Selasa, 09 Juli 2013

BUDDHA DHAMMA vs DOGMA




BUDDHA DHAMMA vs DOGMA
Dr, Douglas M. Burns
SANG BUDDHA DAN AJARANNYA
Dalam buku kecil ini, kita akan memusatkan perhatian kita pada ajaran-ajaran Sang Buddha seperti yang dilestarikan dalam bahasa Pali. Tulisan yang berdasarkan kitab suci ini merupakan dasar agama Buddha mazhab Theravada yang berkembang luas di Burma, Muangthai, Laos, Kamboja dan Srilanka. 
Kira-kira tahun 543 sebelum Masehi, di wilayah yang sekarang menjadi negeri Nepal, seorang putra dilahirkan dalam keluarga Raja Suddhodhana. Anak ini diberi nama Siddhattha Gotama, dan ayahnya mengelilingi putranya dengan kekayaan dan kemewahan duniawi. Walaupun Pangeran memperoleh pendidikan terbaik, namun Raja Suddhodhana mengambil langkah-langkah guna mencegah Pengeran Siddhattha untuk tidak mengetahui kesengsaraan dan penderitaan yang meliputi seluruh dunia. Akan tetapi, pada suatu hari ketika Pangeran Siddhattha naik kereta mengelilingi jalan-jalan desa, ia melihat seorang tua renta, orang sakit, orang mati dan seorang pertapa yang berwajah agung. Tergoncang oleh kenyataan hidup yang kejam dan tergerak oleh welas asih terhadap penderitaan umat manusia, Pangeran muda ini rela meninggalkan kenikmatan - kenikmatan warisan kerajaan dan pergi seorang diri berusaha mencari kesunyataan dan jalan untuk dapat bebas dari penderitaan. 
Mula-mula, ia mencari guru-guru besar kebatinan pada jamannya dan menguasai latihan meditasi yang diajarkan mereka. Namun segera ia dapat menyadari bahwa keadaan trance dan mistikisme bukanlah jalan yang membawa pada kebebasan. Selanjutnya, ia berjuang keras melakukan latihan  penyiksaan diri seperti yang dipraktekkan di India jaman dahulu. tetapi, pertapaan ternyata tidak memberikan suatu faedah apapun, malahan mengakibatkan tubuhnya menjadi lemah dan rapuh. Akhirnya, setelah berjuang keras selama enam tahun, ia duduk dengan hening di bawah pohon yang sekarang terkenal dengan nama pohon Rodhi. Di sana, setelah menembusi hakekat kehidupannya sendiri, ia mencapai suatu tingkat Pandangan Tcrang ; yang disebutnya Nibbana. Dan sejak itu seterusnya ia dikenal sebagai Buddha atau "Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna". Dalam sisa hidupnya selama empat puluh lima tahun, Beliau membaktikan dirinya untuk melayani dan memberi petunjuk kepada sesama umat manusia.
LIMA PENGERTIAN DASAR
Pandangan umat Buddha dapat jelas dimengerti jika kita melihatnya sebagai yang didasarkan pada lima asumsi pokok : -
I.     Ketidaktetapan atau Perubahan
Semua benda, keadaan dan ciptaan dipandang se­bagai sesuatu dalam kondisi berubah terus menerus. Tiada sesuatu yang terbatas bersifat abadi atau tidak berubah. Kelahiran, pertumbuhan, kelapukan dan kematian tidak akan dapat dihindari oleh semua obyek kebendaan, manusia, masyarakat dan bentuk pikiran. Di sini terletak jawaban terhadap misteri ciptaan : bentuk baru lahir dari bentuk lama ; tiap kondisi baru ditentukan oleh apa yang mendahuluinya.

II.   Sebab dan Akibat
Bagaimanapun juga, perubahan ini tidak dapat dianggap kacau, melainkan diatur oleh Hukum Sebab Akibat yang bersifat universal. Hukum Sebab Akibat tidak bersifat pribadi, tidak memihak dan tidak ber­ubah. Satu-satunya yang tidak berubah adalah hukum perabahan itu sendiri ; atau dengan kata lain, proses perubahan ini akan berjalan terus menerus selamanya.
III.    Sifat mementingkan diri sendiri dan Penderitaan
Hukum Sebab Akibat tidak hanya meliputi hukum fisika dan kimia yang telah begitu terkenal di dunia Barat, tetapi juga mencakup hukum moral atau hukum sebab dan akibat yang bersifat kejiwaan yang dikenal sebagai kamma-vipaka atau lebih umum, karma.
Karma bekerja sepanjang waktu, dan dengan demikian akibat sepenuhnya dari pikiran dan perbuatan seseorang mungkin tidak muncul sampai beberapa tahun kemudian. Karma tidak dapat dihindari, seperti apa yang telah disabdakan oleh Sang Buddha : -
"Tidak di langit, tidak di tengah lautan atau pun dengan memasuki gua - gua di gunung terdapat suatu tempat bagi seseorang untuk menghindarkan dirinya dari akibat perbuatan jahat".
"Tidak di langit, tidak di tengah lautan atau pun dengan memasuki gua - gua di gunung terdapat suatu tempat bagi seseorang untuk menghindarkan dirinya dari kematian".
                                (Dhammapada  127 - 128)

Satu aspek penting dari hukum karma ialah bahwa sifat memen- tingkan diri sendiri akan menimbulkan penderitaan pada diri sendiri sebanding dengan jumlah kejahatan yang telah dikerjakan. Kebalikannya, cinta kasih, belas kasihan dan bentuk-bentuk pikiran baik lainnya menciptakan jumlah kebahagiaan dan kesejah-teraan yang sebanding pula. Sering hal ini dinyatakan sebagai "keinginan adalah sebab penderitaan". Dalam hubungan ini, perkataan yang diterjemahkan menjadi "penderitaan", berasal dari kata Pali dukkha. Dukkha adalah istilah yang mencakup semua pengalaman yang tidak menyenangkan, misalnya, kesusahan, kesedihan, kesakitan, ketakutan, ketidak puasan, ketidak selarasan dan Iain-lain. Bila pikiran menginginkan kesenangan atau terdorong oleh keserakahan, kebencian dan ketidak tahuan, maka hal itu dapat mempengaruhi timbulnya dukkha. Suatu hal yang berlawanan adalah, bahwa kebahagiaan dengan mudah didapatkan mereka yang tidak terikat mencarinya. Jadi, dalam ajaran Sang Buddha, kita tidak menemukan hukuman yang abadi atau pun hadiah abadi. Kebahagiaan dan kesengsaraan adalah sebanding dengan pikiran dan perbuatan kita sendiri.
Karma bekerja bebas dari nilai - nilai sosial atau pun norma budaya tentang kebaikan dan kejahatan. Juga, karma tidak memperdulikan segala kesenangan dan ketidak senangan, sebagaimana Sang Buddha bersabda bahwa banyaknya pengalaman senang dan pedih seseorang bukanlah hasil dari perbuatan-perbuatannya yang terdahulu (Anguttara Nikaya I,  173).
IV.  Nibbana
Karena semua yang dilahirkan pasti mengalami kematian, karena semua yang terbatas pasti berubah, maka hanyalah satu yang abadi, Tidak Terbatas dan Tidak Berubah, Tidak Dilahirkan dan Tidak Dibentuk, itulah Nibbana. Tetapi, Sang Buddha hanya berbicara relatif sedikit tentang Nibbana karena Nibbana bukan benda atau pun kekuatan dan karena Nibbana tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Nibbana sama sekali tidak berhubungan dengan apa pun juga yang pernah kita kenal. Jadi, Nibbana tidak dapat dilukiskan, dipikirkan maupun dipahami oleh pikiran manusia biasa. Nibbana hanya dapat diketahui melalui pengalaman langsung di luar persepsi indria dan merupakan akhir seluruh dukkha. Apabila Nibbana telah diselami maka sifat keakuan akan padam, karena Nibbana muncul hanya dengan pelenyapan seluruh sifat mengutamakan diri sendiri dan keinginan. Namun, orang tidak dapat hidup tanpa berbuat dan bekerja selama hayat dikandung badan. Inilah kebebasan Buddhis ; kebebasan ini didapatkan dengan melatih pikiran dan mematangkan kepribadian. Karena Nibbana tidak mungkin dipahami dan diketahui kecuali dengan pengalaman langsung, maka hendaknya orang tidak berusaha untuk mencari Nibbana itu sendiri, tetapi tentu saja orang harus berusaha menghapuskan sifat mementingkan dirinya sendiri dari pribadinya, dan inilah suatu usaha yang memberi manfaat tanpa mengindahkan apakah tujuan tertinggi itu tercapai atau tidak. Demikianlah sabda Sang Buddha : -
"Terbebaslah orang bijaksana yang tidak tertarik oleh perasaan dan tidak mempunyai kebutuhan untuk menuntut sesuatu ; tenanglah mereka setelah bebas dari rasa senang dan tidak senang".                                           ( Sutta Nipata )
V.   Bukan Dogma
Akhirnya, dinyatakan bahwa keempat pandangan di atas dapat dibuktikan sendiri oleh akal sehat dan pengalaman, tanpa tergantung pada otoritas luar. Di dalam sebuah naskah Tibet, dikutip kata - kata Sang Buddha : "Sama seperti seseorang menguji kemurnian emas dengan jalan membakarnya dalam api, dengan memotongnya, dengan menggosokkannya pada batu penguji, begitu juga hendaknya engkau, O para siswa, menerima kata-kataKu setelah menguji dengan kritis, dan bukan hanya karena didasarkan atas rasa hormat kepada-Ku". (Self Mastery, oleh Soma Thera, Kandy, Ceylon : Buddhist Publication Society)
BEBERAPA ASPEK AJARAN
Berdasarkan kelima dalil tersebut di atas, maka berkembanglah beberapa aspek ajaran yang penting : -
1- Universalitas - Kesunyataan adalah universal dan tidak berubah sifatnya, sehingga dengan demikian tak tergantung pada wahyu atau adat kebiasaan. Fakta-fakta yang ditemukan oleh Sang Buddha tersedia bagi semua orang untuk mengujinya, dan dalam pengertian ini orang dapat menjadi umat Buddha tanpa pernah mendengar tentang agama Buddha atau pun ajaran-ajaran Sang Buddha. Sang Buddha pernah bersabda : "Memang sukar mengubah pendapat seseorang yang sudah terbentuk, tetapi orang hendaknya  membiarkan dirinya dengan bebas menguji semua sistim filsafat dengan menerima dan menolaknya sebagaimana dianggapnya layak. Tetapi, orang yang bijaksana tidak lagi melibatkan dirinya dengan sistim filsafat mi atau pun itu, dan ia tidak pula membanggakan ataupun menipu dirinya. Ia berjalan terus menempuh jalannya sendiri yang bebas" (Sutta Nipata, 72,5 - 786).
2. Bukan hal gaib - Bagi orang yang menerima ajaran Sang Buddha, upacara-upacara, sesaji, doa dan semua usaha yang serupa untuk melahirkan pertolongan gaib sesungguhnya tidak bernilai. Satu-satunya nilai dan upacara, pembacaan paritta dan penghormatan pada Sang Buddha adalah keadaan pikiran yang bersih dan sungguh - sungguh yang dapat diwujudkan, karena ke­adaan pikiran semacam itu mempunyai nilai karmis yang besar.
Pada tahap akhir jalan menuju ke Nibbana, orang harus percaya semata-mata akan usaha sendiri dan tidak mencari pertolongan para dewa atau manusia. Ucapan Sang Buddha sesaat sebelum wafat adalah : "Segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal, karena itu berjuanglah dengan penuh kewaspadaan". (Digha Nikaya II,  156)
Pada kesempatan sebelumnya, Beliau bersabda : "Orang yang terjerat dalam khayalan tidak akan men­jadi suci hanya dengan belajar dari kitab-kitab suci atau berkurban bagi para dewa atau berpuasa atau tidur di atas tanah atau mengulang-ulang doa. Juga, pemberian kepada bhikkhu, penyiksaan diri atau pun pelaksanaan upacara dan kebaktian tidak akan membuat suci orang yang penuh keinginan. Bukan karena makan daging atau ikan akan membuat orang tidak suci, tetapi orang menjadi tidak suci apabila ia suka mabuk, keras kepala, fanatik, menipu, menyombongkan diri, memandang rendah orang lain dan beritikad jahat". (Fundamentals of Buddhism, oleh Nyanatiloka Mahathera, Buddha Sahitya Sabha, Colombo, Ceylon, 1949, halaman 8) 
3. Pandangan tentang dunia - Alam semesta (dengan semua yang ada di dalamnya) diatur oleh hukum yang adil dan tidak berubah. Hukum ini berlaku sepanjang masa sejak lampau dan tidak terbatas. Dan hukum ini akan berlaku terus sepanjang waktu yang tak terbatas pada masa mendatang ; tidak diketahui permulaannya dan tidak juga akan ada akhirnya (Samyutta Nikaya II, 182). Sang Buddha selanjutnya menyatakan bahwa paling sedikit ada satu bilyun sistem tata surya lain seperti yang kita miliki ini (Anguttara Nikaya I, 227-228), dan karena menjadi tua dan usang, maka tata surya baru berkembang dan menggantikan yang lama. Meskipun demikian, tidak seperti hukum fisika dan kimia, jalannya kejadian itu bukanlah masalah kesem­patan yang samar-samar. Ajaran Sang Buddha meman­dang alam semesta sebagai keseluruhan gerak yang selaras dengan suatu kesatuan di balik keaneka ragaman. Manusia diciptakan hukum alam ; dunia tidak tercipta karena manusia.
4. Keduniawian dan Keduniawian lain - Dunia itu sen­diri tidak dipandang sebagai hal yang buruk, tetapi keinginan (tanha) akan kenikmatan kasar dan halus terhadap eksistensi kebendaanlah yang ditentang oleh ajaran Sang Buddha. Jadi, apabila berbicara tentang kebebasan, maka yang dimaksudkan Sang Buddha ada­lah membebaskan pikiran dari perbudakan hawa nafsu dan prasangka, bukan karena benci akan eksistensi kebendaan itu sendiri. Beliau juga mencela praktek penyiksaan diri. Karena itu, khotbah pertama Sang Buddha mengajarkan Jalan Tengah, yang menghindarkan tindakan ekstrim terhadap pemuasan hawa nafsu dan praktek penyiksaan diri.
Para bhikkhu berusaha melatih diri melepaskan segalanya, kecuali sejumlah kecil miliknya yang dibutuhkan agar mereka tidak terperdaya karena melekat secara tak sadar pada barang- barang duniawi. Juga, karena kebanyakan ajaran Sang Buddha ditujukan ke­pada para bhikkhu dan bhikkhuni, maka sebagian terbesar percakapan yang tercatat berhubungan dengan cita-cita non-materialisme dan tanpa kcmelekatan. Tetapi, Sang Buddha mengakui kebutuhan umat awam dan juga memberikan banyak nasehat kepada mereka. Pernah Beliau bersabda : -
"Orang bijaksana dan bajik akan bercahaya bagai api yang menyala di atas bukit. Dan bagi dia, mengumpulkan kekayaan adalah seperti lebah berterbangan yang mengumpulkan madu tanpa memengganggu siapa pun. Bila kekayaan orang berkeluarga yang baik telah menumpuk tinggi bagaikan timbunan bukit semut, maka ia dapat memberi manfaat kepada sanak keluarganya.
Biarlah ia membagi kekayaannya dalam empat bagian, dan mengikat kehidupannya dengan hal-hal yang baik.
Satu bagian biarlah dipergunakan dan dinikmati sebagai buah usaha ; dua bagian untuk meneruskan usahanya ; bagian keempat biarlah disimpan dan ditabung, sehingga ada persediaan pada saat yang sulit"(Digha Nikaya II,  188)
5. Epistemologi - Bagi umat Buddha, pengetahuan diperoleh lewat pengalaman dan akal sehat diri sendiri. Ini merupakan metode yang sama seperti dalam ilmu pengetahuan modern, kecuali bahwa agama Buddha memperluasnya menjadi suatu studi mengenai pikiran dan studi tentang alam penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan dan rasa. Kepercayaan, kitab suci, mistikisme dan wahyu tidak dianggap sebagai jalan mutlak menuju kesunyataan.
Pada suatu kesempatan, Sang Tathagata datang ke desa Kesaputta, tempat tinggal suku bangsa yang dikenal sebagai Kalama. Mereka mengetahui bahwa Sang Buddha terkenal sebagai seorang guru kebatinan yang termasyhur. Dan mereka berkata kepada Beliau sebagai berikut : - "Yang Mulia, ada sementara pendeta dan Brahmana yang berkunjung ke Kesaputta. Mereka hanya menerangkan dan membabarkan ajaran mereka sendiri, sedangkan ajaran orang lain dianggap rendah, dicaci dan dihancurkan. Yang Mulia, keragu-raguan dan kesangsian ada pada diri kami berkenaan dengan mereka. Pendeta dan Brahmana mana yang berbicara benar dan yang mana yang berdusta?"
Untuk ini, Sang Buddha menjawab : "O Kalama, sudah sepantasnya engkau ragu-ragu dan merasa tidak pasti. Ketidak pastian muncul dalam dirimu terhadap apa yang meragukan. Marilah, Kalama. Jangan ikuti tradisi otoriter ; jangan juga percaya akan apa yang diperoleh dengan jalan mendengar, kabar angin, tulisan dalam kitab suci, teori-teori, alasan-alasan atau bukti-bukti yang spekulatif ; jangan mempercayai pokok pandangan, akal budi yang kelihatan baik ; jangan menerima suatu pernyataan sebagai kebenaran hanya karena itu sesuai dengan teori yang dipercayai seseorang ; juga jangan mempercayai kemampuan semu dari orang lain ; juga jangan menganggap benar hanya karena : "Guru kami berkata demikian". Kalama, jika kamu sendiri mengetahui : "Hal ini tidak baik, hal ini tercela ; hal ini dikecam oleh orang bijaksana ; jika dilakukan dan dituruti, hal-hal itu menjurus kepada kejahatan dan penderitaan, tinggalkanlah" (Anguttara Nikaya I, 189).
6. Etika - Etika Buddhis meliputi dua tingkat, yaitu positif dan negatif. Secara negatif, ia menganjurkan pembasmian seluruh keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan ketidaktahuan (moha) dari pikiran kita. Secara positif, ia menganjurkan untuk mengusahakan dan mengembangkan cinta kasih (metta.), kasih sayang (karuna), perasaan simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha) sebagai aspek yang melekat pada kepribadian seseorang. "Metta" adalah perkataan Pali dan biasanya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai "cinta kasih". Tetapi, dalam bahasa Pali, ada beberapa kata, masing-masing dengan perbedaan arti yang semuanya dapat diterjemahkan sebagai "cinta kasih". Jika kita secara bersamaan berpikir tentang kata-kata "persahabatan", "cinta kasih" dan "kebaikan hati", kita akan mendapatkan pengertian tentang arti sebenarnya dari kata "metta". Di dalam Metta Sutta, Sang Buddha menerangkan sebagai berikut : -
"Bagaikan seorang ibu mempertaruhkan jiwanya, melindungi anaknya yang tunggal, demikian pula hendaknya ia memiliki pikiran penuh cinta kasih terhadap semua mahluk. Dipancarkannya pikiran cinta kasih tanpa batas ke segenap alam semesta, ke atas, ke bawah dan ke sekeliling ; tanpa rintangan, tanpa benci dan permusuhan".  (Sutta Nipata  149 -  150)
Sang Buddha adalah orang pertama dalam sejarah yang diketahui telah menganjurkan untuk membalas kejahatan dengan kebaikan
"Dalam dunia ini, kebencian tidak akan berakhir bila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan cinta kasih. Inilah satu hukum yang abadi".                   ( Dhammapada 5 )
"Kalahkan kemarahan dengan cinta kasih, serta kalahkan kejahatan dengan kebaikan. Taklukkan keserakahan dengan kedermawanan, dan takluk­kan si pembuat kebohongan dengan kebenaran"   (Dhammapada  223)
Jika orang sungguh-sungguh menyingkirkan sifat mementingkan diri sendiri dan mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang, maka tidaklah diperlukan lagi aturan moral yang ketat atau aturan mengenai tingkah laku. Orang semacam ini tidak cenderung berbuat kesalahan dan dengan demikian kebajikannya menjadi wajar dan tidak bersifat sekehendak hatinya, melainkan tulus hati dan berpikir sebelum berbuat sesuatu. Sang Buddha bersabda : -
"Ada sementara orang yang setelah menjadi anggota salah satu sekte agama dan menaati janji-janji berpendapat bahwa hanya kesusilaan yang tertinggi dan menyatakan bahwa kesucian dapat dicapai melalui pengendalian diri. Mereka berkata : 'Beginilah cara melatih diri ; kesucian terdapat di dalamnya'.
"Jika orang demikian meninggalkan aturan dan upacara tertentu, setelah gagal mendapat hasil tertentu, ia gelisah, merindukan kesucian sepanjang waktu ; sama halnya dengan seorang yang kehilangan kafilah jauh dari rumahnya.
"Setelah semua aturan dan upacara ditinggalkan, semua karma yang patut dicela dan dipuji, tidak melibatkan dirinya dengan pembersihan maupun dengan noda-noda, maka orang dapat berjalan dengan bebas"(Sutta Nipata 898 - 900).
Walaupun demikian, aturan etika bernilai dan bermakna besar bagi sebagian besar umat manusia. Jadi, apabila berbicara dengan umat awam, Sang Buddha memberikan banyak nasehat praktis seperti terdapat dalam Sigalovada Sutta : -
"O putra kepala keluarga, dengan lima cara ini seorang anak harus memperlakukan orang tuanya :
Dahulu aku dirawat oleh mereka, sekarang aku akan merawat mereka ;
Aku akan memikul beban kewajiban-kewajiban mereka ;
Aku akan memelihara keturunan serta tradisi keluarga ;
Aku akan menjadikan diriku pantas menerima warisan ;
Aku akan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan upacara agama setelah mereka meninggal dunia".
"O putra kepala keluarga, dengan lima cara ini, orang tua yang diperlakukan secara demikian oleh se­orang anak akan menunjukkan kasih sayang mereka kepadanya :
Mereka mencegahnya berbuat jahat ;
Mereka mendorongnya berbuat baik ;
Mereka melatihnya dalam suatu profesi ;
Mereka mencarikan pasangan yang sesuai bagi perkawinannya ;
Pada waktunya, mereka menyerahkan warisan kepadanya".
"O putra kepala keluarga, dengan lima cara ini hendaknya seorang majikan memperlakukan pelayan-pelayan dan karyawan- karyawannya :
Dengan memberikan pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka ;
Dengan memberi mereka makanan dan upah ;
Dengan merawat mereka apabila sakit ;
Dengan memberikan mereka kesenangan sekali sekali ;
Dengan  memberikan cuti pada waktu - waktu tertentu".
"O putra kepala keluarga, para pertapa dan Brahmana akan menunjukkan kasih sayang mereka kepada warga keluarga dalam enam cara ini :
Mereka mencegah ia berbuat jahat ;
Mereka menganjurkan ia berbuat baik ;
Mereka mencintainya dengan pikiran penuh kasih sayang ;
Mereka mengajarkan apa yang belum pernah didengarnya ;
Mereka menerangkan ajaran yang belum jelas kepadanya ;
Mereka menunjukkan ia jalan ke surga".
      (Digha  Nikaya III,   189  -   190)
Perbuatan ditimbulkan oleh pikiran, dan karena alasan inilah kejahatan hadir terlebih dahulu dalam pikiran. Oleh sebab itu, agama Buddha memandang kebencian, egoisme dan kehendak yang tak bermoral sebagai suatu hal yang salah, tanpa memperhatikan perbuatan yang mungkin dihasilkan atau tidak. Etika agama Buddha tidak didasarkan pada ketaatan terhadap seperangkat perintah, melainkan lebih didasarkan pada pengertian benar terhadap bahaya-bahaya dari keserakahan, kebencian dan ketidaktahuan ; dan pada nilai-nilai yang terkandung dalam cinta kasih, kasih sayang dan ketenangan hati. Dengan demikian, perkataan "baik" dan "jahat" dalam agama Buddha tidak mengandung pengertian rasa malu dan rasa bersalah seperti di dunia Barat. Sesungguhnya, Sang Buddha sering menghindari kata-kata "baik" dan "jahat", dan sebagai penggantinya memakai kata - kata "bermanfaat" dan "tidak bermanfaat" atau "menyenangkan" dan "tidak menyenangkan".

7. Masyarakat - Umat Buddha diajar untuk tidak tergantung pada kebiasaan, tradisi dan adat istiadat yang sewenang-wenang dalam masyarakat untuk mendapatkan kebenaran, kebahagiaan dan kesejahteraan ; juga hendaknya mereka tidak mengharapkan masyarakat mencarikan aturan etika. Namun, hal ini tidak berarti bersikap apatis sama sekali pada organisasi-organisasi kemasyarakatan. Sang Buddha tidak hanya mengajar­kan menentang ketidaksamaan sistem kasta, tetapi juga menentang kebiasaan perbudakan. 
Lebih dari dua ribu tahun yang lalu, umat Buddha telah mendirikan rumah-rumah sakit dan rumah peristirahatan, sementara itu, raja-raja Buddhis, atas nama agama mereka, mengalirkan air di rawa-rawa, membuat sumur-sumur dan melakukan serangkaian tindakan lain untuk kesejahteraan masyarakat.
Tentang hal melayani orang sakit, Sang Buddha pernah bersabda demikian : -
"O. para bhikkhu, barangsiapa bersedia merawat orang sakit, maka orang itu sama juga seperti merawat-Ku, menghormati diri-Ku dan menuruti nasehat-nasehatKu".   ( Vinaya Mahavagga )
Dan mengenai sistem kasta, Beliau juga bersabda demikian : -
"Bukan karena kelahiran, orang menjadi sampah masyarakat (vasala); dan bukan karena kelahiran orang menjadi mulia (brahmana). Tctapi, karena perbuatanlah orang menjadi vasala'; dan karena perbuatanlah orang menjadi brahmana".   (Sutta Nipata 136)
8. Psikologi - Karena semua ciptaan (sankhara) yang terbatas harus binasa, karena semua yang dilahirkan harus mati, maka dimana pun pada manusia tidak ditemukan jiwa yang kekal. Sebaliknya, agama Buddha menganggap personalitas manusia sebagai suatu perpaduan kelompok perasaan, persepsi ( ingatan ) dan bentuk-bentuk pikiran, yang semuanya bermanifestasi dengan latar belakang kesadaran. Satu-satunya yang dianggap sebagai yang kekal, yang tidak dilahirkan, tidak terbatas dan bukan pribadi adalah Nibbana.
9. Kematian - Jika tak ada jiwa, lalu apakah agama Buddha mengajarkan bahwa kematian adalah pengakhiran semua eksistensi kesadaran? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan "ya" atau "tidak" secara sederhana.
Sama sekali tidak benar bahwa agama Buddha mengajarkan penjelmaan kembali dan mengajarkan penghancuran secara mutlak. Namun, agama Buddha mengambil posisi di antara dua hal ekstrim itu. Sang Buddha dilahirkan sebagai seorang Hindu sebagaimana halnya Yesus dilahirkan sebagai seorang Yahudi. Di dalam agama Hindu, setiap bentuk yang sadar diang­gap mempunyai jiwa yang kekal dan tidak berubah. Tiap jiwa merupakan perwujudan Jiwa Semesta nan agung, yang disebut oleh orang Hindu sebagai Brahma atau Tuhan. Brahma, adalah Yang Mutlak, dasar dari segala sesuatu yang tercipta, dan tujuan akhir dari jiwa yang terbatas adalah kembali pada dan bersatu dengan Brahma. Penyatuan dengan Brahma adalah konsepsi Hindu tentang Nibbana, dan dicapai setelah melalui banyak penjelmaan. Dengan setiap kehidupan baru, jiwa itu mempelajari ajaran-ajaran baru, dosa-dosa dan menderita karena dosa- dosanya, kemudian menuju ke kehidupan berikutnya yang lebih baik daripada sebelumnya. Akhirnya, ia dibersihkan dari semua sifat mementingkan diri sendiri, mencapai Nibbana dan tidak lagi dilahirkan kembali. Penting bahwa kepercayaan Hindu mi dibedakan dengan posisi agama Buddha sebagai berikut :
Untuk menanggapi pertanyaan "Apakah yang akan terjadi pada diriku bila aku meninggal dunia?", Sang Buddha menjawab, "Apakah engkau itu?" Perkataan "aku" atau "diri" meliputi tidak hanya satu benda, melainkan banyak benda. Kematian, tentu saja, berarti penghentian seluruh fungsi jasmani. Lalu, apa yang terjadi atas pikiran kita? Dengan pengetahuan modern kita tentang neurofisiologi, ada masalah kecil bahwa kebanyakan, meski tidak semua, yang kita sebut kegiatan mental tergantung secara langsung pada pekerjaan-pekerjaan otak secara elektro- kimiawi. Bila otak berhenti berfungsi, maka perasaan, pencerapan, pikiran dan kesadaran berakhir.
Agama Buddha mengajarkan bahwa pikiran tanpa materi adalah kemustahilan ; jasmani merupakan pra-syarat bagi kesadaran. Tetapi, agama Buddha juga mengajarkan badan jasmani melulu tidaklah cukup. Ada aspek non-fisik dari jiwa manusia yang harus ada sebelum kesadaran dapat terjadi.
Pikiran (nama) dan badan jasmani (rupa) membentuk suatu hubungan yang saling bergantungan, bagaikan dua gabungan buluh yang tidak dapat berdiri sen­diri, tetapi berdiri saling bersandaran. Tanpa adanya komponen batiniah, badan jasmani tidak berkembang dan hidup subur, dan tanpa lapisan materi, tidaklah mungkin kesadaran terwujud.
Sebagai pengganti ajaran tentang jiwa yang tidak berubah dan mendiami badan jasmani terus menerus dan jiwa itu sendiri lepas dari badan jasmani, agama Buddha mengajarkan proses perubahan yang dinamis, yang perwujudannya ditentukan oleh dasar fisiknya. Ini seperti nyala korek api yang dipergunakan untuk menyulut lilin dan kemudian korek dipadamkan. Lalu, dengan lilin itu orang menyalakan lentera, dan lilin kemudian padam. Kita dapat bertanya : -Apakah api yang menyala pada lentera sama dengan api yang menyala pada korek api? Jawabnya dapat ya dan tidak. Demikian pula, Sang Buddha berkata bahwa ada dua pendapat yang ekstrim. Yang satu menyatakan bahwa bila orang meninggal, orang itu juga yang akan dilahirkan kembali ; dan pendapat ekstrim lain mengatakan bahwa setelah kematian, orang itu binasa untuk selamanya. Posisi agama Buddha ada di antara kedua pendapat itu.
Selanjutnya, Sang Buddha memperhatikan bahwa yang kita sebut pikiran atau diri itu berubah terus menerus dari detik ke detik, dan dari hari ke hari. Suasana hati, sikap, pendapat dan konsepsi yang ber-beda dan sering bertentangan terus menerus muncul dan jatuh pada titik kesadaran. Tidak satu pun yang merupakan diri yang sesungguhnya ; tentu saja, diri adalah keseluruhan dari semua itu. Atau juga, kepribadian seseorang pada umur empat tahun amat berbeda dengan kepribadian pada umur duabelas tahun, yang juga berbeda dengan kepribadian dari orang yang sama pada umur duapuluh tahun dan juga pada umur empatpuluh tahun. Seperti halnya dengan nyala api pada lentera, jiwa itu bukanlah orang yang sama, melainkan suatu proses perkembangan. Begitu juga, fenomena tumimbal lahir seperti yang diajarkan di dalam agama Buddha merupakan kelanjutan proses, bukan pemindahan suatu kesatuan atau zat.
Sebagaimana kebanyakan orang menempuh kehidupan, mereka dipengaruhi oleh keluarga, masyarakat dan ciri-ciri lain lingkungan mereka sedemikian rupa, sehingga mereka menjadi produk lingkungan mereka. Akibatnya, perkembangan pribadi mereka sebagian besar merupakan masalah kesempatan. Tujuan agama Buddha adalah menuntun dan mengarahkan evolusi pribadi seseorang, sehingga perkembangan tidak lagi secara kebetulan. Nibbana adalah tujuan akhir proses pematangan ini, dan dengan Nibbana tumimbal lahir berakhir.
"Bhante, apakah yang akan dilahirkan kembali?"
"Gabungan psiko-fisik, Baginda, adalah jawabannya".
"Tetapi, bagaimana, Bhante? Apakah gabungan psiko-fisik itu sama dengan gabungan psiko-fisik. yang sekarang ini?"
"Tidak, Baginda. Tetapi gabungan psiko-fisik yang sekarang ini menghasilkan kegiatan - kegiatan berdasarkan kehendak yang menurut karma bermanfaat dan tidak bermanfaat. Dan disebabkan oleh karma itulah gabungan psiko - fisik yang baru akan dilahirkan kembali".
(Milinda Panha 46)
Karma yang telah dihasilkan dalam satu masa kehidupan dan belum mewujudkan akibat- akibatnya pada waktu kematian akan bermanifestasi dalam kehidupan berikutnya, dan bahkan dapat menentukan waktu dan keadaan kelahiran yang baru. Jadi, keadaan yang seorang temukan pada dirinya adalah hasil pikiran dari perbuatan-perbuatannya dahulu. Perilakunya yang se­karang akan menentukan keadaannya nanti. Dengan demikian, manusia menciptakan nasibnya sendiri.
10. Pengetahuan dan Kecerdasan - Tentang hal ini, Sang Buddha bersabda : -
"Jika orang dapat menjadi suci hanya dengan mengubah pandangannya, jika dengan pengetahuan semata-mata ia dapat terbebas dari penderitaan, maka sesuatu yang lain daripada Jalan Utama berfaktor delapan membuat suci dan mengakhiri penderitaan. Namun, hal ini tidaklah mungkin". (Sutta  Nipata 789)
Pengertian mengenai hanya beberapa fakta yang penting diperlukan bagi kebebasan. Orang dapat terus tanpa batas memperoleh fakta-fakta, akan tetapi tak pernah memperoleh pengertian yang akan membawa ke Nibbana. Jadi, pengetahuan tentang diri sendiri lebih penting daripada pengetahuan mengenai dunia. Sang Buddha bersabda : -
"Magandiya, bukan karena pandangan-pandangan, tradisi, pengetahuan semata atau pun karena kebajikan dan kepandaian, maka kesucian dapat dicapai. Bukan juga tanpa pandangan-pandangan, tanpa tradisi, tanpa pengetahuan, tanpa kebajikan maupun kepandaian, bahwasanya kesucian itu dapat dicapai". (Sutta Nipata 839)
Kecerdasan, seperti ilmu pengetahuan, adalah dipandang sebagai alat yang berharga, suatu cara untuk mencapai suatu tujuan tetapi bukanlah tujuan akhir itu sendiri. Daiam analisa akhir, kenyataan mengatasi pengertian manusia normal dan dengan begitu salah satu pencapaian tertinggi kecerdasan terlihat apabila ia menunjuk di luar dirinya pada kenyataan.
11. Disiplin- Sang Buddha bersabda :
"Walaupun orang dapat menaklukkan ribuan musuh di medan perang, ia tidak lebih agung daripada orang yang dapat menaklukkan diri sendiri (Dhammapada  103)
Disiplin amatlah penting. Hanya melalui disiplin diri yang teguh, kata Sang Buddha, orang dapat meng­atasi hawa nafsu dan kemalasan, dan akhirnya dapat mencapai Nibbana. Namun, sekalipun orang harus menyucikan dirinya, ia tidak dapat membawa dirinya menuju Nibbana, karena Nibbana di luar bidang upaya manusia yang terbatas. Nibbana akan bermanifestasi dengan sendirinya bila orang pada akhirnya menentukan kondisi yang merupakan prasyarat. Juga, di sini kita akan mengutip ucapan Sang Buddha : -
"Ia yang tidak bangun pada saal ia harus bangun, yang meskipun muda dan kual, tetapi pcnuli ke­malasan, yang kemauan dan pikirannya lomah, maka orang yang malas seperti itu tidak akan menemukan jalan menuju kebijaksanaan". (Dhammapada 280)
12. Sebagai Adat atau Kebiasaan - Agama Buddha menempatkan dirinya sebagai kelompok penting yang, jika dipahami dengan baik, dapat menjadi besar nilainya bagi hampir setiap manusia. Penting bahwa ajaran ini dijadikan adat dan bagian asli masyarakat, karena tak ada jalan lain bahwa ajaran ini dapat menjangkau semua tingkat umat manusia dan juga berlaku terus bagi banyak generasi. Di samping itu, jika ajaran demikian tidak ada, maka ideologi-ideologi yang tidak toleran, ketahyulan dan ilmu agama yang keliru akan terpaksa muncul untuk memenuhi kebutuhan spiritual suatu kebudayaan tertentu. Pada suatu ketika, Sang Buddha bersabda : -
"Terbebaslah Aku, O para bhikkhu, dari ikatan manusia maupun dewa. Kalian juga terbebas dari belenggu manusia dan dewa. Berkelanalah demi kesejahteraan dan kebahagiaan orang banyak, atas dasar kasih sayang terhadap dunia ; untuk keberuntungan, kesejahteraan dan kebaha- giaan para dewa dan manusia. Babarkanlah Dhamma yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan dan indah pada akhirnya, baik dalam isi maupun bahasanya. O para bhikkhu, babarkanlah kehidupan suci (brahmacariya) yang sempurna".  (Samyutta  Nikaya I,  105)
Sebaliknya, sekali seseorang berhubungan dengan agama Buddha sebagai adat istiadat dan bekerja untuk tujuan ini sebagai alasan utama baginya, maka ia akan kehilangan pandangan tentang fakta bahwa kesunyataan bersifat universal. Perkataan "agama Buddha" atau "Buddhisme" hanyalah lambang yang menggambarkan keyakinan dan konsep tertentu. Kenyataan ini dapat juga sama-sama diwakili oleh kata, adat istiadat atau lambang tertentu lainnya. Sekali kita berprasangka terhadap agama Buddha, kita berhenti menjadi umat Buddha dalam arti kata yang sesungguhnya. Setiap umat Buddha memiliki kesempatan untuk memberikan pengetahuannya kepada orang lain. Sebenarnya, ia tidak perlu memberikannya kepada orang lain dengan nama agama Buddha, tetapi berbuat demikian membantu menjamin perwujudan pengetahuan ini sehingga memberi kesempatan bagi orang lain untuk mencapainya. Dalam Digha Nikaya I, Sang Buddha menegaskan demikian : -
"O para bhikkhu, bilamana orang lain berbicara menentang diri-Ku, menentang Dhamma atau menentang Sahgha, kalian tidak perlu mempunyai pikiran jahat dan dendam atau pun menjadi sakit hati terhadap mereka karena hal itu. Jika kalian menyimpan kebencian dalam hati, hal itu tidak hanya akan menghalangi kemajuan batin kalian, tetapi kalian juga akan gagal mempertimbangkan seberapa jauh ucapan itu benar atau salah.
Tetapi juga, O para bhikkhu, jika orang lain ber­bicara memuji diri-Ku, memuji Dhamma atau memuji Sangha, kalian tidak perlu bersuka cita, karena hal itu pun akan merusak kemajuan batin kalian. Kalian harus mengakui apa yang benar dan membuktikan kebenaran dari apa yang telah diucapkan".
Tentang kebanggaannya, agama Buddha dapat me­negaskan bahwa dalam sejarahnya selama dua ribu lima ratus tahun belum pernah membinasakan seorang wanita penyihir atau pun mengobarkan Perang Suci, dan juga tidak mempunyai contoh kejadian tentang pengejaran terhadap mereka yang menyimpang dari ajarannya.
Meski demikian, tidak ada agama yang dapat bertahan lama di tengah jutaan manusia tanpa mengalami perubahan dan penyimpangan. Doa-doa yang meminta, pemujaan area dan persembahan kepada Sang Buddha merupakan contoh-contoh tentang hal ini. Juga, umat Buddha belakangan ini, terutama di Cina dan Jepang, menciptakan banyak legenda tentang Sang Buddha dan ajaran-ajaranNya. Nibbana diganti dengan surga nan agung tempat Sang Buddha duduk di atas tahta-Nya, dan kepercayaan menempati kedudukan lebih penting daripada pengertian.
SEBAGAI CARA HIDUP
Aspek kehidupan manusia yang paling mendasar dan penting bukanlah kepercayaan, kedudukan sosial, kecerdasan dan bukan pula harta benda ; melainkan, aspek itu adalah motif-motif, emosi-emosi, perasaan-perasaan. Hampir menurut definisi, aspek itu adalah perasaan, dan perasaan itu sendiri yang memberi arti, nilai, makna dan maksud pada setiap perbuatan dan pertemuan kita. Tanpa perasaan atau motif tidak ada perangsang bagi orang untuk berpikir, berbicara atau berbuat; kehidupan akan menjadi apatis terus menerus. Namun, perasaan tertentu lebih menguntungkan, bermanfaat dan berarti daripada lainnya. Juga, amat sering perasaan (baik mental maupun fisik) tidak menyenangkan, hampa, sedih, tidak seimbang, khawatir, merangsang, mengecewakan atau dalam beberapa cara bernilai negatif ; dengan kata lain, dukkha.
Maka, Sang Buddha mengikhtisarkan ajaran-Nya dalam Empat Kesunyataan Mulia : -
Dukkha atau penderitaan, dalam segala macam bentuknya adalah aspek eksistensi kesadaran yang berpautan dan universal.
Sebab dukkha ini adalah keinginan atau nafsu. (keinginan dalam pengertian ini jangan dikacaukan dengan pengakuan semata terhadap peng-alaman yang menyenangkan atau membahagia-kan. Pengakuan maupun penerimaan terhadap pengalaman demikian bukanlah tak bermanfaat; namun, bahaya timbul dari kemelekatan pada pengalaman- pengalaman demikian.
Ada akhir dukkha yang dapat dicapai oleh setiap orang.
Akhir dukkha ini dicapai dengan melaksanakan Delapan Jalan Utama.
Perlu ditekankan bahwa Delapan Jalan Utama ini bukanlah terdiri atas delapan buah jalan, yang harus diikuti satu demi satu atau dilaksanakan secara terpisah. Delapan Jalan Utama ini sebenarnya adalah satu jalan yang mempunyai delapan faktor di dalamnya. Karenanya, kedelapan faktor itu harus dilekasanakan secara serentak dan selaras sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Delapan Jalan Utama tersebut terdiri atas : -

Pandangan Benar : yaitu pengembangan dan penerapan intelektual sendiri guna memahami dan memecahkan masalah - masalah egoisme dan penderitaan. 
Pikiran Benar : yaitu pikiran yang bebas dari hawa nafsu, bebas dari itikad jahat dan bebas dari kekejaman. 
Ucapan Benar : yaitu menghindari kebohongan, memfitnah, ucapan kasar dan omong kosong. 
Perbuatan Benar : yaitu menjauhkan diri dari pembunuhan, pencurian, minuman yang memabukkan dan perzinahan (Bagi para bhikkhu diharapkan hidup membujang ; bagi umat awam dianjurkan untuk menghindari perbuatan zinah atau hubungan seksual yang tidak patut). 
Penghidupan Benar, yaitu menghindarkan setiap pekerjaan yang menjurus kepada tindakan yang berbahaya dan tidak dikehendaki, seperti perdagangan minum-minuman keras, perbudakan atau penjualan senjata untuk pembunuhan. 
Usaha Benar : mengusahakan kemauan serta disiplin untuk mengembangkan keadaan batin yang baik serta mengatsi keadaan batin yang tidak baik. 
Perhatian Benar : ini mungkin merupakan aspek terpenting dan terdalam bagi porkembangan batin umat Buddha, yang meliputi bermacam-macam latihan meditasi dan teknik kejiwaan yang berbeda-beda. Latihan dan teknik tersebut berbeda-beda menurut kebutuhan batin dan bentuk kepribadian seseorang, yang meiiputi pengembangan kesadaran akan motif serta dp-rongan yang tidak disadari. 
Konsentrasi Benar : melatih pikiran agar tetap terpusat pada obyek tunggal dan tidak mengembara dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain.
Langkah-langkah tersebut tidak dapat dicapai sesaat, namun dikerjakan dengan kematangan kerpibadian sendiri secara serentak. Tidak seorang pun mencapai Nibbana dalam semalam, dan memaksa diri secara kaku melepaskan semua usaha keduniawian sebelum cakap melakukan tindakan demikian sama bahayanya seperti melekat pada pemuasan nafsu secara berlebihan.   Dalam sabda Sang Buddha disebutkan : -
"O para bhikkhu, seperti halnya lautan yang-luas mendalam dan melandai sedikit demi sedikit, lubang demi lubang, tidak mendadak terjun ke dalam karang yang curam ; demikian pula, para bhikkhu, latihan dalam disiplin Dhamma ini ada­lah bertahap dan berjalan setapak demi setapak; tidak ada penembusan pengertian secara tiba -tiba".    (Udana 54)
"Dengan latihan berangsur - angsur, dari saat ke saat dan sedikit demi sedikit, hendaklah orang bijaksana membebaskan dan membersihkan noda-noda yang ada dalam dirinya, bagaikan pandai emas membersihkan perak yang berkarat". (Dhammapada   239)
"Orang bijaksana akan meluruskan pikiran yang goyah dan tidak tetap ; yang sulit dijaga dan sulit dikuasai, bagai seorang pembuat panah me­luruskan anak panah".
“Pikiran ini selalu menggelepar, bagai seekor ikan dikeluarkan dari dalam air dan dilemparkan ke atas tanah. Karena itu, kekuasaan Mara harus dihancurkan".
"Mengawasi pikiran yang sukar dikendalikan, binal dan mengembara sesuka hatinya itu adalah baik. Pikiran yang telah dijinakkan akan memberikan kebahagiaan".
(Dhammapada 33-35)

BUDDHA DHAMMA vs DOGMA
Dr, Douglas M. Burns
Yayasan Dhammadipa Arama. 1982