maka hal-hal yang tidak diharapkan…pun bertambah untuknya, sedangkan hal-hal yang diharapkan…pun lenyap. Mengapa demikian? Itulah yang terjadi pada orang yang tidak melihat.
8 (3) “Sekarang, para bhikkhu, orang bodoh – yang tidak mengetahui cara menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan – ini tidak memahami hal itu sebagaimana adanya demikian: ‘Cara menjalani segala sesuatu ini menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan.’ Karena tidak tahu, tidak memahami hal itu sebagaimana adanya demikian,orang yang bodoh tidak mengembangkannya melainkan menghindarinya; karena dia melakukan hal inilah maka hal-hal yang tidak diharapkan…pun bertambah untuknya, sedangkan hal-hal yang diharapkan… pun lenyap. Mengapa demikian? Itulah yang terjadi pada orang yang tidak melihat.
9. (4) “Sekarang, para bhikkhu,orang bodoh-yang tidak mengetahui cara menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan – ini tidak memahami hal itu sebagaimana adanya demikian: ‘Cara menjalani segala sesuatu ini menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan,’ Karena tidak tahu, tidak memahami hal itu sebagaimana adanya demikian,orang yang bodoh tidak mengembangkannya melainkan menghindarinya; karena dia melakukan hal inilah maka hal-hal yang tidak diharapkan …pun bertambah untuknya, sedangkan hal-hal yang diharapkan …pun lenyap. Mengapa demikian? Itulah yang terjadi pada orang yang tidak melihat.
(ORANG BIJAKSANA)
10 (1) “Sekarang, para bhikkhu, orang bijaksana-yang mengetahui cara menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan- ini memahami hal itu sebagaimana adanya demikian: ‘Cara menjalani segala sesuatu ini menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan.’ Karena tahu, memahami hal itu sebagaimana adanya demikian, orang yang bijaksana tidak mengembangkannya melainkan menghindarinya; karena dia melakukan hal inilah maka hal-hal yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan pun lenyap, sedangkan hal-hal yang diharapkan, yang diinginkan, yang menyenangkan pun bertambah untuknya. Mengapa demikian? Itulah yang terjadi pada orang yang melihat.
11. (2) “Sekarang, para bhikkhu, orang bijaksana – yang mengetahui cara menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan – ini memahami hal itu sebagaimana adanya demikian: ‘Cara menjalani segala sesuatu ini menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan. ‘Karena tahu, memahami hal itu sebagaimana adanya demikian, orang yang bijaksana tidak mengembangkannya melainkan menghindarinya; karena dia melakukan hal inilah maka hal-hal yang tidak diharapkan…pun lenyap, sedangkan hal-hal yang diharapkan…pun bertambah untuknya. Mengapa demikian? Itulah yang terjadi pada orang yang melihat.
12 (3) “Sekarang, para bhikkhu,orang bijaksana – yang mengetahui cara menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan – ini memahami hal itu sebagaimana adanya demikian: ‘Cara menjalani segala sesuatu ini menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan.’ Karena tahu, memahami hal itu sebagaimana adanya demikian, orang yang bijaksana tidak menghindarinya melainkan mengembangkan; karena dia melakukan hal inilah maka hal-hal yang tidak diharapkan…pun lenyap, sedangkan hal-hal yang diharapkan…pun bertambah untuknya. Mengapa demikian? Itulah yang terjadi pada orang yang melihat.
13 (4) “Sekarang,para bhikkhu, orang bijaksana – yang mengetahui cara menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan –ini memahami hal itu sebagaimana adanya demikian: ‘Cara menjalani segala sesuatu ini adanya demikian: ‘Cara menjalani segala sesuatu ini menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan.’ Karena tahu, memahami hal itu sebagaimana adanya demikian, orang yang bijaksana tidak menghindarinya melainkan mengembangkannya; karena dia melakukan hal inilah maka hal-hal yang tidak diharapkan…pun lenyap, sedangkan hal-hal yang diharapkan..pun bertambah untuknya. Mengapa demikian? Itulah yang terjadi pada orang yang melihat.
14 (1) “Apa, para bhikkhu, yang merupakan cara menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan? Di sini, para bhikkhu, seseorang di dalam penderitaan dan kesedihan membunuh, seseorang di dalam penderitaan dan kesedihan membunuh makhluk hidup, dan dia mengalami penderitaan dan kesedihan yang memiliki pembunuhan makhluk hidup sebagai kondisinya. Di dalam penderitaan dan kesedihan dia mengambil apa yang tidak diberikan…melakukan perilaku salah di dalam kenikmatan indera…berucap tidak benar…berucap dengki…berucap kasar…bergosip…iri hati…memiliki pikiran yang penuh niat jahat memegang pandangan salah, dan dia mengalami penderitaan dan kesedihan yang memiliki pandangan salah sebagai kondisi. Pada waktu hancurnya tubuh, setelah kematian, dia muncul kembali di dalam keadaan kekurangan, di tempat tujuan yang tidak bahagia, di dalam penderitaan berkepanjangan, bahkan di neraka. Inilah yang disebut cara menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan.
15 (2) “Apa, para bhikkhu, yang merupakan cara menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan? Di sini, para bhikkhu, seseorang di dalam kesenangan dan kegembiraan membunuh makhluk hidup, dan dia mengalami kesenangan dan kegembiraan yang memiliki pembunuhan makhluk hidup sebagai kondisinya. Di dalam kesenangan dan kegembiraan dia mengambil apa yang tidak diberikan ……memegang pandangan salah, dan dia mengalami kesenangan dan kegembiraan yang memiliki pandangan salah sebagai kondisinya. Pada waktu hancurnya tubuh, setelah kematian dia muncul kembali di dalam keadaan kekurangan,. Di tempat tujuan yang tidak bahagia, di dalam penderitaan berkepanjangan, bahkan di neraka. Inilah yang disebut cara menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan.
16 (3) “Apa, para bhikkhu, yang merupakan cara menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan? Di sini, para bhikkhu, seseorang di dalam penderitaan dan kesedihan tidak melakukan perbuatan membunuh makhluk hidup, dan dia mengalami penderitaan dan kesedihan yang memiliki tanpa pembunuhan makhluk hidup sebagai kondisinya. Di dalam penderitaan dan kesedihan dia tidak melakukan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan…tidak melakukan perilaku salah di dalam kenikmatan indera…tidak berucap tidak benar…tidak berucap dengki…tidak berucap kasar…tidak bergosip…tidak iri hati…tidak memiliki pikiran yang penuh niat jahat… dia memegang pandangan benar, dan dia mengalami penderitaan dan kesedihan yang memiliki pandangan benar sebagai kondisinya. Pada waktu hancurnya tubuh, setelah kematian, dia muncul kembali di tempat tujuan yang bahagia bahkan di alam surgawi. Inilah yang disebut cara menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan.
17. (4) “Apa, para bhikkhu, yang merupakan cara menjalani segala sesuatuyang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan? Di sini, para bhikkhu, seseorang di dalam kesenangan dan kegembiraan tidak melakukan perbuatan membunuh makhluk hidup, dan dia mengalami kesenangan dan kegembiraan yang memiliki tanpa-pembunuhan makhluk hidup sebagai kondisinya. Di dalam kesenangan dan kegembiraan dia tidak melakukan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan…dia memegang pandangan benar,dan dia mengalami kesenangan dan kegembiraan yang memiliki pandangan benar sebagai kondisinya. Pada waktu hancurnya tubuh, setelah kematian, dia muncul kembali di tempat tujuan yang bahagia, bahkan di alam surgawi. Inilah yang disebut cara menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan.

(PERUMPAMAAN)
18 (1) “Para bhikkhu, seandainya saja ada pare yang dicampur dengan racun,dan seorang laki-laki datang. Dia ingin hidup,tidak ingin mati, dan menginginkan kesenangan dan menjauh dari penderitaan, lalu dia diberitahu: ‘Orang baik, pare ini dicampur dengan racun. Minumlah darinya jika engkau mau; sementara engkau minum darinya, warnanya, baunya, dan citarasanya tidak cocok untukmu, dan setelah minum darinya, engkau akan mati atau mengalami penderitaan yang mematikan.’ Lalu orang itu minum darinya tanpa merenungkan, dan dia tidak melepasnya. Sementara dia minum darinya warnanya, baunya, dan citarasanya tidak cocok untuk dia, dan setelah minum darinya, dia mati atau mengalami penderitaan yang mematikan. Sama seperti itu, kukatakan, adalah cara menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan.
19. (2) “Seandainya saja ada cangkir perunggu berisi minuman yang mempunyai warna, bau, dan citarasa yang bagus, tetapi minumannya dicampur dengan racun, dan seorang laki-laki datang. Dia ingin hidup, tidak ingin mati, dan menginginkan kesenangan dan menjauh dari penderitaan, dan dia diberitahu: “Orang baik, cangkir perunggu berisi minuman ini mempunyai warna, bau, dan citarasa yang bagus, tetapi dicampur dengan racun. Minumlah darinya jika engkau mau; sementara engkau minum darinya, warnanya, baunya, dan citarasanya cocok untukmu, tetapi setelah meminumnya, engkau akan mati atau mengalami penderitaan yang mematikan.’ Lalu orang itu minum darinya tanpa merenungkan, dan dia tidak melepasnya. Sementara dia minum darinya, warnanya, baunya, dan citarasanya cocok untuk dia,dan setelah minum darinya,dia mati atau mengalami penderitaan yang mematikan. Sama seperti itu, kukatakan, adalah cara menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai penderitaan.
20. (3) “Seandainya saja ada air kencing beragi yang dicampur dengan bermacam-macam obat, dan seorang laki-laki datang. Dia sakit kuning, dan dia diberitahu: ‘Orang baik, air kencing beragi ini dicampur dengan bermacam-macam obat. Minumlah jika engkau mau; sementara engkau minum darinya, warnanya, baunya, dan citarasanya tidak cocok untukmu, tetapi setelah minum, engkau akan sembuh.’ Lalu orang itu minum setelah merenungkan, dan dia tidak melepasnya. Sementara dia minum, warnanya, baunya, dan citarasanya tidak cocok untuk dia, dan setelah minum, dia menjadi sembuh. Sama seperti itu, dan kukatakan, adalah cara menjalani segala sesuatu yang menyakitkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan.
21. (4) “Seandainya saja ada dadih,madu, ghee, dan gula yang dicampur, dan seorang laki-laki datang. Dia menderita disentri, dan dia diberitahu: ‘Orang baik, ini adalah dadih, madu, ghee, dan gula yang dicampur. Minumlah jika engkau mau; sementara engkau minum, warnanya, baunya, dan citarasanya cocok untukmu, dan setelah minum, engkau akan sembuh.’ Lalu orang itu minum darinya setelah merenungkan, dan dia tidak melepasnya. Sementara dia minum, warnanya, baunya, dan citarasanya cocok untuk dia, dan setelah minum, dia menjadi sembuh. Sama seperti itu, kukatakan, adalah cara menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan.
22. “Sebagaimana di musim gugur, di bulan terakhir musim hujan, ketika langit jernih dan tanpa awan, matahari pun terbit di atas bumi dan mengusir semua kegelapan dari langit dengan sinar dan cahaya dan terangnya, demikian pula, cara menjalani segala sesuatu yang menyenangkan sekarang dan menjadi matang di masa depan sebagai kesenangan mengusir dengan sinarnya dan cahayanya dan terangnya semua doktrin lain apa pun yang dimiliki para petapa dan brahmana biasa.”
Demikianlah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Para bhikkhu merasa puas dan bergembira di dalam kata-kata Yang Terberkahi.

CULAVEDALLA SUTTA




CULAVEDALLA SUTTA

Sumber : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya II,
Oleh : Team Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit : Proyek Sarana Kehidupan Beragama Buddha Departemen Agama RI, 1994

1.             Demikianlah yang saya dengar.
Pada suatu waktu Sang Bhagava sedang berada di Jetavana, Kalandakanivapa, Rajagaha. Pada ketika itu upasaka Visakha pergi menemui Bhikkhuni Dhammadinna, sesudah memberi hormat kepadanya, ia duduk di tempat yang tersedia. Setelah duduk ia bertanya:

(Perwujudan)
2.     “Bhante, perwujudan, perwujudan telah dikatakan. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan perwujudan oleh Sang Bhagava?”
“Saudara Visakha, kemelekatan pada khandha-khandha (kelompok-kelompok) itu dinamakan perwujudan oleh Sang Buddha, yaitu: kemelekatan pada khandha jasmani (rupakhandha), kemelekatan pada khandha perasaan (vedanakhandha), kemelekatan pada khandha pencerapan (sannakhandha) kemelekatan pada khandha bentuk-bentuk pikiran (sankharakhandha) dan kemelekatan pada khandha kesadaran (vinnanakhandha). Kelima khandha yang dipengaruhi oleh kemelekatan ini disebut perwujudan oleh Sang Bhagava.”
Dengan berkata: “Baik,” upasika Visakha menjadi gembira karena kata-kata Bhikkhuni Dhammadinna itu, menyetujui kata-kata itu, selanjutnya ia bertanya:
3.             “Bhante, asal mula perwujudan, asal mula perwujudan telah dikatakan. Apa yang dimaksud dengan asal mula perwujudan oleh Sang Bhagava.”
“Saudara Visakha, itu adalah keinginan untuk terlahir kembali yang disertai kesenangan dan nafsu indera, kesenangan di sini dan di sana, yaitu: keinginan nafsu indera (kamatanha), keinginan untuk menjadi (bhavatanha) dan keinginan untuk tak menjadi (vibhavatanha). Inilah yang dimaksud dengan asal mula perwujudan oleh Sang Bhagava.”
4.        “Bhante, lenyapnya perwujudan, lenyapnya perwujudan telah dikatakan. Apakah yang dimaksud dengan lenyapnya perwujudan oleh Sang Bhagava?”
“Saudara Visakha, itu adalah sisa-sisa dari keinginan yang memudar, lenyap, dilepaskan, dibiarkan dan ditolak. Inilah yang dimaksud dengan lenyapnya perwujudan oleh Sang Bhagava.”
5.             “Bhante, jalan menuju pelenyapan perwujudan, jalan menuju pelenyapan perwujudan, telah dikatakan. Apakah yang dimaksud dengan jalan menuju pelenyapan perwujudan oleh Sang Bhagava?”
“Saudara Visakha, itu adalah jalan berunsur delapan, yaitu: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar dan konsentrasi benar.”
6.             “Bhante, apakah kemelekatan itu sama dengan lima khandha yang dipengaruhi oleh kemelekatan, atau apakah kemelekatan itu adalah sesuatu yang terpisah dari lima khandha yang dipengaruhi oleh kemelekatan?”
“Saudara Visakha, kemelekatan itu adalah tidak sama dengan lima khandha yang dipengaruhi oleh kemelekatan, juga tidak merupakan sesuatu yang terpisah dari lima khandha unsur yang dipengaruhi oleh kemelekatan. Itu adalah keinginan dan nafsu indera yang terdapat dalam lima khandha ini dipengaruhi oleh kemelekatan itulah kemelekatan.”

(Timbulnya perwujudan)
7.             “Bhante, bagaimana pandangan salah tentang adanya aku yang kekal (sakhayaditthi) terjadi?”
“Saudara Visakha, orang awam yang tidak belajar, tidak menghormat terhadap orang-orang mulia (ariya), tidak mempunyai pengetahuan dhamma dan tidak melaksanakan dhamma; tidak hormat kepada orang-orang benar (sappurisa), tidak mempunyai pengetahuan dengan dhamma mereka dan tidak melaksanakan dhamma mereka, melihat jasmani itu sebagai pribadi, pribadi memiliki jasmani, jasmani di dalam pribadi atau pribadi di dalam jasmani. Ia melihat perasaan sebagai pribadi, pribadi memiliki perasaan, perasaan ada dalam pribadi atau pribadi ada dalam perasaan. Ia melihat pencerapan sebagai pribadi, pribadi memiliki pencerapan, pencerapan di dalam pribadi atau pribadi di dalam pencerapan.
Ia melihat bentuk-bentuk pikiran sebagai pribadi, pribadi memiliki bentuk-bentuk pikiran, bentuk-bentuk pikiran di dalam pribadi atau pribadi di dalam bentuk-bentuk pikiran melihat kesadaran sebagai pribadi, pribadi memiliki kesadaran, kesadaran di dalam pribadi atau pribadi di dalam kesadaran.
Itulah bagaimana pandangan salah tentang adanya aku yang kekal (sakhayaditthi) terjadi.”
8.             “Bhante, bagaimana agar pandangan salah tentang adanya aku yang kekal tidak terjadi?”
“Saudara Visakha, siswa ariya yang terpelajar, menghormat terhadap orang-orang mulia (ariya), mempunyai pengetahuan dhamma dan melaksanakan dhamma; menghormat kepada orang-orang benar (sappurisa), mempunyai pengetahuan dengan dhamma mereka dan melaksanakan dhamma mereka, tidak melihat jasmani itu sebagai pribadi, pribadi memiliki jasmani, jasmani di dalam pribadi atau pribadi di dalam jasmani. Ia tidak melihat perasaan sebagai pribadi, pribadi memiliki perasaan, perasaan ada dalam pribadi atau pribadi ada dalam perasaan. Ia tidak melihat pencerapan sebagai pribadi, pribadi memiliki pencerapan, pencerapan di dalam pribadi atau pribadi di dalam pencerapan. Ia tidak melihat bentuk-bentuk pikiran sebagai pribadi, pribadi memiliki bentuk-bentuk pikiran, bentuk-bentuk pikiran di dalam pribadi atau pribadi di dalam bentuk-bentuk pikiran. Ia tidak melihat kesadaran sebagai pribadi, pribadi memiliki kesadaran, kesadaran di dalam pribadi atau pribadi di dalam kesadaran. Itulah bagaimana pandangan salah tentang adanya aku yang kekal (sakhayaditthi) tidak terjadi.”

(Delapan jalan mulia)
9.             “Bhante, apakah jalan mulia berunsur delapan?”
“Saudara Visakha, jalan mulia berunsur delapan adalah: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar dan konsentrasi benar”
10.         “Bhante, apakah jalan mulia berunsur delapan berkondisi atau tidak berkondisi?”
“Saudara Visakha, jalan mulia berunsur delapan adalah berkondisi.”
11.     “Bhante, apakah tiga kelompok dimasukkan oleh jalan mulia berunsur delapan, atau jalan mulia berunsur delapan dimasukkan oleh tiga kelompok?”
“Saudara Visakha, tiga kelompok tidak dimasukkan oleh jalan mulia berunsur delapan, tetapi jalan mulia berunsur delapan dimasukkan oleh tiga kelompok. Setiap ucapan benar, setiap perbuatan benar dan setiap mata pencaharian benar: dhamma-dhamma ini dimasukkan ke dalam kelompok Moral (Sila), setiap usaha benar, setiap kesadaran benar, setiap konsentrasi benar; dhamma-dhamma ini dimasukkan ke dalam kelompok Meditasi (Samadhi), setiap pandangan benar dan setiap pikiran benar: dhamma-dhamma ini dimasukkan ke dalam kelompok Kebijaksanaan (Panna).”

(Konsentrasi)
12.    “Bhante, apakah yang dimaksud dengan konsentrasi, apakah tanda meditasi, apa perlengkapan meditasi, bagaimana mengembangkan meditasi?”
“Saudara Visakha, suatu pemusatan pikiran adalah meditasi, empat dasar perhatian (satipatthana) adalah tanda meditasi, empat usaha benar (sammappadhana) adalah perlengkapan meditasi: pengulangan berulang-ulang kali, pengembangannya dan mengusahakan meditasi adalah yang dimaksud dengan mengembangkan meditasi (samadhibhavana).”

(Proses)
13.         “Bhante, ada beberapa banyak proses (sankhara) yang ada?”
“Saudara Visakha, ada tiga buah proses: proses jasmani/badan (kayasankhara), proses bicara/verbal (vacisankhara) dan proses berpikir.”
14.         “Bhante, tetapi apa yang dimaksud dengan proses jasmani, proses bicara serta proses berpikir?”
“Saudara Visakha, menarik nafas dan mengeluarkan nafas adalah proses jasmani, usaha untuk mencari ide (vitakha) dan ide telah ada (vicara) adalah proses berbicara, sedangkan pencerapan (sanna) dan perasaan (vedana) adalah proses berpikir.”
15.         “Bhante, tetapi mengapa menarik dan mengeluarkan nafas merupakan proses jasmani, mengapa usaha menangkap obyek dan obyek telah tertangkap merupakan proses berbicara, mengapa pencerapan dan perasaan merupakan proses berpikir?”
“Saudara Visakha, menarik dan mengeluarkan nafas itu menjadi bagian dari jasmani; ini adalah hal-hal yang terikat dengan jasmani, itulah sebabnya maka tarik dan keluar nafas merupakan proses jasmani. Setelah terlebih dahulu ‘ide dicari’ dan ‘ide ada’ merupakan proses berbicara. Pencerapan dan perasaan terikat pada pikiran, ini adalah hal-hal yang terikat dengan pikiran, itulah sebabnya mengapa pencerapan dan perasaan itu merupakan proses berpikir.”

(Pencapaian pelenyapan)
16.         “Bhante, bagaimana lenyapnya pencerapan dan perasaan (sannavedaniyatanirodha) dapat terjadi?”
“Saudara Visakha, apabila seorang bhikkhu sedang mencapai pelenyapan pencerapan dan perasaan, tidak muncul pikiran ‘saya akan mencapai pelenyapan pencerapan dan perasaan’ atau ‘saya sedang mencapai pelenyapan pencerapan dan perasaan’; ‘saya telah mencapai pelenyapan pencerapan dan perasaan’; tetapi agaknya pikirannya sudah lebih dahulu dikembangkan begitu bijaksananya sehingga batinnya mengarah ke keadaan itu.”
17.         “Bhante, ketika seorang bhikkhu sedang mencapai pelenyapan pencerapan dan perasaan, dhamma-dhamma manakah yang terjadi terlebih dahulu padanya: proses jasmani, proses berbicara atau proses berpikir?”
“Saudara Visakha, ketika seorang bhikkhu sedang dalam pencapaian pelenyapan pencerapan dan perasaan, yang pertama-tama lenyap adalah proses berbicara, lalu proses jasmani, akhirnya proses berpikir.”
18.         “Bhante, bagaimana caranya bangun dari pelenyapan pencerapan, dan perasaan, terjadi?”
“Saudara Visakha, ketika seorang sedang bangun dari pencapaian pelenyapan pencerapan dan perasaan, tidak akan pikiran: ‘Saya akan bangun dari pencapaian pelenyapan pencerapan dan perasaan’ atau ‘Saya bangun dari pencapaian pelenyapan pencerapan dan perasaan’ atau ‘Saya telah bangun dari pencapaian pelenyapan pencerapan dan perasaan’; tetapi agaknya pikirannya telah terlebih dahulu dikembangkan begitu bijaksananya sehingga mengarah ke keadaan itu.”
19.    “Bhante, ketika seorang bhikkhu sedang bangun dari pencapaian pelenyapan pencerapan dan perasaan, hal-hal mana yang timbul pertama kali padanya: proses jasmani, proses berbicara atau proses berpikir?”
“Saudara Visakha, ketika seorang bhikkhu sedang bangun dari pencapaian pelenyapan pencerapan dan perasaan, pertama-tama yang timbul adalah proses berpikir, lalu proses jasmani, kemudian proses berbicara.”
20.         “Bhante, ketika seorang bhikkhu telah bangun dari pencapaian pelenyapan pencerapan dan perasaan, ada berapa banyak jenis kontak yang menyentuhnya?”
“Saudara Visakha, ketika seorang bhikkhu telah bangun dari pencapaian pelenyapan pencerapan dan perasaan, ada tiga jenis kontak yang menyentuh padanya: kontak kosong (sunnato phassa), kontak tanpa tanda (animitta phassa) dan kontak tanpa keinginan (appanihita phassa).”
21.         “Bhante, ketika seorang bhikkhu telah bangun dari pencapaian pelenyapan pencerapan dan perasaan, kepada apakah pikirannya cenderung bersandar dan tertuju?”
“Saudara Visakha, ketika seorang bhikkhu telah bangun dari pencapaian pelenyapan pencerapan dan perasaan, pikirannya itu cenderung bersandar dan tertuju pada pengasingan.”

(Perasaan)
22.         “Bhante, ada berapa banyak perasaan?”
“Saudara Visakha, ada tiga macam perasaan: perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan dan perasaan tidak menyakitkan maupun tidak menyenangkan.
23.    “Bhante, tetapi apa yang dinamakan perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan dan bukan perasaan menyenangkan maupun bukan menyakitkan?”
“Saudara Visakha, apa pun yang dirasakan badan maupun mental sebagai menyenangkan dan memuaskan adalah perasaan menyenangkan. Apa pun dirasakan oleh badani dan mental sangat menyakitkan dan melukai adalah perasaan menyakitkan. Apa pun yang dirasakan badan dan mental sebagai yang tidak memuaskan juga tidak atau melukai adalah perasaan bukan menyenangkan maupun bukan menyakitkan.”
24.  “Bhante, apakah perasaan menyenangkan dari kebajikan menyenangkan dan dari kebajikan menyakitkan? Apakah perasaan menyakitkan dari kebajikan menyakitkan dan dari kebajikan menyenangkan? Apakah perasaan bukan menyenangkan maupun menyakitkan dari kebajikan menyenangkan dan dari kebajikan menyakitkan?”
“Saudara Visakha, perasaan menyenangkan adalah kebajikan menyenangkan karena keberadaannya dan kebajikan menyakitkan dari perubahan. Perasaan menyakitkan adalah menyakitkan dalam kebajikan karena keberadaannya dan kebajikan menyenangkan dari perubahan. Perasaan bukan menyenangkan maupun bukan menyakitkan adalah menyenangkan dalam kebajikan pengetahuan dan menyakitkan dalam kebajikan ingin pengetahuan.”

(Kecenderungan Laten)
25.  “Bhante, kecenderungan laten (anusaya) apakah yang ada pada perasaan menyenangkan? Kecenderungan laten apakah yang ada pada perasaan menyakitkan? Kecenderungan laten apakah yang ada pada perasaan bukan menyakitkan maupun bukan menyenangkan?”
26.         “Saudara Visakha, kecenderungan laten yang ada pada perasaan menyenangkan adalah keserakahan (lobha). Kecenderungan laten yang ada pada perasaan menyakitkan adalah ketidaksenangan (dosa). Kecenderungan laten yang ada pada perasaan bukan menyenangkan maupun bukan menyakitkan adalah kebodohan (moha).”
27.         “Bhante, apakah kecenderungan laten keserakahan mendasari dalam semua perasaan menyenangkan? Apakah kecenderungan laten ketidaksenangan mendasari dalam semua perasaan menyakitkan? Apakah kecenderungan laten kebodohan mendasari dalam semua perasaan bukan menyenangkan maupun bukan menyakitkan?”
“Saudara Visakha, kecenderungan laten keserakahan tidak mendasari dalam semua perasaan menyenangkan. Kecenderungan laten ketidaksenangan tidak mendasari semua perasaan menyakitkan. Kecenderungan laten kebodohan tidak mendasari dalam semua perasaan bukan menyenangkan maupun bukan menyakitkan.”
28.      “Bhante, apakah yang dapat ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyenangkan ? Apa yang dapat ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyakitkan dan apa yang dapat ditinggalkan sehubungan dengan perasaan yang bukan menyakitkan maupun bukan menyenangkan?”
“Saudara Visakha, kecenderungan laten keserakahan dapat ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyenangkan. Kecenderungan laten ketidaksenangan dapat ditinggalkan sehubungan dengan perasaan menyenangkan. Kecenderungan laten kebodohan dapat ditinggalkan sehubungan dengan perasaan bukan menyakitkan maupun bukan menyenangkan.”
29.     “Bhante, apakah kecenderungan laten keserakahan dapat ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan menyenangkan ? Apakah kecenderungan laten ketidaksenangan dapat ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan menyakitkan? Apakah kecenderungan laten kebodohan dapat ditinggalkan sehubungan dengan semua perasaan bukan menyakitkan maupun bukan menyenangkan?”
“Saudara Visakha, bukan berhubungan dengan semua perasaan menyenangkan, maka kecenderungan laten keserakahan dapat ditinggalkan, bukan berhubungan dengan semua perasaan menyakitkan maka kecenderungan laten ketidaksenangan dapat ditinggalkan, bukan berhubungan dengan semua perasaan bukan menyakitkan maupun bukan menyenangkan maka kecenderungan laten kebodohan dapat ditinggalkan. Seorang bhikkhu, jauh dari nafsu indera, jauh dari akusala dhamma, ia mencapai dan berada dalam Jhana I yang disertai vitakha usaha pikiran untuk menangkap obyek, vicara (obyek telah tertangkap oleh pikiran), kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha) yang muncul karena ketenangan: dengan ini ia meninggalkan keserakahan dan kecenderungan laten keserakahan tidak ada. Seorang bhikkhu berpikir: ‘Kapan saya akan masuk dan berada dalam keadaan yang telah dicapai dan ditinggali oleh para ariya ?’ Maka dengan cara ini ia mengembangkan cinta-kasih untuk pembebasan tertinggi (anuttara vimokha), kesedihan muncul dengan cinta-kasih sebagai kondisinya: dengan itu ia meninggalkan ketidaksenangan dan kecenderungan laten ketidaksenangan tidak ada.
Dengan meninggalkan kesenangan dan kesedihan dengan lebih dahulu melenyapkan kesenangan dan duka cita mental, seorang bhikkhu mencapai dan berada dalam Jhana IV dengan ‘bukan kesakitan maupun bukan menyenangkan’, perhatian yang murni karena keseimbangan batin: dengan itu ia meninggalkan kebodohan, dan kecenderungan laten kebodohan tidak ada.”
30.         “Bhante apa lawan dari perasaan menyenangkan?”
“Saudara Visakha, perasaan menyakitkan adalah lawan dari perasaan menyenangkan.”
“Bhante, apa lawan dari perasaan menyakitkan.”
“Saudara Visakha, perasaan menyenangkan adalah lawan dari perasaan menyakitkan.”
“Bhante, apa lawan dari perasaan bukan menyenangkan maupun bukan menyakitkan?”
“Saudara Visakha, kebodohan adalah lawan dari perasaan bukan menyenangkan maupun bukan perasaan menyedihkan.”
“Bhante, apa lawan dari kebodohan?”
“Saudara Visakha, pengetahuan benar adalah lawan dari kebodohan.”
“Bhante, apa lawan dari pengetahuan sejati?”
“Saudara Visakha, pembebasan adalah lawan dari pengetahuan sejati.”
“Bhante, apa lawan dari pembebasan?”
“Saudara Visakha, Nibbana adalah lawan dari pembebasan.”
“Bhante, apa lawan dari Nibbana?”
“Saudara Visakha, anda telah bertanya terlalu jauh. Anda tak dapat menemukan kesimpulan rantai pertanyaan; karena kehidupan suci (brahmacari) yang menembus Nibbana, menuju Nibbana. Jika anda mau, anda dapat menemui Sang Bhagava dan tanyakan kepada Beliau arti dari hal ini. Ketika beliau menjawab, anda harus mengingatnya.”

(Kesimpulan)
31.     Upasika Visakha sangat gembira karena kata-kata Bhikkhu Dhammadinna, setelah mengiakan, ia pergi menemui Sang Bhagava. Setelah memberi hormat kepada Beliau, ia duduk di tempat yang tersedia. Setelah duduk, ia menceritakan kembali semua pembicaraannya dengan Bhikkhuni Dhammadinna. Ketika ceritanya itu selesai, Sang Bhagava berkata:
32.   “Visakha, Bhikkhuni Dhammadinna itu adalah bijaksana, bhikkhuni Dhammadinna mempunyai pengertian luas. Jika kamu menanyakan pertanyaan itu kepada-Ku, saya akan memberikan jawaban yang sama. Karena Bhikkhuni Dhammadinna menjawab pertanyaanmu, mengenai artinya, maka kamu harus mengingatnya.”
Itulah yang dikatakan oleh Sang Buddha. Upasika Visakha puas dan gembira karena kata-kata Sang Bhagava.