Mahà-Assapura Sutta
Khotbah Panjang
di Assapura
1. DEMIKIANLAH
YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavà sedang menetap di Negeri Anga di pemukiman Anga bernama Assapura. Di
sana Sang Bhagavà memanggil para bhikkhu sebagai
berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavà berkata sebagai berikut :
2. “’Petapa,
petapa,’ para bhikkhu, itu adalah bagaimana orang-orang mengenali kalian. Dan
jika kalian ditanya, ‘Apakah kalian?’, maka kalian mengaku bahwa kalian adalah
para petapa. Karena itu adalah sebutan bagi kalian dan apa yang kalian akui,
kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan melaksanakan dan melatih
hal-hal yang membuat seseorang menjadi seorang petapa, yang membuat seseorang
menjadi seorang brahmana, sehingga sebutan kami menjadi benar dan
pengakuan kami benar, dan sehingga pelayanan dari mereka yang jubah, makanan,
tempat tinggal, dan obat-obatannya kami gunakan akan memberikan buah dan
manfaat besar bagi mereka, dan sehingga pelepasan keduniawian kami tidak
sia-sia melainkan subur dan berbuah.’
(PERILAKU DAN PENGHIDUPAN)
3. “Dan
apakah, para bhikkhu, hal-hal yang membuat seseorang menjadi seorang petapa,
yang membuat seseorang menjadi seorang brahmana? Para bhikkhu, kalian harus
berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memiliki rasa malu dan rasa takut akan
perbuatan-salah.’ Sekarang, para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami
memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah. Itu sudah cukup, itu
sudah dilakukan, tujuan pertapaan telah dicapai, tidak ada lagi yang harus kami
lakukan’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku
beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari
status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus
dilakukan.
4. “Apakah
lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut:
‘Perilaku jasmani kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan
terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain
karena kemurnian perilaku jasmani itu.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin
berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan
perilaku jasmani kami telah dimurnikan. Itu sudah cukup, itu sudah dilakukan,
tujuan pertapaan telah dicapai, tidak ada lagi yang harus kami lakukan’; dan
kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada
kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan
jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.
5. “Apakah
lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut:
‘Perilaku ucapan kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan
terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain
karena kemurnian perilaku ucapan itu.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin
berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan
perilaku jasmani kami telah dimurnikan dan perilaku ucapan kami telah
dimurnikan. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu.
Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian
yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada
yang harus dilakukan.
6. “Apakah
lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut:
‘Perilaku pikiran kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan
terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain
karena kemurnian perilaku pikiran itu.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin
berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan
perilaku jasmani dan perilaku ucapan kami telah dimurnikan dan perilaku pikiran
kami telah dimurnikan. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan
sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada
kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan
selagi masih ada yang harus dilakukan.
7. “Apakah
lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut:
‘Penghidupan kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan
terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain
karena kemurnian penghidupan itu.’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin
berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan
perilaku jasmani, perilaku ucapan, dan perilaku pikiran kami telah dimurnikan
dan penghidupan kami telah dimurnikan. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian
menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian,
Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh
dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.
(PENGENDALIAN INDRIA)
8. “Apakah
lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut:
‘Kami akan menjaga pintu-pintu indria kami. Ketika melihat suatu bentuk dengan
mata, kami tidak akan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika kami
membiarkan indria mata tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat
berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menyerbu kami, kami akan berlatih
cara pengendaliannya, kami akan menjaga indria mata, kami akan menjalankan
pengendalian indria mata. Ketika mendengar suara dengan telinga ... Ketika
mencium bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap rasa kecapan dengan lidah
... Ketika menyentuh obyek sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali
obyek-pikiran dengan pikiran, kami tidak akan menggenggam gambaran dan
ciri-cirinya. Karena, jika kami membiarkan indria pikiran tanpa terkendali,
kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat
menyerbu kami, kami akan berlatih cara pengendaliannya, kami akan menjaga indria
mata, kami akan menjalankan pengendalian indria.’ Sekarang para bhikkhu, kalian
mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah
dan perilaku jasmani, perilaku ucapan, perilaku pikiran, dan penghidupan
kami telah dimurnikan, dan kami menjaga pintu-pintu indria kami. Itu sudah
cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku
beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari
status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus
dilakukan.
(MAKAN SECUKUPNYA)
9. “Apakah
lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut:
‘Kami akan makan secukupnya. Merenungkan dengan bijaksana, kami akan memakan
makanan bukan untuk kenikmatan juga bukan untuk mabuk juga bukan demi
kecantikan dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan
tubuh ini, untuk mengakhiri ketidak-nyamanan, untuk menunjang kehidupan suci,
dengan mempertimbangkan: “Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan lama
tanpa membangkitkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan
dapat hidup dalam kenyamanan.”’ Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir:
‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani,
perilaku ucapan, perilaku pikiran, dan penghidupan kami telah dimurnikan, kami
menjaga pintu-pintu indria kami, dan kami makan secukupnya. Itu sudah cukup ...
’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan
kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa,
jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.
(KEAWASAN)
10. “Apakah
lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut:
‘Kami akan menekuni keawasan. Pada siang hari, sewaktu berjalan mondar-mandir
dan duduk, kami akan memurnikan pikiran kami dari pikiran-pikiran dengan
kondisi-kondisi yang merintangi. Pada jaga pertama malam hari, sewaktu
berjalan mondar-mandir dan duduk, kami akan memurnikan pikiran kami dari
pikiran-pikiran dengan kondisi-kondisi yang merintangi. Pada jaga pertengahan
malam hari, kami akan berbaring pada sisi kanan dalam posisi singa dengan satu
kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, setelah
mencatat dalam batin waktu untuk terjaga. Setelah terjaga, pada jaga ke tiga
malam hari, sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, kami akan memurnikan
pikiran kami dari pikiran-pikiran dengan kondisi-kondisi yang merintangi.’
Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan
rasa takut akan perbuatan-salah dan perilaku jasmani, perilaku ucapan,
perilaku pikiran, dan penghidupan kami telah dimurnikan, kami menjaga
pintu-pintu indria kami, kami makan secukupnya, dan kami menekuni keawasan. Itu
sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku
beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari
status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.
(PERHATIAN DAN KEWASPADAAN PENUH)
11. “Apakah
lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut:
‘Kami akan memiliki perhatian dan kewaspadaan penuh. Kami akan bertindak dengan
kewaspadaan penuh ketika berjalan maju dan mundur; kami akan bertindak dengan
kewaspadaan penuh ketika melihat ke depan dan melihat ke belakang; kami akan
bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika membungkuk dan meregangkan badan;
kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika mengenakan jubah dan
membawa jubah luar dan mangkuk; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh
ketika makan, minum, mengunyah, dan mengecap; kami akan bertindak dengan
kewaspadaan penuh ketika buang air besar dan buang air kecil; kami akan
bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh
tertidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.’ Sekarang para bhikkhu, kalian
mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan perbuatan-salah
dan perilaku jasmani, perilaku ucapan, perilaku pikiran, dan penghidupan
kami telah dimurnikan, kami menjaga pintu-pintu indria kami, kami makan
secukupnya, kami menekuni keawasan, dan kami memiliki perhatian dan kewaspadaan
penuh. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu,
Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari
status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus
dilakukan.
(MENINGGALKAN RINTANGAN-RINTANGAN)
12. “Apakah
lagi yang harus dilakukan? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu mendatangi
tempat tinggal terpencil: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng
gunung, tanah pekuburan, hutan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.
13. “Ketika
kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan ia duduk bersila,
menegakkan badan dan menegakkan perhatian di depannya. Dengan meninggalkan
ketamakan pada dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari ketamakan; ia
memurnikan pikirannya dari ketamakan. Dengan meninggalkan niat buruk dan
kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelas
kasihan demi kesejahteraan semua makhluk; ia memurnikan pikirannya dari
niat buruk dan kebencian. Dengan meninggalkan kelambanan dan ketumpulan, ia
berdiam bebas dari kelambanan dan ketumpulan, mempersepsikan cahaya, penuh
perhatian dan penuh kewaspadaan; ia memurnikan pikirannya dari kelambanan dan
ketumpulan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa
kegelisahan dengan kedamaian dalam batin; ia memurnikan pikirannya dari
kegelisahan dan penyesalan. Dengan meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam
melampaui keragu-raguan, tanpa kebingungan sehubungan dengan kondisi-kondisi
bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.
14. “Para
bhikkhu, misalkan seseorang meminjam uang dan menjalankan usahanya dan usahanya
itu berhasil sehingga ia mampu mengembalikan uang pinjamannya sebelumnya dan
masih tersisa cukup untuk memelihara seorang istri; maka dengan
mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang
yang sedang sakit, menderita, sakit keras, dan makanannya tidak cocok baginya
dan tubuhnya tidak memiliki kekuatan, tetapi kemudian ia sembuh dari
penyakitnya dan makanannya cocok baginya dan tubuhnya memperoleh kembali kekuatannya;
maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan
seseorang yang terkurung dalam penjara, tetapi kemudian ia dibebaskan, selamat
dan aman, tanpa kehilangan hartanya; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia
akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang adalah budak, tidak bergantung
pada diri sendiri melainkan bergantung pada orang lain, tidak dapat pergi ke
manapun yang ia inginkan, tetapi kemudian ia dibebaskan dari perbudakan,
bergantung pada diri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, seorang bebas
yang dapat pergi ke manapun yang ia inginkan; maka dengan mempertimbangkan hal
ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang yang membawa
harta kekayaannya berjalan di jalan yang melintasi gurun pasir, tetapi kemudian
ia berhasil menyeberangi gurun pasir itu, selamat dan aman, tanpa kehilangan
harta kekayaannya; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan
gembira. Demikian pula, para bhikkhu, ketika kelima rintangan ini belum
ditinggalkan dalam dirinya, seorang bhikkhu melihatnya berturut-turut sebagai
pinjaman, penyakit, penjara, perbudakan, dan jalan yang melintasi gurun pasir.
Tetapi ketika kelima rintangan ini telah ditinggalkan dalam dirinya, ia melihat
hal itu sebagai kebebasan dari pinjaman, kesehatan, kebebasan dari penjara,
kebebasan dari perbudakan, dan tanah keselamatan.
15.
“Setelah meninggalkan kelima rintangan
ini, ketidak-sempurnaan batin yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup
terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak
bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang
disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan
kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan
yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi
tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh
kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Bagaikan seorang
petugas pemandian atau murid petugas pemandian menumpuk bubuk mandi dalam
baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga
kelembaban membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya
di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air; demikian
pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari
keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak
ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan
yang muncul dari keterasingan itu.
16.
“Kemudian, para bhikkhu, dengan
menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan
berdiam dalam jhāna ke dua, yang
memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan
kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari
konsentrasi. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi
itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian
dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul
dari konsentrasi. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di
dasarnya dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, atau
selatan, dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian
mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi,
merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian
danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, seorang
bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu
basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari
tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari
konsentrasi.
17.
“Kemudian, para bhikkhu, dengan meluruhnya
kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian
dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan
berdiam dalam jhāna ke tiga, yang
dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang
memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ia membuat kenikmatan yang terlepas
dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga
tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang
terlepas dari kegembiraan itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai biru atau
merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar
dari air, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi
teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya, sehingga tidak ada bagian
dari teratai-teratai itu yang tidak terliputi oleh air sejuk; demikian pula,
seorang bhikkhu, membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah,
merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari
tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan
itu.
18.
“Kemudian, para bhikkhu, dengan
meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya
kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki
bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena
keseimbangan. Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan
cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran
yang murni dan cerah. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain
putih dari kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang
tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikian pula, seorang bhikkhu duduk
dengan dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga
tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan
cerah itu.
(TIGA
PENGETAHUAN SEJATI)
19.
“Ketika konsentrasi pikirannya
sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak,
lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada
pengetahuan pada pengetahuan perenungan kehidupan lampau. Ia mengingat banyak
kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (Seperti Sutta 4, §27)
… Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak
kehidupan lampau. Bagaikan seseorang yang pergi dari desa tempat tinggalnya ke
desa lain dan kemudian kembali lagi ke desanya, ia berpikir: ‘Aku pergi dari
desaku ke desa itu, dan di sana aku berdiri demikian, duduk demikian, berbicara
demikian, berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku pergi ke desa lain, dan
di sana aku berdiri demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri
demikian; dan dari desa itu aku kembali lagi ke desaku.’ Demikian pula, seorang
bhikkhu mengingat banyak kehidupan lampau … Demikianlah dengan segala aspek dan
ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau.
20.
“Ketika konsentrasi pikirannya
sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak,
lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada
pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (Seperti Sutta 4,
§29) … Demikianlah dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia,
ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia,
cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. ia memahami bagaimana makhluk-makhluk
berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Bagaikan terdapat dua rumah dengan
pintu-pintu dan seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di antara kedua
rumah itu melihat orang-orang memasuki dan keluar dari rumah itu silih
berganti, demikian pula, dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia,
seorang bhikkhu melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali …
dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan
mereka.
21.
“Ketika konsentrasi pikirannya
sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak,
lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada
pengetahuan hancurnya noda-noda. ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah
penderitaan’; … ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; … ‘Ini adalah lenyapnya
penderitaan’; … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’; … ‘Ini adalah
noda-noda’; … ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; … ‘Ini adalah lenyapnya
noda-noda’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’
“Ketika ia mengetahui dan melihat
demikian, pikirannya terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan,
dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan:
‘terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah
dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi
penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’
“Bagaikan terdapat sebuah danau pada
sebuah ceruk di gunung, bersih, jernih, dan tidak terganggu, sehingga seseorang
dengan penglihatan yang baik yang berdiri di tepinya dapat melihat kerang,
kerikil, dan koral, dan juga kawanan ikan yang berenang kesana kemari dan
beristirahat, ia berpikir: ‘Danau ini bersih, jernih, dan tidak terganggu, dan
terdapat [280] kerang, kerikil, dan koral ini, dan juga kawanan ikan yang
berenang kesana kemari dan beristirahat.’ Demikian pula, seorang bhikkhu memahami
sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ ... Ia memahami: ‘Kelahiran telah
dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah
dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’
(ARAHANT)
22.
“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang
demikian disebut seorang petapa, seorang brahmana, seorang yang telah dicuci,
seorang yang telah mencapai pengetahuan, seorang terpelajar suci, seorang
mulia, seorang Arahant.
23.
“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah
seorang petapa? Ia telah menenangkan kondisi-kondisi jahat yang tidak
bermanfaat yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan
kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan yang mengarah menuju kelahiran,
penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu
adalah seorang petapa.
24.
“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah
seorang brahmana? Ia telah menyingkirkan kondisi-kondisi jahat yang tidak
bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan
kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang
brahmana.
25.
“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah
seorang yang telah dicuci? Ia telah mencuci kondisi-kondisi jahat yang
tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran,
penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu
adalah seorang yang telah dicuci.
26.
“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah
seorang yang telah mencapai pengetahuan? Ia telah mengetahui kondisi-kondisi jahat
yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran,
penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu
adalah seorang yang telah mencapai pengetahuan.
27.
“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah
seorang terpelajar suci? Kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang
mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa
depan, telah mengalir keluar dari dirinya. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu
adalah seorang terpelajar suci.
28.
“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah
seorang mulia? Kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ...
dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan, jauh
dari dirinya. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang mulia.
29.
“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah
seorang Arahant? Kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori,
yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam
kesengsaraan, dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa
depan, jauh dari dirinya. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang
Arahant.”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh
Sang Bhagavā. Para bhikkhu
merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
(DC)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar