Sabtu, 03 Agustus 2013

Kesukaran yang dicari sendiri


KESUKARAN YANG DICARI SENDIRI
Aku teringat kepada satu kejadian yang benar-benar terjadi pada waktu sebelum perang dunia kedua, yang kukira bermanfaat sekali untuk dipakai contoh oleh para muda-mudi di waktu yang akan datang, di mana mereka mungkin akan menghadapi persoal­an yang sama dan keadaan yang sama. Mereka dapat mengambil contoh ini sebagai petunjuk jalan agar terhindar dari akibat-akibat yang tidak baik.
Pada suatu hari aku mendapat undangan untuk menghadiri resepsi pernikahan yang diadakan di sebuah rumah makan yang terkenal. Waktu hari nikah tiba, pergilah aku ke toko untuk membeli hadiah dan pulang ke rumah. Mempelai laki-laki disertai dengan beberapa kawannya sudah me­nungguku dan mengingatkan kembali kepadaku untuk jangan lupa datang pada malam harinya di resepsi. Alasan dari kedatangannya ialah untuk memastikan agar aku jangan lupa tanggalnya, karena ia sangat menghargai aku sebagai salah se­orang kawan karib dari mendiang ayahnya.
Aku berjanji dengan pasti untuk menghadiri resepsi, karena ayahnya memang termasuk salah seorang sahabat karibku dan mempelai laki-laki inipun dengan hormat memanggilku ’’paman”
Malam harinya aku pergi ke rumah makan pada jam yang tertera di surat undangan. Waktu naik ke ruang atas, aku melihat meja makan panjang yang dihias secara mewah sekali dan beberapa tamu su­dah duduk mengelilingi meja ini.
Aku disambut dengan hangat oleh kedua mem­pelai yang membawaku ke salah satu sudut dari meja, di mana sudah kelihatan duduk beberapa tamu yang terhormat. Aku menyadari, bahwa re­sepsi iru mewah sekali dan juga terlihat banyak botol whisky buatan luar negeri siap untuk dimi­num. Selain itu tampak juga sebuah orkes terkenal mengiringi penyanyi terkenal yang sedang menya­nyi di depan mikrofon. Sewaktu-waktu diselingi dengan beberapa muda-mudi menyanyikan lagu-lagu Thai populer.
Suasana ruangan yang besar itu nampaknya gembira sekali terutama untuk para muda-mudinya. Aku mengagumi anak sahabatku itu yang dapat menyelenggarakan resepsi yang demikian mewah, padahal aku tahu, bahwa baik keluarga mempelai laki-laki maupun keluarga mempelai wanita bukan termasuk orang yang dapat dikatakan beruang.
Selesai makan-makan beberapa tamu yang ter­hormat mengucapkan selamat kepada kedua mem­pelai dan mendoakan agar kedua mempelai bahagia dan mendapat banyak rezeki. Setelah itu pihak mempelai menghaturkan banyak terima kasih atas kehadiran dan restu para undangan.
Setelah beberapa waktu berselang aku telah lupa sama sekali dengan resepsi yang megah yang berlang­sung secara meriah sekali.
Kira-kira satu tahun kemudian aku diundang makan di rumah makan oleh beberapa kawan. Se­waktu aku masuk, di sudut ruangan kebetulan aku melihat seorang anak muda sedang makan dengan beberapa orang lain dan pemuda itu adalah pemuda yang pada beberapa waktu berselang mengadakan resepsi perkawinan yang megah dan.meriah.
Pemuda itu gembira sekali ketika melihat aku dan lantas ia bangun untuk mempersilakan aku du­duk di meja di mana ia sedang duduk makan. Dengan halus akan menampiknya, karena aku da­tang juga dengan beberapa kawan. Kemudian aku menanya: ”Apa kabar sekarang, keponakan? Apa­kah kamu sudah diberkahi seorang anak?”
la bukan menjawab pertanyaanku dengan senyum sebagaimana layaknya seorang yang baru saja menikah satu tahun lebih, tetapi dengan wajah sedih ia menjawab: “Paman, saya mengalami kesulitan besar. Istriku sekarang sedang hamil, sedangkan saya belum dapat membayar kembali utang-utang yang dipakai untuk membiayai pesta pernikahan kami. Lagipula akhir-akhir ini sulit sekali mencari uang. Kalau nanti istriku melahirkan, maka ongkos akan bertambah. Saya merasa kesal sekali, hingga pada satu saat saya ingin mati saja agar keluar dari kesulitan ini.”
Aku tidak mengira akan mendengar kata-kata itu, karena waktu di pesta perkawinan ia kelihatannya sangat bahagia dan gembira dan sekarang tanda- tanda kebahagiaan itu lenyap sama sekali dari wajahnya.
Aku menepuk-nepuk pundaknya dan menghi­burnya dengan kata-kata: ’’Janganlah berpikir de­mikian. Semua orang yang hidup di dunia ini me­mang tidak dapat menghindari satu atau lebih per­buatan-perbuatan yang salah dalam hidupnya dan kalau sesuatu kesalahan telah terlanjur dilakukan, ia harus dengan tabah dan prihatin berusaha untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya itu.”
Mendengar kata-kata yang penuh nasehat, wa­jahnya tampak agak terang sedikit. Ia pergi seben­tar untuk minta maaf dari kawan-kawannya dan kembali lagi mengambil tempat duduk di sampingku. Waktu kawan-kawanku sedang sibuk memesan makanan, secara singkat ia menuturkan tentang kesulitan yang ia hadapi sejak menikah, karena untuk membayar resepsi yang megah itu ia harus meminjam dari sana-sini.
Sekarang satu tahun telah lewat, tetapi ia masih belum dapat membayar kembali separuh dari utang- utangnya.
Aku tidak tega untuk menegur perbuatannya pada waktu yang lalu itu, karena ini akan melukai perasa­annya dan menurut hematku ia sekarang sudah cu­kup menderita. Tetapi aku tidak dapat tidak harus juga menyinggung persoalan ini dan menyayang­kan, bahwa uang pinjaman yang demikian banyak itu dibuang-buang untuk membiayai satu resepsi yang hanya berlangsung satu hari. Ini tidak ada harganya sama sekali. Sekarang ia masih harus menanggung akibatnya, padahal tamu-tamu yang dulu datang di resepsi perkawinan mungkin sudah lupa sama sekali dengan peristiwa tersebut. Sungguh sayang dan menyedihkan!
’’Berapa utang yang telah kau bayar kembali dan berapa sisanya yang masih belum dibayar?” tanyaku.
’’Utang yang kecil-kecil semua telah kubayar luhas”, jawabnya, ”dan kira-kira 40% lagi yang belum dibayar kembali. Tetapi sekarang saya tidak punya uang lagi untuk bayar utang dan karena itu saya takut untuk berjumpa dengan orang yang memberi utang kepadaku. Saya sudah lama tidak berani menemuinya lagi. Hari ini kawan-kawan saya datang di Bangkok dari tempat yang jauh. Mereka mengundang saya untuk makan siang bersama- sama mereka dan karena itu saya dapat bertemu dengan paman. Sebab kalau tidak saya juga tidak berani bertemu dengan paman. Saya bukan malas dan maksud saya bukan untuk menipu. Saya ber­sedia untuk melakukan pekerjaan apa saja asal saya dapat memperoleh uang untuk membayar kembali utang-utang saya. Pekerjaan yang biasa saya lakukan waktu ini tidak ada lagi dan semua modal saya telah habis dipakai membayar utang.”
Aku mendengar semua ini dengan perasaan iba dan selanjutnya bertanya lagi: ’’Siapakah orangnya yang utangnya hingga kini kau belum dapat lunasi dan di manakah alamatnya? Apakah ia seorang yang kikir?”
”Oh tidak, paman”, jawabnya, ”ia adalah orang yang manis budi dan terhormat. Kalau sifatnya serupa dengan yang lain-lain, maka saya tidak tahu harus bersembunyi di mana. Saja tahu benar bahwa saya seorang yang tidak baik dan tidak berharga untuk mendapat kepercayaan apa-apa.”
Suaranya agak gemetar waktu ia bicara. Selan­jutnya aku bertanya, siapakah orang yang baik budi itu dan di mana ia tinggal, karena aku ingin tahu siapakah gerangan orang yang baik hati itu sehingga ia turut dipuji oleh orang yang utang kepadanya.
’’Namanya Khoon Luang”, jawabnya, ”dan rumahnya di daerah selatan Bangkok.”
Waktu mendengar nama Khoon Luang disebut, lalu kubertanya: ’’Apakah ia seorang yang tubuhnya kecil, kulitnya agak bersih, rambutnya sudah menipis dan selalu tersenyum? Dan sekarang seorang pensiunan pegawai negeri?”
”Ya betul, itulah orangnya”, jawabnya, ’’saya malu sekali dan takut untuk menemuinya, karena saya tidak dapat memegang janji. Apakah paman mungkin dapat memberi nasehat kepadaku, sehingga aku dapat keluar dari kesulitan ini?”
Melihat wajahnya yang sedih itu, aku merasa kasihan sekali dan besar hasratku untuk menolongnya, karena ia berlaku jujur dan menceritakan semuanya kepadaku tanpa menyembunyikan apapun. Lalu aku berkata: ’’Sesungguhnya kesalahan berpangkal pada pesta yang mewah itu, tetapi memang ada jalan untuk memperbaikinya. Kalau aku memberi nasehat kepadamu, apakah kamu mau melaksanakannya?” ’’Saya mengenal paman sudah lama”, jawabnya dengan wajah yang menunjukkan pengharapan, ’’karena itu saya mohon diberitahukan apa yang saya harus lakukan, karena saya pandang paman sebagai ayah saya sendiri.”
Kata-katanya itu memberikan perasaan hangat dalam hatiku dan berkata: ’’Terima kasih atas peng­hormatanmu. Inilah nasehatku. Pertama, salah sekali untuk menghindari orang yang meminjam­kan uang kepadamu, karena dengan berbuat demi­kian engkau telah melakukan kesalahan besar. Eng­kau harus percaya kepada kenyataan. Kau harus berani menghadapi kenyataan dengan hati yang tabah, misalnya dalam persoalan dengan Khoon Luang, orang yang menjungjung tinggi kejujuran. Ia meninggalkan jabatannya di Pemerintahan ka­rena usia tua dan kesehatan yang kurang baik. Aku kenal dengannya sejak ia masih menjadi peja­bat pemerintah. Kau harus berterima kasih kepada­nya bahwa ia telah meminjamkan kau uang. Biar­pun uang itu telah digunakan secara salah, kau masih harus berhutang budi kepadanya. Karena itu kau harus berlaku jujur kepadanya. Pergilah menemuinya dan katakan dengan jujur apa yang sebenarnya telah terjadi. Kau harus memberikan gambaran yang benar tentang keadaanmu. Setelah mendengar ceritamu aku merasa pasti, bahwa ia akan mengerti dan menaruh kasihan terhadapmu. Kau juga harus memberitahukannya dan berjanji untuk membayar utangmu dengan mencicil dan kau harus sering-sering datang ke rumahnya untuk menjenguknya. Jangan lupa menawarkan untuk melakukan pekerjaan apa saja yang dapat kau kerjakan, meskipun pekerjaan itu mungkin pekerjaan kasar. Kalau kau pikir kau dapat lakukan semua ini, jangan ragu-ragu dan kerjakanlah.”
Setelah berselang beberapa saat aku ulangi per­tanyaanku. Setelah berpikir ia menjawab: ’’Nasehat paman sebenarnya bertentangan sekali dengan pendapatku, karena saya justru berpikir untuk meng­hindarinya sampai saya dapat mengumpulkan uang untuk membayarnya sekaligus. Tetapi dengan me­lakukan gagasan di atas hatiku rasanya tidak tentram, selalu gelisah dan ini membuatku menderita sekali. Sekarang saya akan lakukan apa yang paman nasehati, karena mungkin hal ini akan membuat hatiku agak tentram.”
Pada saat itu seorang pelayan membawa makanan yang telah dipesan oleh kawan-kawanku, dan sete­lah memberi hormat kepadaku anak muda itu lalu kembali ke mejanya.
Setelah kejadian itu beberapa tahun telah lewat.
Pada satu hari ketika seorang pejabat dipera­bukan, aku kebetulan bertemu dengan Khoon Luang dan karena lama tidak bertemu, kami me­ngobrol ke barat dan ke timur. Aku menanyakan tentang anak muda yang pernah berutang kepada­nya. Jawabannya a dalah sebagai berikut: ’’Berbicara mengenai anak muda itu, aku heran sekali dengan kelakuannya. Beberapa waktu yang lalu ia memin­jam uangku dalam jumlah yang besar, dan setelah membayar kembali satu jumlah yang kecil ia lalu menghindari diri untuk bertemu denganku.
Tetapi pada suatu hari tiba-tiba ia datang menemui aku dan mengatakan bahwa ia merasa berhutang budi sekali kepadaku karena telah meminjamkan uang kepadanya pada waktu ia menikah; tetapi karena ia sekarang tidak punya uang, maka untuk membayar bunganya ia ingin bekerja untukku dan katanya ia akan melakukan apa saja yang aku perintahkan. Waktu aku mendengar tawarannya, timbul rasa kasihan dalam hatiku, karena aku seringkali meng­alami bahwa banyak orang yang utang dan tidak sanggup membayar lalu tidak muncul-muncul lagi. Dan kalau kebetulan bertemu, mereka hanya ber­janji saja untuk membayar kembali utangnya.
Sejak hari itu, kalau ia pulang dari pekerjaannya ia sering datang ke rumahku untuk melakukan peker­jaan di rumahku dan sewaktu-waktu ia juga membawa istrinya untuk melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh wanita. Istriku menaruh kasihan kepada istrinya, karena ia masih mau melaku­kan pekerjaan di rumahku, padahal ia sudah hamil tua. Istriku lalu mencarikan tempat di salah satu rumah sakit untuk calon ibu itu, di mana ia dapat bersalin kalau waktunya telah tiba.
Saudara tentu tahu, bahwa kalau orang baik hati terhadap kita, kitapun harus membalasnya, dengan baik hati pula.”
Aku merasa gembira mendengar kabar baik itu dan selanjutnya bertanya: ’’Bagaimana dengan utangnya? Apakah ia telah membayar lunas?”
’’Belum”, jawab Khoon Luang, ”hanya tinggal sedikit lagi dan aku tidak ambil pusing apakah ia akan membayar kembali atau tidak, sebab orang baik seperti dia itu jarang sekali kita ketemukan. Sejak waktu itu aku menganggap suami-istri itu se­bagai anggota keluargaku dan aku sayang kepada mereka karena kejujurannya. Sekarang mereka telah mempunyai anak laki-laki yang mungil dan istriku sayang sekali kepada anak itu. Untuk suaminya aku telah mencarikan dua pekerjaan borongan dan menghubunginya 'dengan beberapa orang lagi.”
Aku makin gembira, karena nasehatku ternyata telah berhasil baik, bahkan di luar dugaanku semula.
Aku lalu berkata: ’’Betul-betul luar biasa dan beruntung sekali baginya, bahwa ia telah bertemu dengan seorang tuan uang yang begitu baik hati seperti saudara. Biasanya tuan uang tidak pernah mau mengerti keadaan orang yang berutang ke­padanya. Ia hanya memikirkan, bagaimana ia harus dapat kembali uangnya berikut bunganya dengan cara apapun juga. Dan hal ini seringkali menim­bulkan salah pengertian dan percekcokkan. Aku kira hal yang saudara lakukan merupakan satu di dalam seribu yang berakhir dengan kebaikan bagi kedua belah pihak.”
”Ah, aku pikir bahwa kedua belah pihak harus bersikap jujur satu sama lain, sebab kalau tidak ada saling pengertian yang baik, tidak mungkin­lah tercapai penyelesaian yang baik, misalnya kalau satu pihak saja yang bersikap jujur. Seperti juga ada pepatah yang berbunyi, kalau kita menepuk dengan sebelah tangan maka ia tidak akan menge­luarkan suara. Bukankah demikian? Pada usiaku yang sekarang ini kupikir bahwa akhir hidupku sudah tidak lama lagi. Oleh karena itu aku tidak begitu menghiraukan uang dan merupakan per­buatan yang tidak pantas untuk memeras uang dari orang lain. Sebaliknya kalau aku menolong orang yang berada dalam kesulitan, maka perbuatan baik itu di kemudian hari pasti akan memberikan buah yang baik.”
Pembicaraan kami yang mengesankan terhenti, waktu kami mendengar suara musik Thai berbunyi, yang menandakan bahwa saat dari perabuan akan segera dimulai. Semua hadirin berdiri dan membuat satu barisan yang berjalan menuju ke peti jenazah untuk melakukan penghormatan terakhir. Setelah itu kami bubar dan pulang ke rumah masing-ma­sing.
Kira-kira delapan atau sembilan bulan setelah pertemuan di atas, pada suatu pagi di harian Tahun Baru dan waktu aku sedang duduk di depan rumah­ku, aku melihat sebuah mobil masuk dari pintu depan dan orang yang mengendarai mobil adalah anak muda yang telah mengikuti nasehatku pada beberapa tahun yang lalu. Setelah mobilnya ber­henti, ia turun dengan membawa sebuah bungkusan besar. Aku mempersilakan ia masuk ke kamar tamu. Setelah melakukan penghormatan terhadap diriku, ia lalu berkata: ’’Saya datang untuk menghaturkan terima kasih, paman.”
’’Mengapa kau harus menghaturkan terima ka­sih?” tanyaku keheran-heranan, ”dan mengapa kau membawa barang sedemikian banyaknya?”
”Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan Selamat Tahun Baru kepada paman dan semoga tahun ini membawa banyak rezeki dan banyak ke­bahagiaan. Istri dan anak saya sebenarnya juga ingin turut untuk memberi hormat kepada paman, tetapi hari ini Bapak Khoon Luang menyelenggarakan pesta untuk anak-anaknya di rumah, sehingga istri ku harus pergi ke sana untuk membantu. Tetapi dalam beberapa hari ini mereka pasti akan datang menemui paman.”
Dengan agak terharu aku berkata: ’’terima kasih, kau membuat mereka repot saja. Sekarang, coba ceritakan tentang penghidupanmu dan bagaimana dengan pekerjaanmu.”
”Nah inilah yang menyebabkan saya datang ke sini untuk menghaturkan terima kasih atas nasehat yang paman telah berikan kepadaku beberapa tahun yang lalu. Sejak saya mengikuti nasehat paman, saya merasa lebih bahagia, karena Bapak Khoon Luang dan istrinya telah memperlakukan istri dan saya sendiri dengan penuh manis budi. Bapak Khoon Luang telah menolong saya untuk mendapat dua pekerjaan memborong bangunan dan selain dari itu beliau pula yang membiayai kedua pekerjaan tersebut. Setelah kedua pekerjaan selesai saya mendapat untung yang lumayan, sehing­ga dapat melunasi semua sisa utang saya. Sekarang saya bangga dapat berkata bahwa saya tidak lagi diganggu oleh pikiran-pikiran yang ruwet dan me­rasa benar-benar bahagia. Inilah yang membuat saya selalu ingat kepada paman dan baru sekarang saya dapat berkunjung, biarpun sebenarnya saya sudah lama ingin datang ke sini. Akhir-akhir ini saya selalu sibuk saja dan karena hari ini libur, maka saya gunakan kesempatan ini untuk datang berkunjung ke rumah paman.”
’’Bicara sejujurnya, aku tidak menolong kau apa-apa”, jawabku, ’’hanya memberimu nasehat yang aku kira dapat menolongmu. Pada hakekatnya, orang yang berbuatlah yang akan mendapat kebaikan, bukan orang yang sekedar memberi nasehat. Kau telah melaksanakan nasehatku dan memperoleh hasil yang baik sekali, bahkan melampaui perkiraan­ku semula. Engkau harus selalu ingat, bahwa kesu­litan biasanya membayangi penghidupan kita. Bukankah Sang Buddha pernah bersabda, bahwa ke­sulitan apapun yang kita alami, kita sekali-kali tidak boleh berputus asa. Janganlah lari kalau kesulitan itu timbul. Kesulitan justru harus dihadapi dengan hati yang tabah, sebab dengan hati yang tabah diser­tai kesabaran, keuletan dan kebijaksanaan, setiap kesulitan cepat atau lambat akan dapat di atasi. Dan inilah terbukti dengan dirimu.”
Dikutip dari Buku  PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)
Alihbahasa : Pandita S. Widyadharma
Cetiya Vatthu Dhaya - 1969

Suatu perbuatan baik tak mungkin cuma-cuma


SUATU PERBUATAN BAIK TAK MUNGKIN CUMA-CUMA
Pada tahun 1949 seorang dokter Thai datang ke India untuk mempelajari penyakit daerah tropis dan penyakit kulit. Ia bermalam di sebuah hotel Y.M.C.A. di Calcutta.
Pada suatu hari ia kehabisan uang dan selekas­nya ia mengirim kawat kepada keluarganya di Thailand supaya ia dikirimkan uang. Ia menunggu-nunggu sampai beberapa minggu lamanya, tetapi belum juga ia dapat kabar dari keluarganya.
Keadaan keuangannya sudah menjadi sangat kritis sekali, sehingga ia sekarang sudah tak dapat lagi membayar keperluannya sehari-hari. Kita semua tahu bagaimana sengsaranya kalau kita berada di negara asing, jauh dari sanak keluarga dan handai taulan, dan kita tidak mempunyai uang.
Di sebelah kamar dokter ini adalah kamar seo­rang insinyur India yang masih muda usianya. Insinyur ini bekerja di hutan dan hanya kadang-kadang saja datang ke kota untuk mengambil per­bekalan. Insinyur ini melihat wajah dari dokter yang penuh ketegangan dan kegelisahan. Ia meng­hampiri dokter itu dan setelah memperkenalkan diri ia kemudian berkata: "Saya harap dokter dapat memaafkan atas kelancangan saya ini. Saya telah memperhatikan wajah anda dan saya merasa pasti bahwa anda sedang berada dalam kesulitan besar. Saya harap anda berkenan memberitahukan kesulitan-kesulitan anda dan mungkin saya dapat membantunya”.
Dokter itu untuk beberapa saat lamanya agak tertegun mendengar pertanyaan tersebut. Kemu­dian dengan sopan ia menjawab: ’’Terima kasih atas kebaikan hati anda, tetapi saya rasa saya tidak mengalami kesulitan apa-apa”.
Dengan tersenyum insinyur itu berkata lagi: ”Oh, saya harap anda jangan salah mengerti. Pan­danglah saya sebagai seorang sahabat. Walaupun kita baru pertama kali bertemu, namun saya dengan ikhlas ingin sekali menolong anda. Harap anda ceri­takan kepada saya kesulitan apa sebenarnya yang menimpa diri anda”.
Dokter itu merasa terharu atas tawaran yang mulia untuk menolongnya dari kesulitan, meskipun ia belum dapat memahami, apa sebenarnya yang mendorong insinyur itu sehingga ia mau menolong seorang asing yang baru saja ia kenal. Padahal pu­luhan, yah bahkan ratusan ribu orang bangsanya sendiri yang demikian miskinnya, sehingga mereka tidur di alam terbuka tanpa ada seorangpun yang menghiraukannya.
Meskipun ia merasa pasti, bahwa kawan barunya itu ingin menolongnya dengan sungguh-sungguh dan dengan setulus hati, namun ia masih merasa sungkan untuk membentangkan kesulitannya ke­pada orang asing yang baru saja dikenalnya. Ia lalu menjawab: ’’Anda betul-betul baik sekali, tetapi pada saat ini saya belum memerlukan pertolongan apa-apa. Terima kasih atas perhatian anda yang de­mikian besar.”
Ketika insinyur mendengar penolakan itu dengan tenang dan dengan wajah penuh pengertian ia lalu berkata: ”Mohon dimaafkan apabila saya telah melakukan sesuatu yang kurang berkenan di hati anda; tetapi saya merasa pasti, bahwa anda sekarang berada dalam kesulitan keuangan dan saya akan gembira sekali kalau anda dapat memberitahukan kepada saya berapa banyak uang yang anda butuhkan”.
Dokter itu merasa heran sekali atas terkaan yang tepat dari kawan barunya itu dan oleh karena tidak dapat menyangkal lagi, ia lalu berkata: ’’Sesungguhnyalah, bahwa saat ini saya berada dalam kesulitan keuangan. Tetapi saya telah mengirim kawat kepada keluargaku di Thailand agar segera mengirim uang. Saya kira kiriman itu agak terlambat, karena keluarga saya sedang berlibur dan saya merasa pasti bahwa kalau mereka pulang, pastilah saya akan men­dapat kiriman uang. Saya memang berada dalam ke­sulitan karena keterlambatan kiriman uang dari Thailand, tetapi saya juga tidak mungkin menerima uluran tangan anda, karena kita baru saja bertemu untuk pertama kali ini. Lagipula saya tidak dapat memberikan jaminan apa-apa kepada anda. Meski­pun saya tidak dapat menerima tawaran anda yang luhur itu, tetapi budi anda akan tetap saya ingat selama saya masih hidup.”
Insinyur itu merasa kecewa sekali dan dengan tegas ia menjawab: ’’Saya harap anda jangan memi­kirkan tentang jaminan. Saya sebenarnya telah mengenal anda sebagai umat Buddha yang baik dan hati anda penuh dengan perasaan welas asih. Anda telah memperlakukan semua orang dari kasta apapun dengan sama rata dan tidak memandang kaya atau miskin, bahkan anda telah mengabaikan urusan anda sendiri, hanya karena anda ingin me­nolong orang lain. Apakah itu bukan merupakan jaminan yang cukup?” Insinyur itupun lalu tertawa terbahak-bahak.
’’Bagaimana anda dapat mengetahuinya semua itu?” tanya dokter itu dengan keheran-heranan.
”Ah, itu mudah saja”, jawabnya. ’’Saya telah mengetahui tindak-tanduk anda beberapa hari yang lalu, waktu penjaga malam gedung ini yang dari kasta ’paria’ pada suatu malam menjerit-jerit karena sakit. Waktu itu mungkin anda mendengar jeritan­nya dan karena anda seorang yang penuh welas-asih, maka anda segera turun ke bawah untuk memeriksa si sakit, meskipun hal tersebut bertentangan sekali dengan adat-istiadat di sini, di mana orang jangan­kan menyentuh badannya, sedangkan tersentuh oleh bayangannya saja sudah merasa jijik.”
Waktu insinyur itu beristirahat sebentar, dokter itu lalu memotong pembicaraannya dengan ber­kata: ’’Bagaimana anda dapat mengetahui semua ini?”
Ia tersenyum dan melanjutkan: ’’Pada malam itu hawa terasa panas sekali sehingga saya tidak dapat tidur. Waktu saya mendengar anda turun, sayapun ikut turun untuk melihat apa yang anda akan lakukan. Saya menyaksikan segala sesuatu yang anda lakukan terhadap orang paria itu. Waktu itu saya berdiri di belakang sebuah pilar yang tidak dapat dilihat oleh anda. Saya memperhatikan an­da memeriksa dan mengobati pasien anda untuk melenyapkan sakitnya dan tidak henti-hentinya terdengar anda menghiburnya dengan kata-kata yang lemah-lembut. Meskipun ia tidak dapat me­ngerti apa yang anda katakan, namun secara naluri (instinct) pasti ia mengetahui dari nada suara anda, bahwa anda benar-benar ingin menolongnya. Selan­jutnya saya melihat ia memegang tangan anda untuk ditekankan di pipinya sebagai cetusan rasa terima kasih. Ketika itu aku berada dekat sekali, sehingga aku dapat melihat air mata terima-kasih yang keluar dari matanya. Saya kira sebelumnya ia tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu. Kemudian saya me­lihat ia tertidur dan dengan hati-hati anda melepas­kan tangan anda dari genggamannya dan selanjutnya dengan diam-diam anda kembali ke kamar anda. Saat itu malam telah berganti menjadi pagi hari. Anda telah mengorbankan kesenangan dan waktu istirahat anda untuk mengurus kepentingan orang lain tanpa pikiran untuk mendapat balas jasa apapun juga. Setelah itu akupun kembali ke kamarku dan peristiwa yang baru saja kusaksikan berkesan sekali di hati sanubariku. Masih jelas terlintas dalam pikir­anku cara yang spontan dan penuh cinta-kasih, pada waktu anda merawat si sakit dan mau tidak mau aku berpikir, ’alangkah indahnya dunia ini apabila semua orang melakukan perbuatan seperti anda’.
Sayapun tahu bahwa pada malam-malam berikutnya anda masih tetap mengunjunginya sampai si sakit menjadi sembuh benar. Anda pasti tahu bahwa orang itu tidak dapat memberikan imbalan apa-apa kepada anda kalau ia telah sembuh, namun demikian anda masih mau mengeluarkan uang untuk membeli obat untuk si sakit, padahal anda sendiri kekurangan uang untuk membeli makanan. Saya mohon maaf kalau saya telah mencampuri urusan pribadi anda. Mungkin hal ini disebabkan karena saya terlalu lama berada di hutan belukar dan hanya sekali-kali saja datang ke kota, sehingga membuat saya menjadi orang yang usilan dengan urusan orang Iain.”
’’Saya tidak menyalahkan anda, lagipula hal itu sama "sekali tidak merugikan diriku”, jawab dokter itu sambil menarik napas panjang. "Perbuatan anda untuk mengikuti dan mengamat-amati tindak-tan­dukku semata-mata terdorong oleh perasaan ingin tahu dan untuk mempelajari watak seorang asing dan bukan didasarkan atas pikiran-pikiran yang tidak baik. Apa yang saya lakukan terhadap si pen­jaga malam semata-mata didasarkan atas pertimbangan prikemanusiaan dan saya rasa akan dilakukan juga oleh setiap pemeluk agama lain. Anda ha­rus tahu, bahwa kami sebagai siswa-siswa Sang Buddha diajar untuk mengasihi dan menaruh belas kasihan terhadap semua makhluk yang ada di dunia ini tanpa perbedaan kasta, kedudukan, suku mau­pun bangsa, bahkan juga terhadap binatang-binatang.
Sang Buddha mengajar bahwa kita dilahirkan untuk membagi kebahagiaan dan penderitaan kita; maka itu adalah penting sekali agar kita selalu berusaha untuk membantu saudara-saudara kita yang sedang menderita. Kami selalu akan berusaha agar tidak menyakiti atau merugikan orang lain, tetapi ber­usaha untuk selalu berbuat baik dan menolong me­reka yang sedang ditimpa kemalangan; dan kamipun diajar untuk selalu bersikap manis budi dan mem­punyai toleransi yang besar terhadap mereka yang mempunyai pendirian lain.
Di samping itu sesuai dengan kode ethik kedokter­an tidak mungkinlah aku membiarkan saja orang sakit tanpa memberikan pertolongan atau obat, dan bukanlah menjadi soal apakah aku akan dibayar atau tidak, karena kami mempunyai keyakinan bahwa jiwa seseorang itu tidak dapat dinilai dengan uang. Agama Buddha mengajarkan kita untuk mengabaikan kasta-kasta dan harus memperlakukan me­reka sama rata, entah ia seorang bangsawan atau seorang petani miskin. Bahkan binatang-binatangpun harus kami perlakukan sama dan kalau mereka sakit kami akan menolongnya dan berbuat apa saja yang dapat kami lakukan untuk menyembuhkan penyakitnya.”
Dengan wajah berseri-seri insinyur India itu menjawab: ’’Memang sesungguhnyalah penggolong­an manusia dalam kelas-kelas harus dianggap termasuk jaman yang lalu dan manusia-manusia dalam jaman moderen ini harus mempunyai pan­dangan yang lain. Saya yakin, bahwa Ajaran Buddha Gotama didasarkan atas fakta-fakta dan hukum Ke­sunyataan (absolute Truth) yang tidak akan lenyap. Kebajikan dan moralitas yang luhur termasuk salah satu tujuan dari agama Buddha. Biarpun Ajaran Sang Buddha sekarang sudah berusia lebih dari 2.500 tahun, namun kenyataannya masih tetap ampuh dan tidak ketinggalan jaman. Anda memi­liki watak yang baik dan perbuatan anda patut menjadi contoh bagi seluruh umat manusia. Saya menaruh hormat kepada anda dan sayapun ingin mengikuti jejak anda. Tetapi karena saya bukan seorang dokter, maka saya harus melakukan per­buatan baik dengan cara yang lain. Misalnya kalau melihat seorang dalam kesulitan saya akan merasa tidak senang apabila saya belum dapat memberikan sesuatu pertolongan. Karena hari libur saya besok akan berakhir dan saya harus kembali ke hutan belu­kar besok pagi, maka sayang sekali saya tidak mem­punyai banyak waktu untuk berbincang-bincang dengan anda sampai sepuas-puasnya. Tetapi anda dapat memberikan saya sedikit kebahagiaan dengan menyetujui saya membantu anda dalam mengatasi kesulitan keuangan anda, sebelum saya kembali besok pagi ke hutan. Hal tersebut akan memberi saya kepuasan dan kebahagiaan dan saya harap anda dapat menyelami jalan pikiran saya.”
’’Saya mengerti jalan pikiran anda dan saya me­rasa berterima kasih sekali”, jawab dokter itu sete­lah berpikir sejenak. ”Karena saya tidak ingin me­ngecewakan anda, maka dari itu saya menerima uluran tangan anda. Saya ingin meminjam uang se­banyak 200 Rupee dan saya rasa jumlah ini cukup sambil menunggu kiriman dari rumah.”
”Apa, 200 Rupee!” seru insihyur itu. ’’Apakah anda rasa itu cukup? Saya rasa anda masih malu-malu untuk menerima pinjaman uang dari saya. Saya harap anda menganggap saya sebagai seorang sahabat karib atau seorang yang masih termasuk keluarga. Biarpun saya baru sekali ini bertemu dengan anda, tetapi saya merasa bahwa saya telah kenal anda selama 10 tahun, yah, bahkan lebih dari itu. Karena itu saya akan meminjamkan anda uang sebanyak 400 Rupee dan saya harap anda jangan menolak, sebab hal itu akan membuat saya sedih dan kecewa.”
Insinyur itu segera mengeluarkan dompetnya dan memberikan 400 Rupee kepada dokter itu yang segera menulis surat utang dan memberikannya kepada sahabatnya.
Setelah melihat surat utang itu, insinyur itu mencabiknya sambil berkata: ’’Saya tidak memerlu­kan surat utang dari anda. Watak dan tindak tanduk anda adalah lebih penting dari pada secarik kertas ini. Sekarang saya dapat kembali ke hutan dengan hati yang bungah dan juga bangga, karena saya mendapat kesempatan untuk melakukan sesuatu terhadap anda. Nah, dokter, sekarang saya harus kembali ke kamar saya dan saya harap dapat berte­mu lagi dengan anda besok pagi sebelum saya be­rangkat.”
Ia lalu meninggalkan kamar dokter itu.
”Hai, kawan tunggu dulu sebentar”, dokter itu memanggil.
’’Anda belum memberitahukan kepada saya, bagaimana saya harus mengembalikan uang itu dan bila anda kembali dari hutan.”
Insinyur itupun menghentikan tindakannya dan sambil tersenyum ia menjawab: ’’Kalau saya sedang bekerja di hutan saya selalu berpindah-pindah tempat. Lagipula saya tak dapat membeli apa-apa di hutan. Karena itu saya harap anda tidak usah ber­susah-payah untuk mengirim uang pinjaman itu ke­pada saya. Tunggu saja sampai suatu ketika saya kembali datang ke kota dan kita dapat bertemu kembali. Yang menjadi persoalan ialah, bahwa saya juga tidak tahu dengan pasti bila saya kembali ke kota.”
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dokter itu sudah bangun dan menjumpai insinyur itu sudah siap-siap untuk berangkat. Di taman sudah menung­gu sebuah jip penuh berisi peti-peti perlengkapan dan makanan untuk di hutan.
’’Saya merasa gembira sekali dapat berjumpa lagi dengan anda pada pagi ini”, kata insinyur muda itu. ’’Kemarin malam saya lupa memberitahukan anda bahwa saya telah mendengar penjaga malam menangis sambil meratap-ratap.”
”Oh, apa sebenarnya yang telah terjadi. Saya kira ia telah sembuh benar”, berkata dokter itu dengan nada keheran-herana'n.
”Ya, memang ia telah sembuh benar. Ia menangis dan meratap untuk menyatakan terima kasihnya atas kebaikan anda.”
Bagaimana anda dapat tahu hal itu?” tanya si dokter.
’’Saya rasa kalau anda pada saat itu belum tidur, anda pasti dapat mendengar ia meratap dengan kata-kata bahwa anda baik sekali terhadap dirinya dan dengan teliti telah mengobati dirinya sampai menjadi sembuh benar. Anda mempunyai hati yang luhur untuk memperlakukannya sebagai seorang manusia, bertentangan sekali dengan perlakuan yang sampai kini ia alami. Kebaikan anda tertanam dalam-dalam di sanubarinya. Ini semua ia ratapkan sambil menangis.
Tetapi saya lupa, bahwa sekiranya anda juga men­dengar apa yang ia katakan, anda juga tidak akan mengerti apa yang ia ucapkan.
Setelah saya mendengar pujian-pujian terhadap diri anda, saya lalu tertidur dengan mata basah oleh air mata. Saya selalu mendengar dan percaya, bahwa kaum paria tidak pernah menyatakan terima kasih nya terhadap orang yang menolongnya.
Dengan mendapat kawan seperti anda, biarpun ha­nya untuk waktu yang singkat, membuat saya bangga sekali.”
Dokter ini tersenyum kemalu-maluan dan ber­kata: ”Semua orang yang dilahirkan di dunia ini adalah sama, baik kecerdasannya maupun perasaan­nya. Semua orang, baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya, mempunyai hak yang sama sebagai penduduk di dunia ini. Namun tidak dapat disangkal akan adanya orang-orang yang mengang­gap dirinya lebih tinggi dari yang lain, yang meman­dang rendah dan menghina orang yang miskin. Mereka ini menganggap, bahwa orang lain sangat rendah kecerdasannya. Mereka tidak diberi kesem­patan untuk membuktikan kecakapannya, diha­lang-halangi dalam pergaulan sosial dan diperlaku­kan sebagai makhluk rendah.
Perlakuan yang tidak semestinya ini telah membuat mereka kehilangan martabatnya sebagai manusia dan membuat mereka memiliki perasaan rendah diri yang berlebih-lebihan. Mereka merasa sebagai manusia rendah yang tidak layak bergaul dengan orang-orang dari kasta yang lebih tinggi. Perasaan ini mempengaruhi pikiran mereka sedemikian rupa, sehingga mereka merasa termasuk golongan he­wan.
Sebenarnya mereka adalah sama dengan orang lain dan merekapun memiliki kemampuan berpikir dan kecerdasan; sebagaimana juga dimiliki oleh orang lain. Kalau saja mereka diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan yang baik dan kepada mereka diberi kesempatan yang sama seperti orang lain, maka pastilah merekapun dapat menjadi orang yang pintar dan termashur atau setidak-tidaknya mendu­duki jabatan yang penting.
Kami sebagai umat Buddha dididik untuk mempunyai rasa cinta-kasih dan belas-kasihan kepada semua makhluk, yaitu manusia dan binatan-binatang. Sebab itu, kepercayaan yang mengatakan bahwa menyentuh seorang paria akan membawa malapetaka, sebenarnya tidak masuk akal dan dalam peritistiwa ini justru membawa kebaikan untuk diriku. Sebab perawatan yang aku berikan kepada penjaga malam yang sakit mengakibatkan aku bertemu dengan anda dan aku mendapat pin­jaman uang dari anda sebesar 400 Rupee. Uang ini lebih dari cukup sambil menunggu kiriman uang dari keluargaku. Sesungguhnya kemarin aku sangat gelisah sekali, mengingat uang telah habis dan ki­riman dari keluarga belum saja tiba. Tetapi dengan uang yang anda pinjamkan kesulitan ini dapat ter­atasi.”
’’Saya merasa gembira sekali mendapat kehor­matan untuk menolong anda”, berkata insinyur itu dengan senyum bangga. Setelah itu ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman, tetapi dokter itu tidak menyambut tangannya.
’’Anda lupa, bahwa tangan Saya ini telah menyen­tuh seorang paria, bahkan telah ditekankan kepada pipinya”, memperingati dokter itu. ’’Apakah anda tidak takut nanti ikut dikotori?”
”Ah, saya dapat menghargai cara berkelakar anda”, jawab insinyur itu sambil tertawa, ’’tetapi sejak saya menyaksikan perbuatan anda, saya seka­rang merasa tenang dan bahagia, dan saya telah menjelma menjadi orang yang baru.”
Tiba-tiba terdengar seruan dari pembantunya bahwa segala sesuatu telah siap.
Insinyur itu berkata kepada kawannya: ”Nah, sahabatku, telah tiba saatnya bagi kita untuk ber­pisah. Aku mengucapkan selamat tinggal kepada anda.” Kembali ia mengulurkan tangannya dan seka­rang telah disambut dengan hangat oleh dokter itu sambil berpandang-pandangan mata dengan penuh rasa haru.
’’Selamat tinggal, sahabatku yang baik”, katanya, ’’sampai jumpa kembali.”
’’Saya doakan agar anda selalu dalam keadaan sehat walafiat dan semoga anda selamat dan tidak kurang suatu apapun dalam perjalanan. Selamat jalan!” jawab si dokter.
Insinyur itupun naiklah ke jip dan berangkat ke tempat tujuannya.
' Untuk beberapa waktu lamanya dokter itu masih berdiri di tempat ia bersalam-salaman dengan sahabatnya yang baik hati itu. Pada saat itu kedua mata dokter basah dengan air mata dan ia berdoa: ’’Se­moga Sang Tri Ratna selalu melindungi sahabatku dan semoga ia selalu bahagia hendaknya”.

Dikutip dari Buku  PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)
Alihbahasa : Pandita S. Widyadharma
Cetiya Vatthu Dhaya - 1969

Bagaimana Menemukan Kebahagiaan Sejati


Bagaimana Menemukan Kebahagiaan Sejati
Oleh: Yang Mulia Bhikkhu K. Sri Dhamamnanda Nayake Mahathera

“Kebahagiaan merupakan hadiah yang harus dicari
diperjuangkan oleh umat mansuai dengan penuh kesabaran;
Setengah jalan telah kita tempuh, kini marilah terus maju,
Tujuan sudah berada di depan kita.” 
Apakah anda ingin bahagia? Jawabannya pasti “ya”. Kita semua – tanpa kecuali – ingin bahagia, walaupun pengertian mengerti kebahagiaan itu sendiri dan cara untuk mencapainya berbeda-beda.
Seorang penulis berkata, ‘Bahagia, menurut kebanyaan orang merupakan tujuan yang paling banyak dicari. Bagi orang-orang yang bernasib kruang baik, kebahagiaan seperti ujing dari pelangi yang berupa pot emas. Mereka mengejar pelangi selama hidupnya seperti mengejar bayangan masing-masing karena tidak mungkin mengejar sesuatu yang letaknya di dalam diri kita sendiri.
Kebahagiaan berada dalam jalan mencapainya dan bukan pada tujuan yagn hendak dicapai. “Ia bahagia jika memiliki cita-cita yagn tinggi dan mulia. Ia bahagia jika dapat memperkaya kehidupannya, membiarkan orang-orang lain hidup damai, memberikan sumbangan agar dunia menjadi tempat tinggal yagn lebih baik. Ia bahagia jika pekerjaan, kewajiban, dan tugas sehari-harinya diliputi oleh kasih sayang.”
Setiap maunsia mengharapkan kebahagiaan. Mereka bekerja siang malam untuk mendapat kebahagiaan walaupun sekejap saja. Tetapi, betapapun keras usaha mereka, seringkali tujuan merek abahkan bertambah jauh, mengapa hal ini dapat terjadi?
Mencari Kebahagiaan
Kehidupan modern adalah perjuangan untuk memperoleh imbalan materi, kesenangan, dan kemewahan. Corak hidup ini membawa kegelisahan dan stress, bukan kebahagiaan. Dalam hidup seseorang terdapat momen-momen pentign di masa semua materi memiliki nilai yang kecil jika dibandingkan dengan kesenagnan bathin akibat pelepasan ari hal-hal duniawi.
Dalam kehidupan awam, pentingnya kesejahteraan ekonomi untuk mencapai hidup layak tak dapat diabaikan. Kita tidak dapat menganggap orang-orang dapat berbahagia jika mereka kelaparan dan hidup dalam keadaan yang menyedihkan. Kemiskinan dan kehidupan di daerah kumuh dapat melumpuhkan kebahagiaan manusia. Sungguh menyedihkan jika sebuah keluarga besar harus hidup, makan, tidur, dan “bereproduksi” di suatu pondok yang kecil di daerah yang kumuh. Keadaan menyedihkan dari lingkungan dan kehidupan para penghuninya sering menjadikan daerah tesebut sebagai lokasi pertumbuhan kegetiran dan kejahatan kecuali daerah itu merupakan kumpulan dari orang-orang suci yang mencari kedamaian di dalam kemiskinan.
Bagaimanapun juga, kaya dan miskin, kebahagiaan dan kesengsaraan adalah istilah-istilah yang saling berhubungan. Seseorang dapat saja kaya tetapi tidak bahagia, orang lain mungkin miskin tapi bahagia. Kekayaan adalah berkah jika digunakan dengan benar dan bijaksana. Tetapi bagian yagn tragis dari kaum miskin adalah keegoisan mereka akan benda-benda materiil. Jika idaman mereka tidak terpenuhi, mereka hidup di dalam kebencian. Tragedi dari si kaya adalah kemelekatan pada harta mereka. Karena itu kebahagiaan tidak ditemukan pada kedua pihak, baik miskin maupun kaya.
Sejumlah orang menganggap bahwa seorang teman hidup yang cocok dan menyenangkan adalah sumber kebahagiaan. Hal ini mungkin saja terjadi. Lainnya menganggap bahwa anak-anak adalah sumber kebahagiaan lain, tetapi hal inipun bukan keadaan yang stanil. Seorang teman hidup dapat meninggal atau meninggalkan mereka, sementara itu ada anak-anak yang lebih banyak menimbulkan penderitaan dari pada kebahagiaan bagi orang tua mereka.
Kita harus belajar untuk puas dan bahagia dengan apa yang telah kita dapat, betapapun sedikitnya. Bahkan kita harus gembira dan puas dengan keadaan kita sekarang walaupun tidak sesuai dengan keinginan itu.
Seorang Istri Tanpa Anak
Suatu ketika terdapat pasangan miskin yang tidak mempunyai anak. Walaupun mereka bahagia dalam hal-hal lain, sang istri sangat menginginkan anak sendiri. Sang suami menyarankan untuk mengadopsi seorang anak tetapi sang istri tetap menginginkan anak yang beerasal dari darah dagingnya sendiri. Mereka mencoba segala rencana tetapi tidak berhasil; sang istri bertambah tertekan dan rasa gelisah dna kekurangan bertambah kuat dan mulai mempengaruhi bathinnya. Tetapi sang suami berangsur-angsur mulai melihat perubahan pada diri istrinya. Sang istri berpura-pura hamil, lalu ketika ia pulang, ditemukannya sang istri sedang menggendong sebuah buntelan kecil dengan gembira. Ia memeriksa buntalan tersebut dan ternyata hanya merupakan sepotong kayu kecil. Sang istri merawat “bayi”nya, memakaikan baji seperti layaknya seorang ibu. Ia bahkan membuat ranjang bayi yang hangat dan menina-bobokan “bayi”nya. Sebenarnya ia mulai berprilaku seperti seseorang anak kecil yang bermain dengan bonekanya. Sang suami yang sangat khawatir dengan keadaan istrinya, membawanya ke psikiater terkenal. Psikiater tersebut memeriksanya dengan seksama dan mencapai kesimpulan yang megnejukan tapi sangat manusiawi, yaitu wanita tersebut akhirnya menemukan kebahagiannya dengan membayangkan sesuatu yang tak dapat diraihnya dalam kenyataan. Sang psikiater memberi nasehat bahwa merenggut kebahagiaannya akan jauh lebih kejam daripada berusaha menyadarkannya dan membuang potongan kayu tersebut.
Kita melihat disini bahwa kadang-kadang keputusan kita mengenai orang lain harus didasari oleh perasaan dan bukan intelegensi semata-mata. Sambil lalu juga dapat dikatakan jika kita menginginkan sesuatu melewati batas, akan mempengaruhi bathin kita dan menganggu kestabilan perasaan kita.
Keadaan menyenangkan dalam lingkungan politik, ekonomi, dan sosial seseorang berperan penting bagi kebahagiaannya dalam masyarakat. Sir Philip Gibbs dalam bukunya, Jalan Pelepasan, berkata “Apa yang dicari oleh manusia dalam pencarian abadinya tentang kebahagiaan, adalah sejumlah sistem pemerintahan dan masyarakat yang akan memberikan setiap individu suatu kesempatan penuh dan adil untuk mengembangkan kepribadiannya sepenuhnya: melalui pekerjaan yang menyenangkan dan secukupnya; melalui keamanan bagi diri sendiri, keluarga, serta teman-temannya; seseorang yagn peka dan dermawan tak ada bahagia jika rakyat di sekitarnya menderita; melalui kesenangan minimum yang sepantasnya, dan kebebasan berpikir dan bertindak yang dibatasi hanya oleh kdoe etik untuk tidak merugikan ettangga-tetangganya. Dalam kebebasan berpikir dan bertindak tersebut, ia berkesempatan berpikir untuk berpetualang dan bersenang-senang; untuk menikmati keindahan, lebih mendalami pengetahuan, mengendalikan diri sendiri dan sekelilingnya, mencapai segala sesuatu yang bermanfaat untuk pikiran dan tubuh.
Agama Buddha mengajarkan kita untuk mengadopsi cara-cara yang benar dan tidak merugikan untuk meraih kebahagiaan. Tidak ada artinya berbahagia di atas penderitaan orang atau makhluk lain. Hal ini diuraikan oleh Sang Buddha sebagai berikut: ’Dapat hidup tanpa merugikan pihak lain adalah berkah utama.’
Unsur-unsur Kebahagiaan
Dalam usaha untuk mencapai hidup yang bahagia dan mempunyai arti, kita harus melatih rasa belas kasihan dan kebijaksaan kita, dua hal yang dapat menuntun manusia menuju puncak kesempurnaan manusiawi. Jika kita ingin mengembangkan segi perasaan saja tanpa pikiran, akan membuat kita menjadi sitolol yang berhati emas, sementara berkembangnya pikiran tanpa perasaan akan membentuk pribadi pintar berhati batu tanpa perasaan. Menurut Sang Buddha, rasa belas kasihan dan kebijkasanaan harus dikembangkan bersama-sama oleh manusia untuk mencapai kebebasan. Hidup yang baik adalah hidup yang dilandasi oleh cinta dan bimbingan oleh pengetahuan.
Apakah rasa belas kasihan itu? Rasa belas kasihan adalah cinta, kemurahan hati, keramahan dan toleransi. Belas kasihan tersebut berperan pada cinta dan perhatian terutama jika berada dalam situasi yang menguntungkan.
Dan apa pula kebijaksanaan itu  >> Kebijaksanaan adalah pikiran yang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, berperan dalam sifat-sifat mulia dari pikiran. Jika seorang pria melihat seorang wanita cantik dan terpikat olehnya, maka ia berharap untuk dapat melihatnya kembali. Ia memperoleh kenikmatan dan kepuasan dari kehadiran wanita tersebut. Tetapi jika situasi berubah dan ia tidak dapat melihatnya lagi, ia tidak boleh bertindak bodoh dan tidak masuk akal. Keadaan tak menyenangkan ini adalah kenyataan yang harus dihadapi oleh manusia. Jika ia tidak memiliki kemelekatan, ia akan bebas dari penderitaan tersebut. Walaupun tidak ada bantahan terhadap kebahagiaan yang diperoleh dari kesenangan indria, sebenarnya kesenangan hidup bersifat singkat dan tidak memberikan kebahagiaan abadi. Menyadari hal ini adalah bijaksana. Kebahagiaan meliputi unsur-unsur yang sederhana dan merupakan keadaan pikiran. Hal ini tak dapat ditemui dalam benda-benda materi disekitar kita, seperti harta, kekuasaan, atau popularitas. Orang-orang yang mengumpulkan harta melebihi yang diperlukan selama hidupnya, akan kecewa pada saat mereka menyadari bahwa semua uang didunia ini tidak dapat membeli kebahagiaan, dan semuanya sudah terlambat. Pengejaran kesenagnan tak dapat disamakan dengan pengejaran kebahagiaan. Kesenangan berlalu begitu saja dan tidak memberikan kebahagiaan abadi. Kesenangan dapat dibeli, tetapi kebahagiaan tidak. Kebahagiaan berasal dari dalam diri kita, berdasarkan kebaikan dan suara hati. Tak seorangpun yang bahagia jika ia tidak puas dengan dirinya sendiri. Pengejaran ketenanga bathin hanya dapat dilakukan melalui pengembangan bathin atau meditasi. Banyak yang harus dilakukan, dan baru sedikit yang dikerjakan.Hanya dengan memahami dan membersihkan diri sendiri, benih-benih kejaikan kita yang tersembunyi dapat tumbuh dan menunjukkan sifat-sifat manusiawi kita. Tugas ini tidak mudah dan memerlukan ketekunan, ketegaran hati dan usaha. Kebahagiaan adalah parfum yang tak dapat kita semprotkan kepada orang-orang lain tanpa kecipratan sedikit untuk diri sendiri.
Jika anda ingin hidup damai dan bahagia, biarkanlah orang lain untuk hidup damai dan bahagia pula. Tanpa prinsip tersebut tidak mungkin ada kebahagiaan dan kedamaian di dunia. Dan jangan mengharapkan terima kasih dari orang lain. Dale Carnegie berkata, “Jika kita ingin menemukan kebahagiaan, jangan memikirkan terima kasih dan marilah berdana karena kepuasan yagn terkandung didalamnya.”
Manusia umumnya tidak menghargai segala sesuatu yang mudah didapat. Tetapi baru menghargainya jika sesuatu tersebut diambil. Udara dan organ-organ tubuh kita semuanya seperti sebagaimana mestinya dan kita bahkan menyalahgunakannya, kadang-kadang sudah terlambat. Seperti seekor ikan yang tidak mengetahui betapa berharganya air sampai ia dikeluarkan dari air.
“Menurut pengamatan saya, manusia merasa bahagia jika mereka berkeinginan untuk bahagia,” kata Abraham Lincoln.
Anda tak dapat memperoleh kebahagiaan dan kedamaian hanya dengan membaca paritta, tetapi perlu disertai dengan bekerja. Percaya akan dewa dan membacakan paritta untuk berkah perlindugnan tidak ada salahnya, tetapi anda pun harus mengunci pintu rumah anda, karena tidak ada jaminan bahwa dewa tersebut akan menjaga rumah anda sampai anda pulang. Anda tidak boleh mengabaikan tanggung jawab anda. Jika anda berbuat sesuai dengan etika moral, pasti akan tercipta surga di dunia ini. Tetapi jika anda melanggarnya, anda dapat merasakan api neraka di dunia ini. Manusia menggerutu jika mereka tak dapat hidup wajar sesuai dengan hukum karmma dan menciptakan masalah mereka sendiri. Jika setiap orang mencoba untuk hidup terhormat, kita semua dapat menikmati kebahagiaan surgawi didunia. Tidak perlu menciptakan surga sebagai imbalan bagi kebajikan atau nereka untuk menghukum perbuatan jahat. Kebajikan dan kejahatan memiliki balasannya masing-masing. Salah satu pertanyaan yang paling membingungkan umat manusia adalah apakah benar-benar ada tempat yang disebut ‘surga; dan ‘neraka’. Manusia tidak memiliki pengertian yang jelas tentang konsep ini.
Dimanakah surga dan neraka> Suatu ketika ada seorang bhikkhu yang gemar berkhotbah tentang sruga dan neraka. Salah satu umatnya yang merasa bosan mendengar hal ini terus , suatu hari berdiri dan bertanya: ‘Katakan dimana adanya surga dan neraka? Jika engkau tidak dapat menjawab, berarti engkau pembohong!’. Sang bhikkhu menjadi takut dan terdiam. Hal ini semakin menambah amarah umat tersebut dan ia terteriak; ‘Jawab atau kupukul kau!” Sang bhikkhu cepat-cepat memutar otaknya dan menjawab, ‘Neraka ada disekitarmu sekarang, bersama amarahmu’.
Menyadari kebenaran yang ada, umat tersebut menjadi tenang, dan mulai tertawa. Kemudian ia bertanya: ‘Lalu dimanakah surga?’ yang dijawab oleh Sang bhikkhu, ‘Surga ada di sekitarmu sekarang, bersama gelak tawamu.’ Surga dan neraka terjadi dalam hidup kita dan muncul di dalam setiap bagian di dunia dimana terdapat makhluk hidup, tanpa terpisah-pisah.
Dimanakah Kebahagiaan?
Dimanakah kita mencari kebahagiaan? ‘Didalam dirimu’, kata Sang Buddha. Tak seorangpun yang membantah bahwa kebahagiaan adalah keadaan hidup yang paling diinginkan. Kebahagiaan tidak terjadi demikian saja. Kebahagiaan adalah keadaan pada saat sadar yang tidak tergantung pada nafsu jasmani. Pria yang Puas Tanpa Baju.
Seorang raja Timru yang sangat tidak bahagia menemui seorang ahli filsafat. Ahli tersebut mensehatkan Sang Raja untuk mencari pria yang paling bahagia dan senang dalam kerajaannya dan mengenakan baju. Setelah pencarian yang lama Sang Raja akhirnya menemukan pria tersebut tetapi ia tidak memiliki baju. Seorang penulis terkenal berkata: [Berpedoman pada Sang Buddha] Jika engkau ingin menemukan pria yang paling senang dan bahagia di dunia ini, carilah pangeran dalam pakaian pengemis.
Keinginan yang tak terpuaskan adalah penyebab utama ketidak-bahagiaan. Singkirkan keinginan, dan anda akan bebas dari ketidak bahagiaan anda. ‘Aku hanya mengajarkan satu hal, kata sang Buddha ‘penyebbab dukkha dan jalan menuju lenyapnya dukkha. Seperti laut yang memiliki satu rasa, begitu juga halnya dengan ajaran-Ku yang berhubungan dengan dukkha dan lenyapnya dukkha. Aku akan menunjukkan anda jalan dari khayal menuju nyata, dari gelap ke terang, dan dari kematian menuju kekekalan.’
Damai atau kepuasan juga bergantung pada kebutuhan seseorang. Anjing menyukai tulang bukan rumput. Sapi menyukai rumput bukan tulang. Begitu pula, sejumlah orang lebih menyukai kegembiraan dari pada damai; bagi orang lain damai lebih penting dari pada kegembiraan. Seperti makanan yang lezat bagi seseorang, tetapi dapat merugikan orang lain; obat yang menyembuhkan penyakit seseorang dapat menyebabkan kematian bagi orang lain. Kesenangan seseorang dapat menyusahkan orang lain.
Kebahagiaan adalah keadaan bathin yang dapat diperoleh melalui pengembangan pikiran. Sumber-sumber luar seperti harta, popularitas kedudukan sosial, dan nama besar hanya merupakan sumber kebahagiaan sementara dan bukan sumber sejati dari kebahagiaan. Sumber yang sejati adalah pikiran yang terkendali dan dikembangkan. Pendapat bahwa ketenangan bathin tak dapat dicapai adalah salah. Setiap orang dapat mengembangkan kedamaian dan ketenangan di dalam dirinya melalui pembersihan pikiran.