CULA-ASSAPURA SUTTA
Khotbah Pendek di Assapura
Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya II,
Diterjemahkan oleh : Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati
Penerbit Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, Klaten, 2005
Diterjemahkan oleh : Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati
Penerbit Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, Klaten, 2005
1. Demikianlah
yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di negeri
Angan di kota suku Angan yang bernama Assapura. Di sana Yang Terberkahi berkata
kepada para bhikkhu demikian: “Para bhikkhu.”-“ Yang Mulia Bhante,” jawab
mereka. Yang Terberkahi berkata demikian:
2. “’Petapa,
petapa,’ para bhikkhu, demikian orang-orang melihat kalian. Dan ketika kalian
ditanya, “Engkau ini apa?” kalian dinyatakan bahwa kalian adalah petapa. Karena
kalian disebut dengan itu dan itu pula yang kalian nyatakan, kalian harus
berlatih demikian: ‘Kami akan menjalankan dan mempraktekkan hal-hal yang pantas
bagi petapa422 agar sebutan-sebutan itu bisa menjadi benar dan
pernyataan-pernyataan kami murni, dan agar pelayan-pelayan mereka yang
memberikan jubah, dana makanan, tempat beristirahat, dan kebutuhan obat-obatan
untuk kami gunakan ini akan memberikan buah dan manfaat yang besar bagi mereka,
dan agar tindakan kami meninggalkan keduniawian ini tidak akan sia-sia
melainkan berbuah dan subur.
3. “Para
bhikkhu, bagaimana seorang bhikkhu tidak mempraktekkan cara yang pantas bagi
petapa? Selama seorang bhikkhu yang tamak belum meninggalkan ketamakan, yang
memiliki pikiran niat jahat belum meninggalkan niat jahat, yang marah belum
meninggalkan kemarahan, yang penuh dendam belum meninggalkan dendamnya, yang
menghina belum meninggalkan penghinaan, yang menguasai belum meninggalkan
sikapnya yang menguasai, yang dengki belum meninggalkan kedengkian, yang
serakah belum meninggalkan keserakahan, yang curang belum meninggalkan
kecurangan, yang menipu belum meninggalkan penipuan, yang memiliki
harapan-harapan jahat belum meninggalkan harapan-harapan jahat, yang memiliki
pandangan salah belum meninggalkan pandangan salah,423 selama itu
kukatakan dia tidak mempraktekkan cara yang pantas bagi petapa, karena dia
tidak meninggalkan noda-noda bagi petapa ini, kesalahan-kesalahan bagi petapa
ini, sampah-sampah bagi petapa ini, yang merupakan landasan-landasan untuk
terlahir kembali di dalam keadaan kekurangan dan yang akibat-akibatnya akan
dialami di alam yang tidak membahagiakan.
4. “Andaikan
saja ada senjata yang disebut mataja, yang kedua sisinya diasah dengan baik,
dimasukkan dan ditempatkan di sarung perca. Kukatakan bahwa tindakan bhikkhu
yang meninggalkan keduniawian itu dapat dibandingkan dengan itu.
5. “Aku
tidak mengatakan bahwa status petapa muncul pada pemakai jubah-perca hanya
karena memakai jubah-perca saja, tidak juga pada petapa telanjang hanya karena
ketelanjangannya saja, tidak juga pada penghuni debu dan kotoran hanya karena
debu dan kotoran saja, tidak juga pada seorang pencuci hanya karena mencuci di
air saja, tidak juga pada penghuni akar-pohon hanya karena berdiam di akar
pohon saja, tidak juga pada penghuni udara-terbuka hanya karena berdiam di
udara terbuka saja, tidak juga pada orang yang berlatih dengan terus-menerus
berdiri hanya karena berdiri terus-menerus saja, tidak juga pada orang yang
mengambil makanan pada interval-interval yang dinyatakan hanya karena mengambil
makanan pada interval-interval yang dinyatakan saja, tidak juga pada pengucap
mantra hanya karena mengucapkan mantra-mantra saja; aku juga tidak mengatakan
bahwa status petapa muncul pada diri petapa berambut-kusut hanya karena
membiarkan rambutnya kusut saja.
6. “Para
bhikkhu, seandainya saja jika hanya karena memakai jubah-perca maka si pemakai
jubah-perca yang tamak itu meninggalkan ketamakan, yang memiliki pikiran niat
jahat meninggalkan niat jahat … yang memiliki pandangan salah meninggalkan
pandangan salah, maka teman-teman dan kenalan-kenalannya, sanak saudara dan
keluarganya akan membuat dia pemakai jubah-perca segera setelah dia dilahirkan
dan menyuruh dia menjalankan praktek memakai jubah perca demikian: ‘Ayo,
sayangku, jadilah pemakai jubah-perca sehingga, sebagai pemakai jubah-perca,
bila engkau tamak engkau akan meninggalkan ketamakan, bila engkau memiliki
pikiran niat jahat engkau akan meninggalkan niat jahat … bila engkau mmiliki
pandangan salah engkau akan meninggalkan pandangan salah.’ Tetapi aku melihat
di sini seorang pemakai jubah-perca yang tamak, yang memiliki pikiran niat
jahat, yang memilikipandangan salah; dan itulah sebabnya aku tidak mengatakan
bahwa status petapa muncul pada pemakai jubah-percai hanya karena memakai
jubah-perca saja.
“Jika
hanya karena ketelanjangan saja seorang petapa telanjang yang tamak meninggalkan
ketamakannya…Jika hanya karena debu dan kotoran saja…Jika hanya karena mencuci
di air saja…Jika hanya karena berdiam di kaki pohon saja…Jika hanya karena
berdiam di udara terbuka saja…Jika hanya karena berdiri terus-menerus
saja….Jika hanya karena mengambil makanan pada interval-interval yang
dinyatakan saja …Jika hanya karena pengulangan mantra saja…Jika hanya karena
membiarkan rambutnya kusut saja……dan itulah sebabnya aku tidak menyatakan bahwa
status petapa muncul pada petapa hanya karena membiarkan rambutnya kusut saja.
7. “Para
bhikkhu, bagaimana seorang bhikkhu mempraktekkan cara yang pantas bagi petapa?
Bila bhikkhu yang tadinya tamak telah meninggalkan ketamakan, yang tadinya
memiliki pikiran jahat telah meninggalkan niat jahat, yang tadinya marah telah
meninggalkan kemarahan, yang tadinya penuh dendam telah meninggalkan dendam,
yang tadinya menghina telah meninggalkan penghinaan, yang tadinya bersikap
menguasai telah meninggalkan sikap menguasai, yang tadinya dengki telah
meninggalkan kedengkian, yang tadinya serakah telah meninggalkan
keserakahannya, yang tadinya curang telah meninggalkan kecurangan, yang tadinya
menipu telah meninggalkan penipuan, yang tadinya memiliki harapan-harapan jahat
telah meninggalkan harapan-harapan jahat, yang tadinya memiliki pandangan salah
telah meninggalkan pandangan salah, maka kukatakan dia mempraktekkan cara yang
pantas bagi petapa , karena dia telah meninggalkan noda-noda bagi petapa ini,
kesalahan-kesalahan bagi petapa ini, sampah-sampah bagi petapa ini, yang
merupakan landasan-landasan untuk terlahir kembali di dalam keadaan kekurangan
dan yang akibat-akibatnya akan dialami di alam yang tidak membahagiakan.
8. “Dia
melihat dirinya sendiri dimurnikan dari keadaan-keadaan tak-bajik yang jahat
ini, dia melihat dirinya terbebas darinya. Ketika dia melihat hal ini,
kegembiraan terlahir pada dirinya. Ketika dia gembira, kegiuran terlahir pada
dirinya; pada diri orang yang tergiur, tubuhnya menjadi tenang; orang yang
tubuhnya tenang akan merasakan kesenangan; pada diri orang yang merasakan
kesenangan, pikiran akan menjadi terkonsentrasi.
9. “Dia
berdiam menyelimuti seperempat bagian yang pertama dengan pikiran yang dipenuhi
cinta kasih, demikian pula yang kedua, demikian pula yang ketiga, demikian pula
yang keempat; demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling dan ke setiap
penjuru, dan kepada semua seperti kepada dirinya sendiri, dia berdiam
menyelimuti seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih, melimpah,
tinggi, tak-terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat.
10-12. “Dia berdiam menyelimuti seperempat bagian
pertama dengan pikiran yang dipenuhi kasih sayang…dengan pikiran yang dipenuhi
simpati…dengan pikiran yang dipenuhi ketenang-seimbangan…melimpah, tinggi,
tak-terukur, tanpa permusuhan dan tanpa niat jahat.
13. “Andaikan
saja ada sebuah kolam dengan air yang jernih, sejuk, dan menyenangkan, bening,
dengan tepian yang mulus, yang menggembirakan. Jika ada orang yang tersengat
matahari dan kelelahan karena cuaca yang panas, lemas, terbakar, dan kehausan.
Di datang dari timur atau dari barat atau dari utara atau dari selatan, atau
dari mana pun sesukamu. Sesudah sampai di kolam ini dia akan melegakan rasa
hausnya dan bebas dari panas cuaca yang menyengat itu. Demikian pula, para bhikkhu,
siapa pun dari kelompok para mulia yang meninggalkan kehidupan berumah menuju
tak-berumah, dan setelah bertemu dengan Dhamma dan Vinaya yang dinyatakan oleh
Tathagata, mengembangkan cinta kasih, kasih sayang, simpati, dan
ketenang-seimbangan, dan karenanya memperoleh kedamaian internal, maka
kukatakan karena kedamaian internal itu jika dia mempraktekkan cara yang pantas
bagi petapa. Dan jika siapa pun dari kelompok brahmana meninggalkan…Jika siapa
pun dari kelompok pedagang meninggalkan…Jika siapa pun dari kelompok pekerja
meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berimah, dan setelah bertemu Dhamma
dan Vinaya yang dinyatakan oleh Tathagata, mengembangkan cinta kasih, kasih
sayang, simpati, dan ketenang-seimbangan, dan karenanya memperoleh kedamaian internal,
maka kukatakan karena kedamaianinternal itulah dia mempraktekkan cara yang
pantas bagi petapa.
14. “Para
bhikkhu, jika siapa pun dari kelompok para mulia meninggalkan kehidupan berumah
menuju tak-berumah, dan dengan mewujudkan bagi dirinya sendiri dengan
pengetahuan langsung di sini dan kini masuk dan berdiam di dalam kebebasan
pikiran dan kebebasan oleh kebijaksanaan yang tanpa-noda dengan hancurnya
noda-noda itu, maka dia telah menjadi petapa karena hancurnya noda-noda itu.424
Dan jika siapa pun dari kelompok brahmana meninggalkan …Jika siapa pun dari
kelompok pedagang meninggalkan…Jika siapa pun dari kelompok pekerja
meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berumah, dan dengan mewujudkan untuk
dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan kini masuk dan berdiam
di dalam kebebasan pikiran dan kebebasan oleh kebijaksanaan yang tanpa-noda
dengan hancurnya noda-noda itu, maka dia telah menjadi petapa karena hancurnya
noda-noda itu.
Demikianlah
yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Para bhikkhu merasa puas dan bersuka cita
di dalam kata-kata Yang Terberkahi.
Catatan :
(422) Sutta sebelumnya menggunakan frasa “hal-hal yang
membuat seseorang menjadi petapa” (dhamma samanakarana), namun sutta ini
berbicara tentang “cara yang pantas bagi petapa” (samana-samicipatipaada).
(423) Sepuluh noda pertama dari duabelas “noda-noda
bagi petapa” dicakupkan di dalam enambelas “ketidak-sempurnaan yang mengotori
pikiran” di MN 7.3.
(424) MA: Karena dia telah menenangkan (samita) semua
kekotoran batin, dia adalah petapa di dalam petapa di dalam pengertian
tertinggi (paramatthasamana).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar