Mahāvedalla Sutta
Rangkaian Panjang Tanya-Jawab
1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu
ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
“Kemudian, pada malam hari, Yang
Mulia Mahā Koṭṭhita bangkit dari meditasinya, mendatangi Yang Mulia Sāriputta, dan saling
bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di
satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta:
(KEBIJAKSANAAN)
2. “’Seorang yang tidak bijaksana, seorang
yang tidak bijaksana’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan,
’seorang yang tidak bijaksana’?”
“’Seorang yang tidak dengan
bijaksana memahami, seorang yang tidak dengan bijaksana memahami,’ teman;
itulah mengapa dikatakan, ‘seorang yang tidak bijaksana.’ Dan apakah yang
seseorang tidak dengan bijaksana memahami? Ia tidak dengan bijaksana memahami:
‘Ini adalah penderitaan’; ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah
asal-mula penderitaan’; ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah
lenyapnya penderitaan’; ia tidak dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah jalan
menuju lenyapnya penderitaan.’ ‘Seorang yang tidak dengan bijaksana memahami,
seorang yang tidak dengan bijaksana memahami,’ teman; itulah mengapa dikatakan,
‘seorang yang tidak bijaksana.’
Dengan mengatakan “Bagus, teman,’
Yang Mulia Mahā Koṭṭhita senang dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian
ia mengajukan pertanyaan lebih lanjut:
3. “’Seorang yang bijaksana, seorang yang
bijaksana’ dikatakan, teman. Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan,
’seorang yang bijaksana’?”
“’Seorang yang dengan bijaksana
memahami, seorang yang dengan bijaksana memahami,’ teman; itulah mengapa
dikatakan, ‘seorang yang bijaksana.’ Dan apakah yang seseorang dengan bijaksana
memahami? Ia dengan bijaksana memahami: ‘Ini adalah penderitaan’; ia dengan
bijaksana memahami: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia dengan bijaksana
memahami: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia dengan bijaksana memahami:
‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ ‘Seorang yang dengan bijaksana
memahami, seorang yang dengan bijaksana memahami,’ teman; itulah mengapa
dikatakan, ‘seorang yang bijaksana.’
(KESADARAN)
4. “’Kesadaran, kesadaran’ dikatakan, teman.
Sehubungan dengan apakah ‘kesadaran’ dikatakan?”
“’Kesadaran menyadari, kesadaran
menyadari,’ teman; itulah mengapa ‘kesadaran’ dikatakan. Apakah yang
dikenali? Kesadaran menyadari ‘[Ini] menyenangkan’; kesadaran menyadari: ‘[Ini]
menyakitkan’; kesadaran menyadari: ‘[Ini]
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’; “’Kesadaran menyadari, kesadaran
menyadari,’ teman; itulah mengapa ‘kesadaran’ dikatakan.
5. “Kebijaksanaan dan kesadaran, teman –
apakah kondisi-kondisi ini tergabung atau terpisah? Dan apakah mungkin
memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan
antara keduanya?”
“Kebijaksanaan dan kesadaran, teman
– kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak
mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan
perbedaan antara keduanya. Karena apa yang seseorang pahami dengan bijaksana,
maka itulah yang ia sadari, dan apa yang ia sadari, maka itulah yang ia pahami
dengan bijaksana. [293] Itulah mengapa kondisi-kondisi ini tergabung, bukan
terpisah, dan adalah tidak mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu
sama lain untuk menggambarkan perbedaan antara keduanya.”
6. “Apakah perbedaannya, teman, antara
kebijaksanaan dan kesadaran, kondisi-kondisi ini yang tergabung, bukan
terpisah?”
“Perbedaannya, teman, antara
kebijaksanaan dan kesadaran, kondisi-kondisi ini yang tergabung, bukan
terpisah, adalah: kebijaksanaan harus dikembangkan, kesadaran harus dipahami
sepenuhnya.”
(PERASAAN)
7. “’Perasaan, perasaan’ dikatakan, teman.
Sehubungan dengan apakah ‘perasaan’ dikatakan?”
“’Perasaan merasakan, perasaan
merasakan,’ teman; itulah mengapa ‘perasaan’ dikatakan. Apakah yang dirasakan?
Perasaan merasakan kenikmatan, perasaan merasakan kesakitan, perasaan merasakan
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’ ’Perasaan merasakan, perasaan
merasakan,’ teman; itulah mengapa ‘perasaan’ dikatakan.
(PERSEPSI)
8. “Persepsi, persepsi dikatakan, teman.
Sehubungan dengan apakah ‘persepsi’ dikatakan?”
“Persepsi mempersepsikan, persepsi
mempersepsikan,’ teman; itulah mengapa ‘persepsi’ dikatakan. Apakah yang
dipersepsikan? Persepsi mempersepsikan biru, persepsi mempersepsikan kuning,
persepsi mempersepsikan merah, dan persepsi mempersepsikan putih. ’Persepsi
mempersepsikan, persepsi mempersepsikan,’ teman; itulah mengapa ‘persepsi’
dikatakan.
9. “Perasaan, persepsi, dan kesadaran, teman
- apakah kondisi-kondisi ini tergabung atau terpisah? Dan apakah mungkin
memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan perbedaan
antara ketiganya?”
“Perasaan, persepsi, dan kesadaran,
teman - kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak
mungkin untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan
perbedaan antara ketiganya. Karena apa yang seseorang rasakan, itulah yang ia
persepsikan; dan apa yang ia persepsikan, itulah yang ia sadari. Itulah mengapa
kondisi-kondisi ini adalah tergabung, bukan terpisah, dan adalah tidak mungkin
untuk memisahkan kondisi-kondisi ini satu sama lain untuk menggambarkan
perbedaan antara ketiganya.”
(MENGETAHUI HANYA MELALUI PIKIRAN)
10. “Teman, apakah yang dapat diketahui oleh
kesadaran-pikiran yang dimurnikan yang terbebas dari kelima indria?”
“Teman, melalui kesadaran-pikiran
yang dimurnikan yang terbebas dari kelima indria maka landasan ruang tanpa
batas dapat diketahui sebagai berikut: ‘Ruang adalah tanpa batas’; landasan
kesadaran tanpa batas dapat diketahui sebagai berikut: ‘Kesadaran adalah tanpa
batas’; dan landasan kekosongan dapat diketahui sebagai berikut: ‘Tidak ada
apa-apa.’”
11. “Teman, dengan apakah seseorang memahami
suatu kondisi yang dapat diketahui?”
“Teman, seseorang memahami suatu
kondisi yang dapat diketahui dengan mata kebijaksanaan.”
12. “Teman, apakah kegunaan kebijaksanaan?”
“Kegunaan kebijaksanaan, teman,
adalah pengetahuan langsung, gunanya adalah pemahaman sepenuhnya, gunanya
adalah melepaskan.”
13.
“Teman, berapakah kondisi bagi
munculnya pandangan benar?”
“Teman, ada dua
kondisi bagi munculnya pandangan benar: kata-kata orang lain dan perhatian
bijaksana. Ini adalah dua kondisi bagi munculnya pandangan benar.”
14.
“Teman, oleh berapakah faktor pandangan
benar dibantu ketika memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya,
kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya, ketika memiliki
kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui
kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya?”
“Teman,
pandangan benar dibantu oleh lima faktor ketika memiliki kebebasan
pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan
manfaatnya, ketika memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya,
kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya. Di sini,
teman, pandangan benar dibantu oleh moralitas, pembelajaran, diskusi,
ketenangan, dan pandangan terang. Pandangan benar dibantu oleh lima faktor
ketika memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran
sebagai buah dan manfaatnya; memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai
buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.”
(PENJELMAAN)
15.
“Teman, berapakah jenis penjelmaan?”
“Ada tiga jenis
penjelmaan ini, teman: penjelmaan alam-indria, penjelmaan alam bermateri halus,
dan penjelmaan alam tanpa materi.”
16.
“Teman, bagaimanakah penjelmaan baru
di masa depan dihasilkan?”
“Teman,
penjelmaan baru di masa depan dihasilkan melalui kegembiraan dalam ini dan itu
di pihak makhluk-makhluk yang dirintangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh
keinginan.”
17.
“Teman, bagaimanakah penjelmaan baru
di masa depan tidak dihasilkan?”
“Teman, dengan
meluruhnya kebodohan, dengan munculnya pengetahuan sejati, dan dengan lenyapnya
keinginan, maka penjelmaan baru di masa depan tidak dihasilkan.”
(JHĀNA PERTAMA)
18.
“Teman, apakah jhāna pertama?”
“Di sini, teman,
dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi
tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang
disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan
kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini disebut jhāna pertama.”
19.
“Teman, berapakah faktor yang dimiliki
jhāna pertama?”
“Teman, jhāna
pertama memiliki lima faktor. Di sini, ketika seorang bhikkhu telah masuk dan
berdiam dalam jhāna pertama, di sana muncul awal pikiran, kelangsungan pikiran,
kegembiraan, kenikmatan, dan keterpusatan pikiran. Ini adalah bagaimana jhāna
pertama memiliki lima faktor.”
20.
“Teman, berapakah faktor yang
ditinggalkan dalam jhāna pertama dan berapakah faktor yang dimiliki?”
“Teman, dalam
jhāna pertama lima faktor ditinggalkan dan lima faktor dimiliki. Di sini,
ketika seorang bhikkhu telah masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, keinginan
indria ditinggalkan, niat buruk ditinggalkan, kelambanan dan ketumpulan
ditinggalkan, kekhawatiran dan penyesalan [295] ditinggalkan, dan keragu-raguan
ditinggalkan; dan di sana muncul awal pikiran, kelangsungan pikiran, kegembiraan,
kenikmatan, dan keterpusatan pikiran. Ini adalah bagaimana dalam jhāna pertama
lima faktor ditinggalkan dan lima faktor dimiliki.”
(LIMA INDRIA)
21.
“Teman, lima indria ini masing-masing
memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling mengalami bidang
dan wilayah lainnya, yaitu, indria mata, indria telinga, indria hidung, indria
lidah, dan indria badan. Sekarang dari kelima indria ini yang masing-masing
memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling mengalami bidang
dan wilayah lainnya, apakah penentunya, apakah yang mengalami bidang dan
wilayahnya?”
“Teman, kelima
indria ini masing-masing memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak
saling mengalami bidang dan wilayah lainnya, yaitu, indria mata, indria telinga,
indria hidung, indria lidah, dan indria badan. Sekarang dari kelima indria ini
yang masing-masing memiliki bidang terpisah, wilayah terpisah, dan tidak saling
mengalami bidang dan wilayah lainnya, memiliki pikiran sebagai penentunya, dan
pikiran mengalami bidang dan wilayahnya.”
22.
“Teman, sehubungan dengan kelima
indria ini - yaitu, indria mata, indria telinga, indria hidung, indria lidah,
dan indria badan – bergantung pada apakah kelima indria ini berdiri?”
“Teman,
sehubungan dengan kelima indria ini - yaitu, indria mata, indria telinga,
indria hidung, indria lidah, dan indria badan – kelima indria ini berdiri
dengan bergantung pada vitalitas.”
“Teman,
bergantung pada apakah vitalitas berdiri?”
“Vitalitas
berdiri dengan bergantung pada panas.”
“Teman,
bergantung pada apakah panas berdiri?”
“Panas berdiri
dengan bergantung pada vitalitas.”
“Tadi, teman,
kami memahami Yang Mulia Sāriputta mengatakan: ‘Vitalitas berdiri dengan
bergantung pada panas.’; dan sekarang kami memahami ia mengatakan: ‘Panas
berdiri dengan bergantung pada vitalitas.’ Bagaimanakah makna dari kedua
pernyataan ini dipahami?”
“Dalam hal ini,
teman, aku akan memberikan sebuah perumpamaan, karena beberapa orang bijaksana
di sini memahami makna suatu pernyataan melalui perumpamaan. Seperti halnya
ketika sebuah lampu minyak menyala, cahayanya terlihat dengan bergantung pada
apinya dan apinya terlihat dengan bergantung pada cahayanya; demikian pula,
vitalitas berdiri dengan bergantung pada panas dan panas berdiri dengan bergantung
pada vitalitas.”
(BENTUKAN-BENTUKAN VITAL)
23.
“Teman, apakah bentukan-bentukan vital
adalah kondisi perasaan atau apakah bentukan-bentukan vital adalah satu hal dan
kondisi perasaan adalah hal lainnya?”
“Bentukan-bentukan
vital, teman, bukanlah kondisi perasaan. Jika bentukan-bentukan vital
adalah kondisi perasaan, maka ketika seorang bhikkhu telah memasuki lenyapnya
persepsi dan perasaan, ia tidak terlihat keluar dari sana. Karena
bentukan-bentukan vital adalah satu hal dan kondisi perasaan adalah hal
lainnya, maka ketika seorang bhikkhu telah memasuki lenyapnya persepsi dan
perasaan, ia dapat terlihat keluar dari sana.”
24.
“Teman, ketika jasmani ini kehilangan
berapa kondisikah maka jasmani ini dilepaskan dan ditinggalkan, dibiarkan mati
bagaikan balok kayu?”
“Teman, ketika
jasmani ini kehilangan tiga kondisi – vitalitas, panas, dan kesadaran – maka
jasmani ini dilepaskan dan ditinggalkan, dibiarkan mati bagaikan balok kayu.”
25.
“Teman, apakah perbedaan antara
seseorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, dan seorang bhikkhu
yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan?”
“Teman, dalam
hal seorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, bentukan-bentukan
jasmaninya telah memudar dan sirna, bentukan-bentukan ucapannya telah memudar
dan sirna; bentukan-bentukan pikirannya telah memudar dan sirna, vitalitasnya
padam, panasnya berhamburan, dan indria-indrianya hancur seluruhnya. Dalam hal
seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan,
bentukan-bentukan jasmaninya telah memudar dan sirna, bentukan-bentukan
ucapannya telah memudar dan sirna, tetapi vitalitasnya tidak padam, panasnya
tidak berhamburan, dan indria-indrianya menjadi sangat jernih. Ini adalah
perbedaan antara seseorang yang mati, yang telah menyelesaikan waktunya, dan
seorang bhikkhu yang memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan.”
(KEBEBASAN PIKIRAN )
26.
“Teman, berapakah kondisi bagi
pencapaian kebebasan pikiran bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan?”
“Teman, ada
empat kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran
bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan: di sini, dengan meninggalkan
kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya sebelumnya kegembiraan dan
kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang
memiliki bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan dan kemurnian perhatian
karena keseimbangan. Ini adalah empat kondisi bagi pencapaian kebebasan
pikiran bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.”
27.
“Teman, berapakah kondisi bagi
pencapaian kebebasan pikiran tanpa gambaran?”
“Teman, ada dua
kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran tanpa gambaran: tanpa-perhatian
pada segala gambaran dan perhatian pada unsur tanpa-gambaran. Ini adalah dua
kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran tanpa gambaran.”
28.
“Teman, berapakah kondisi bagi
pencapaian kebebasan pikiran tanpa gambaran yang terus-menerus?”
“Teman, ada tiga
kondisi bagi pencapaian kebebasan pikiran tanpa gambaran yang
terus-menerus: tanpa-perhatian pada segala gambaran, perhatian pada unsur
tanpa-gambaran, dan tekad sebelumnya [atas durasinya]. Ini adalah tiga kondisi
bagi pencapaian kebebasan pikiran tanpa gambaran yang terus-menerus.”
29.
“Teman, berapakah kondisi untuk keluar
dari kebebasan pikiran tanpa gambaran?”
“Teman, ada dua
kondisi untuk keluar dari pencapaian kebebasan pikiran tanpa gambaran:
perhatian pada segala gambaran dan tanpa-perhatian pada unsur tanpa-gambaran.
Ini adalah kondisi untuk keluar dari kebebasan pikiran tanpa
gambaran.”
30.
“Teman, kebebasan pikiran yang
tanpa batas, kebebasan pikiran melalui kekosongan, kebebasan
pikiran melalui kehampaan, dan kebebasan pikiran tanpa gambaran:
apakah kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan, atau
bermakna sama dan hanya berbeda dalam sebutan?”
“Teman, kebebasan pikiran yang
tanpa batas, kebebasan pikiran melalui kekosongan, kebebasan
pikiran melalui kehampaan, dan kebebasan pikiran tanpa gambaran:
ada cara di mana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan,
dan ada cara di mana kondisi-kondisi ini bermakna sama dan hanya berbeda
dalam sebutan.
31.
“Apakah, teman, cara di mana
kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam sebutan? Di sini
seorang bhikkhu meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta
kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula
arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke
segala arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia
berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih,
berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ia
berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasihan ... Ia
berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh kegembiraan altruistis
... Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh keseimbangan,
demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke
empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala
arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam
dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah,
luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ini disebut
kebebasan pikiran yang tanpa batas.
32.
“Dan apakah, teman, kebebasan
pikiran melalui kekosongan?” Di sini, dengan sepenuhnya melampaui
landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang
bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ini disebut kebebasan pikiran
melalui kekosongan.
33.
“Dan apakah, teman, kebebasan
pikiran melalui kehampaan? Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau
ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, merenungkan sebagai berikut: ‘Ini hampa
dari diri atau apa yang menjadi milik diri.’ Ini disebut kebebasan
pikiran melalui kehampaan.
34.
“Dan apakah, teman, kebebasan
pikiran tanpa gambaran? Di sini, dengan tanpa-perhatian pada segala
gambaran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran
tanpa-gambaran. Ini disebut kebebasan pikiran tanpa gambaran. Ini
adalah cara di mana kondisi-kondisi ini berbeda dalam makna dan berbeda dalam
sebutan
35.
“Dan apakah, teman, cara di mana
kondisi-kondisi ini bermakna sama dan hanya berbeda dalam sebutan? Nafsu adalah
pembuat penilaian, Kebencian adalah pembuat penilaian, kebodohan adalah pembuat
penilaian. Dalam diri seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur,
hal-hal ini telah ditinggalkan, dipotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul
pohon palem, tersingkirkan sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan. Di
antara semua jenis kebebasan pikiran yang tanpa batas, kebebasan
pikiran yang tidak tergoyahkan adalah yang terbaik. Sekarang kebebasan
pikiran yang tidak tergoyahkan itu hampa dari nafsu, hampa dari
kebencian, hampa dari kebodohan.
36.
“Nafsu adalah satu hal, kebencian
adalah satu hal, kebodohan adalah satu hal. Dalam diri seorang bhikkhu
yang noda-nodanya telah hancur, hal-hal ini telah ditinggalkan, dipotong pada
akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, tersingkirkan sehingga tidak dapat
muncul lagi di masa depan. Di antara semua jenis kebebasan pikiran
melalui kekosongan, kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan adalah yang
terbaik. Sekarang kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan itu
hampa dari nafsu, hampa dari kebencian, hampa dari kebodohan.
37.
“Nafsu adalah pembuat gambaran,
kebencian adalah pembuat gambaran, kebodohan adalah pembuat gambaran.
Dalam diri seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur, hal-hal ini telah
ditinggalkan, dipotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem,
tersingkirkan sehingga tidak dapat muncul lagi di masa depan. Di antara semua
jenis kebebasan pikiran tanpa gambaran, kebebasan pikiran yang
tidak tergoyahkan adalah yang terbaik. Sekarang kebebasan pikiran
yang tidak tergoyahkan itu hampa dari nafsu, hampa dari kebencian, hampa dari
kebodohan. Ini adalah cara di mana kondisi-kondisi ini bermakna sama dan hanya
berbeda dalam sebutan.”
Itu adalah apa yang dikatakan
oleh Yang Mulia Sāriputta. Yang Mulia Mahā Koṭṭhita merasa puas dan gembira mendengar
kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar