MAHASAROPAMA SUTTA
Khotbah Besar tentang
Perumpamaan Inti-kayu
Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya
II,
Diterjemahkan oleh : Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati
Penerbit Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, Klaten, 2005
Diterjemahkan oleh : Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati
Penerbit Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, Klaten, 2005
1. Demikian yang saya dengar. Pada
suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Rajagaha di gunung Puncak Burung
Nasar, tak lama setelah Devadatta pergi.346 Di sana, mengacupada
Devadatta, Yang Terberkahi berbicara kepada para bhikkhu demikian:
2. “Di sini, para bhikkhu, beberapa
orang karena keyakinan pergi dari kehidupan berumah menuju tak-berumah, karena
mempertimbangkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian,
kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan, dan keputus-asaan; aku
adalah korban penderitaan, mangsa penderitaan. Sudah pasti, akhir dari seluruh
massa penderitaan ini bisa diketahui.’ Setelah meninggalkan keduniawian
demikian, dia mendapat perolehan, kehormatan, dan ketenaran. Dia senang dengan
perolehan, penghormatan, dan ketenaran itu, dan niatnya terpenuhi. Karena itu,
dia memuji dirinya sendiri dan merendahkan orang-orang lain demikian: ‘Aku
mendapat perolehan, penghormatan, dan ketenaran, sedangkan bhikkhu-bhikkhu lain
ini tidak dikenal sama sekali.” Dia menjadi mabuk dengan perolehan,
penghormatan, dan ketenaran itu, menjadi lalai, jatuh ke dalam kelalaian, dan
karena lalai, dia hidup di dalam penderitaan.
“Andaikan
saja seseorang yang membutuhkan inti-kayu, mencari inti-kayu, berkelana mencari
inti-kayu, sampai pada satu pohon besar yang tinggi dan memiliki inti-kayu. Dia
melewatkan inti-kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya,
namun memotong ranting dan daunnya dan memnbawanya pergi karena berpikir itu
adalah inti-kayunya. Orang yang berpenglihatan baik, ketika melihatnya, mungkin
berkata: ‘Orang yang baik ini tidak mengetahui inti-kayu, kayu lunak, kulit
dalam, kulit luar, atau ranting dan daun. Jadi, sementara membutuhkan
inti-kayu, mencari inti-kayu, berkelana mencari inti-kayu, dia sampai pada satu
pohon besar yang tinggi dan memiliki inti-kayu. Dia melewatkan inti-kayunya,
kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, dia memotong ranting dan daun
dan membawanya pergi karena berpikir itu adalah inti-kayunya, Apa pun yang
harus dibuat oleh orang yang baik ini dengan inti-kayu itu, tujuannya tidak akan
terpenuhi.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa manusia pergi
meninggalkan keduniawian karena keyakinan …[193]…dia hidup di dalam
penderitaan. Bhikkhu ini disebut orang yang telah mengambil ranting dan daun
kehidupan suci dan berhenti dengan hal itu.
3. “Di sini, para bhikkhu, beberapa
orang karena keyakinan pergi dari kehidupan berumah menuju tak-berumah, karena
mempertimbangkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian,
kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan, dan keputus-asaan; aku
adalah korban penderitaan, mangsa penderitaan. Sudah pasti, akhir dari seluruh
massa penderitaan ini bisa diketahui.’ Setelah meninggalkan keduniawian
demikian, dia mendapat perolehan, kehormatan, dan ketenaran. Dia senang dengan
perolehan, penghormatan, dan ketenaran itu, dan niatnya terpenuhi. Karena itu,
dia tidak memuji dirinya sendiri dan tidak merendahkan orang-orang lain. Dia
tidak menjadi mabuk dengan perolehan, penghormatan, dan ketenaran itu; dia
tidak menjadi lalai dan tidak jatuh ke dalam kelalaian, karena rajin, dia
memperolah mencapaian moralitas. Dia senang dengan pencapaian moralitas dan
niatnya terpenuhi. Karena itu, dia memuji dirirnya sendiri dan merendakan
orang-orang lain demikian: ‘Aku bermoral, berwatak baik, tetapi bhikkhu-bhikkhu
lain ini tidak bermoral, berwatak jahat.’ Dia menjadi mabuk dengan pencapaian
moralitas, menjadi lalai, jatuh ke dalam kelalaian, dan karena lalai, dia hidup
di dalam penderitaan.
“Andaikan saja seseorang yang
membutuhkan inti-kayu, mencari inti-kayu, berkelana mencari inti-kayu, sampai
pada satu pohon besar yang tinggi dan memiliki inti-kayu. Dia melewatkan
inti-kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, namun dia memotong kulit luarnya
dan membawanya pergi karena berpikir itu adalah inti-kayunya. Orang yang
berpenglihatan baik, ketika melihatnya, mungkin berkata: ‘Orang yang baik ini
tidak mengetahui inti-kayu…atau ranting dan daun. Jadi, sementara membutuhkan
inti-kayu…dia memotong kulit luarnya dan membawanya pergi karena pergi karena
berpikir itu adalah inti-kayunya. Apa pun yang harus dibuat oleh orang yang
baik ini dengan inti-kayu itu, tujuannya tidak akan terpenuhi.’ Demikian pula,
para bhikkhu, di sini beberapa manusia pergi meninggalkan keduniawian karena
keyakinan…dia hidup di dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut orang yang telah
mengambil kulit luar kehidupan suci dan berhenti dengan hal itu.
4. “Di sini, para bhikkhu, beberapa
orang karena keyakinan pergi dari kehidupan berubah menuju tak-berumah, karena
mempertimbangkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian,
kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan, dan keputus-asaan; aku
adalah korban penderitaan, mangsa penderitaan. Sudah pasti, akhir dari seluruh
massa penderitaan ini bisa diketahui.’ Setelah meninggalkan keduniawian
demikian, dia mendapat perolehan, kehormatan, dan ketenaran. Dia tidak senang
dengan perolehan, penghormatan, dan ketenaran itu, dan niatnya tidak
terpenuhi….Karena rajin, dia memperoleh pencapaian moralitas. Dia senang dengan
pencapaian moralitas itu, namun niatnya tidak terpenuhi. Karena itu, dia tidak
memuji dirinya sendiri dan tidak merendahkan orang-orang lain. Dia tidak
menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu; dia tidak menjadi lalai dan
tidak jatuh ke dalam kelalaian. Karena rajin, dia memperoleh pencapaian
konsentrasi. Dia senang dengan pencapaian konsentrasi dan niatnya terpenuhi.
Karena itu, dia memuji dirinya sendiri dan merendahkan orang-orang lain
demikian: ‘Aku terkonsentrasi, pikiranku menyatu, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain ini
tidak terkonsentrasi dan pikiran mereka tercerai-berai.’ Dia menjadi mabuk
dengan pencapaian konsentrasi itu, menjadi lalai, jatuh ke dalam kelalaian, dan
karena lalai, dia hidup di dalam penderitaan. “Andaikan saja seseorang yang
membutuhkan inti-kayu, mencari inti-kayu, berkelana mencari inti-kayu, sampai
pada satu pohon besar yang tinggi dan memiliki inti-kayu. Dia melewatkan
inti-kayunya, dan kayu lunaknya, namun dia memotong kulit dalamnya dan
membawanya pergi karena berpikir itu adalah inti-kayunya. Orang yang
berpenglihatan baik, ketika melihatnya, mungkin berkata: ‘Orang yang baik ini
tidak mengetahui inti-kayu….atau ranting dan daun. Jadi, sementara membutuhkan
inti-kayu…dia memotong kulit dalamnya dan membawanya pergi karena berpikir itu
adalah inti-kayunya. Apapun yang harus dibuat oleh orang yang baik ini dengan
inti-kayu itu, tujuannya tidak akan terpenuhi.’ Demikian pula, para bhikkhu, di
sini beberapa manusia pergi meninggalkan keduniawian karena keyakinan…dia hidup
di dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut orang yang telah mengambil kulit
dalam kehidupan suci dan berhenti dengan hal itu.
5. “Di sini, para bhikkhu, beberapa
orang karena keyakinan pergi dari kehidupan berumah menuju tak-berumah, karena
mempertimbangkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian,
kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan dan keputus-asaan; aku adalah
korban penderitaan, mangsa penderitaan. Sudah pasti, akhir dari seluruh massa
penderitaan ini bisa diketahui.’ Setelah meninggalkan keduniawian demikian, dia
mendapat perolehan, kehormatan, dan ketenaran. Dia tidak senang dengan
perolehan, penghormatan, dan ketenaran itu, dan niatnya tidak terpenuhi…Karena
rajin, dia memperoleh pencapaian moralitas. Dia senang dengan pencapaian
moralitas itu, namun niatnya tidak terpenuhi….Karena rajin, dia memperoleh
pencapaian konsentrasi. Dia senang dengan pencapaian konsentrasi, namun niatnya
tidak terpenuhi. Karena itu, dia tidak memuji dirinya sendiri dan tidak
merendahkan orang-orang lain. Dia tidak mabuk dengan pencapaian konsentrasi;
dia tidak menjadi lalai dan tidak jatuh ke dalam kelalaian. Karena rajin, dia
mencapai pengetahuan dan visi.347 Dia senang dengan pengetahuan dan
visi dan niatnya terpenuhi. Karena itu, dia memuji dirinya sendiri dan merendahkan
orang-orang lain demikian: ‘Aku hidup dengan mengetahui da melihat, tetapi
bhikkhu-bhikkhu lain ini hidup tanpa mengetahui dan melihat.’ Dia menjadi mabuk
dengan pengetahuan dan visi itu, menjadi lalai, jatuh ke dalam kelalaian, dan
karena lalai, dia hidup di dalam penderitaan.
“Andaikan saja seseorang yang
membutuhkan inti-kayu, mencari inti-kayu, berkelana mencari inti-kayu, sampai
pada satu pohon besar yang tinggi dan memiliki inti-kayu. Dia melewatkan
inti-kayunya, namun dia memotong kayu lunaknya dan membawanya pergi karena
berpikir itu adalah inti-kayunya. Orang yang berpenglihatan baik, ketika
melihatnya, mungkin berkata: ‘Orang yang baik ini tidak mengetahui
inti-kayu…atau ranting dan daun. Jadi, sementara membutuhkan inti-kayu…dia
memotong kayu lunaknya dan membawanya pergi karena berpikir itu adalah
inti-kayunya. Apa pun yang harus dibuat oleh orang yang baik ini dengan
inti-kayu itu, tujuannya tidak akan terpenuhi.’ Demikian pula, para bhikkhu, di
sini beberapa manusia pergi meninggalkan keduniawian karena keyakinan…dia hidup
di dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut orang yang telah mengambil; kayu
lunak kehidupan suci dan berhenti dengan hal itu.
6. “Di sini, para bhikkhu, beberapa
orang karena keyakinan pergi dari kehidupan berumah menuju tak-berumah, karena
mempertimbangkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian,
kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan dan keputus-asaan; aku adalah
korban penderitaan, mangsa penderitaan. Sudah pasti, akhir dari seluruh massa
penderitaan ini bisa diketahui.’ Setelah meninggalkan keduniawian demikian, dia
mendapat perolehan, kehormatan, dan ketenaran. Dia tidak senang dengan
perolehan, penghormatan, dan ketenaran itu, dan niatnya tidak terpenuhi…Karena
rajin, dia memperoleh pencapaian moralitas. Dia senang dengan pencapaian itu,
namun niatnya tidak terpenuhi…Karena rajin, dia memperoleh pencapaian
konsentrasi. Dia senang dengan pencapaian konsentrasi, namun niatnya tidak
terpenuhi…Karena rajin, dia mencapai pengetahuan dan visi. Dia senang dengan
pengetahuan dan visi itu, tetapi niatnya tidak terpenuhi. Karena itu, dia tidak
memuji dirinya sendiri dan tidak merendahkan orang-orang lain. Dia tidak mabuk
dengan pencapaian pengetahuan dan visi; dia tidak menjadi lalai dan jatuh ke
dalam kelalaian. Karena rajin, dia mencapai pembebasan yang abadi. Tidaklah
mungkin bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari pembebasan abadi itu.348
“Andaikan saja seseorang yang
membutuhkan inti-kayu, mencari inti-kayu, berkelana mencari inti-kayu, sampai
pada satu pohon besar yang tinggi dan memiliki inti-kayu. Dia memotong inti
kayunya saja dan membawanya pergi karena mengetahui itu adalah inti-kayunya.
Orang yang berpenglihatan baik, ketika melihatnya, mungkin berkata: “orang yang
baik ini mengetahui inti-kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau
ranting dan daun. Jadi, sementara membutuhkan inti-kayu, mencari inti-kayu,
berkelana mencari inti-kayu, dia sampai pada satu pohon besar yang tinggi dan
memiliki inti-kayu. Dia memotong hanya inti-kayunya saja dan membawanya pergi
karena mengetahui itu adalah inti-kayunya. Apa pun yang harus dibuat oleh orang
yang baik ini dengan inti-kayu itu, tujuannya akan terpenuhi.’ Demikian pula,
para bhikkhu, di sini beberapa manusia pergi meninggalkan keduniawian karena
keyakinan…Karena rajin, dia mencapai pembebasan abadi. Dan tidaklah mungkin
bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari pembebasan abadi itu.349
7. “Jadi para bhikkhu, kehidupan suci
ini tidak memiliki perolehan, penghormatan, dan ketenaran sebagai manfaatnya,
atau pencapaian moralitas sebagai manfaatnya, atau pencapaian konsentrasi
sebagai manfaatnya, atau pengetahuan serta visi sebagai manfaatnya. Tetapi,
pembebasan pikiran yang tak tergoyahkan inilah yang merupakan tujuan dari
kehidupan suci, inti-kayunya, tujuan akhirnya.”
Demikianlah yang dikatakan oleh Yang
Terberkahi. Para bhikkhu merasa puas dan bergembira di dalam kata-kata Yang
Terberkahi.
Catatan :
(346) Setelah Devadatta rtidak
berhasil mencoba membunuh Sang Buddha dan merampas kendali atas Sangha, dia
memisahkan diri dari Sang Buddha dan mencoba membentuk sektenya sendiri dengan
dia sebagai pemimpinnya. Lihat Nanamoli, The Life of the Buddha, hal. 266-69.
(347) “Pengetahuan dan pandangan”
(nanadassana) di sini mengacu pada mata dewa (MA), yaitu kemampuan untuk
melihat bentuk-bentuk halus yang tidak terlihat oleh pandangan normal.
(348) Terjemahan ini mengikuti edisi
BBS dan SBJ, yang terbaca asamayavimokkham di dalam kalimat yang mendahuluinya,
dan asamayavimuttiya di dalam kalimat ini. Edisi PTS, yang mendasari terjemahan
Horner dan Nm, jelas-jelas salah menuliskan samaya di dalam dua kata majemuk
dan thanam, bukannya atthanam. MA menyebutkan Patisambhidamagga (ii.40) untuk
definisi dari asamayavimokkha (harafiah, pembebasan bukan-sementara, atau “abadi”)
sebagai empat jalan, empat buah, dan Nibbana, dan dari samayavimokkha
(pembebasan sementara) sebagai empat jhana dan empat pencapaian tanpa-bentuk.
Lihat juga MN 122.4.
(349) “Pembebasan pikiran yang tak
tergoyahkan” adalah buah dari tingkat Arahat (MA). Dengan demikian, “pembebasan
abadi”-yang mencakup semua empat jalan dan buahnya-memiliki lingkup arti yang
lebih luas daripada “pembebasan pikiran yang tak tergoyahkan”, yang
dinyatakan”, yang dinyatakan justru menjadi tujuan kehidupan suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar