Jumat, 02 Agustus 2013

Orangtua dan Anak



Orangtua dan Anak
Ven. NARADA Maha Thera
Orangtua
Ada empat ladang tempat berbuat kebajikan”,
kata Sang Buddha. Yaitu       :    1. Sang Buddha,
                                                    2. Para Arahat,
                                                    3. Ibu, dan
                                                    4. Ayah.
Para Buddha adalah kusuma kemanusiaan. Jarang sekali mereka muncul di dunia ini. Hanya pada masa adanya Bud­dha maka murid-murid suci bermunculan. Tetapi ibu yang baik serta ayah pencinta biasanya terdapat di setiap rumah. Biasanya mereka dengan mudah dan gampang sekali dijadikan ladang pembuatan jasa dan rasa terima kasih dari anak- anaknya.
Walaupun hanya sedikit ditanamkan pada ladang yang subur ini, akan memberikan hasil yang melimpah.
Sungguh berbahagia sekali bagi anak-anak yang mendapat berkah untuk dapat bersama-sama dengan orangtua mereka, sehingga mereka dapat menunjukkan rasa cinta dan terima kasih kepada mereka.
Menurut Sang Buddha, anak-anak sangat berhutang budi sekali kepada orangtua mereka, sehingga anak-anak tak dapat membalas jasa-jasa beliau-beliau tersebut, walaupun mereka memikul ayah dan ibu di kedua bahu mereka, serta memberi­kan dan melayani semua kebutuhan mereka selama seratus tahun. Anak-anak tetap tak dapat membayar atau membalas jasa-jasa mereka, walaupun anak-anak memberikan permata setumpuk setinggi pinggang serta memberikan semua kesenangan di dunia ini.
Dalam kitab-kitab kuno juga dipuji kedudukan orangtua dengan mengatakan bahwa seorang guru agama adalah seban­ding dengan sepuluh guru biasa, ayah sebanding dengan se­ratus guru agama, sedangkan ibu adalah sebanding dengan seribu ayah.
Mengapa orangtua sangat dipuji-puji oleh para guru-guru yang lampau, hal itu dapatlah kita maklumi. Alasannya tak sulit dicari. Orangtua yang baik memberikan miliknya yang paling baik kepada anak-anaknya. Mereka melupakan diri mereka, dan hanya memperhatikan kesenangan dan kebahagiaan anak-anak saja. Mereka dengan mudah menghabiskan harta yang mereka peroleh dengan susah payah demi pendi­dikan anak-anak mereka.
Kesenangan orangtua hanya bilamana melihat anak-anaknya maju, hidup damai dan bahagia. Pada waktu untuk pertama kali melahirkan ibu menderita sekali dan tak mempedulikan nyawanya. Ibu membesarkan anak-anaknya dengan darahnya. Tanpa istirahat di malam hari untuk menjaga anaknya. Tak dapat dibayangkan penderitaan yang dialaminya sewaktu me­melihara anaknya. Ibu menderita sakit bila anaknya sakit. Bila anak bahagia merekapun turut bahagia. Anak-anak adalah bahagian dari hidup para ibu. Anak-anak adalah harta me­reka yang tak ternilai harganya. Anak-anak adalah merupakan sumber suka-duka mereka. Tanpa anak-anak mereka kesepi­an, sedih dan menderita.
Sekarang, apakah ada cara untuk membalas jasa-jasa orangtua yang tercinta itu? Ya, ada. Yaitu dengan mencegah mereka berbuat kejahatan, menganjurkan mereka berbuat kebaikan dan bersusila, dan menjadi teladan untuk hidup yang baik. Anak-anak bukan hanya melayani dan memberikan kesenangan materi saja, tetapi juga harus memberikan kesenangan batin atau rohaniah pula.
Sebab itu, O anak-anak yang baik, jadilah anak yang dengar kata dan patuh kepada orangtua yang sangat berharga sekali pada kehidupan kita ini. Hormatilah mereka setiap hari seperti yang telah dilakukan oleh Raja Aggabodhi pada masa yang lampau. Perhatikanlah kemauan mereka dan janganlah melukai hati mereka. Bahagiakanlah dan jangan menyakiti mereka. Jagalah kehormatan nama orangtua dengan kita ber­sikap susila dan mulia. Tunjukkanlah bahwa kau adalah anak yang patut dibanggakan oleh orangtuamu, apalagi di masa mereka telah tiada. Janganlah merusak nama mereka walau­pun mereka telah meninggal dunia.

Kasih Sayang Ayah
Anak-anak sering tak menyadari betapa besar kasih sayang dan pengorbanan yang telah ditujukan kepada mereka dan telah di­laksanakan oleh orangtua mereka.
Telah merupakan hukum bahwa cinta orangtua adalah lebih besar daripada cinta anak-anak kepada orangtua. Ya, kita tak dapat mengharapkan cinta kasih anak-anak yang belum dewasa harus sama dengan orangtua yang telah ber­pengalaman itu. Bila mereka telah menjadi orangtua, mung­kin sekali mereka belum dapat menyadari dengan baik apa cinta orangtua itu. Di bawah ini diuraikan sebuah gambaran tentang hal tersebut di atas.
Pangeran Ajatasattu karena dibujuk oleh Devadatta, men­coba membunuh ayahnya Raja Bimbisara agar supaya dapat naik tahta. Pangeran yang malang itu tertangkap dan diborgol. Ayahnya yang penyayang, bukannya menghukum dia karena telah melakukan perbuatan keji, malah memberikan tahtanya kepada anaknya.
Anak yang tak berbudi ini menunjukkan rasa terima kasihnya dengan memenjarakan ayahnya supaya mati kelaparan. Hanya ibunya yang mendapat izin untuk menengok ayah­nya setiap hari di penjara. Ratu yang baik ini membawa ma­kanan dengan menyembunyikannya dalam kain ikat ping­gang. Ketika hal ini diketahui, Pangeran (anaknya) melarang ibunya berbuat begitu. Ratu tetap membawa makanan yang disembunyikan di bawah konde rambut. Pangeran menge­tahui dan melarangnya pula. Akhirnya Ratu mandi dengan air harum dan mengoleskan tubuhnya dengan adonan madu, mentega, keju dan gula. Raja menjilati tubuh isterinya demi mempertahankan hidupnya. Tetapi akhirnya Pangeran yang kejam mengetahui hal ini pula, lalu ia sama sekali melarang ibunya untuk berkunjung ke penjara.
Raja Bimbisara walaupun tak makan, beliau ber-cangkamana (meditasi dengan cara berjalan bolak-balik) menikmati kebahagiaan batin, karena ia adalah seorang Sotapana. Tetapi anaknya yang biadab dan keji ini memutuskan untuk meng­akhiri hidup dari ayahnya yang malang itu. Dengan tanpa belas kasihan ia memerintahkan tukang cukur istana untuk mengiris telapak kaki ayahnya serta mengolesnya dengan garam dan minyak, setelah itu memanaskannya dengan bara. Sang Raja ketika melihat tukang cukur datang, berpikir bahwa anaknya telah menyadari kebodohannya maka me­ngirimkan tukang cukur untuk mencukur rambut dan jenggotnya setelah itu ia dibebaskan. Tetapi perkiraannya adalah salah sama sekali, karena ia malahan akan mati dengan cara yang sangat menyedihkan.
Tukang cukur dengan kejamnya melaksanakan perintah dari pengeran yang buas tersebut. Raja yang baik meninggal. Pada saat itu pula seorang bayi telah lahir bagi raja Ajatasattu. Berita tentang kematian dan kelahiran tiba di istana bersamaan waktunya. Berita kelahiran yang dibacakan lebih dahulu. O, tak terlukiskan betapa besar cinta kasih muncul dan diberikan pada anaknya yang pertama. Tubuhnya ber­getar, perasaan cintanya menembus sampai ke sumsum tulangnya.
Tiba-tiba ia lari dan berteriak: ’’Bebaskan ayahku tercinta dengan cepat !”
Tetapi ayahnya telah menutup mata untuk selama-lama­nya.
Surat yang kedua diberikan kepadanya. Segera ia lari mendapatkan ibu yang tercinta dan bertanya: ’’Ibuku, apa­kah ayah mencintaiku ketika aku masih kecil ?”
”Apa yang kau katakan, anakku ! Sewaktu kau masih dalam kandunganku, aku merasa ingin sekali menghisap darah dari tangan kanan ayahmu, tetapi hal ini tak berani kukata­kan. Akibatnya aku menjadi pucat dan kuras. Akhirnya aku dibujuk untuk mengatakan keinginanku yang jelek tersebut. Dengan gembira dan senang ayahmu mengabulkan keinginanku, dan aku mengisap darah yang menjijikkan tersebut. Tukang ramal mengatakan bahwa kau akan menjadi musuh ayahmu. Sebab itulah kau dinamakan AJATASATTU, musuh yang belum lahir. Aku mau menggugurkan, tetapi ayahmu mencegah perbuatan tersebut. Setelah kau Lahir, aku mau membunuhmu, tetapi ayahmu melarangku pula. Pada suatu ketika kau menderita bisul di tanganmu, anakku, tak seorangpun yang dapat membujukmu supaya tidur. Tetapi ayahmu yang lagi sibuk dengan tugas-tugasnya di istana, memeluk dan meletakkan kau di pangkuannya, serta dengan hati-hati sekali ia mengisap bisulmu. O, di dalam mulutnya bisulmu pecah. O, anakku, nanah dan darah ! Ya, ayahmu menelannya, ka­rena cinta dan sayangnya padamu.”
Ajatasattu menangis tersedu-sedu.
Anak-anak, dapatkah kamu membayangkan perasaannya?                             
Sudah merupakan kenyataan bahwa orangtua mengerti semua keadaan anak-anaknya, sebab merekapun telah melalui masa-masa yang demikian pula. Inilah yang menyebabkan mengapa mereka bersikap simpatik dan baik terhadap ke­salahan-kesalahan anak-anak. Mereka selalu siap sedia untuk bersabar dan memaafkan kesalahan-kesalahan anak-anak. Di­sadari atau tidak anak-anak dapat melukai perasaan mereka.
Karena salah mengerti anak-anak dapat bersikap bermusuhan dengan mereka. Juga karena masih kekanak-kanakan maka anak-anak tak sabar dan dapat menyusahkan mereka. Karena masih kurang bijaksana anak-anak sering melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak orangtuanya demi ke­bahagiaan dan kesenangan mereka sendiri. Walaupun mereka bersalah, lupa bahkan agak keterlaluan terhadap orangtua, tapi orangtua yang simpatik tetap memaafkan dan menerima mereka. Dalam kemalangan, tanpa diminta mereka akan datang dan dengan segera memberikan pertolongan. Bila kita menjadi kesal mereka akan segera memberikan hiburan. Demikianlah kebajikan dan keagungan orangtua.
Tetapi dapatkah anak-anak mengerti perasaan dan tanggung jawab dari ayah-ibu terhadap mereka ? Tidak dapat, karena mereka belum mencapai tingkat tersebut. Hanya ayah dan ibulah yang sungguh-sungguh mengerti apa sebenarnya rasa cinta-kasih orangtua itu.
Ajatasattu adalah contoh yang tepat.
Sebagai anak, semoga dapat melaksanakan kewajiban dengan baik.

Kasih Sayang Ibu
Dalam Sonadanda Jataka, Sang Bodhisatta mengumandangkan kebajikan seorang ibu dalam uraian yang berikut ini :
’’Dengan kasih dan sayang ia menjadi pelindung kami, membesarkan kami dengan susunya.
Ibu adalah jalan ke surga, dia sangat pengasih, ia merawat dan memelihara kami dengan penuh pengertian, ia dikaruniai de­ngan kerelaan.
ibu adalah jalan ke surga, dan dialah yang sangat mencintai kami.
Karena mendambakan anak ia selalu berlutut, sembahyang di depan cetiya.
Memperhatikan perubahan musim dan mempelajari per­edaran masa, selama hamil ia mendambakan kehalusan.
Dan segera bayi yang masih dalam kandungan mulai me­ngetahui kawan yang mencintainya.
Selama setahun atau kurang ia menjaga dengan hati-hati hartanya.
Kemudian terlahirlah ia dan sejak itu ia memakai nama ke­luarganya.
Dengan susu dan senandung ia membelai anak yang gelisah. Diselimuti oleh pelukan tangan ibu yang hangat kesusahan­nya lenyap.
Ibu menjaga bayi yang belum mengetahui apa-apa ini dari gangguan angin dan panas.
Ia bagaikan jururawat yang mengasuh anaknya.
Apapun yang ia butuhkan, ibu akan berusaha dan sedapat mungkin memenuhinya.
Ibu mendoakan: ’’Semoga anakku berbahagia kelak. ”
Hai anakku sayang, buatlah ini dan itu, kata ibu dengan pengharapan.
Tetapi ketika ia telah dewasa ibu mengeluh dan bersedih :
Ia pergi dengan sembarangan mengganggu isteri orang lain di malam hari. Sedangkan ibu dengan penuh kekhawatiran dan takut bertanya-tanya dalam hatinya:
’’Mengapa ia belum kembali selarut malam ini ?”
Karena bilamana seseorang telah diliputi oleh kenekadan maka ibunya dilupakan. Sedangkan Sang Ibu, demi untuk melenyapkan kekhawatirannya berdoa untuk masa depan­nya, tetapi jelas penderitaan nerakalah pahala bagi anak yang berbuat demikian itu.
Demikianlah mereka yang sangat mencintai kekayaan de­ngan amat sangat, kelak kekayaan itu segera akan lenyap. Seseorang yang melupakan ibunya, pasti akan menyesali­nya nanti.
Seseorang yang melupakan ayahnya, pasti akan menyesali­nya nanti.
Hadiah, kata-kata lemah lembut, melakukan perbuatan- perbuatan baik dan terpuji serta ketenangan batin terpe­lihara pada waktu dan kondisi yang tepat. Kebajikan- kebajikan ini merupakan poros bagi roda, dalam dunia ini.
Bila hal-hal ini tiada, maka nama keluarga akan terbawa- bawa oleh anaknya.
Ibu bagaikan ratu yang harus dihormati dan dimahkotai.
Para bijaksana menekankan bahwa mereka yang berbuat demikian adalah orang yang bajik.
Demikianlah, orangtua adalah mutlak bagi semua pujian. Kedudukan mereka haruslah begitu adanya.
Sejak dari dahulu kala orangtua dipanggil sebagai ’’Brahma”. Sungguh agung sijat mereka.
Orangtua yang baik wajib menerima semua penghormatan anak-anaknya.
Ia yang bijaksana akan menghormati orangtua dengan pe­layanan baik dan sungguh-sungguh. Ia harus memberikan makanan, minuman, tempat tinggal dan pengobatan kepada mereka. Harus memandikan, menggosok mereka dengan minyak, serta dengan penuh kepatuhan membasuh kaki-kaki mereka.
Kebajikan yang demikianlah sangat dipujikan dan dianjurkan oleh para bijaksana.
Selagi dalam dunia ini; maupun setelah mati, terlahir di alam surga yang penuh kesenangan.”
(Jataka Translation Vol. v. pp. 173, 174.)
’’Siapakah kawan terbaik di rumah ?” tanya dewata ke­pada Sang Buddha.
’’Ibu adalah kawan terbaik di rumah !” jawab Sang Buddha.

Kewajiban Orangtua
Kewajiban orangtua adalah berusaha me­ngembangkan kesejahteraan anak-anaknya. Dalam kenyataan orangtua yang pencinta dan baik selalu siap sedia melakukan kewajiban-kewajiban mereka dengan senang. Walaupun sering pula ada ’’anak-anak tak berbakti” melupakan pengorbanan yang telah diderita oleh orangtua karena kasih sayang mereka, dan menolak kenyataan, tak mempedulikan kewajiban mereka se­bagai anak, namun demikian orangtua dengan sedikit penye­salan selalu berusaha memenuhi kebutuhan anak-anaknya, bukan hanya selama anak-anak masih dalam asuhan saja te­tapi juga setelah mereka berumah-tangga pula.
Selama dalam kandungan, setelah lahir, sampai mereka kawin, orangtua membesarkan mereka dengan sungguh-sungguh dan berusaha untuk menjadikan mereka anak-anak yang berguna.
Orangtua sangat menginginkan anaknya menjadi orang yang berguna atau terpandang. Orangtua akan gembira bila anak-anak melampaui mereka. Mereka akan kecewa bilamana anak-anak malahan hidup lebih rendah daripada keadaan me­reka. Untuk membimbing anak-anak pada jalan yang benar, maka orangtua memberikan contoh dan suri-tauladan yang benar juga. Adalah sulit sekali mengharapkan anak-anak yang baik dari orangtua yang tidak baik. Selain kecenderungan karma yang dimiliki anak sebagai akibat karma pada kehidup­an yang lampau, mereka juga memiliki warisan dari keburuk- an dan kebajikan dari orangtuanya pula. Orangtua yang ber­tanggung jawab harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak mewariskan sifat-sifat yang tidak diinginkannya kepada anak-anaknya.
Menurut Sigalovada Sutta, ada lima kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orangtua :
1.        Berusaha untuk menghindarkan anak-anak dari kejahatan.
Rumah adalah sekolah yang pertama, dan orangtua adalah guru yang pertama pula bagi anak-anak. Biasanya anak-anak mendapat pendidikan dasar tentang baik dan buruk dari orangtua mereka. Tidaklah bijaksana orangtua yang secara langsung maupun tidak langsung mengajarkan ajaran-ajaran dasar untuk berdusta, menipu, tak jujur, memaki, balas den­dam, ketakutan dan seterusnya kepada anak-anak mereka selagi mereka masih kanak-kanak. Apakah ayah atau ibu yang bertanggung jawab untuk mengajarkan hal-hal yang buruk tersebut pada anak-anak mereka yang masih bodoh itu, orangtua sendirilah yang harus memutuskannya.
Orangtua harus bertingkah laku yang sesuai agar supaya anak-anaknya patuh pada mereka. Orangtua jangan sekali- kali membohongi anak-anaknya. Anak-anak harus dilatih berlaku sabar untuk memenuhi keinginan mereka. Orangtua harus bersikap cepat agar supaya apa yang anak-anak butuh­kan telah dipenuhi sebelum mereka memintanya. Kadang- kadang orangtua melakukan kesalahan besar dengan mem­bohongi tentang apa yang mereka miliki. Tetapi adakalanya hal yang dimintakan oleh anak tadi, malahan diberikan kepada anaknya yang lain. Walaupun pemberian tersebut di­sertai dengan pesan. Maka akibatnya anak yang meminta tadi telah mendapatkan pelajaran tentang kebohongan dan pe­nipuan untuk pertama kalinya. Akhirnya mereka menjadi p andai dengan sifat-sifat buruk, yang mereka contohi dari guru pertama mereka tersebut.
Bagaimanakah dengan balas-dendam ? Hal ini juga kadang-kadang dipelajari di rumah, dan sering dari ibu yang me­nyayanginya pula. Anak yang terguling di lantai, dan me­nangis. Ibu buru-buru datang, membangkitkan anak, membe­lainya dan memukul lantai sebagai pembalasan.
Anak-anak tak boleh dibesarkan dengan ketakutan. Tidak berbahaya bila anak menangis sedikit, tetapi tangisan sebaik­nya jangan dihentikan dengan menakut-nakutinya.
Penurut, menghormat dan rendah hati sebaiknya dipisah­kan dari ketakutan yang tak beralasan. Menurut Sang Bud- dha, ketakutan adalah salah satu dari pasukan Mara, si jahat. Kita harus takut pada kejahatan tetapi bukan takut kepada orang. Karena ketakutan yang tak beralasan dan tak perlu ini maka anak-anak menjadi lemah, dan secara tak langsung telah mengembangkan ”rasa rendah diri”. Mereka takut tempat- tempat gelap dan hal-hal yang tak jelas. Mereka takut sendiri­an dan pergi sendiri.
Sebaiknya mereka membaca ceritera-ceritera Jataka Pa­ngeran Pancayudha, Raja Dutugemunu, Puteri Vihara Mahadevi dan yang lainnya.
Pangeran Pancayudha yang berumur enambelas tahun, tidak takut berkelahi dengan setan kejam dan jahat. Ketika Pangeran disarankan untuk tidak melalui hutan yang didiami oleh setan ini; ia menjawab, ’baiklah, kita mati hanya sekali’. Ia berjalan melalui hutan tersebut, tanpa gentar dan dapat mengalahkan setan tersebut pula.
Seorang puteri muda bernama Vihara Mahadevi, dengan rela mengorbankan hidupnya demi anaknya.
Ibu pemberani inilah yang telah melahirkan seorang anak heroik bernama Dutugemunu.
Bilamana seorang anak berbuat salah, ia harus dikoreksi dengan segera pada waktu yang tepat. Adalah tidak tepat me­malukan anak di muka umum. Seringkali anak-anak menjadi lebih bersikap kepala batu dan membantah di tempat umum. Sesungguhnya semua anak-anak adalah baik. Sifat-sifat me­reka harus dipelajari dahulu, dan nasihat yang cocok harus di­berikan. Kadang-kadang hanya dengan beberapa kata saja telah dapat merubah mereka.
Dalam ceritera Jataka disebutkan bahwa ada seorang raja mempunyai anak yang amat jahat dan ganas. Ia dibawa ke­pada seorang petapa yang tinggal di kebun kerajaan. Lalu pe­tapa tersebut berjalan-jalan bersama pangeran di kebun itu. Setelah melihat pohon Nimba yang tingginya kira-kira dua kaki dan hanya berdaun satu atau dua saja, lalu pangeran menanyakan apakah nama pohon itu. Petapa yang bijaksana itu menyuruh mencoba untuk memakannya. Kepahitan ka­rena rasa tak enak dari daun Nimba, maka ia segera menyu­ruh merusaknya, dengan berpikir bahwa bila pohon kecil ini sudah pahit, bagaimana pula pahitnya bila pohon kecil ini kelak tumbuh menjadi besar. ’’Cabutlah pohon itu !”, teriak­nya. ’’Tunggu sedikit, O pangeran,” kata petapa. ’’Orang-orang menilai anda juga demikian. Bila anda sebagai pangeran telah jahat dan ganas, maka apakah yang terjadi bila anda telah menjadi raja ?”
Pangeran memperhatikan betul-betul hal ini. Dan karena be­berapa kata nasihat saja ia telah berubah sama sekali.
2.        Mengajarkan mereka untuk berbuat baik.
Orangtua adalah guru di rumah, guru-guru adalah orang- tua di sekolah. Orangtua dan guru adalah bertanggung jawab untuk masa depan anak-anak agar hidup sesuai dengan apa yang mereka ajarkan. Demikianlah dan begitulah mereka nanti, seperti apa yang diajarkan pada mereka. Mereka duduk di atas kaki orangtua sewaktu mereka masih kecil. Mereka menerima apa yang diberikan. Mereka mengikuti setiap langkah orangtua. Mereka dipengaruhi oleh pikiran, ucapan dan perbuatan orangtuanya. Demikianlah kewajiban orangtua untuk menempatkan mereka pada tempat yang sesuai di rumah maupun di sekolah.
Anak-anak sebaiknya tidak ditinggalkan di bawah asuhan pengasuh atau pembantu yang bodoh. Adalah tak dibesar- besarkan untuk mengatakan bahwa sering anak-anak lebih terikat atau dekat pada pengasuh mereka daripada orangtua­nya sendiri. Hal-hal seperti ini harus diperhatikan oleh orang­tua untuk mengatasinya.
Kesederhanaan, patuh, keijasama, bersatu, berani, rela berkorban, jujur, lurus, melayani, bijaksana, baik, rajin, puas, bersikap baik, taat pada agama, dan sifat-sifat kebajikan lain- nya, sebaiknya diajarkan kepada anak-anak dengan cara-cara yang mudah dimengerti. Bibit yang ditanamkan dengan baik akan tumbuh menjadi pohon berbuah banyak.
Sebaiknya merekapun diajarkan untuk melaksanakan dasar-dasar dari Pancasila.
Dengan melaksanakan sila pertama tidak membunuh, me­reka telah membangkitkan rasa kasih-sayang dan tak kejam. Mereka mulai mengetahui apa maknanya hidup ini.
Sila kedua adalah tak mencuri, membangkitkan rasa jujur dan lurus. Demikian juga untuk tidak mencuri mainan- mainan pun sebaiknya diajarkan pula. Membawa anak-anak ke pacuan kuda dan lain-lain adalah perbuatan buruk lain yang dapat mengakibatkan penderitaan dan hal-hal yang tak terduga nanti.
Sila ketiga berkenaan dengan moral yang baik.
Anak-anak sebaiknya diajarkan menjadi suci dan sopan santun atau bersih. Perhatian yang sungguh-sungguh harus dilakukan agar mereka tak bersahabat dengan anak-anak jahat, dan mereka sebaiknya kembali sebelum malam. Dalam hu­bungan ini, maka orangtua harus menjadi contoh, bila tidak maka anak-anak akan mengikuti kelakuan atau perbuatan orangtuanya nanti. Orangtua amoral jangan mengharapkan anaknya menjadi moralis. Orangtua yang hidup suci dan ber­sih adalah membahagiakan anak-anak dan mereka sendiri pula. Sedangkan noda amoral akan membawa kehancuran bagi orangtua dan anak-anak.
Anak-anak sebaiknya diajarkan supaya selalu berlaku be- nar, sebagai sila keempat. Bila mereka telah membuat kesa­lahan, biarkanlah mereka mengakuinya tanpa berusaha me­nutup-nutupinya dengan kesalahan yang lain pula. Anak-anak harus dilatih demikian, dan orangtua harus dengan tegas ber­kata, ’O, anakku janganlah berbicara bohong.’ Orangtua harus mempertimbangkan suatu kesalahan dan harus diingatkan ke­pada mereka. Anakku sekarang katakan yang benar dan ja­ngan bohong.
”0, anakku sayang, siapa yang benar adalah terpuji. Walau­pun bergurau, janganlah berkata bohong.”
Memfitnah, pada anak-anak harus dicabut sebelum itu bertunas. Bilamana seorang anak akan diganjar karena kesa­lahannya sendiri, sedapat mungkin jangan sampai ia melaku­kan fitnahan seperti mengatakan bahwa kakaknya juga mela­kukan perbuatan salah.
Kata-kata kasar dan ceritera omong-kosong harus dihindarkan pula. Anak-anak baik harus dilatih menggunakan kata-kata lembut. Mereka tak boleh dengan kasar dan tak sadar mengucapkan kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Me­reka harus dinasihatkan untuk mengucapkan apa yang benar, fakta dan baik.
Sebaiknya mereka menjaga mulut mereka sejak masih kecil. Lidah yang tak terlatih akan menghasilkan senjata penghan­cur dan lebih ganas daripada bom atom. Sedangkan lidah yang terlatih akan membawa beijuta-juta orang menjadi baik dan berbuat baik pula.
Orangtua telah menyadari bahaya yang diakibatkan oleh minuman keras, alkohol atau rokok. Tak perlu dikomentari lagi di sini untuk menerangkan bahaya dengan mengizinkan anak-anak mencicipi anggur atau bir sekali sebulan dan se­terusnya. Mencicipi merupakan permulaan, sedangkan me­nyukai adalah pertengahan, dan pemuasan adalah akhirnya. Bilamana anak-anak menghadiri pesta-pesta, orangtua harus memperhatikan dengan seksama atau sebaiknya memberikan nasihat atau larangan, daripada anaknya telah terlanjur men­coba meminum minuman keras tersebut, karena anak-anak mempunyai sifat ingin tahu akan kepahitan atau keenakan dari minuman alkohol tersebut.
Sehubungan dengan hal ini orangtua yang bijaksana harus terlebih dahulu tidak meminum minuman keras sebelum me­nasihati anak-anaknya untuk melaksanakan sila kelima yaitu tidak minum minuman alkohol dan sebagainya.
3.        Memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak.
Pendidikan yang pantas adalah warisan paling tepat dari orangtua untuk anak-anaknya. Ini adalah harta yang sangat berharga sekali. Inilah berkah terbaik yang dianugerahkan orangtua bagi turunannya. Bukan hanya anak laki-laki saja yang pantas menikmati berkah ini, tetapi anak perempuan pun harus mendapatkannya pula.
Pendidikan harus diberikan pada anak-anak selagi masa mudanya berdasarkan moral agama dan negara. Ini mempu­nyai tujuan dasar yang baik sekali. Sebaiknya mereka dibim­bing oleh seorang guru yang berpendidikan baik dan menge­tahui dengan jelas apa tugas kewajibannya serta bertanggung jawab. Kebahagiaan jasmani maupun batin dapat dicapai oleh anak bila ia berkesempatan mendapatkan pendidikan baik serta bimbingan keagamaan dari seorang bhikkhu. Satu gam­baran yang jelas sekali adalah Raja Siri Sanghabodhi yang ber­moral tinggi sekali, karena ia telah dilatih secara keagamaan di bawah bimbingan seorang pamannya yang menjadi bhik­khu Thera.
Bila anak-anak terpaksa harus tinggal jauh dari rumah maka orangtua berkewajiban pula untuk memilih lingkungan yang baik bagi tempat tinggal anaknya.
Pendidikan keagamaan harus menduduki tempat yang penting sekali dalam kurikulum lembaga pendidikan Buddhis. Agama tak boleh dipisahkan dari pendidikan umum. Kemaju­an material dan spiritual harus sama-sama jalannya, dan tak boleh dipisah-pisahkan. Ini adalah lebih baik daripada hanya mempelajari dari buku-buku saja. Janganlah membiarkan me­reka berpura-pura dengan maksud hanya untuk menipu orangtua mereka saja. Janganlah membiarkan anak-anak mempelajari agama semata-mata hanya untuk lulus saja. Pe­ngetahuan Dharma dibutuhkan untuk digunakan atau dilak­sanakan. Seperti apa yang tersebut dalam kitab Dhamma- pada: ’’Barangsiapa yang mempelajari Dharma tanpa melak­sanakannya, orang tersebut bagaikan gembala yang hanya menghitung-hitung temak orang lain saja.”
Sekarang ini ada beberapa mata pelajaran yang belum sesuai diajarkan dan akan menyebabkan hasil yang sia-sia se­mata-mata. Apakah tidak baik memanfaatkan tenaga untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran yang lebih menarik dan ber­guna sekali bagi mereka ? Bagi anak-anak perempuan, sebe­lum mereka mencapai tingkat di mana mereka dapat memilih jurusan akademi mana yang mau diikuti, maka sebaiknya pendidikan ditekankan pada pokok-pokok ajaran yang dapat mengarahkan mereka untuk menjadi isteri atau ibu yang baik.
Walaupun perhatian banyak ditujukan pada pendidikan, maka ada pula yang tak boleh dilupakan atau dipisahkan yaitu memperhatikan kesehatan. Seorang sarjana yang sakit- sakitan tak akan sanggup dengan aktif membantu negara dan bangsa.
4.        Mengawinkan anak-anak dengan pasangan yang sesuai.
Perkawinan adalah: ’’hidup bersama untuk selamanya.” Dikatakan demikian karena janji untuk bersama-sama selama hidup, dan bukan hanya untuk waktu yang terbatas saja atau bila telah mempunyai anak. Hidup bersama ini tak dapat de­ngan mudah memisahkannya. Sebab sebelum perkawinan diadakan, semua persoalan dipecahkan bersama-sama dahulu dan hasilnya memuaskan bagi kedua belah pihak. Berbeda pendapat berarti munculnya pertentangan.
Dalam hal ini orangtua menuntut kewajiban, sedangkan anak-anak memintakan haknya. Menurut cara Buddhis maka ke­wajiban lebih kuat daripada ’hak’. Bilamana kedua belah pihak ini tak merubah sikap masing-masing, maka sebaiknya menggunakan pemecahan bijaksana dan mencapai jalan ke­luar yang baik. Karena bila kedua pihak tidak berhasil maka akan terjadi hal-hal yang kurang baik dan merugikan.
Dalam Maha Mangala Jataka (no. 453) diberikan pedoman atau prinsip untuk memilih isteri yang baik sebagai be­rikut :
Siapapun yang beristeri luwes, umur sepadan, patuh, baik dan subur; penurut, bajik serta berasal dari keluarga baik-baik. Inilah berkah-berkah yang terdapat pada isteri.”
Walaupun pemilihan mungkin dibatasi pada batasan-batasan tertentu saja, adalah lebih baik mengelak memilih seorang pria untuk dijadikan suami bila ia adalah, ’’hidung belang, pemabuk, penjudi dan pemboros.” (Vasala Sutta).
Kesehatan hendaknya diperhatikan pula sebelum me­laksanakan perkawinan. Kalau tidak maka orangtua akan di­hina karena turunan mereka. Orangtua yang tak sehat atau subur dapat juga membantu negara dan hangsa bila mereka mengangkat anak dari keluarga-keluarga miskin dan mendidik mereka menjadi warga yang ideal atau terpandang. Cinta kasih dan kebahagiaan mereka, dapat mereka tumpahkan pada anak-anak tersebut.
5.        Memberikan warisan kepada anak-anak pada waktu yang tepat.
Orangtua yang baik bukan hanya mencintai dan meme­lihara anak-anaknya selama dalam asuhan mereka saja, tetapi juga mempersiapkan kesenangan dan kebahagiaan anak-anak­nya di masa mendatang. Walaupun dengan susah payah me­reka mengumpulkan dan menyimpan harta, tetapi akhimya mereka akan menghadiahkan itu dengan rela kepada anak- anaknya.
Hadiah perkawinan yang tepat diberikan orangtua untuk anak perempuannya adalah seperti nasihat-nasihat berikut ini, yang diberikan oleh ayah kepada Visakha di hari perkawinan­nya (lihat Dhammapada Atthakata):
a.       Jangan membawa keluar api yang berada di dalam rumah.
b.      Jangan memasukkan api dari luar rumah.
c.       Memberi hanya kepada mereka yang memberi.
d.      Jangan memberi kepada mereka yang tak memberi.
e.       Memberi kepada mereka yang memberi dan yang tak memberi.
f.       Duduklah dengan bahagia.
g.      Makanlah dengan bahagia.
h.      Tidurlah dengan bahagia.
i.        Rawatlah pada api.
j.        Hormatilah dewata keluarga.
Yang dimaksudkan dengan kesepuluh hal-hal di atas ini adalah sebagai berikut :
a.       Api di sini berarti memfitnah. Seorang isteri seharusnya tidak memburuk-burukkan suami maupun mertuanya kepada orang lain. Demikian pula dengan kekurangan-kekurangan ataupun percekcokan-percekcokan rumah tangga jangan diceriterakan kepada orang lain.
b.      Seorang isteri sebaiknya tidak mendengarkan ceritera- ceritera atau ocehan-ocehan dari keluarga-keluarga lain.
c.       Hanya meminjamkan sesuatu kepada mereka yang mau mengembalikan.
d.      Tidak meminjamkan sesuatu kepada mereka yang tak akan mengembalikan.
e.       Orang-orang miskin dan kawan-kawan harus ditolong wa­laupun mereka tak akan mengembalikannya lagi.
f.       Seorang isteri seharusnya duduk pada posisi yang sesuai. Bilamana melihat mertuanya datang, ia harus berdiri dan bu­kannya tetap duduk saja. Nasihat ini merupakan sopan santun bagi wanita dan menunjukkan rasa hormat kepada mertua.
g.      Sebelum makan, seorang isteri terlebih dahulu menyiap­kan kebutuhan atau keperluan-keperluan mertua atau suami-nya. Ia juga memperhatikan apakah pembantu-pembantu rumah tangganya telah dipenuhi kebutuhan-kebutuhan ma­kan mereka pula.
h.      Ini bukan berarti bahwa seorang isteri harus tidur selama ia mau. Tetapi sebelum tidur ia memeriksa apakah semua pintu-pintu dan jendela telah ditutup atau belum, apakah alat-alat rumah tangganya terjamin keselamatannya; apakah pembantu-pembantu telah menyelesaikan tugas-tugas mereka, dan apakah mertua dan suaminya sudah pergi tidur atau belum. Seorang isteri hendaknya bangun pagi-pagi sekali dan tak akan tidur di siang hari kecuali badannya merasa tak enak atau tidak sehat.
i.        Mertua dan suaminya dipandang sebagai api.
Rawatlah mereka baik-baik seperti kita merawat api di waktu memasak, api membantu kita di dapur.
j.        Mertua dan suami dipandang sebagai dewata yang patut dihormati.
Sang Buddha sendiri menyatakan bahwa mertua adalah ’devata’ (sassudeva).
Menurut tradisi ketimuran, isteri memandang suaminya sebagai ’yang dipertuan’ atau ’issara’. Sang Buddha bersabda bahwa isteri adalah sahabat karib suami. Adalah merupakan kewajiban suami untuk memperlakukannya dengan baik dan berlaku sebagai ’dewa penolong’-nya, dan menganggap isteri sebagai pribadinya yang kedua (atmani).
Isteri yang patuh dan rajin sangat memandang tinggi sekali suami yang baik sebagai ’dewa pelindung’-nya.
Seorang isteri seharusnya juga aktif melakukan kewajib­an agama. Para bhikkhu dan petapa yang mengunjungi ru- mahnya pada waktu yang tepat harus diperlakukan dengan hormat. Ia sebaiknya melayani mereka.

Kewajiban Anak-anak
Anak-anak sangat berhutang sekali pada orangtua mereka, yang telah melahirkan me­reka dan berusaha dengan baik serta sungguh-sungguh dengan berbagai cara untuk mereka. Jelas anak-anak tak dapat membayar hutang mereka, walaupun anak-anak mengorbankan hidupnya untuk orang­tua.
Di dalam Dharma disebutkan tiga macam posisi anak- anak, yaitu :
1.      Mereka yang lebih rendah keadaannya daripada orangtua- nya dalam berbagai hal (avajata).
2.      Mereka yang sama keadaannya dengan orangtuanya (anujata).
3.      Mereka yang melebihi orangtuanya dalam berbagai hal (atijata).
Merupakan tugas dari setiap anak untuk berusaha mele­bihi orangtua dalam pelajaran, kebajikan, status, pelayanan dan sebagainya. Bilamana anak-anak tak dapat melebihi orangtua maka anaklah yang harus dikritik daripada orang­tuanya, karena anak-anak hanya menikmati kesenangan duniawi saja. Bilamana anak-anak tak sanggup untuk melebihi kemampuan orangtuanya, maka mereka sekurang-kurangnya harus menyamai mereka, tetapi bukan di bawah kemampuan atau keadaan orangtuanya.
Menurut Sigalovada Sutta, ada lima kewajiban yang harus dilaksanakan oleh anak-anak kepada orangtua mereka, yaitu:
1.        Menyokong orangtua.
Tak ada komentar lagi yang perlu diberikan tentang ke­wajiban yang mutlak ini. Dalam tradisi Buddhis, anak-anak setiap hari harus mengambil atau memintakan Tisarana dan Panca Sila, dan sesudah itu ber-namaskara pada orangtuanya, dan menghormati mereka.
Ini adalah kata-kata kuno tentang cara penghormatan :
”0, Ibu sayang, tak terkatakan betapa besar penderitaan yang dikau derita sejak daku dalam kandunganmu.
Daku merangkapkan kedua tanganku di atas kepalaku, daku menghormatmu dan memohon m aaf padamu untuk kesalah­an-kesalahanku,
Bila daku menangis, dikau memberikan cinta kasihmu serta membelaiku hingga daku tertidur.
Semua kotoran tubuhku bagaikan permata bagimu, dan dikau menyentuhnya bagaikan benda harum baunya.
Untuk jasa dan semua cinta kasihmu yang tak terhingga,
O, ibuku sayang, semoga dikau menjadi Samma Sambuddha untuk menyelamatkan dan menolong dunia yang penuh de­rita ini. ”
Barangkali banyak di antara pembaca telah mengenal atau tahu ceritera dari Raja Aggabodhi dengan perilakunya yang patut dicontoh oleh semua anak-anak.
Dalam Culavamsa diuraikan tentang betapa besar cinta kasih serta hormat Raja Aggabodhi kepada ibunya yang telah tua, ceriteranya sebagai berikut :
’’Raja sangat senang sekali melayani ibunya di waktu siang maupun malam. Ia selalu pergi menunggunya di waktu pagi, dan melayaninya dengan menggosok kepala ibunya dengan minyak, membubuhi parfum di bagian-bagian tubuh yang lecet karena keringat, membersihkan kuku-kukunya serta memandikannya dengan hati-hati. Raja sendiri yang mengenakan pakaian kepada ibunya, dengan pakaian baru dan lembut, ia mengambil pakaian-pakaian kotor dan mencuci nya sendiri pula. Dengan air di tempat itu pula ia memercik­kan air ke kepala dan mahkotanya, dan sungguh-sungguh menghormat ibunya dengan bunga harum bagaikan sedang menghormat di depan cetiya. Setelah menghormat ibunya tiga kali, ia berjalan ke kanan mengelilinginya, dan memberi­kan pakaian-pakaian kepada pembantu-pembantu ibunya dengan kebutuhan-kebutuhan lain yang mereka perlukan; ia menyediakan makanan-makanan enak untuk ibunya, lalu me­makan makanan-makanan yang sisa yang ditinggalkan tak di­makan oleh ibunya.
Kepada pembantu-pembantu ibunya ia memberikan makanan yang baik seperti diperuntukkan bagi, raja, sesudah itu ia me­nyiapkan tempat tidur ibunya dengan membubuhi harum- haruman, kemudian ia memindahkan ibunya dengan hati- hati, mencuci kaki ibu, mengoles dengan hati-hati tubuhnya dengan minyak, dengan terbungkuk-bungkuk ia menggosok kaki dan tangannya supaya ibunya tertidur. Setelah itu de­ngan mengarah sebelah kanan ia mengelilingi tempat tidur ibunya tiga kali dengan penuh hormat; menyuruh para pem­bantu atau pelayan untuk menjaganya, dan dengan tanpa membelakangi ibunya ia pergi. Pada tempat di mana ibunya tak dapat melihatnya lagi, ia berhenti dan memberi hormat tiga kali lagi. Dan dengan bahagia atas perbuatannya serta selalu memikirkan tentang ibunya, ia kembali ke istana. Selama ibunya masih hidup raja tetap melakukan pekerjaan ini.
(Culavamsa, Translated by W, Geiger - p. 132).
Dalam Sama Jataka, diceriterakan bahwa ketika Sama Kumara dipanah, ia jatuh tak sadarkan diri dengan kepala mengarah pada orangtuanya dengan sikap menghormat.
Pangeran Jali dan Putri Krishnajina sebagai anak-anak adalah sangat patuh kepada orangtuanya. Kedua putra-putri Raja Vessantara menyembunyikan diri mereka di kolam karena takut kepada seorang tua yang datang mencari me­reka. Tetapi ketika ayah mereka memanggilnya, mereka se­gera lari mendapatkan ayahnya walaupun ragu-ragu sejenak.
(Vessantara Jataka).
Kepatuhan Pangeran Rama tak dapat dilukiskan pula. Ka­rena akal bulus dari ibu tirinva, maka Rama telah diasingkan oleh ayahnya selama empat belas tahun. Beberapa tahun kemudian setelah Raja mangkat, para menteri mendatangi hutan di mana ia tinggal dan memohon supaya pangeran Rama memerintah di kerajaan. Pangeran yang patuh me­nolak permohonan tersebut karena belum habis masa peng­asingannya tersebut.
Jadi kepatuhan seharusnya menjadi sifat utama bagi anak- anak yang baik. Mereka tak boleh memperlakukan orangtua-nya dengan kasar sedikitpun juga. Isteri-isteri yang galak, se­baiknya tak diizinkan melayani orangtua kita yang telah lanjut usianya. Karena mereka seharusnya melayani orangtua tersebut dengan perhatian khusus ketika orangtua telah lan­jut maupun sakit. Isteri harus merenungkan bahwa ini adalah kesempatan yang baik untuk melayani mereka itu.
2.        Harus melakukan kewajiban-kewajiban perlu lainnya bagi orangtua.
Anak-anak harus mengerti apa kiranya yang dibutuhkan orangtua dan melakukannya untuk memuaskan orangtua.
Adalah kewajiban anak-anak untuk menyenangkan dan membahagiakan orangtuanya. Anak-anak harus bersedia me­ngorbankan kesenangannya demi kebahagiaan orangtuanya. Di dalam ceritera-ceritera Jataka diterangkan tentang Bodhisatta yang telah merenungkan bahwa adalah kesempatan yang baik sekali baginya untuk mengorbankan hidupnya demi kebahagiaan orangtuanya.
’’Mereka yang melaksanakan Dharma dan merawat orang­tuanya yang sengsara; para dewata mengetahui kasih sayang mereka dan datang menyembuhkan sakit mereka.”
’’Mereka yang melaksanakan Dharma dan merawat orang­tuanya yang sengsara; para dewata dalam dunia ini memuji perbuatan mereka dan kelak mereka akan terlahir di alam sorga.”  . .
(Tamiya Jataka).
Kewajiban anak-anak bukan hanya mencari kebahagiaan materi saja, tetapi kebahagiaan batin juga. Mereka harus mengusahakan untuk mengembangkan kedermawanan (dana), sila, kasih sayang dan kebijaksanaan (panna) dari orangtua mereka. Bila mereka tak sanggup, mereka dapat membawa orangtua berziarah ke tempat-tempat suci dan ber­usaha menganjurkan mereka berbuat jasa bagi pencapaian kehidupan yang kekal.
3.        Mempertahankan kekayaan keluarga.
Mereka harus mempertahankan terus harta orangtua tanpa menghambur-hamburkan dengan sia-sia. Seringkali orangtua yang hemat menjadi kaya dengan usaha mereka yang sungguh-sungguh. Apa yang telah mereka kumpulkan dengan penuh ketabahan, seringkali anak-anak mereka menghambur-hamburkannya dalam beberapa tahun saja, karena kena pengaruh lingkungan yang boros, akibatnya kehidupan yang penuh penderitaanlah kelak yang mereka alami.
Anak-anak diharapkan juga untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan atau usaha-usaha yang telah dirintis oleh orang­tua mereka. Berdana secara berkala dan membantu keuangan untuk agama atau yayasan-yayasan sosial, menolong orang-orang miskin atau sakit dan lain-lain; perbuatan-perbuatan baik yang telah diperbuat oleh orangtua seharusnya tak di­lupakan untuk diteladani, apalagi setelah mereka tiada, me­ninggal dunia.
4.        Berperilaku yang sesuai demi mempertahankan nama baik keluarga.
Nama terhormat orangtua harus dijaga oleh anak-anak. Anak-anak berpendidikan tak akan memalukan orangtuanya yang baik, apalagi bila orangtua tidak ada. Apa yang memalu­kan untuk diceriterakan walaupun pada orangtua sendiri, haruslah hal itu tidak diceriterakan pada umum maupun orang-orang tertentu.
Anak-anak seharusnya memberikan jasa-jasa untuk orang-tuanya yang telah meninggal.
Telah menjadi tradisi Buddhis untuk memperingati orang-tua walaupun mereka telah meninggal. Mereka sebaiknya selalu ingat orangtua apabila melakukan perbuatan baik dan jasanya diperuntukkan bagi orangtua yang telah mening­gal tersebut. Bila mereka membutuhkan jasa, maka mereka akan mendapatkan kebahagiaannya. Apakah orangtua (yang telah meninggal) menerima jasa yang dibagikan itu atau tidak, tetap perbuatan jasa tersebut akan membawa kebahagiaan ke­pada si pembuatnya. Mereka juga dapat mengarahkan pikiran-pikiran yang baik bagi orangtua yang telah meninggal dan dapat membantu mereka menjadi bahagia. Lebih lanjut me­reka menunjukkan sikap hormat serta sifat-sifat baik pula bagi anak-anak mereka sendiri.
Pemberian dana secara berkala dapat dilakukan atas nama mereka. Dengan demikian agama, amal dan sekolah-sekolah dapat didirikan. Buku-buku agama dan pamflet-pamflet dapat dicetak, bea-siswa dapat diberikan sebagai cara melakukan penghormatan kepada orangtua yang telah meninggal ter­sebut.



Kita akhiri uraian pendek ini dengan anjuran seperti apa yang terdapat pada Maklumat Brahmagiri II dari Raja Asoka, yang telah mengikuti petunjuk-petunjuk Guru Agung kita, menekankan pfentingnya kewajiban anak. Maklumat ini ada lah ringkasan dari khotbah Sang Buddha kepada pangeran-pangeran suku Licchavi, sebagai berikut :
”Ibu-ayah dan guru mesti dilayani sebaik-baiknya. Kasih sayang harus ditujukan pada semua makhluk hidup. Harus berbicara benar, kebajikan ini harus dikembangkan.”
’’Demikian pula Uppajhayo (guru yang menahbiskan se­seorang menjadi bhikkhu) mesti dihormati murid. Hubungan harus dijaga dengan baik.”
’’Inilah perilaku kuno yang wajar. Inilah penyebab untuk umur panjang. Demikianlah yang harus dilaksanakan.”
0O0
Judul Asli   : "Parents and Children
oleh           : Ven. Narada Maha Thera