MAHA TANHASANKHAYA SUTTA
Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya
II,
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit : Hanuman Sakti, Jakarta, 1997
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit : Hanuman Sakti, Jakarta, 1997
1.
Demikianlah yang saya dengar:
Pada suatu waktu Sang
Bhagava sedang berada di Jetavana, taman milik Anathapindika Savatthi.
2. Pada ketika itu suatu pandangan jahat
telah timbul pada diri Bhikkhu Sati Kevattaputta (anak nelayan) : “Aku mengerti
dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava, kesadaran (vinnana) yang sama ini yang
berpindah-pindah dalam lingkaran kehidupan (samsara) ini”
3.
Banyak bhikkhu mendengar bahwa hal
ini. Kemudian mereka pergi kepada Bhikkhu Sati Kevattaputta dan mereka bertanya
kepadanya “Avuso, apakah benar bahwa suatu pandangan jahat telah timbul dalam
dirimu: Aku mengerti Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava bahwa kesadaran
sama ini yang berpindah-pindah dalam lingkaran kehidupan ini”"Benar, para
Avuso aku mengerti Dhamma yang diajarkan Sang Bhagava … lingkaran kehidupan
ini” Karena para bhikkhu ingin agar dia mau melepaskan pandangan jahatnya itu,
mereka bertanya, menekan dan menyudutkan dia dengan kata-kata “Avuso Sati,
janganlah berkata begitu, janganlah salah mewakili Sang Bhagava, adalah tidak
baik untuk salah mewakili Sang Bhagava. Sang Bhagava tidak berkata begitu,
sebab kesadaran itu telah dikemukakan di dalam banyak kotbah dhamma oleh Sang
Bhagava sebagai hal yang timbul karena adanya sebab, karena tanpa kondisi maka
kesadaran tidak muncul (ada).” Namun walaupun ditekan, ditanyai serta
disudutkan oleh pertanyaan-pertanyaan mereka, bhikkhu Sati Kevattaputta masih
dengan kepala batu salah menanggapi sesuai dengan pandangan jahatnya dan tetap
bertahan dan berkata :
“Para Avuso,
memang demikian seperti apa yang aku mengerti tentang Dhamma yang diajarkan
oleh Sang Bhagava …. lingkaran kehidupan ini”
4. Karena para bhikkhu tidak dapat
membebaskan dirinya dari pandangan salah itu, mereka pergi kepada Sang Bhagava,
setelah memberi hormat kepada beliau, mereka duduk ditempat yang tersedia.
Setelah duduk, mereka menceritakan kepada Beliau semua yang terjadi dan mereka
menambahkan “Bhante, karena kita tidak dapat melepaskan bhikkhu Sati
Kevattaputta dari pandangan jahat itu, kami melaporkan kepada Sang Bhagava
tentang kejadian itu.”
5.
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada
seorang bhikkhu dengan kata-kata sebagai berikut “Ayo bhikkhu, atas namaku
katakan kepada bhikkhu Sati bahwa Guru memanggilmu.”
“Baik, bhante,” jawabnya.
Ia pergi menemui bhikkhu Sati dan berkata “Sang Guru memanggilmu avuso Sati”
“Baiklah, avuso,” ia
menjawab. Lalu bhikkhu Sati pergi menghadap Sang Bhagava, setelah memberi
hormat kepada beliau, ia duduk di tempat yang tersedia. Ketika ia telah duduk,
Sang Bhagava bertanya kepadanya: “Sati, apakah betul, bahwa pandangan jahat
berikut telah timbul pada dirimu ‘Saya mengerti dhamma yang diajarkan Sang
Bhagava …….. lingkaran kehidupan ini?’”
“Bhante, memang benar
demikian. Seperti apa yang aku mengerti Dhamma yang diajarkan oleh Sang
Bhagava, kesadaran …. lingkaran kehidupan ini.”
“Apakah kesadaran itu
Sati?”
“Bhante, itu adalah
apa yang berbicara dan merasakan serta mengalami akibat dari perbuatan baik dan
jahat di sini maupun di sana”
6. “Orang bodoh, dari siapakah kamu pernah
mendengar saya mengajar Dhamma seperti itu? Orang bodoh, bukankah saya telah
nyatakan dalam banyak kotbah bahwa kesadaran muncul karena adanya sebab, karena
tanpa adanya kondisi maka kesadaran tidak muncul. Tetapi kamu telah salah
menginterprestasikan dengan pengertian kamu yang salah dan mengatakan pandangan
salahmu, itu akan menyebabkan banyak akibat buruk (apunna), karena hal ini maka
kamu akan lama terganggu dan menderita”
7.
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada
para bhikkhu: “Para bhikkhu, bagaimana pendapat kamu sekalian. Sudahkah Sati
Kevattaputta menyalakan (usmikato) dhamma dan vinaya ini?”
“Bhante, mengapa harus dia? Tidak, Bhante”
Setelah hal ini dinyatakan, Bhikkhu Sati Kevattaputta duduk diam, cemas, bahu
turun, kepala tertunduk, muram dan tak berkata sepatah katapun. Menyadari
keadaan bhikkhu Sati, maka Sang Bhagava berkata kepadanya “Orang bodoh,
ketahuilah karena pandangan jahatmu, Saya akan menanyakan hal ini kepada para
bhikkhu”
8.
Lalu Sang Bhagava berkata kepada para
bhikkhu “Para bhikkhu, apakah kamu sekalian tahu Dhamma yang Saya ajarkan
adalah seperti yang dipahami oleh Bhikkhu Sati Kevattaputta, ketika ia salah
menginterprestasikan karena pengertiannya yang salah dan mengatakannya yang
salah, yang menyebabkan banyak akibat buruk, maka ia akan lama terganggu dan
menderita”
“Tidak, bhante, karena kesadaran telah
dinyatakan dalam banyak kotbah Sang Bhagava bahwa itu muncul karena adanya
sebab karena tanpa adanya kondisi maka kesadaran tidak muncul”
“Baik, para bhikkhu, bahwa kamu sekalian mengetahui dhamma
yang telah Saya ajarkan. Karena kesadaran telah saya nyatakan dalam banyak
kotbah bahwa itu muncul karena adanya sebab, karena tanpa adanya kondisi maka
kesadaran tidak muncul. Tetapi Bhikkhu Sati Kevattaputta telah salah
menginterprestasikan …. terganggu dan mencerita.”
9. “Para bhikkhu, kesadaran hanya muncul,
tergantung pada sebabnya: bila kesadaran (vinnana) muncul tergantung pada mata
(cakkhu) dan bentuk-bentuk (rupa), disebut kesadaran mata (cakkhuninnana):
kesadaran muncul tergantung pada telinga (sota) dan suara (sadda) disebut
kesadaran telinga (sotavinnana): kesadaran yang muncul tergantung pada hidung
(nasa) dan bau (gandha) disebut kesadaran hidung (nasavinnana): kesadaran yang
muncul tergantung pada lidah (jivha) dan rasa (rasa) disebut kesadaran lidah
(jivhavinnana); kesadaran yang muncul tergantung pada tubuh (kaya) dan sentuhan
(photthabba) disebut kesadaran tubuh (kaya vinnana): kesadaran yang muncul
tergantung pada pikiran (mano) dan obyek pikiran (dhamma) disebut kesadaran
pikiran (manovinnana). Seperti api yang hanya diperhitungkan tergantung pada
sebab yang memunculkannya, api terbakar tergantung pada batang kayu di sebut
api batang kayu, bila api terbakar tergantung pada kayu bakar disebut api kayu
bakar, bila api terbakar tergantung pada rumput disebut api rumput, bila api
terbakar tergantung pada kotoran sapi disebut api kotoran sapi, bila api
terbakar tergantung pada dedak disebut api dedak, bila api terbakar tergantung
pada sampah disebut api sampah. Demikian pula, kesadaran hanya muncul
tergantung pada sebabnya. Ketika kesadaran muncul tergantung pada mata dan
bentuk disebut kesadaran mata …. bila kesadaran muncul tergantung pada pikiran
dan obyek pikiran disebut kesadaran pikiran.”
10. “Para bhikkhu, bagaimana kamu sekalian
melihat ‘ini ada’?”
“Begitulah, bhante”
“Para bhikkhu,
keberadaan makhluk karena sari makanan. Begitukah kamu sekalian melihatnya?”
“Ya, bhante”
“Bagaimanapun
keberadaan (makhluk itu), dengan lenyapnya sari makanan maka itu akan lenyap.
Begitukah kamu sekalian melihatnya?”
“Ya, bhante”
11.
“Para bhikkhu, apakah keberadaan ini
tidak ada? Apakah ketidak pastian muncul karena cara yang meragukan seperti
itu?”
“Ya, bhante.”
“Para bhikkhu, apakah
keberadaan makhluk karena sari makanan atau bukan? Bukankah ketidakpastian
muncul karena cara yang meragukan seperti itu?”
“Ya, bhante.”
“Apapun keberadaan
(makhluk itu), dengan lenyapnya sari makanan, apakah itu memiliki sifat berubah
atau tidak? Apakah ketidakpastian muncul karena cara yang meragukan seperti
itu?”
“Ya, bhante.”
12.
“Para bhikkhu, ‘ini ada’ : apakah
keragu-raguan ditinggalkan oleh orang yang melihat itu sebagaimana apa adanya
dengan pengertian benar?” “Ya, bhante”
“Para bhikkhu, ‘makhluk itu muncul karena sari makanan’ : apakah keragu-raguan ditinggalkan oleh orang yang melihat itu sebagaimana apa adanya dengan pengertian benar?” “Ya, bhante”
“Para bhikkhu, ‘makhluk itu muncul karena sari makanan’ : apakah keragu-raguan ditinggalkan oleh orang yang melihat itu sebagaimana apa adanya dengan pengertian benar?” “Ya, bhante”
“Apapun keberadaan
(makhluk itu), dengan lenyapnya sari makanan, itu memiliki sifat berubah”
“Apakah keragu-raguan
lenyap pada orang yang melihat itu sebagai mana apa adanya dengan pengertian
benar?” “Ya, bhante”
“Para bhikkhu, apakah
kamu sekalian (berpandangan) begitu karena dalam hal ini kamu sekalian bebas
dari keragu-raguan?” “Ya, bhante”
“Para bhikkhu,
‘makhluk itu muncul karena sari makanan’, apakah kamu sekalian (berpandangan)
begitu karena dalam hal ini kamu sekalian bebas dari keragu-raguan?”
“Ya, bhante”
“Para bhikkhu, apapun keberadaan (makhluk
itu), dengan lenyapnya sari makanan, itu memiliki sifat berubah, apakah kamu
sekalian (berpandangan) beliau karena dalam hal ini kamu sekalian bebas dari
keragu-raguan?” “Ya, bhante”
13. “Para bhikkhu, ‘ini dia’, apakah kamu
sekalian berpandangan begitu sebagaimana apa adanya dengan pengertian benar?”
“Ya, bhante”
“Para bhikkhu, makhluk itu muncul
karena sari makanan, apakah kamu sekalian berpandangan begitu sebagaimana apa
adanya dengan pengertian benar?”
“Ya, bhante”
“Para bhikkhu, apapun keberadaan
(makhluk itu), dengan lenyapnya sari makanan, itu memiliki sifat lenyap. Karena
itu dipandang dengan baik sebagaimana apa adanya dengan pengertian benar?”
“Ya, bhante”
14. “Para bhikkhu, murni dan cemerlang seperti
pandangan inilah yang kamu harus anut, hargai, jadikan harta dan menjadi
milikmu sendiri, apakah kamu mengerti dhamma yang telah diajarkan sama, seperti
sebuah rakit, yang dipakai untuk menyeberangi sungai, tetapi bukan untuk
dipegang saja?”
“Ya, bhante”
“Para bhikkhu, murni dan cemerlang
seperti pandangan inilah, apabila kamu tidak menganutnya, tidak menghargainya,
tidak menjadikannya sebagai harta dan tidak menjadi milikmu sendiri, apakah
kamu akan mengerti dhamma yang telah diajarkan sama seperti sebuah rakit, yang
dipakai untuk menyeberangi sungai, tetapi bukan untuk dipegang saja?”
“Ya, bhante”
15. “Para bhikkhu, ada empat jenis sari makanan
untuk mempertahankan atau menjaga kelestarian hidup makhluk-makhluk yang ada
serta untuk membantu mereka yang mencari untuk memperbaharui keberadaannya. Apa
keempat jenis itu? Sari-sari makanan itu adalah makanan fisik sebagai sari
makanan keras maupun lunak, kontak (phassa), kehendak pikiran (manosancetana)
dan kesadaran (vinnana)”
16. “Empat jenis
sari makanan ini memiliki sumber (dana), asal (samudaya), memunculkannya (jati)
dan yang menjadikannya (pabhava). Empat jenis sari makanan ini bersumber,
berasal, dimunculkan dan dijadikan oleh keinginan (tanha)”
17.
“Keinginan ini memiliki sumbernya ....
keinginan bersumber pada perasaan (vedana) ....
Perasaan ini memiliki
sumbernya perasaan bersumber pada kontak (phassa) … Kontak ini memiliki
sumbernya ... kontak bersumber pada landasan enam indera (salayatana)....
Landasan enam indera
ini memiliki sumbernya …. landasan enam indera ini bersumber pada batin jasmani
(nama rupa) …..
Batin jasmani ini
memiliki sumbernya … batin jasmani bersumber pada kesadaran (vinnana) ….
Kesadaran ini
memiliki sumbernya … kesadaran bersumber … pada bentuk-bentuk karma (sankhara)
…
Bentuk-bentuk karma
ini memiliki sumber, asal, memunculkannya dan menjadikannya. Bentuk-bentuk
kamma ini bersumber, berasal, dimunculkan dan dijadikan oleh kebodohan (avijja)
18. “Para bhikkhu, begitulah, kebodohan
mengkondisikan bentuk-bentuk karma, bentuk-bentuk karma mengkondisikan
kesadaran, kesadaran mengkondisikan batin jasmani, batin jasmani mengkondisikan
landasan enam indera, landasan enam indera mengkondisikan kontak, kontak
mengkondisikan perasaan, perasaan mengkondisikan keinginan, keinginan
mengkondisikan kemelekatan (upada), kemelekatan mengkondisikan perwujudan
(bhava), perwujudan mengkondisikan kelahiran, kelahiran mengkondisikan usia
tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, kesakitan, kesedihan dan putus asa: itu
adalah bagaimana sebab dari penderitaan.”
19.
“Demikianlah dikatakan, kelahiran
mengkondisikan usia tua dan kematian. Apakah ini benar atau tidak, atau dalam
hal ini bagaimana pendapat kamu sekalian?”
“Bhante, kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian; dalam hal ini, kami berpendapat kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian.”
“……….. perwujudan mengkondisikan kelahiran ……..”
“Bhante, kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian; dalam hal ini, kami berpendapat kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian.”
“……….. perwujudan mengkondisikan kelahiran ……..”
“…………….. kemelekatan mengkondisikan
perwujudan ………”
“…………….. keinginan
mengkondisikan kemelekatan ……..”
“…………….. perasaan
mengkondisikan keinginan ……..”
“…………….. kontak
mengkondisikan perasaan …….. ”
“…………….. landasan
enam indera mengkondisikan kontak ……..”
“…………….. batin jasmani
mengkondisikan landasan enam indera ……….”
“…………….. kesadaran
mengkondisikan batin jasmani ………….”
“……………..
bentuk-bentuk karma mengkondisikan kesadaran …….”
“…………….. kebodohan
mengkondisikan bentuk-bentuk karma ……..”
"Apakah ini
benar atau tidak, atau dalam hal ini bagaimana pendapat kamu sekalian?”
“Bhante, kebodohan
mengkondisikan bentuk-bentuk karma dalam hal ni kami berpendapat kebodohan
mengkondisikan bentuk-bentuk karma ”
20. “Bagus, para bhikkhu. Kamu sekalian berkata
begitu, Saya juga berkata sama dengan kamu, yaitu ‘Itu ada, bila ini ada; itu
muncul karena ini muncul’, atau dengan kata lain kebodohan mengkondisikan
bentuk-bentuk karma, bentuk-bentuk karma mengkondisikan kesadaran, kesadaran
…….. kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian, kesedihan, ratap tangis,
kesakitan duka dan putus asa; itu adalah bagaimana sebab penderitaan”
21. “Dengan memudarnya dan berhentinya sisa-sisa
kebodohan maka bentuk-bentuk karma lenyap, dengan lenyapnya bentuk-bentuk karma
maka kesadaran lenyap, dengan lenyapnya kesadaran maka batin jasmani lenyap,
dengan lenyapnya batin jasmani maka lenyap landasan enam indera, dengan
lenyapnya landasan enam indera maka kontak lenyap, dengan lenyapnya kontak maka
perasaan lenyap, dengan lenyapnya perasaan maka keinginan lenyap, dengan
lenyapnya keinginan maka kemelekatan lenyap, dengan lenyapnya kemelekatan maka
perwujudan lenyap, dengan lenyapnya perwujudan maka kelahiran lenyap, dengan
lenyapnya kelahiran maka usia tua dan kematian lenyap, juga kesedihan, ratap
tangis, kesakitan, duka dan putus asa; itu adalah bagaimana semua penderitaan
lenyap.”
22.
“Dengan lenyapnya kelahiran maka usia
tua dan kematian lenyap, begitu dikatakan. Apakah itu benar atau tidak,
bagaimana hal ini terjadi?”
“Bhante, dengan
lenyapnya kelahiran maka usia tua dan kematian lenyap; begitulah jadinya, dalam
hal ini dengan lenyapnya kelahiran maka usia tua dan kematian lenyap”
“Dengan lenyapnya
perwujudan maka kelahiran lenyap”
“Dengan lenyapnya
kemelekatan maka perwujudan lenyap”
“Dengan lenyapnya
keinginan maka kemelekatan lenyap”
“Dengan lenyapnya
perasaan maka keinginan lenyap”
“Dengan lenyapnya
kontak maka perasaan lenyap”
“Dengan lenyapnya
landasan enam indera maka kontak lenyap”
“Dengan lenyapnya
batin jasmani maka landasan enam indera lenyap”
“Dengan lenyapnya
kesadaran maka batin jasmani lenyap”
“Dengan lenyapnya
bentuk-bentuk karma maka kesadaran lenyap”
“Dengan lenyapnya
kebodohan maka bentuk-bentuk karma lenyap”"Begitu dikatakan. Apakah benar
atau tidak, bagaimana hal ini terjadi”
“Bhante, dengan
lenyapnya kebodohan maka bentuk-bentuk karma lenyap, begitulah jadinya, dalam
hal ini dengan lenyapnya kebodohan maka bentuk-bentuk karma lenyap”
23. “Baik, para bhikkhu. Kamu sekalian
mengatakan begitu, saya juga mengatakan : Itu benar, karena ini tidak benar;
itu lenyap dengan lenyapnya ini, yakni dengan lenyapnya kebodohan maka
bentuk-bentuk karma lenyap, dengan lenyapnya bentuk-bentuk karma maka kesadaran
lenyap ….. dengan lenyapnya kelahiran maka usia tua dan kematian lenyap, juga
kesedihan, ratap tangis, kesakitan, duka dan putus asa, itulah bagaimana semua
penderitaan lenyap.”
24.
Para bhikkhu, setelah mengetahui dan
melihat hal ini, akankah kamu sekalian lari kembali ke masa lampau dengan
berkata: Adakah kami ini pada waktu yang lampau? Apakah kami ada di waktu yang
lampau? Apakah kami ini pada waktu yang lampau? Bagaimana kami ini di waktu
yang lampau? Jadi apakah kami ini di waktu yang lampau?”
“Tidak, bhante”
“Tidak, bhante”
“Setelah mengetahui
dan melihat hal ini, apakah kamu sekalian lari ke depan ke masa yang akan
datang dengan berkata: Akan adakah kita di masa datang? Akan tidak adakah kita
di masa datang? Akan jadi apakah kita di masa datang? Akan jadi apakah kita di
masa datang?”
“Tidak, bhante”
“Setelah mengetahui
dan melihat hal ini kamu sekalian akan ragu-ragu tentang keadaan kamu sekarang
dengan berkata : Adakah saya? Tidak adakah saya? Apakah saya? Bagaimanakah
saya? Dari manakah makhluk ini datang? Ke mana makhluk ini akan pergi?”
“Tidak, bhante”
“Tidak, bhante”
25.
“Para bhikkhu, setelah mengetahui dan
melihat hal ini, apakah kamu akan berkata: Guru kami hormati, kami bicara (sama
dengan perbuatan) karena menghormati Guru?”
“Tidak bhante?”
“Tidak bhante?”
“Mengetahui dan
melihat hal ini apakah kamu akan berkata: Seorang bhikkhu mengatakan kepada
kami, bhikkhu-bhikkhu yang lainnya berkata begitu juga, tetapi kami tidak
berkata begitu!”
“Tidak, bhante”
“Mengetahui dan
melihat hal ini, apakah kamu akan memberitahukan yang lain?”
“Tidak, bhante”
“Mengetahui dan
melihat hal ini, apakah kamu sekalian akan kembali pada pekerjaan-pekerjaan para
petapa dan brahmana biasa, kepada pertanda-pertanda baik yang dapat menyebabkan
kericuhan.”
“Tidak, bhante”
“Apakah kamu
berbicara hanya tentang apa yang kamu sendiri ketahui, lihat dan alami?”
“Ya, bhante”
“Ya, bhante”
26.
“Bagus, para bhikkhu. Dengan demikian
kamu telah dibimbing olehKu dengan Dhamma yang nyata pada kehidupan sekarang di
sini, bukan setelah beberapa waktu kemudian, mengundang untuk dibuktikan, maju
terus dan dapat dialami sendiri oleh setiap orang bijaksana.
Karena berdasarkan pada hal ini maka telah
dikatakan: Para bhikkhu, inilah dhamma yang nyata pada kehidupan sekarang di
sini, bukan setelah beberapa waktu kemudian, mengundang untuk dibuktikan, maju
terus dan dapat dialami sendiri oleh setiap orang bijaksana”
27. “Para bhikkhu, embrio (dalam kandungan)
terjadi karena penggabungan tiga hal, yaitu: adanya pertemuan ayah dan ibu,
tetapi ibu tidak ada makhluk yang siap terlahir (kembali), dalam hal ini tidak
ada pembuahan dalam kandungan; ada pertemuan ayah dan ibu, ibu dalam keadaan
masa subur, tetapi tidak ada makhluk yang siap untuk terlahir (kembali), dalam
hal ini tidak ada pembuahan dalam kandungan; tetapi ada pertemuan ayah dan ibu,
ibu dalam keadaan masa subur dan ada makhluk yang siap terlahir (kembali), maka
terjadi pembuahan karena pertemuan tiga hal itu.
28. Ibu mengandung selama sembilan atau sepuluh
bulan dengan penuh beban kecemasan. Selanjutnya pada akhir sembilan atau
sepuluh bulan dengan penuh beban kecemasan ibu melahirkan anaknya. Ketika bayi
telah lahir, ia memeliharanya dengan darahnya sendiri; karma dalam vinaya
ariya, susu ibu disebut sebagai darah.
29. Karena kebutuhan untuk pertumbuhan maupun
kebutuhan untuk pematangan indera-inderanya, anak itu bermain permainan
anak-anak (ghatikam), seperti boneka bajak, pemukul kayu pendek dengan kayu
panjang berjumpalitan, boneka, kincir angin, kereta, pengukur, busur dan anak
panah.
30. Karena kebutuhan untuk pertumbuhan maupun
kebutuhan untuk pematangan indera-inderanya, anak remaja itu dilengkapi dan
diliputi dengan lima macam keinginan indera dan menikmatinya, yaitu mata
mengamati bentuk-bentuk (jasmani) yang diinginkan, disukai, sesuai,
menyenangkan, berhubungan dengan keinginan indera dan membangkitkan nafsu;
telinga mendengar suara-suara yang diinginkan, disukai, hidung membaui bau-bau
yang diinginkan; lidah mengecap rasa yang diinginkan tubuh merasakan sentuhan
yang diinginkan dan membangkitkan nafsu.
31.
Setelah melihat bentuk-bentuk dengan
mata ia bergairah kalau hal itu menyenangkan; ia kesal kalau hal itu tidak
menyenangkan; ia berada dalam keadaan perhatian tubuh (kayasati) tidak terbina
dan pikiran terbatas (parittacetasa) tanpa mengerti bagaimana mencapai kesucian
(cetovimutti) dan kesucian kebijaksanaan (pannavimutti) sehingga semua akusala
dhamma yang jahat lenyap tanpa sisa. Sibuk karena ia melayani yang disukai dan
tidak disukai, ketika ia merasakan suatu rasa yang menyenangkan, menyedihkan
atau bukan menyenangkan maupun bukan menyedihkan, ia menyukai perasaan itu,
mantap dengan itu dan melekat padanya. Ketika ia berbuat begitu, rasa suka
muncul padanya. Sesungguhnya menyukai salah satu dari perasaan-perasaan itu
adalah kemelekatan. Kemelekatan mengkondisikan ‘perwujudan’ (bhava), perwujudan
mengkondisikan kelahiran, kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian, jika
kesedihan, ratap tangis, kesakitan, duka dan putus asa. Itulah, bagaimana semua
penderitaan ini.
Karena mendengar suara dengan telinga
……..
Karena mencium bau
dengan hidung …………
Karena mengecap rasa
dengan lidah ………….
Karena menyentuh
sentuhan dengan tubuh ……..
Karena mengetahui
obyek pikiran (dhamma) dengan pikiran ia bergairah kalau hal itu menyenangkan,
ia kesal kalau hal itu tidak menyenangkan; ia berada dalam keadaan perhatian
tubuh (kayasati) tak terbina dan pikiran terbatas (parittacetasa) tanpa
mengerti bagaimana mencapai kesucian batin (cetovimutti) dan kesucian
kebijaksanaan (pannavimutti) sehingga semua akusala dhamma yang jahat lenyap
tanpa sisa. Sibuk karena ia melayani yang disukai dan tidak disukai, ketika ia
merasakan suatu rasa yang menyenangkan, menyedihkan atau bukan menyenangkan
maupun bukan menyedihkan, ia menyukai perasaan itu, mantap dengan itu dan
melekat padanya. Ketika ia berbuat begitu, rasa suka muncul padanya.
Sesungguhnya menyukai salah satu dari perasaan-perasaan itu adalah kemelekatan.
Kemelekatan mengkondisikan ‘perwujudan’ (bhava), perwujudan mengkondisikan
kelahiran, kelahiran mengkondisikan usia tua dan kematian, juga kesedihan,
ratap tangis, kesakitan, duka dan putus asa. Itulah bagaimana asal mula semua
penderitaan ini.”
32-33. “Para
bhikkhu sekarang Tathagata muncul di dunia Arahat Samma Sambuddha (lihat
Culahatthipadopama Sutta 13-21) ia mensucikan pikirannya dari keragu-raguan
(vicikiccha)”
34-37. “Setelah
melenyapkan lima rintangan (nivarana), kotoran-kotoran batin yang melemahkan
pengertian, jauh dari keinginan nafsu, jauh dari akusala dhamma, ia mencapai
dan berada dalam Jhana I (seperti dalam Bhayabherava Sutta 23-26) Jhana II,
Jhana III, Jhana IV dan telah mensucikan batinnya karena keseimbangan batin.”
38.
“Setelah melihat bentuk-bentuk dengan mata, ia tidak bergairah kalau hal itu
menyenangkan; ia tidak kesal kalau hal itu tidak menyenangkan; ia berada dalam
perhatian tubuh (kayasati) yang terbina dan pikiran berpengertian yang tak
terbatas bagaimana mencapai kesucian batin (cetovimutti) dan kesucian
kebijaksanaan (pannavimutti) sehingga semua akusala dhamma yang jahat lenyap
tanpa sisa. Setelah meninggalkan yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan,
ketika ia merasa suatu perasaan yang apakah menyenangkan, menyedihkan atau
bukan menyenangkan maupun bukan menyedihkan, ia tidak menyukai perasaan itu
tidak mantap dengan itu dan tidak melekat padanya. Ketika ia berbuat begitu
rasa suka pada perasaan-perasaan itu lenyap. Dengan lenyapnya rasa suka maka
kemelekatan lenyap; dengan lenyapnya kemelekatan maka ‘perwujudan’ lenyap
dengan lenyapnya perwujudan maka kelahiran lenyap; dengan lenyapnya kelahiran
maka usia tua dan kematian lenyap, juga kesedihan, ratap tangis, kesakitan,
duka dan putus asa. Itulah bagaimana semua pendeitaan lenyap.
Karena mendengar
suara dengan telinga …….
Karena mencium bau
dengan hidung ………..
Karena mengecap rasa
dengan lidah ………
Karena menyentuh
sentuhan dengan tubuh ……..
Karena mengetahui
objek pikiran (dhamma) dengan pikiran. Itulah bagaimana semua penderitaan
lenyap”
39. “Para bhikkhu, ingatlah kesucian karena
pelenyapan total dari keinginan (tanha sankhaya vimutti) yang saya uraikan ini.
Tetapi bhikkhu Sati Kevattaputta telah terperangkap dalam jaring nafsu yang
besar dan terkungkung oleh nafsu.”
Inilah yang dikatakan oleh Sang Tathagata. Para bhikkhu sangat puas dan senang terhadap kata-kata dari Sang Bhagava.
Inilah yang dikatakan oleh Sang Tathagata. Para bhikkhu sangat puas dan senang terhadap kata-kata dari Sang Bhagava.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar