MAHASACCAKA SUTTA
Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya
II,
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit : Hanuman Sakti, Jakarta, 1997
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit : Hanuman Sakti, Jakarta, 1997
1.
Demikianlah yang saya dengar.
Pada suatu waktu Sang Bhagava sedang
berada di Kutagarasala, Mahavana, Vesali.
2. Ketika hari masih pagi, Sang Bhagava telah
selesai berpakaian dan mengambil patta serta jubah luar (civara). Beliau akan
pergi ke Vesali untuk pindapata.
3. Pada saat itu Saccaka Niganthaputta sedang
cankamana (berjalan mondar-mandir melakukan latihan) ia pergi ke Kutagarasala,
Mahavana. Bhikkhu Ananda melihat dia datang dari jauh. Ketika beliau
melihatnya, beliau berkata kepada Sang Bhagava: “Bhante, Saccaka Niganthaputta
sedang ke sini, ia adalah seorang pendebat, seorang pembicara yang pandai dan
dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci. Ia ingin mencela Sang Buddha,
Dhamma dan Sangha. Lebih baik apabila Sang Bhagava mau duduk sebentar demi
kasih sayang.” Sang Bhagava duduk di tempat duduk yang ada. Kemudian Saccaka
Niganthaputta pergi menemui beliau, saling memberikan salam, setelah kata-kata
pembuka yang penuh hormat serta lemah lembut itu dilakukan, ia duduk di tempat
duduk yang tersedia. Setelah duduk ia berkata Sang Bhagava:
4. “Guru Gotama,
ada beberapa petapa dan brahmana yang melibatkan diri untuk mengejar praktik
pengembangan jasmani tanpa mengembangkan pikiran. Mereka itu tersentuh oleh
perasaan sakit jasmani menjadi lumpuh di paha atau jantung meledak atau darah
panas menyembur keluar dari mulutnya atau ia menjadi gila, hilang kesadarannya.
Begitulah karma pikiran tunduk pada jasmaninya dan membiarkan jasmani
menguasainya.Mengapa? Sebab pikiran tidak dikembangkan. Tetapi ada pula
beberapa petapa dan brahmana yang terlibat dalam mengejar mengembangkan pikiran
tanpa mengembangkan jasmani. Mereka itu tersentuh oleh perasaan sakit dari
mentalnya, juga menjadi lumpuh pada pahanya atau jantungnya meledak, darah
segar menyembur keluar dari mulutnya atau ia menjadi gila, hilang kesadarannya.
Begitulah karma jasmani tunduk pada pikiran, membiarkan pikiran menguasainya.
Mengapa? Sebab jasmani itu tidak dikembangkan. Guru Gotama, saya berpendapat
bahwa sudah pasti siswa-siswa Guru Gotama adalah mengutamakan mengembangkan
pikiran tanpa mengembangkan jasmani?”
5.
“Aggivessana, tetapi bagaimana cara
mengembangkan jasmani kamu pelajari?”
“Ada contohnya, yaitu: Nanda Vaccha, Kisa
Sankicca, Makkhali Gosala. Mereka itu berjalan dengan telanjang, mereka menolak
kaidah-kaidah/peraturan, menjilati tangan-tangan mereka, tidak mau memenuhi
undangan, tidak berhenti apabila diminta, mereka tidak menerima apapun yang
dibawa (kepadanya), atau sesuatu yang khusus dibuat (untuk dirinya), atau suatu
undangan: mereka tidak akan menerima segala sesuatu yang dikeluarkan dari
panci, dari mangkok, melewati daun pintu, melewati tongkat, melewati alu (alat
penumbuk), dari dua orang makan bersama, dari seorang wanita dengan anak, dari
wanita menyusui, dari (dimana) seorang wanita sedang merebahkan diri dengan
seorang laki-laki, dari makanan yang telah diumumkan untuk dibagi-bagikan, dari
tempat dimana seekor anjing sedang menunggu, darimana lalat-lalat sedang
beterbangan: mereka tidak menerima ikan atau daging, mereka tidak minum anggur,
arak atau minuman yang diragikan. Mereka menerima makanan hanya dari satu rumah
untuk sesuap nasi: mereka menerima makanan hanya dari dua rumah untuk dua suap
nasi …. tujuh rumah untuk tujuh suap nasi. Mereka hidup hanya dengan sepiring, dengan
dua piring … tujuh piring sehari. Mereka hanya makan satu kali sehari, satu
kali dalam dua hari …. satu kali dalam tujuh hari; dan sedemikian selanjutnya
hingga satu kali dalam empat betas hari, mereka berkelana mengabdikan diri
kepada praktik semacam itu tentang mengambil makanan pada waktu-waktu yang
telah dikemukakan itu.”
6.
“Aggivessana, tetapi apakah mereka itu
selalu hidup atas dasar hal itu?” “Tidak, Guru Gotama, kadang-kadang mereka
mengunyah makanan keras yang baik, makanan-makanan baik yang lembut, mencicipi
cemilan-cemilan enak, minum-minuman enak. Dengan itu mereka mendapat kekuatan,
pertumbuhan dan lemak.”
“Aggivessana, apa yang dahulu mereka
tinggalkan, mereka kemudian mengumpulkannya kembali. Itulah mengapa terdapat
pengumpulan dan pembuangan dari badan ini. Sekarang bagaimana pengembangan
pikiran yang telah kamu pelajari?” Ketika Saccaka Niganthaputta ditanya oleh
Sang Bhagava tentang pengembangan pikiran, ia tidak dapat menjawabnya.
7.
Kemudian Sang Bhagava berkata
kepadanya: “Aggivessana, apa yang baru saja kamu bicarakan sebagai pengembangan
jasmani, adalah bukan pengembangan jasmani sesuai dengan Dhamma dan Vinaya
Ariya. Sedangkan pengembangan jasmani kamu tidak tahu, apalagi tentang
pengembangan pikiran itu! Namun demikian, dengarkan bagaimana seseorang tidak
mengembangkan jasmani dan tidak mengembangkan pikiran, juga bagaimana ia
mengembangkan jasmani dan pikiran, perhatikan baik-baik apa yang akan saya
katakan.”
“Baiklah. Bhante,” jawab Saccaka
Niganthaputta. Selanjutnya Sang Bhagava berkata:
8.
“Bagaimana seseorang tidak mengembangkan jasmani serta tidak mengembangkan
pikiran? Aggivessana, dalam hal ini perasaan menyenangkan timbul dalam di dalam
diri seorang awam yang tidak diajar sebagaimana orang-orang biasa pada umumnya.
Disentuh oleh perasaan menyenangkan itu, ia bernafsu terhadap perasaan
menyenangkan tersebut, ia tetap saja bernafsu terhadap perasaan menyenangkan
itu. Perasaan menyenangkan itu berhenti, dengan berhentinya perasaan
menyenangkan itu maka timbullah perasaan menyakitkan (di kemudian hari).
Disentuh oleh perasaan menyakitkan itu
maka ia berduka, sedih, meratapi, memukul-mukul dadanya, ia menangis dan
menjadi putus asa. Ketika perasaan menyenangkan itu timbul padanya, perasaan
itu masuk dalam pikiran dan tinggal disana karena badan jasmaninya tidak
dikembangkan. Dalam hal ini, setiap yang dalam cara atau gaya ganda ini,
perasaan menyenangkan timbul dan masuk dalam pikiran serta tinggal di sana
karena badan jasmani itu tidak dikembangkan; perasaan menyakitkan timbul dan
masuk dalam pikiran serta tinggal di sana sebab pikiran itu tidak dikembangkan.
Beginilah jasmani yang tidak dikembangkan dan pikiran yang tidak dikembangkan.
9. Bagaimana seseorang mengembangkan jasmani dan
pikiran? Aggivessana, dalam hal ini perasaan menyenangkan timbul pada ariya
savaka yang terpelajar dengan baiknya. Disentuh oleh perasaan menyenangkan itu,
ia tidak bernafsu terhadap perasaan menyenangkan itu, ia tidak tetap
mempertahankan nafsunya terhadap perasaan menyenangkan itu. Perasaan menyenangkan
itu berhenti. Karena perasaan menyenangkan berhenti, maka timbullah perasaan
menyakitkan, ia tidak berduka, tidak bersedih atau meratapinya, ia tidak
memukuli dirinya, tidak menangis dan tidak putus asa. Ketika perasaan
menyenangkan itu timbul padanya, perasaan menyenangkan itu tidak masuk dalam
pikiran dan tidak tetap tinggal di sana sebab badan jasmaninya telah
dikembangkan. Ketika perasaan menyakitkan itu timbul padanya, perasaan
menyakitkan tidak masuk dalam pikiran dan tidak tinggal di sana sebab pikiran
telah dikembangkan. Dalam hal ini, setiap orang dengan cara atau gaya ganda
ini, perasaan menyenangkan timbul tidak masuk dalam pikiran dan tidak tinggal
di sana sebab badan jasmani telah dikembangkan, dan perasaan menyakitkan timbul
dan tidak masuk dalam pikiran Saya serta tinggal di sana.”
10. “Saya mempunyai kepercayaan kepada Guru Gotama
demikian: Beliau telah mengembangkan jasmani dan pikiran.”"Aggivessana,
sudah tentu kata-kata yang telah kamu ucapkan itu adalah pernyataan pribadi.
Namun begitu Saya akan menjawabmu. Sejak aku mencukur rambut dan jenggot,
mengenakan jubah kuning, meninggalkan kehidupan berumah tangga menjadi petapa,
maka tidak mungkin perasaan menyenangkan muncul dan masuk dalam pikiran yang
telah dikembangkan.”
11. “Apakah barangkali tidak pernah timbul di dalam
diri Guru Gotama suatu perasaan begitu menyenangkan yang dapat masuk dalam
pikiran serta tetap tinggal di sana? Apakah tidak pernah timbul di dalam diri
Guru Gotama suatu perasaan yang begitu menyakitkan sehingga masuk dalam pikiran
dan tetap tinggal di sana?”
12.
“Aggivessana, mengapa tidak? Sekarang, sebelum aku mencapai Penerangan
Sempurna, ketika aku masih sebagai Bodhisatva yang belum mencapai penerangan
sempurna itu, saya berpikir: Hidup berumah tangga itu adalah tidak leluasa dan
merupakan tempat yang kotor; hidup itu berjalan terus menerus tak henti. Adalah
tidak mungkin sementara masih hidup berumah tangga dan menjalani hidup suci
yang sempurna dan murni seperti kerang yang digosok. Seandai aku mencukur
rambut dan jenggotku, mengenakan jubah kuning, meninggalkan kehidupan berumah
tangga menjadi petapa?
13 – 16.
Selanjutnya, ketika masih muda, sebagai seorang anak laki-laki dengan rambut
hitam kelam, yang diliputi keremajaan, pada phase pertama dari kehidupan … walaupun
ayah dan ibu … (dan seterusnya seperti di dalam M.26 para. 14-17 hingga) … di
sana terdapat sebidang tanah yang cocok, ada taman yang menyenangkan, ada
sungai jernih yang mengalir dengan tepinya yang bagus dan di dekatnya ada dusun
sebagai tempat pindapata. Semua ini menyediakan sarana usaha bagi orang yang
mau berusaha. Saya duduk di sana dan berpikir: “Ini akan menjadi sarana untuk
usaha.”
17.
Sekarang, tiga perumpamaan muncul padaku secara spontan, yang belum pernah
terdengar sebelumnya. Misalnya, ada sepotong kayu basah, lapuk terletak di
dalam air, dan seseorang datang dengan membawa kayu-api, sambil berpikir: “Aku
akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.” Bagaimana pendapatmu
Aggivessana, apakah orang itu akan (dapat) menyalakan api dan menghasilkan
panas dengan membenamkan kayu-api yang ia bawa itu dan digosok-gosokan pada
kayu lapuk basah tersebut, yakni kayu yang terletak di dalam air itu?”
“Tidak, Guru
Gotama.” “Mengapa? Sebab kayu itu basah, lapuk dan di samping itu pula,
terletak di dalam air. Oleh karena itu orang tersebut akan memetik hasil
kelelahan serta kekecewaan.”
“Demikianlah.
Aggivessana, sementara seorang petapa dan brahmana yang hidup dengan jasmani
dan mental mereka belum menghindar dari keinginan indera, juga sementara nafsu-nafsunya,
cinta kasih, kasih sayang, haus dan demam terhadap kesenangan indera belum
ditinggalkannya dengan tuntas, maka jikalau petapa maupun brahmana merasakan
sakit. Tersiksa, perasaan yang menusuk, ia tidak mampu mendapat pengetahuan
(nana), pandangan (dassana) dan penerangan sempurna itu. Sama pula jikalau
seorang petapa maupun brahmana yang baik merasakan rasa sakit, tersiksa maupun
rasa sakit hingga menusuk yang disebabkan oleh usahanya, ia tidak mampu
mendapatkan pengetahuan dan penglihatan dan penerangan sempurna. Ini adalah
persamaan pertama yang terjadi padaku, belum pernah mendengar sebelumnya.
18.
Begitu pula, umpamanya ada sepotong kayu yang basah dan lapuk tergeletak di
atas tanah kering jauh dari air dan seseorang datang dengan membawa tongkat
kayu-api, dan berpikir: “Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.”
Aggivessana, bagaimana pendapatmu, apakah orang itu akan dapat menyalakan api
dan menghasilkan panas dengan menggosok-gosokkan kayu-api itu pada sebatang
kayu yang basah serta lapuk itu. Walaupun kayu terletak di tanah kering jauh
dari air?” “Tidak Guru Gotama. Mengapa? Sebab kayu itu basah, lapuk, walaupun
terletak di tanah kering yang jauh dari air. Oleh karena itu orang tersebut
akan memetik hasil yang melelahkan dan mengecewakan.”
“Aggivessana,
demikianlah sementara seorang petapa dan brahmana masih saja hidup hanya
meninggalkan pemuasan nafsu indera jasmaniah; sedangkan nafsu-nafsunya, cinta
kasih, nafsu kerasnya, haus dan demam untuk keinginan-keinginan indera tidak
sepenuhnya ditinggalkan serta ditenangkan di dalam dirinya, sekalipun jikalau
seorang petapa dan brahmana merasakan sakit, tersiksa dan tertusuk oleh
perasaan-perasaan yang disebabkan oleh usaha kerasnya itu, ia tidak akan mampu
mendapat pengetahuan, pandangan dan penerangan sempurna.
Demikian pula jikalau petapa maupun
brahmana yang baik tidak merasakan sakit, tersiksa, perasaan-perasaan yang
menusuk yang disebabkan karena keinginan atau usaha kerasnya itu, ia tidak akan
mampu mendapat pengetahuan, pandangan dan penerangan sempurna. Ini adalah
perumpamaan kedua yang muncul pada-Ku secara spontan, yang belum pernah
terdengar sebelumnya.
19.
Sekali lagi, umpamanya ada sepotong kayu yang tidak bergetah atau yang kering
terletak di atas tanah yang kering jauh dari air, lalu ada orang datang dengan
sepotong kayu-api, sambil berpikir: “Aku akan menyalakan api, aku akan membuat
panas”.
Aggivessana,
bagaimana pendapatmu: Apakah orang itu akan bisa menyalakan api itu pada
sebatang kayu kering, tanpa getah yang terletak di atas tanah kering jauh dari
air.”
“Ya, Guru Gotama.
Mengapa? Sebab kayu itu adalah kering, tanpa getah disamping itu, kayu itu
tergeletak di atas tanah kering jauh dari air!”
“Aggivessana,
demikianlah sementara seorang petapa dan brahmana yang baik dengan jasmani
serta mentalnya meninggalkan keinginan-keinginannya, kasih sayangnya, nafsunya,
haus dan demam untuk keinginan-keinginan indera telah sama sekali ditinggalkan
dan ditenangkan dalam dirinya, kemudian, sekalipun jika kalau seorang petapa
maupun brahmana merasakan rasa sakit, rasa menyiksa, rasa menusuk disebabkan
karena keinginan atau usaha-usahanya itu, ia mampu mendapat pengetahuan,
pandangan dan penerangan sempurna agung. Sekalipun apabila seorang pendeta baik
atau orang suci tidak merasakan rasa menyakitkan, rasa menyiksa, rasa yang
menusuk-nusuk disebabkan karena usahanya itu, ia mampu mendapat pengetahuan,
pandangan dan penerangan sempurna. Inilah tiga perumpamaan yang terjadi padaku
secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya.
20. Aku
berpikir: “Seandainya dengan gigi-gigiku tertutup rapat dan lidahku ditekan
kuat-kuat pada langit-langit mulut, aku mengalahkan, memaksa dan menghancurkan
pikiran dengan pikiran?” Oleh karena itu, dengan gigi tertutup rapat dan lidah
tertekan pada langit-langit mulut, aku mengalahkan, memaksa dan menghancurkan
pikiran dengan pikiran. Sementara aku berbuat demikian, keringat mengalir dari
ketiakku. Sama seperti halnya seorang kuat akan menangkap orang yang lebih
lemah pada kepalanya atau pada pundaknya dan mengalahkannya, memaksa serta
menghancurkannya; demikian juga, sementara gigi-gigiku tertutup rapat dan
lidahku tertekan pada langit-langit mulut, aku mengalahkan, memaksa dan
menghancurkan, pikiran dengan pikiran, keringat mengalir dari ketiakku. Tetapi
walaupun semangat yang tiada habis-habisnya itu telah timbul dalam diriku dan
kesadaran yang tidak dapat dibatalkan kembali telah dibentuk, namun tubuhku
telah dipaksakan dan tidak tenang, saya kelelahan disebabkan oleh usaha yang
menyakitkan itu. Tetapi perasaan menyakitkan yang terjadi pada diriku seperti
itu, tidak masuk dalam pikiran dan tidak tinggal di sana.
21. Aku berpikir: “Seandainya aku melatih meditasi
tanpa bernafas?” Maka saya menghentikan nafas masuk dan nafas keluar dari mulut
dan hidungku. Sementara aku berbuat demikian, terjadilah suara yang amat keras
oleh angin yang datang dari lubang-lubang telingaku. Sama seperti adanya suara
keras dari teriakan seseorang, demikian juga halnya, ketika aku menghentikan
nafas masuk dan nafas keluar dari mulut dan dari hidungku, terjadilah suara
keras dari angin yang datang dari lubang telingaku. Tetapi walaupun semangat
yang tiada habis-habisnya telah timbul di dalam diriku …. perasaan menyakitkan
…. tidak masuk dalam pikiran dan tidak tinggal di sana.
22.
Aku berpikir: “Seandainya aku mempraktikkan lebih lanjut meditasi tanpa
bernafas?” Oleh karena itu aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar dari
mulut dan dari hidungku serta telingaku. Sementara aku berbuat demikian, angin
mengganggu kepalaku. Sama seperti halnya ada orang kuat sedang membelah
kepalaku pecah dengan pedang tajam, demikian juga, ketika aku menghentikan
nafas masuk dan nafas keluar di dalam mulutku, hidung dan telinga, angin
dahsyat mengganggu kepalaku.
Tetapi walaupun semangat yang tanpa
habis-habisnya telah timbul di dalam diriku …. perasaan menyakitkan …. tidak
masuk dalam pikiran dan tidak tinggal di sana.
23. Aku
berpikir: “Seandainya lebih lanjut saya mempraktikkan meditasi tanpa bernafas?”
Oleh sebab itu aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar di dalam mulutku,
hidung dan telinga. Sementara aku berbuat demikian, terjadilah rasa sakit nan
dahsyat di dalam kepalaku. Sama seperti halnya seseorang yang kuat sedang
mengikat erat-erat ikat pinggang kulit di kepalaku, demikian juga ketika aku
menghentikan nafas masuk dan nafas keluar di dalam mulutku, hidung dan telinga,
terjadi rasa sakit yang luar biasa dalam kepalaku itu. Tetapi walaupun semangat
yang tanpa habis-habisnya telah timbul di dalam diriku …. perasaan menyakitkan ….
tidak masuk dalam pikiran dan tidak tinggal di sana.
24. Aku
berpikir: “Seandainya aku melatih meditasi lebih lanjut tanpa bernafas?” Oleh
karena itu aku berhenti menarik dan mengeluarkan nafas di dalam mulutku, hidung
dan telinga. Sementara saya berbuat demikian, angin dahsyat mengukir-ukir di
dalam perutku. Tepat seperti seorang penjagal pandai atau anak buahnya
menggores-gores isi perut lembu dengan pisau tajam, demikian juga, ketika aku
berhenti menarik dan mengeluarkan nafas di dalam mulut, hidung dan telinga,
angin dahsyat menyayat-nyayat perutku. Tetapi walaupun energi yang tiada
habis-habisnya itu di bangkitkan di dalam diriku …. perasaan menyakitkan ….
tidak menjajah pikiranku dan tinggal di sana.
25. Ketika para
dewa melihat diriku, mereka berkata: “Samara Gotama telah mati”. Dewa-dewa lain
berkata: “Samara Gotama tidak mati, ia hampir mati”. Para dewa yang lain
berkata: “Samara Gotama itu tidak mati dan bukan dalam keadaan mau mati; ia
seorang Arahat. Inilah cara para Arahat.”
26. Aku
berpikir: “Seandainya aku sama sekali tidak makan?” Kemudian datanglah para
dewa kepadaku dan berkata: “Saudara yang baik, janganlah tidak makan sama
sekali.Apabila kamu berbuat demikian, kita akan memasukkan makanan surgawi
melalui pori-porimu dan kamu akan hidup atas makanan surgawi itu”. Aku
berpikir: “Jika aku memaksa untuk berpuasa total dan para dewa ini memasukkan
makanan surgawi melalui pori-poriku dan saya hidup atas dasar itu, maka aku
akan berbohong”. Maka saya menolak para dewa itu: “Tidak perlu”
27. Aku berpikir:
“Seandainya aku hanya makan sedikit saja, katakanlah, setiap kali satu kepal,
apakah makan itu adalah sop kacang atau sop miju-miju atau sop kacang-kacangan
dan lain-lain. Ketika aku berbuat demikian, badanku menjadi kurus kering luar
biasa. Disebabkan karena makan begitu sedikitnya tulang-tulangku menjadi
semacam sambungan dari batang tumbuh-tumbuhan atau seperti sambungan
bambu-bambu. Disebabkan karena makan begitu sedikit punggungku menjadi
melengkung bagaikan pungguk onta. Disebabkan karena makan begitu sedikit
sehingga penampilan dari tulang-tulang belakangku mirip dengan manik-manik yang
diikat dengan tali. Disebabkan makan begitu sedikit tulang-tulang igaku
menonjol keluar bagaikan kayu kaso dari sebuah gudang yang tidak mempunyai
atap. Disebabkan karena makan begitu sedikit cahaya dari sinar mataku tenggelam
jauh ke bawah masuk ke dalam kelopaknya seperti pancaran air yang tenggelam
jauh ke dalam sumur yang amat dalam. Disebabkan karena makan begitu sedikit
kulit kepalaku mengkerut dan layu bagaikan buah labu hijau yang mengkerut dan
layu terkena angin dan matahari. Disebabkan makan begitu sedikitnya, apabila
aku menyentuh kulit perutku, aku dapat menyentuh tulang belakangku aku juga
menyentuh kulit perutku. Disebabkan makan begitu sedikitnya, apabila aku
membuang air kecil atau air besar, aku jatuh terjungkal di atas mukaku di sana.
Disebabkan makan begitu sedikitnya, apabila aku mencoba untuk mengusap tubuhku
tercabut sampai keakar-akarnya, berjatuhan dari tubuhku ketika saya mengusap.
28. Pada waktu
itu apabila orang-orang melihat diriku seperti itu, mereka berkata: “Samana
Gotama adalah seorang hitam” Orang -orang lain berkata: “Samana Gotama adalah
bukan orang hitam, ia adalah orang coklat.” Orang lain pula berkata: “Samana
Gotama adalah bukan orang hitam maupun pula bukan orang coklat, tetapi ia
adalah orang kulit cerah.” Begitu banyaknya warna kulitku yang biasanya terang,
cerah menjadi rusak tidak karuan karena makan begitu sedikitnya.
29. Aku
berpikir: “Apabila seorang petapa atau brahmana merasakan rasa sakit, bergetar,
menusuk dikarenakan keinginan kerasnya, rasa itu dapat menyamai keadaanku ini
tetapi tidak dapat melampauinya. Kapanpun seorang petapa atau brahmana pada
waktu yang akan datang akan merasakan sakit, bergetar dan perasaan menusuk yang
amat tajam disebabkan keinginan-keinginan kerasnya. Keadaan itu dapat menyamai
perasaanku itu tapi bukan melebihinya. Kapanpun seorang petapa atau brahmana
pada waktu sekarang merasakan sakit, bergetar atau perasaan yang menusuk
disebabkan karena keinginan kerasnya, keadaan sakit itu bisa menyamai
perasaanku itu namun tidak melebihinya. Tetapi dengan melaksanakan hal yang
amat menyakitkan ini saya mencapai tingkat yang tidak beda dengan keadaan
manusia biasa yang belum mencapai pengetahuan dan pandangan ariya. Apakah masih
ada jalan lain untuk pencapaian penerangan sempurna?
30. Aku
berpikir: “Ketika ayahku Sakya sedang sibuk, ketika aku sedang duduk di bawah
rindangnya pohon apel-jingga (jambuddhaya), jauh dari pemuasan nafsu indera,
jauh dari akusala dhamma, saya memiliki pengetahuan mencapai dan berada dalam
Jhana I dengan memiliki vitakka, vicara, piti yang dihasilkan oleh ketenangan.
Apakah jalan ini mencapai penerangan sempurna?” Kemudian, ingatan berikut
muncul dan mengenal: “Inilah jalan pencapaian Penerangan Sempurna”
31. Aku
berpikir: “Mengapa aku takut pada kesenangan? Itu adalah kesenangan yang tidak
ada hubungannya dengan keinginan-keinginan indera-indera dan akusala dhamma.”
Aku berpikir: “Saya tidak takut terhadap kesenangan-kesenangan itu, karena
kesenangan-kesenangan itu tidak ada hubungannya dengan keinginan-keinginan
indera dan akusala dhamma.”
32. Aku
berpikir: “Adalah tidak mungkin mencapai kesenangan semacam itu dengan badan
yang sangat kurus. Seandainya aku makan sedikit makanan padat – sedikit nasi
dan roti? Saya makan sedikit makanan padat – sedikit nasi dan roti, tetapi pada
waktu itu ada lima bhikkhu yang sedang menemani saya, sambil berpikir: “Apabila
Samana Gotama mencapai suatu kemajuan ia akan memberitahukan kepada kita”
Segera setelah aku makan nasi dan roti, kelima bhikkhu menjadi muak dan
meninggalkan aku (sambil berpikir): “Samana Gotama telah berbalik menjadi
memuaskan diri sendiri, ia telah meninggalkan usaha dan hidup mewah”
33. Ketika saya
telah makan makanan padat dan menemukan kembali kekuatanku, karena jauh dari
pemuasan nafsu indera dan akusala dhamma saya mencapai dan berada dalam Jhana I
yang disertai oleh vitakka, vicara dan piti yang muncul karena ketenangan.
Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul adalah tidak masuk ke dalam pikiranku
dan tinggal di sana.
34. Dengan vitakka dan vicara lenyap, saya mencapai
dan berada dalam Jhana II ….
35. Dengan piti lenyap … Jhana III …. Tetapi
perasaan menyenangkan yang muncul itu tidak masuk ke dalam pikiranku dan tidak
tinggal di sana.
36. Dengan melenyapkan kebahagiaan (sukha) dan
ketidak senangan (dhukkha), saya mencapai dan berada dalam Jhana IV. Tetapi
perasaan menyenangkan yang muncul itu tidak masuk ke dalam pikiranku dan tidak
tinggal di sana.
37. Ketika pikiranku yang terkonsentrasi menjadi
murni, jernih, tanpa cacat, ketidaksempurnaan lenyap, menjadi tak tertundukkan,
kuat, mantap, mencapai keadaan yang tidak dapat diganggu, saya mengarahkan
pikiranku kepada pengetahuan mengingat kehidupan pada masa yang lampau
(pubbenivasanussatinana) …. (seperti dalam M.4.27) …. jadi dengan rinci dan
khusus saya mengingat banyaknya kehidupanku pada masa yang lampau itu.
38. Ini adalah
pengetahuan benar pertama bagiku yang saya capai pada masa pertama di malam
hari. Kebodohan telah dimusnahkan dan pengetahuan sejati timbul; kegelapan
telah dilenyapkan dan cahaya terang timbul; seperti (yang terjadi) pada orang
yang menyenangkan yang muncul itu tidak masuk dalam pikiranku dan tidak tinggal
di sana.
39. Ketika pikiranku yang terkonsentrasi menjadi
mumi, jernih … saya mengarahkan pikiranku kepada meninggal dan terlahir kembali
makhluk-makhluk …. (seperti di dalam M.4.29) …. jadi dengan mata dewa (dibba
cakkhu), yang telah dimurnikan dan melampaui kemampuan mata manusia biasa. Saya
melihat …. bagaimana makhluk-makhluk itu mati sesuai dengan kamma-kamma mereka.
40. Ini adalah
pengetahuan benar kedua yang telah saya capai pada masa kedua di malam hari.
Kebodohan telah dilenyapkan dan timbullah pengetahuan sejati; kegelapan telah
dilenyapkan dan terang telah timbul; seperti yang terjadi pada diri orang yang
rajin, tekun dan menguasai diri sendiri. Tetapi perasaan menyenangkan yang
muncul itu tidak masuk dalam pikiranku dan tidak tinggal di sana.
41 – 42. Ketika
pikiranku yang terkonsentrasi menjadi murni, jernih …… saya mengarahkan
pikiranku kepada pengetahuan pemusnahan kekotoran batin noda-noda
(asavakkayanana). Saya mempunyai abhinna (pengetahuan batin) ‘apa adanya’
tentang: “Inilah dukkha seperti dalam M.4.31-32 Tidak ada lagi kehidupan
berikut yang akan muncul”
43. Ini adalah
pengetahuan benar ketiga yang telah saya capai pada masa ketiga di malam hari.
Kebodohan telah dilenyapkan dan kebenaran sejati timbul; kegelapan telah
dilenyapkan cahaya terang timbul; seperti terjadi pada diri orang yang rajin,
tekun dan menguasai diri sendiri. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul itu
tidak masuk dalam pikiran dan tidak tinggal di sana.
44. Saya
mempunyai pengetahuan langsung untuk mengajarkan Dhamma kepada sekumpulan orang
yang terdiri dari beberapa ratus orang. Barangkali seseorang atau orang lain
telah membayangkan: “Samana Gotama sedang mengajarkan Dhamma kepadaku” Tetapi
hal itu harap jangan menganggap bahwa Tathagata mengajarkan Dhamma kepada
orang-orang hanya untuk memberikan pengetahuan kepada mereka. Ketika
pembicaraan telah selesai, maka selanjutnya saya memusatkan pikiranku ke dalam
diriku sendiri, menenangkannya, memusatkannya pada obyek yang sama seperti pada
pemusatan pikiran yang lalu, yang selalu saya hayati. Itu dapat dipercaya
(sebagai suatu pernyataan) dari Samana Gotama karena ia adalah Arahat Samma
Sambuddha. Tetapi barangkali Samana Gotama mempunyai abhinna tentang tidur di
siang hari?
45. Aggivessana, di akhir bulan pada musim panas
setelah kembali dari pindapata dan setelah makan, saya mempunyai pengetahuan
melipat jubah (sanghati) saya empat kali, membaringkan tubuh pada sisi kanan,
tertidur dengan penuh perhatian dan sadar”"Beberapa petapa dan brahmana
menamakan itu sebagai cara orang bodoh, Guru Gotama”
46. “Itu adalah
bukan bagaimana seseorang bodoh atau tidak bodoh, ditipu. Dengarkan dengan
penuh perhatian apa yang akan saya katakan tentang bagaimana seseorang itu
bodoh atau tidak bodoh.” “Baiklah” jawab Saccaka Niganthaputta. Selanjutnya
Sang Bhagava berkata:
47. “Ia saya
sebut bodoh karena dirinya dikotori noda-noda batin, menghasilkan kelahiran
baru, menyebabkan kesusahan, matang dalam penderitaan, mengarah pada kelahiran
di waktu yang akan datang, menjadi tua dan kematian adalah tidak dapat
dihindari; dikarenakan tidak adanya penghindaran dari noda-noda, itulah yang
dinamakan orang bodoh. Ia saya namakan tidak bodoh, karena dirinya tidak
dikotori oleh noda-noda batin yang menyebabkan kelahiran baru, menyebabkan
kesusahan, matang dalam penderitaan, mengarah pada kelahiran di waktu yang akan
datang, menjadi tua dan mati, telah ditinggalkan; dikarenakan dengan
meninggalkan noda-noda batin, maka seseorang itu adalah tidak bodoh. Dalam diri
Tathagata, noda-noda semacam itu yang menyebabkan kelahiran baru, seperti
memberikan kesusahan, seperti menjadi matang di dalam penderitaan, mengarah
pada kelahiran kembali di waktu yang akan datang, menjadi tua dan kematian,
telah ditinggalkan, dipotong pada akarnya, dibuat seperti batang pohon palem,
dibuat sedemikian rupa sehingga naluri untuk tumbuh kembali di waktu yang akan
datang sudah tidak ada lagi. Sama seperti pohon palem yang ujungnya dipotong
sehingga tidak bisa lagi tumbuh: demikian juga dalam diri Tathagata noda-noda
yang mengotori. Yang menyebabkan kelahiran baru, memberikan kesusahan, matang
dalam penderitaan dan mengarah pada kelahiran yang akan datang, menjadi tua dan
kematian, telah ditinggalkan, dipotong hingga akarnya, dibuat seperti batang
pohon palem, dibuat sedemikian rupa sehingga kemampuan untuk tumbuh lagi adalah
suatu tidak mungkin”
48.
Ketika hal ini telah dikatakan, Saccaka
Nigantaputta berkata:
“Mengagumkan, Guru
Gotama, bagus sekali, bagaimana, ketika Guru Gotama memiliki kata-kata pribadi
yang ditujukan berkali-kali kepada dirinya sendiri, warna kulitnya menjadi
cemerlang, dan warna kulit muka menjadi jelas, seperti (yang diharapkan) di
dalam diri seorang Arahat Samma Sambuddha. Aku telah memiliki pengalaman
berdebat dengan Purana Kassapa, ia memutarbalikkan pembicaraan, membiarkan
pembicaraan menyimpang, menunjukkan amarah, benci dan kebengisan. Namun ketika
Guru Gotama menyatakan kata-kata yang bersifat pribadi yang ditujukan
berkali-kali kepada dirinya sendiri, warna kulit beliau menjadi cerah dan warna
muka-Nya menjadi terang, seperti (yang diharapkan) di dalam diri seorang Arahat
dan mencapai Penerangan Sempurna. Aku mempunyai pengalaman berdebat dengan
Makkhali Gossala …. Ajita Kesakambali Kakuddha Kaccayana …. Sanjaya
Belatthiputta …. Nigantha Nataputta, ia memutarbalikkan pembicaraan, membiarkan
pembicaraan beralih, dan menunjukkan amarah, kebencian dan kebengisan. Tetapi
ketika Guru Gotama menyatakan kata-kata pribadi yang ditujukan berkali-kali
ditujukan kepada diri-Nya sendiri, warna kulit beliau menjadi cerah dan warna
kulit muka menjadi terang, seperti (yang diharapkan) di dalam diri seorang
Arahat dan mencapai Penerangan Sempurna. Guru Gotama, sekarang kita berpisah;
kami sangat sibuk dan banyak pekerjaan.”"Sekarang adalah waktunya untuk
kamu melakukan pekerjaan yang cocok bagimu, Aggivessana”
Saccaka Niganthaputta menjadi puas,
dan sangat senang atas kata-kata Sang Bhagava, ia bangkit dari duduknya dan
pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar