CULAHATTHIPADOPAMA SUTTA
Sumber : Kitab Suci Sutta Pitaka II, Modul
7-12
Oleh : Corneles Wowor, MA.,
Penerbit : Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha
dan Universitas Terbuka, 1992
Oleh : Corneles Wowor, MA.,
Penerbit : Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha
dan Universitas Terbuka, 1992
Demikianlah yang saya dengar.
Pada suatu waktu Sang Bhagava sedang berada di
Jetavana, taman milik Anathapindika, Savatthi. Pada waktu itu, di siang hari,
Brahmana Janussoni mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda-kuda betina
berwarna putih, melewati Savatthi. Dia melihat Petapa Pilotika datang, ketika
ia melihatnya, ia bertanya: “Dari mana Guru Vacchayana datang pada siang hari
begini?”
“Saya baru saja mengunjungi petapa Gotama.”
“Bagaimana guru Vacchayana dapat membayangkan
kebijaksanaan (panna) petapa Gotama? Apakah dia seorang ahli (pandita) atau
tidak?”
“Bagaimana saya mengetahui keahlian kebijaksanaan
petapa Gotama? Tentu saja, seorang yang sepadan dengannya yang dapat mengetahui
kebijaksanaan petapa Gotama.”
“Guru Vacchayana memuji Sang Petapa Gotama dengan
pujian yang benar-benar tinggi.”
“Bagaimana saya memuji, Sang Petapa Gotama? Petapa
Gotama dipuji oleh para pemuji-sebagai yang terbaik di antara para dewa dan
manusia.”
“Faedah apa yang diketahui oleh guru Vacchayana
sehingga dia yakin terhadap Petapa Gotama.”
“Misalnya, seorang pandai mengukir patung gajah pergi
ke hutan gajah, dia melihat di hutan gajah, sebuah jejak kaki gajah yang besar
panjang dan lebar, dia akan menyimpulkan: “Ini adalah seekor gajah jantan yang
besar.” Demikian juga, begitu saya melihat empat jejak kaki pada Petapa Gotama,
saya menyimpulkan: “Sang Bhagava telah mencapai penerangan sempurna, Dhamma
telah dibabarkan dengan baik, Sangha telah memasuki jalan yang baik. Apakah
empat tanda jejak kaki itu?
“Saya telah melihat beberapa kesatria yang ahli, pandai
dan mengetahui teori-teori lain seperti orang yang membagi rambut (teliti
sekali): seseorang akan membayangkan bagaimana mereka akan memusnahkan
pandangan-pandangan (salah) dengan menggunakan pengetahuan yang mereka miliki.
Mereka mendengar: “Petapa Gotama akan mengunjungi sebuah kota atau desa.” Maka
mereka membuat sebuah pertanyaan begini: “Bila dia ditanya begini, maka dia
akan menjawab begini, dan kita akan membuktikan bahwa teorinya salah; juga bila
dia ditanya begitu maka dia akan menjawab begitu, sekali lagi kita akan
membuktikan bahwa teorinya salah “Mereka mendengar” Petapa Gotama telah datang
mengunjungi kota atau desa tersebut.” Lalu mereka pergi menemui Petapa Gotama.
Petapa Gotama mengajarkan, mendorong, membangkitkan dan memberi harapan mereka
dengan kotbah Dhamma. Sesudah itu mereka tidak banyak bertanya lagi, jadi
bagaimana mereka dapat membuktikan bahwa teorinya salah? Sedangkan mereka pada
akhirnya menjadi murid-muridnya (savaka). Ketika saya melihat jejak kaki pertama
Petapa Gotama, saya menyimpulkan: “Sang Bhagava telah mencapai penerangan
sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha telah memasuki jalan yang
baik.”
“Juga, saya telah melihat beberapa brahmana yang ahli,
pandai …. jejak kaki yang ke dua …. sangha telah memasuki jalan yang baik.”
“Begitu pula,saya telah melihat beberapa perumah-tangga
(gahapati) yang ahli, pandai …, jejak kaki ketiga ….sangha telah memasuki jalan
baik.”
“Demikian pula; telah melihat beberapa petapa yang
ahli, pandai dan mengetahui teori-teori lain seperti orang yang membagi rambut
(teliti sekali): seseorang akan membayangkan bagaimana mereka akan memusnahkan
pandangan-pandangan (salah) dengan menggunakan pengetahuan yang mereka miliki.
Mereka mendengar: “Petapa Gotama akan mengunjungi sebuah kota atau desa.” Maka
mereka membuat sebuah pertanyaan begini: “Bila dia ditanya begini, maka dia
akan menjawab begini, dan kita akan membuktikan bahwa teorinya salah; juga bila
dia ditanya begitu maka dia akan menjawab begitu, sekali lagi kita akan
membuktikan bahwa teorinya salah “Mereka mendengar” Petapa Gotama datang
mengunjungi kota atau desa tersebut.” Lalu mereka pergi menemui Petapa Gotama.
Petapa Gotama mengajarkan, mendorong, membangkitkan dan memberi harapan mereka
dengan kotbah Dhamma. Sesudah itu mereka tidak banyak bertanya lagi, jadi
bagaimana mereka dapat membuktikan bahwa teorinya salah? Sedangkan mereka pada
akhirnya mohon kepada Petapa Gotama agar mereka diterima menjadi bhikkhu,
Beliau mengupasampadakan mereka menjadi bhikkhu. Tak lama setelah mereka
menjadi bhikkhu, mereka mengasingkan diri, rajin, bersemangat dan waspada, di
tempat itu, pada kehidupan sekarang ini juga, dengan kemampuan batin (abhinna)
mereka merealisasikan kehidupan suci yang merupakan tujuan akhir dari
meninggalkan berumah-tangga.
Mereka menyatakan: “Mereka hampir tersesat, hampir
tidak menyelesaikan tugas, karena dulu kami menganggap bahwa kami adalah samana
tetapi kami tidak, kami menganggap bahwa kami adalah brahmana tetapi kami
tidak, kami menganggap bahwa kami adalah arahat tetapi kami tidak; tetapi
sekarang kami adalah samana, brahmana dan arahat.” Ketika saya melihat jejak
kaki keempat Petapa Gotama, saya menyimpulkan: “Sang Bhagava telah mencapai
penerangan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha telah memasuki
jalan yang baik.”
“Segera ketika saya melihat empat jejak kaki Sang
Bhagava ini, saya menyimpulkan: “Sang Bhagava telah mencapai penerangan
sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha telah memasuki jalan yang
baik.”
Pada waktu hal ini dikatakan, Brahmana Janussoni turun
dari kereta kudanya yang ditarik kuda-kuda betina putih, mengatur jubahnya pada
salah satu bahunya, ia beranjali ke arah di mana Sang Buddha berada dan menyerukan
pernyataan tiga kali: “Terpujilah Sang Bhagava, Arahat dan telah mencapai
penerangan sempurna (Namo tassa Bhagavato arahato sammasambuddhassa).”
Kemudian Brahmana Janussoni menemui Sang Bhagava,
memberi salam, dan setelah percakapan yang bersahabat dan sopan selesai, ia
duduk. Setelah itu, dia menceritakan semua percakapannya dengan Petapa
Pilotika. Setelah hal itu dikatakannya, Sang Bhagava berkata: “Brahmana, dalam
hal ini perumpamaan jejak kaki gajah (hatthipadopamo) belumlah selesai
diterangkan secara rinci. Karena itu dengarkan bagaimana hal ini dijelaskan
dengan rinci dan perhatikan apa yang akan Kukatakan.”
“Baiklah bhante,” jawab Brahmana Janussoni.
Sang Bhagava berkata begini: “Brahmana, seorang pandai
kayu, pengukir patung gajah, pergi ke sebuah hutan gajah, dan dia melihat di
hutan gajah itu sebuah jejak kaki gajah yang besar, memanjang dan melebar;
seorang pematung gajah yang bijaksana tidak akan segera menyimpulkan: ‘Ini
adalah gajah jantan dan besar pula.’ Mengapa begitu? Di dalam sebuah hutan
gajah ada beberapa gajah betina yang tinggi dan gading yang kuat, yang
mempunyai jejak kaki yang besar. Ini mungkin jejak kaki salah satu dari mereka.
Dia mengikuti jejak itu. Sehingga ia melihat di hutan gajah itu sebuah jejak
besar kaki gajah yang besar, melebar dan memanjang, dan tanda gesekan di pohon
: seorang pematung gajah yang bijaksana tidak akan segera menyimpulkan :’Ini
adalah seekor gajah jantan dan besar pula.’ Mengapa begitu? Di dalam sebuah
hutan gajah ada beberapa gajah betina yang tinggi dengan gading yang kuat, yang
mempunyai jejak kaki yang besar. Ini mungkin jejak kaki salah satu dari mereka.
Dia mengikuti jejak itu. Sehingga dia melihat di dalam hutan gajah itu sebuah
jejak kaki gajah yang melebar dan memanjang, tanda gesekan di pohon dan tanda
goresan dari gading gajah; seorang pematung gajah yang bijaksana tidak segera
menyimpulkan: ‘Ini adalah seekor gajah jantan dan besar pula.’ Mengapa begitu?
Di dalam sebuah hutan gajah ada beberapa gajah betina tinggi, bergading dan
mempunyai jejak kaki yang besar. Ini mungkin jejak kaki salah satu dari mereka.
Dia mengikuti jejak itu, sehingga dia melihat di dalam hutan gajah itu sebuah
jejak kaki gajah yang melebar dan memanjang, tanda gesekan pada pohon, tanda
goresan yang berasal dari gading gajah dan dahan-dahan yang patah. Dia melihat
gajah jantan tersebut di bawah pohon atau di udara terbuka, sedang berjalan
atau berdiri, duduk atau berbaring. Dia menyimpulkan: ‘Inilah gajah besar yang
dimaksud.’
“Brahmana begitu juga, Tathagata muncul di dunia
sebagai Arahat Samma Sambuddha, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduk-Nya,
Sempurna menempuh Jalan, Pengenal semua alam, pembimbing manusia yang tiada
taranya, guru para dewa dan manusia, yang sadar dan yang mulia.
“Dia menyatakan kepada dunia, termasuk para dewa, mara
dan orang-orang suci; kepada para manusia, petapa,brahmana serta para raja, apa
yang Ia telah realisasikan dengan pengetahuan langsung (abhinna)”
“Dia mengajarkan Dhamma yang baik pada awalnya, baik
pada pertengahannya dan baik pada akhirnya, dengan arti dan kalimat yang benar
serta Dia memberitakan sebuah kehidupan suci yang sangat sempurna dan murni.
“Seorang perumah tangga atau anaknya dari keluarga
tertentu mendengar Dhamma. Setelah mendengar Dhamma, muncul keyakinannya kepada
Tathagata. Berdasarkan pada keyakinan itu, ia merenung: ‘Kehidupan berumah
tangga adalah sibuk dan kotor; kehidupan tak berumah tangga (pabbajja) terbuka
lebar. Hidup berumah tangga adalah tak mungkin mempraktikkan kehidupan suci
(brahmacari) dengan sempurna seperti bersihnya kulit kerang yang digosok.
Andaikata aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning (civara)
dan meninggalkan kehidupan duniawi menjadi samana (pabbajja)?’ ”
“Pada kesempatan lain, mungkin meninggalkan
keberuntungan kecil atau besar, meninggalkan sedikit atau banyak sanak
keluarga, ia mencukur kepala dan janggutnya, mengenakan jubah kuning dan
meninggalkan kehidupan duniawi menjadi samana.
“Setelah meninggalkan kehidupan dunia menjadi samana
dan memiliki pandangan dan latihan (sikkha) kebhikkhuan, meninggalkan
pembunuhan makhluk hidup, pemukul dan senjata ditinggalkan, dengan lembut dan
sayang ia hidup dengan mengasihi semua makhluk hidup.
“Meninggalkan pengambilan barang yang tidak diberikan,
ia menjadi orang yang menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan,
hanya mengambil apa yang diberikan dan hanya mengharapkan apa yang diberikan,
ia hidup suci tanpa mencuri.
“Meninggalkan kehidupan yang tidak suci, ia menjadi
orang yang hidup suci (brahmacari), ia hidup menghindari kehidupan kasar.
“Meninggalkan ucapan bohong, ia menjadi orang yang
menghindari kebohongan, ia berkata benar, taat pada kebenaran, dapat dipercaya,
dapat diandalkan dan tidak menipu dunia.
“Meninggalkan kata-kata kejam, ia menjadi orang yang
menghindari kata-kata kejam: ia bukan orang yang mengulang kata-kata di tempat
mana pun apa yang telah ia mendengar di sini dengan maksud menyebabkan
perpecahan di sini, atau ia tidak mengulang di sini tentang apa yang telah ia
dengar di tempat lain dengan maksud untuk menyebabkan perpecahan di sana; tapi
ia adalah orang yang mempersatukan kembali apa yang telah pecah, mengusahakan
persahabatan, menikmati persatuan menyenangi persatuan, gembira dengan
persatuan, ia menjadi seorang pembicara yang mengusahakan persatuan.
“Meninggalkan kata-kata kasar, ia menjadi seorang, yang
menghindari berkata kasar, ia menjadi seorang pembicara kata-kata yang bersih,
enak didengar dan indah, bila dirasakan dalam hati, itu adalah sopan,
diinginkan dan disenangi oleh banyak orang.
“Meninggalkan gosip, ia menjadi orang yang menghindari
gosip: ia menjadi orang yang berbica pada waktu yang tepat tentang apa yang
benar, berguna, dhamma, vinaya, ia menjadi dengan kata-kata yang tepat, pantas
diingat, masuk akal, terukur dan berhubungan dengan kebaikan.
“Ia menghindari perbuatan merusak biji-bijian dan tanaman.”
“Ia menghindari perbuatan untuk makan lewat tengah hari tidak makan pada sore dan malam hari.”
“Ia menghindari berdansa, menyanyi, bermain musik dan melihat pertunjukkan.”
“Ia menghindari memakai karangan bunga, wangi-wangian dan bahan rias.”
“Ia menghindari memakai tempat tidur yang lebar dan tinggi.”
“Ia menghindari menerima emas dan perak.”
“Ia menghindari menerima jagung mentah.”
“Ia menghindari menerima daging mentah.”
“Ia menghindari menerima wanita dan gadis.”
“Ia menghindari menerima wanita dan laki-laki yang sudah punya ikatan.”
“Ia menghindari menerima kambing dan domba.”
“Ia menghindari menerima ayam dan babi.”
“Ia menghindari menerima gajah, ternak, kuda.”
“Ia menghindari menerima tanah dan sawah.”
“Ia menghindari menjadi pesuruh.”
“Ia menghindari membeli dan menjual.”
“Ia menghindari penipuan timbangan, logam dan ukuran.”
“Ia menghindari menipu, berbohong, mengakali dan mempermainkan.”
“Ia menghindari melukai, membunuh, merampok, merampas dan menganiaya.”
“Ia menghindari perbuatan untuk makan lewat tengah hari tidak makan pada sore dan malam hari.”
“Ia menghindari berdansa, menyanyi, bermain musik dan melihat pertunjukkan.”
“Ia menghindari memakai karangan bunga, wangi-wangian dan bahan rias.”
“Ia menghindari memakai tempat tidur yang lebar dan tinggi.”
“Ia menghindari menerima emas dan perak.”
“Ia menghindari menerima jagung mentah.”
“Ia menghindari menerima daging mentah.”
“Ia menghindari menerima wanita dan gadis.”
“Ia menghindari menerima wanita dan laki-laki yang sudah punya ikatan.”
“Ia menghindari menerima kambing dan domba.”
“Ia menghindari menerima ayam dan babi.”
“Ia menghindari menerima gajah, ternak, kuda.”
“Ia menghindari menerima tanah dan sawah.”
“Ia menghindari menjadi pesuruh.”
“Ia menghindari membeli dan menjual.”
“Ia menghindari penipuan timbangan, logam dan ukuran.”
“Ia menghindari menipu, berbohong, mengakali dan mempermainkan.”
“Ia menghindari melukai, membunuh, merampok, merampas dan menganiaya.”
“Ia menjadi orang yang puas dengan jubah yang menutupi
badannya, dengan makanan pindapata untuk mengisi perutnya: ke mana dia pergi ia
membawa itu semua bersamanya. Seperti burung yang terbang ke mana saja dengan
sayapnya sendiri, begitu pula ia menjadi orang yang puas dengan jubah yang
menutupi badannya, makanan pindapata untuk mengisi perutnya: ke mana dia pergi
ia membawa itu semua bersamanya.”
“Dengan memiliki ariya sila, ia merasakan dalam dirinya
kebahagiaan yang tak tercela. Ia menjadi orang yang melihat bentuk melalui
matanya, menyadari tanpa bayangan dan keistimewaan, bila ia membiarkan matanya
tak terjaga, maka akusala dhamma seperti keserakahan dan pikiran jahat akan
menyerangnya. Ia menjaga indera mata, ia menahan diri dengan indera mata.
Sewaktu mendengar dengan telinga …. sewaktu mencium dengan hidungnya … sewaktu
mengecap dengan lidahnya … sewaktu menyentuh dengan badannya … sewaktu mengerti
Dhamma dengan pikirannya … ia menahan diri dengan indera pikiran. Dengan memiliki
ariya sila, ia merasakan dalam dirinya kebahagiaan yang tak tercela.”
“Ia menjadi orang yang bertindak dengan kesadaran penuh
ketika bergerak ke depan dan ke belakang, ia bertindak dengan kesadaran penuh
ketika melihat dan menengok, ia bertindak dengan kesadaran penuh ketika
melentur dan merentang, ia bertindak dengan kesadaran penuh ketika mengenakan
pamsakula civara, jubah dan patta, ia bertindak dengan kesadaran penuh ketika
makan, minum, mengunyah dan mengecap. Ia bertindak dengan kesadaran penuh ketika
buang air besar atau air kecil, ia bertindak dengan kesadaran penuh ketika
berjalan, berdiri, duduk, bangun, bicara dan diam.”
“Dengan memiliki sila ariya, pengendalian indera
(indriya-samvara) ariya dan perhatian serta kesadaran penuh (satisampajana)
ariya, ia mengasingkan diri di tempat yang sepi -di hutan, di bawah pohon,
batu, jurang, gua gunung, tanah kuburan, hutan sunyi, tempat terbuka dan
tumpukan jerami. Setelah kembali pindapata dan selesai makan, ia duduk bersila,
menegakkan tubuhnya dan memusatkan pikiran dengan kesadaran penuh.
“Ia meninggalkan keserakahan duniawi (abhijjha loka),
ia hidup dengan pikiran yang bebas dari keserakahan, ia menyucikan pikiran dari
keserakahan. Ia meninggalkan kebencian dan dendam (byapadapadosa), ia hidup
tanpa pikiran membenci, mengharapkan kesejahteraan semua makhluk ia membebaskan
pikiran dari benci dan dendam. Ia meninggalkan kelesuan dan rasa ngantuk
(thinamiddha), ia hidup tanpa kelesuan dan ngantuk, menyadari sinar,
berkesadaran penuh, ia membebaskan pikiran dari kelesuan dan ngantuk. Ia
meninggaikan rasa takut dan kekhawatiran (uddhaccakukkucca), ia hidup tanpa
rasa takut dan kekhawatiran, ia membebaskan pikiran dari rasa takut dan cemas.
Ia meninggalkan keragu-raguan (vicikiccha), ia hidup tanpa keragu-raguan dan
tidak meragukan kusala dhamma, ia membebaskan pikiran dari keragu-raguan.
“Setelah meninggalkan lima rintangan (pancanivarana),
pikiran kurang sempurna yang melemahkan kebijaksanaan, cukup dapat menahan diri
dari nafsu indera, dapat menjauhi diri dari akusala dhamma ia mencapai dan
berada dalam Jhana I yang diikuti oleh ‘usaha pikiran untuk menangkap
obyek’ (vitakka) dan ‘pikiran telah menangkap obyek’ (vicara),
kegiuran (piti), kebahagiaan (sukha) yang muncul karena
ketenangan (viveka).
“Ini disebut suatu jejak kaki dari seorang Tathagata,
tanda gesekan dan goresan dari seorang Tathagata, tetapi berdasarkan pada hal
ini seorang siswa ariya (ariya savaka) belum dapat menyatakan: “Sang
Bhagava telah mencapai penerangan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan
baik, Sang telah memasuki jalan yang baik.”
“Selanjutnya, dengan, menghilangkan vitakka dan vicara,
ia mencapai dan berada dalam Jhana II, ia memiliki keyakinan diri dan
pikiran terpusat (cetaso ekodibhava), tanpa vitakka dan tanpa
vicara dengan piti dan sukha yang muncul karena viveka.”
“Ini juga, disebut suatu jejak kaki Sang Tathagata …”
“Selanjutnya, dengan menghilangkan piti, ia memiliki
keseimbangan batin (upekha), dengan kesadaran penuh (sampajana) dan
sukha, ia mencapai dan berada dalam Jhana III, tetapi seorang ariya
savaka menyatakan: “Ia hidup bahagia dengan memiliki upekha dan perhatian (sati).”
“Ini juga disebut suatu jejak kaki Sang Tathagata …”
“Selanjutnya dengan meninggalkan kebahagiaan (sukha)
dan penderitaan (dukkha), dengan menghilangkan pikiran senang maupun
pikiran tidak senang, ia mencapai dan berada dalam Jhana IV, yang
tanpa sukha dan tanpa dukkha serta sati dan upekha yang suci.”
“Ini juga disebut suatu jejak dari kaki Sang
Tathagata…”
“Ketika, pikirannya yang terkonsentrasi, bersih,
terang, tidak bernoda, bebas dari kotoran batin, dapat dijinakkan, terlatih,
kokoh, dan mendapatkan ketenangan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya
kepada pengetahuan tentang kehidupan-kehidupan yang lampau (pubbenivasanussatinana)
…(seperti dalam sutta.4 Para. 27) … karenanya dengan pandangan dan kemampuan
yang tinggi ia mengingat bermacam-macam kehidupan masa lampaunya.”
“Ini juga disebut suatu jejak kaki Sang Tathagata …”
“Ketika konsentrasi pikiran dimurnikan ….dan mendapat
ketenangan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikiran kepada pengetahuan tentang
timbul dan lenyapnya makhluk (cutupapatanana) … karena dengan mata
dewanya yang bersih dan melebihi kemampuan mata manusia, ia melihat … bagaimana
makhluk-makhluk meninggal dan terlahir kembali sesuai dengan karma mereka.”
“Ini juga disebut jejak kaki Sang Tathagata, tanda
gesekan dan goresan seorang Tathagata, tetapi berdasarkan pada hal ini seorang
ariya savaka belum dapat menyatakan: “Sang Bhagava telah mencapai penerangan
sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik. Sangha telah memasuki jalan yang
baik.”
“Ketika pikiran yang terkonsentrasi telah dimurnikan …
dan mendapat ketenangan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya pada
pengetahuan melenyapkan kekotoran batin. Ia mengerti sebagaimana apa adanya:
“Inilah dukkha” … (Uraian rinci lihat Bhayabherava Sutta,) …. Ia
mengerti sebagaimana apa adanya: Inilah jalan menuju penghentian Dukkha.”
“Ini juga disebut jejak kaki Sang Tathagata, tanda
gesekan dan goresan seorang Tathataga, tetapi berdasarkan pada hal ini seorang
ariya savaka belum dapat menyatakan: “Sang Bhagava telah mencapai penerangan
sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha telah memasuki jalan
yang baik.”
“Mengetahui hal begitu, melihat hal begitu, batinnya
terbebas dari noda nafsu indera, noda perwujudan dan noda ketidaktahuan. Ketika
terbebas, muncul pengetahuan “Telah terbebas”. Ia mengerti dengan jelas:
“Kelahiran telah lenyap, kehidupan suci telah dilaksanakan, apa yang harus
dikerjakan telah dilakukan, tidak ada yang melampauinya lagi.”
“Ini juga disebut sebuah jejak kaki dari seorang
Tathagata, suatu tanda gesekan dan goresan dari seorang Tathagata. Pada tingkat
ini, seorang siswa ariya dapat menyatakan: “Sang Bhagava telah mencapai penerangan
sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha telah memasuki jalan yang
baik.”
“Brahmana, sampai pada bagian ini, “perumpamaan tentang
jejak kaki gajah” (Hattthipadapama) telah selesai diterangkan secara
rinci.”
Ketika hal ini selesai diuraikan, Brahmana Janussoni
berkata: “Luar biasa, Gotama! Luar biasa Gotama! Dhamma telah dijelaskan dengan
banyak cara oleh Gotama. Sama seperti menegakkan yang roboh, memperlihatkan apa
yang tersembunyi, menunjukkan jalan benar kepada yang tersesat, atau memberikan
cahaya dalam kegelapan agar orang lain dapat melihat. Saya menyatakan
berlindung pada Gotama, Dhamma dan Sangha. Sejak hari ini, semoga Gotama
mengingat bahwa saya telah menyatakan berlindung kepada-Nya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar