BUDDHA
DHAMMA vs DOGMA
Dr, Douglas
M. Burns
SANG BUDDHA DAN AJARANNYA
Dalam buku
kecil ini, kita akan memusatkan perhatian kita pada ajaran-ajaran Sang Buddha
seperti yang dilestarikan dalam bahasa Pali. Tulisan yang berdasarkan kitab
suci ini merupakan dasar agama Buddha mazhab Theravada yang berkembang luas di
Burma, Muangthai, Laos, Kamboja dan Srilanka.
Kira-kira
tahun 543 sebelum Masehi, di wilayah yang sekarang menjadi negeri Nepal,
seorang putra dilahirkan dalam keluarga Raja Suddhodhana. Anak ini diberi nama
Siddhattha Gotama, dan ayahnya mengelilingi putranya dengan kekayaan dan
kemewahan duniawi. Walaupun Pangeran memperoleh pendidikan terbaik, namun Raja
Suddhodhana mengambil langkah-langkah guna mencegah Pengeran Siddhattha untuk tidak
mengetahui kesengsaraan dan penderitaan yang meliputi seluruh dunia. Akan
tetapi, pada suatu hari ketika Pangeran Siddhattha naik kereta mengelilingi
jalan-jalan desa, ia melihat seorang tua renta, orang sakit, orang mati dan
seorang pertapa yang berwajah agung. Tergoncang oleh kenyataan hidup yang kejam
dan tergerak oleh welas asih terhadap penderitaan umat manusia, Pangeran muda
ini rela meninggalkan kenikmatan - kenikmatan warisan kerajaan dan pergi
seorang diri berusaha mencari kesunyataan dan jalan untuk dapat bebas dari
penderitaan.
Mula-mula, ia
mencari guru-guru besar kebatinan pada jamannya dan menguasai latihan meditasi
yang diajarkan mereka. Namun segera ia dapat menyadari bahwa keadaan trance dan
mistikisme bukanlah jalan yang membawa pada kebebasan. Selanjutnya, ia berjuang
keras melakukan latihan penyiksaan diri
seperti yang dipraktekkan di India jaman dahulu. tetapi, pertapaan ternyata
tidak memberikan suatu faedah apapun, malahan mengakibatkan tubuhnya menjadi
lemah dan rapuh. Akhirnya, setelah berjuang keras selama enam tahun, ia duduk
dengan hening di bawah pohon yang sekarang terkenal dengan nama pohon Rodhi. Di
sana, setelah menembusi hakekat kehidupannya sendiri, ia mencapai suatu tingkat
Pandangan Tcrang ; yang disebutnya Nibbana. Dan sejak itu seterusnya ia
dikenal sebagai Buddha atau "Yang
Telah Mencapai Penerangan Sempurna". Dalam sisa hidupnya selama
empat puluh lima tahun, Beliau membaktikan dirinya untuk melayani dan memberi
petunjuk kepada sesama umat manusia.
LIMA PENGERTIAN DASAR
Pandangan
umat Buddha dapat jelas dimengerti jika kita melihatnya sebagai yang didasarkan
pada lima asumsi pokok : -
I. Ketidaktetapan
atau Perubahan
Semua benda,
keadaan dan ciptaan dipandang sebagai sesuatu dalam kondisi berubah terus
menerus. Tiada sesuatu yang terbatas bersifat abadi atau tidak berubah.
Kelahiran, pertumbuhan, kelapukan dan kematian tidak akan dapat dihindari oleh
semua obyek kebendaan, manusia, masyarakat dan bentuk pikiran. Di sini terletak
jawaban terhadap misteri ciptaan : bentuk baru lahir dari bentuk lama ; tiap
kondisi baru ditentukan oleh apa yang mendahuluinya.
II. Sebab
dan Akibat
Bagaimanapun
juga, perubahan ini tidak dapat dianggap kacau, melainkan diatur oleh Hukum
Sebab Akibat yang bersifat universal. Hukum Sebab Akibat tidak bersifat
pribadi, tidak memihak dan tidak berubah. Satu-satunya yang tidak berubah
adalah hukum perabahan itu sendiri ; atau dengan kata lain, proses perubahan
ini akan berjalan terus menerus selamanya.
III. Sifat
mementingkan diri sendiri dan Penderitaan
Hukum Sebab
Akibat tidak hanya meliputi hukum fisika dan kimia yang telah begitu terkenal
di dunia Barat, tetapi juga mencakup hukum moral atau hukum sebab dan akibat
yang bersifat kejiwaan yang dikenal sebagai kamma-vipaka atau lebih umum, karma.
Karma bekerja
sepanjang waktu, dan dengan demikian akibat sepenuhnya dari pikiran dan
perbuatan seseorang mungkin tidak muncul sampai beberapa tahun kemudian. Karma
tidak dapat dihindari, seperti apa yang telah disabdakan oleh Sang Buddha : -
"Tidak di langit, tidak di tengah lautan atau pun dengan memasuki gua - gua di gunung terdapat suatu tempat bagi seseorang untuk menghindarkan dirinya dari akibat perbuatan jahat"."Tidak di langit, tidak di tengah lautan atau pun dengan memasuki gua - gua di gunung terdapat suatu tempat bagi seseorang untuk menghindarkan dirinya dari kematian".(Dhammapada 127 - 128)
Satu aspek
penting dari hukum karma ialah bahwa sifat memen- tingkan diri sendiri akan
menimbulkan penderitaan pada diri sendiri sebanding dengan jumlah kejahatan
yang telah dikerjakan. Kebalikannya, cinta kasih, belas kasihan dan
bentuk-bentuk pikiran baik lainnya menciptakan jumlah kebahagiaan dan
kesejah-teraan yang sebanding pula. Sering hal ini dinyatakan sebagai
"keinginan adalah sebab penderitaan". Dalam hubungan ini, perkataan
yang diterjemahkan menjadi "penderitaan", berasal dari kata Pali dukkha. Dukkha adalah istilah yang
mencakup semua pengalaman yang tidak menyenangkan, misalnya, kesusahan,
kesedihan, kesakitan, ketakutan, ketidak puasan, ketidak selarasan dan
Iain-lain. Bila pikiran menginginkan kesenangan atau terdorong oleh
keserakahan, kebencian dan ketidak tahuan, maka hal itu dapat mempengaruhi
timbulnya dukkha. Suatu hal yang berlawanan adalah, bahwa kebahagiaan dengan
mudah didapatkan mereka yang tidak terikat mencarinya. Jadi, dalam ajaran Sang
Buddha, kita tidak menemukan hukuman yang abadi atau pun hadiah abadi.
Kebahagiaan dan kesengsaraan adalah sebanding dengan pikiran dan perbuatan kita
sendiri.
Karma bekerja
bebas dari nilai - nilai sosial atau pun norma budaya tentang kebaikan dan kejahatan.
Juga, karma tidak memperdulikan segala kesenangan dan ketidak senangan,
sebagaimana Sang Buddha bersabda bahwa banyaknya pengalaman senang dan pedih
seseorang bukanlah hasil dari perbuatan-perbuatannya yang terdahulu (Anguttara
Nikaya I, 173).
IV. Nibbana
Karena semua
yang dilahirkan pasti mengalami kematian, karena semua yang terbatas pasti
berubah, maka hanyalah satu yang abadi, Tidak Terbatas dan Tidak Berubah, Tidak
Dilahirkan dan Tidak Dibentuk, itulah Nibbana. Tetapi, Sang Buddha hanya
berbicara relatif sedikit tentang Nibbana karena Nibbana bukan benda atau pun
kekuatan dan karena Nibbana tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Nibbana sama
sekali tidak berhubungan dengan apa pun juga yang pernah kita kenal. Jadi,
Nibbana tidak dapat dilukiskan, dipikirkan maupun dipahami oleh pikiran manusia
biasa. Nibbana hanya dapat diketahui melalui pengalaman langsung di luar
persepsi indria dan merupakan akhir seluruh dukkha. Apabila Nibbana telah
diselami maka sifat keakuan akan padam, karena Nibbana muncul hanya dengan
pelenyapan seluruh sifat mengutamakan diri sendiri dan keinginan. Namun, orang
tidak dapat hidup tanpa berbuat dan bekerja selama hayat dikandung badan.
Inilah kebebasan Buddhis ; kebebasan ini didapatkan dengan melatih pikiran dan
mematangkan kepribadian. Karena Nibbana tidak mungkin dipahami dan diketahui
kecuali dengan pengalaman langsung, maka hendaknya orang tidak berusaha untuk
mencari Nibbana itu sendiri, tetapi tentu saja orang harus berusaha
menghapuskan sifat mementingkan dirinya sendiri dari pribadinya, dan inilah
suatu usaha yang memberi manfaat tanpa mengindahkan apakah tujuan tertinggi itu
tercapai atau tidak. Demikianlah sabda Sang Buddha : -
"Terbebaslah orang bijaksana yang tidak tertarik oleh perasaan dan tidak mempunyai kebutuhan untuk menuntut sesuatu ; tenanglah mereka setelah bebas dari rasa senang dan tidak senang". ( Sutta Nipata )
V. Bukan
Dogma
Akhirnya,
dinyatakan bahwa keempat pandangan di atas dapat dibuktikan sendiri oleh akal
sehat dan pengalaman, tanpa tergantung pada otoritas luar. Di dalam sebuah
naskah Tibet, dikutip kata - kata Sang Buddha : "Sama seperti seseorang
menguji kemurnian emas dengan jalan membakarnya dalam api, dengan memotongnya,
dengan menggosokkannya pada batu penguji, begitu juga hendaknya engkau, O para
siswa, menerima kata-kataKu setelah menguji dengan kritis, dan bukan hanya
karena didasarkan atas rasa hormat kepada-Ku". (Self Mastery, oleh Soma Thera, Kandy, Ceylon
: Buddhist Publication Society)
BEBERAPA ASPEK AJARAN
Berdasarkan
kelima dalil tersebut di atas, maka berkembanglah beberapa aspek ajaran yang
penting : -
1- Universalitas - Kesunyataan adalah universal dan
tidak berubah sifatnya, sehingga dengan demikian tak tergantung pada wahyu atau
adat kebiasaan. Fakta-fakta yang ditemukan oleh Sang Buddha tersedia bagi semua
orang untuk mengujinya, dan dalam pengertian ini orang dapat menjadi umat
Buddha tanpa pernah mendengar tentang agama Buddha atau pun ajaran-ajaran Sang
Buddha. Sang Buddha pernah bersabda : "Memang sukar mengubah pendapat
seseorang yang sudah terbentuk, tetapi orang hendaknya membiarkan dirinya dengan bebas menguji semua
sistim filsafat dengan menerima dan menolaknya sebagaimana dianggapnya layak.
Tetapi, orang yang bijaksana tidak lagi melibatkan dirinya dengan sistim filsafat
mi atau pun itu, dan ia tidak pula membanggakan ataupun menipu dirinya. Ia
berjalan terus menempuh jalannya sendiri yang bebas" (Sutta Nipata, 72,5 -
786).
2. Bukan hal gaib - Bagi orang yang menerima ajaran
Sang Buddha, upacara-upacara, sesaji, doa dan semua usaha yang serupa untuk
melahirkan pertolongan gaib sesungguhnya tidak bernilai. Satu-satunya nilai dan
upacara, pembacaan paritta dan penghormatan pada Sang Buddha adalah keadaan
pikiran yang bersih dan sungguh - sungguh yang dapat diwujudkan, karena keadaan
pikiran semacam itu mempunyai nilai karmis yang besar.
Pada tahap
akhir jalan menuju ke Nibbana, orang harus percaya semata-mata akan usaha
sendiri dan tidak mencari pertolongan para dewa atau manusia. Ucapan Sang
Buddha sesaat sebelum wafat adalah : "Segala sesuatu yang berkondisi adalah
tidak kekal, karena itu berjuanglah dengan penuh kewaspadaan". (Digha
Nikaya II, 156)
Pada
kesempatan sebelumnya, Beliau bersabda : "Orang yang terjerat dalam khayalan
tidak akan menjadi suci hanya dengan belajar dari kitab-kitab suci atau
berkurban bagi para dewa atau berpuasa atau tidur di atas tanah atau
mengulang-ulang doa. Juga, pemberian kepada bhikkhu, penyiksaan diri atau pun
pelaksanaan upacara dan kebaktian tidak akan membuat suci orang yang penuh
keinginan. Bukan karena makan daging atau ikan akan membuat orang tidak suci,
tetapi orang menjadi tidak suci apabila ia suka mabuk, keras kepala, fanatik,
menipu, menyombongkan diri, memandang rendah orang lain dan beritikad
jahat". (Fundamentals of Buddhism, oleh Nyanatiloka Mahathera,
Buddha Sahitya Sabha, Colombo, Ceylon, 1949, halaman 8)
3. Pandangan tentang dunia - Alam semesta (dengan semua yang
ada di dalamnya) diatur oleh hukum yang adil dan tidak berubah. Hukum ini
berlaku sepanjang masa sejak lampau dan tidak terbatas. Dan hukum ini akan
berlaku terus sepanjang waktu yang tak terbatas pada masa mendatang ; tidak
diketahui permulaannya dan tidak juga akan ada akhirnya (Samyutta Nikaya II,
182). Sang Buddha selanjutnya menyatakan bahwa paling sedikit ada satu bilyun
sistem tata surya lain seperti yang kita miliki ini (Anguttara Nikaya I,
227-228), dan karena menjadi tua dan usang, maka tata surya baru berkembang dan
menggantikan yang lama. Meskipun demikian, tidak seperti hukum fisika dan
kimia, jalannya kejadian itu bukanlah masalah kesempatan yang samar-samar.
Ajaran Sang Buddha memandang alam semesta sebagai keseluruhan gerak yang
selaras dengan suatu kesatuan di balik keaneka ragaman. Manusia diciptakan
hukum alam ; dunia tidak tercipta karena manusia.
4. Keduniawian dan Keduniawian lain - Dunia itu sendiri tidak dipandang
sebagai hal yang buruk, tetapi keinginan (tanha) akan kenikmatan kasar dan
halus terhadap eksistensi kebendaanlah yang ditentang oleh ajaran Sang Buddha.
Jadi, apabila berbicara tentang kebebasan, maka yang dimaksudkan Sang Buddha
adalah membebaskan pikiran dari perbudakan hawa nafsu dan prasangka, bukan
karena benci akan eksistensi kebendaan itu sendiri. Beliau juga mencela praktek
penyiksaan diri. Karena itu, khotbah pertama Sang Buddha mengajarkan Jalan
Tengah, yang menghindarkan tindakan ekstrim terhadap pemuasan hawa nafsu dan
praktek penyiksaan diri.
Para bhikkhu
berusaha melatih diri melepaskan segalanya, kecuali sejumlah kecil miliknya
yang dibutuhkan agar mereka tidak terperdaya karena melekat secara tak sadar
pada barang- barang duniawi. Juga, karena kebanyakan ajaran Sang Buddha ditujukan
kepada para bhikkhu dan bhikkhuni, maka sebagian terbesar percakapan yang
tercatat berhubungan dengan cita-cita non-materialisme dan tanpa kcmelekatan.
Tetapi, Sang Buddha mengakui kebutuhan umat awam dan juga memberikan banyak
nasehat kepada mereka. Pernah Beliau bersabda : -
"Orang bijaksana dan bajik akan bercahaya bagai api yang menyala di atas bukit. Dan bagi dia, mengumpulkan kekayaan adalah seperti lebah berterbangan yang mengumpulkan madu tanpa memengganggu siapa pun. Bila kekayaan orang berkeluarga yang baik telah menumpuk tinggi bagaikan timbunan bukit semut, maka ia dapat memberi manfaat kepada sanak keluarganya.Biarlah ia membagi kekayaannya dalam empat bagian, dan mengikat kehidupannya dengan hal-hal yang baik.Satu bagian biarlah dipergunakan dan dinikmati sebagai buah usaha ; dua bagian untuk meneruskan usahanya ; bagian keempat biarlah disimpan dan ditabung, sehingga ada persediaan pada saat yang sulit"(Digha Nikaya II, 188)
5. Epistemologi - Bagi umat Buddha, pengetahuan
diperoleh lewat pengalaman dan akal sehat diri sendiri. Ini merupakan metode
yang sama seperti dalam ilmu pengetahuan modern, kecuali bahwa agama Buddha
memperluasnya menjadi suatu studi mengenai pikiran dan studi tentang alam
penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan dan rasa. Kepercayaan, kitab
suci, mistikisme dan wahyu tidak dianggap sebagai jalan mutlak menuju
kesunyataan.
Pada suatu
kesempatan, Sang Tathagata datang ke desa Kesaputta, tempat tinggal suku bangsa
yang dikenal sebagai Kalama. Mereka mengetahui bahwa Sang Buddha terkenal
sebagai seorang guru kebatinan yang termasyhur. Dan mereka berkata kepada
Beliau sebagai berikut : - "Yang Mulia, ada sementara pendeta
dan Brahmana yang berkunjung ke Kesaputta. Mereka hanya menerangkan dan membabarkan
ajaran mereka sendiri, sedangkan ajaran orang lain dianggap rendah, dicaci dan
dihancurkan. Yang Mulia, keragu-raguan dan kesangsian ada pada diri kami
berkenaan dengan mereka. Pendeta dan Brahmana mana yang berbicara benar dan
yang mana yang berdusta?"
Untuk ini,
Sang Buddha menjawab : "O Kalama, sudah sepantasnya engkau
ragu-ragu dan merasa tidak pasti. Ketidak pastian muncul dalam dirimu terhadap
apa yang meragukan. Marilah, Kalama. Jangan ikuti tradisi otoriter ; jangan
juga percaya akan apa yang diperoleh dengan jalan mendengar, kabar angin, tulisan
dalam kitab suci, teori-teori, alasan-alasan atau bukti-bukti yang spekulatif ;
jangan mempercayai pokok pandangan, akal budi yang kelihatan baik ; jangan
menerima suatu pernyataan sebagai kebenaran hanya karena itu sesuai dengan
teori yang dipercayai seseorang ; juga jangan mempercayai kemampuan semu dari
orang lain ; juga jangan menganggap benar hanya karena : "Guru kami
berkata demikian". Kalama, jika kamu sendiri mengetahui : "Hal ini
tidak baik, hal ini tercela ; hal ini dikecam oleh orang bijaksana ; jika
dilakukan dan dituruti, hal-hal itu menjurus kepada kejahatan dan penderitaan,
tinggalkanlah" (Anguttara Nikaya I, 189).
6. Etika - Etika Buddhis meliputi dua
tingkat, yaitu positif dan negatif. Secara negatif, ia menganjurkan pembasmian
seluruh keserakahan (lobha),
kebencian (dosa) dan ketidaktahuan (moha) dari pikiran kita. Secara positif,
ia menganjurkan untuk mengusahakan dan mengembangkan cinta kasih (metta.), kasih sayang (karuna), perasaan simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha) sebagai aspek yang melekat pada
kepribadian seseorang. "Metta"
adalah perkataan Pali dan biasanya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai
"cinta kasih". Tetapi, dalam bahasa Pali, ada beberapa kata,
masing-masing dengan perbedaan arti yang semuanya dapat diterjemahkan sebagai
"cinta kasih". Jika kita secara bersamaan berpikir tentang kata-kata
"persahabatan", "cinta kasih" dan "kebaikan
hati", kita akan mendapatkan pengertian tentang arti sebenarnya dari kata
"metta". Di dalam Metta Sutta, Sang Buddha menerangkan sebagai
berikut : -
"Bagaikan seorang ibu mempertaruhkan jiwanya, melindungi anaknya yang tunggal, demikian pula hendaknya ia memiliki pikiran penuh cinta kasih terhadap semua mahluk. Dipancarkannya pikiran cinta kasih tanpa batas ke segenap alam semesta, ke atas, ke bawah dan ke sekeliling ; tanpa rintangan, tanpa benci dan permusuhan". (Sutta Nipata 149 - 150)
Sang Buddha
adalah orang pertama dalam sejarah yang diketahui telah menganjurkan untuk
membalas kejahatan dengan kebaikan
"Dalam dunia ini, kebencian tidak akan berakhir bila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan cinta kasih. Inilah satu hukum yang abadi". ( Dhammapada 5 )"Kalahkan kemarahan dengan cinta kasih, serta kalahkan kejahatan dengan kebaikan. Taklukkan keserakahan dengan kedermawanan, dan taklukkan si pembuat kebohongan dengan kebenaran" (Dhammapada 223)
Jika orang
sungguh-sungguh menyingkirkan sifat mementingkan diri sendiri dan mengembangkan
cinta kasih dan kasih sayang, maka tidaklah diperlukan lagi aturan moral yang
ketat atau aturan mengenai tingkah laku. Orang semacam ini tidak cenderung
berbuat kesalahan dan dengan demikian kebajikannya menjadi wajar dan tidak
bersifat sekehendak hatinya, melainkan tulus hati dan berpikir sebelum berbuat
sesuatu. Sang Buddha bersabda : -
"Ada sementara orang yang setelah menjadi anggota salah satu sekte agama dan menaati janji-janji berpendapat bahwa hanya kesusilaan yang tertinggi dan menyatakan bahwa kesucian dapat dicapai melalui pengendalian diri. Mereka berkata : 'Beginilah cara melatih diri ; kesucian terdapat di dalamnya'."Jika orang demikian meninggalkan aturan dan upacara tertentu, setelah gagal mendapat hasil tertentu, ia gelisah, merindukan kesucian sepanjang waktu ; sama halnya dengan seorang yang kehilangan kafilah jauh dari rumahnya."Setelah semua aturan dan upacara ditinggalkan, semua karma yang patut dicela dan dipuji, tidak melibatkan dirinya dengan pembersihan maupun dengan noda-noda, maka orang dapat berjalan dengan bebas"(Sutta Nipata 898 - 900).
Walaupun
demikian, aturan etika bernilai dan bermakna besar bagi sebagian besar umat
manusia. Jadi, apabila berbicara dengan umat awam, Sang Buddha memberikan
banyak nasehat praktis seperti terdapat dalam Sigalovada Sutta : -
"O putra kepala keluarga, dengan lima cara ini seorang anak harus memperlakukan orang tuanya :Dahulu aku dirawat oleh mereka, sekarang aku akan merawat mereka ;Aku akan memikul beban kewajiban-kewajiban mereka ;Aku akan memelihara keturunan serta tradisi keluarga ;Aku akan menjadikan diriku pantas menerima warisan ;Aku akan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan upacara agama setelah mereka meninggal dunia"."O putra kepala keluarga, dengan lima cara ini, orang tua yang diperlakukan secara demikian oleh seorang anak akan menunjukkan kasih sayang mereka kepadanya :Mereka mencegahnya berbuat jahat ;Mereka mendorongnya berbuat baik ;Mereka melatihnya dalam suatu profesi ;Mereka mencarikan pasangan yang sesuai bagi perkawinannya ;Pada waktunya, mereka menyerahkan warisan kepadanya"."O putra kepala keluarga, dengan lima cara ini hendaknya seorang majikan memperlakukan pelayan-pelayan dan karyawan- karyawannya :Dengan memberikan pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka ;Dengan memberi mereka makanan dan upah ;Dengan merawat mereka apabila sakit ;Dengan memberikan mereka kesenangan sekali sekali ;Dengan memberikan cuti pada waktu - waktu tertentu"."O putra kepala keluarga, para pertapa dan Brahmana akan menunjukkan kasih sayang mereka kepada warga keluarga dalam enam cara ini :Mereka mencegah ia berbuat jahat ;Mereka menganjurkan ia berbuat baik ;Mereka mencintainya dengan pikiran penuh kasih sayang ;Mereka mengajarkan apa yang belum pernah didengarnya ;Mereka menerangkan ajaran yang belum jelas kepadanya ;Mereka menunjukkan ia jalan ke surga".(Digha Nikaya III, 189 - 190)
Perbuatan
ditimbulkan oleh pikiran, dan karena alasan inilah kejahatan hadir terlebih
dahulu dalam pikiran. Oleh sebab itu, agama Buddha memandang kebencian, egoisme
dan kehendak yang tak bermoral sebagai suatu hal yang salah, tanpa
memperhatikan perbuatan yang mungkin dihasilkan atau tidak. Etika agama Buddha
tidak didasarkan pada ketaatan terhadap seperangkat perintah, melainkan lebih
didasarkan pada pengertian benar terhadap bahaya-bahaya dari keserakahan,
kebencian dan ketidaktahuan ; dan pada nilai-nilai yang terkandung dalam cinta
kasih, kasih sayang dan ketenangan hati. Dengan demikian, perkataan
"baik" dan "jahat" dalam agama Buddha tidak mengandung
pengertian rasa malu dan rasa bersalah seperti di dunia Barat. Sesungguhnya,
Sang Buddha sering menghindari kata-kata "baik" dan
"jahat", dan sebagai penggantinya memakai kata - kata "bermanfaat"
dan "tidak bermanfaat" atau "menyenangkan" dan "tidak
menyenangkan".
7. Masyarakat - Umat Buddha diajar untuk tidak
tergantung pada kebiasaan, tradisi dan adat istiadat yang sewenang-wenang dalam
masyarakat untuk mendapatkan kebenaran, kebahagiaan dan kesejahteraan ; juga
hendaknya mereka tidak mengharapkan masyarakat mencarikan aturan etika. Namun,
hal ini tidak berarti bersikap apatis sama sekali pada organisasi-organisasi
kemasyarakatan. Sang Buddha tidak hanya mengajarkan menentang ketidaksamaan
sistem kasta, tetapi juga menentang kebiasaan perbudakan.
Lebih dari
dua ribu tahun yang lalu, umat Buddha telah mendirikan rumah-rumah sakit dan
rumah peristirahatan, sementara itu, raja-raja Buddhis, atas nama agama mereka,
mengalirkan air di rawa-rawa, membuat sumur-sumur dan melakukan serangkaian
tindakan lain untuk kesejahteraan masyarakat.
Tentang hal
melayani orang sakit, Sang Buddha pernah bersabda demikian : -
"O. para bhikkhu, barangsiapa bersedia merawat orang sakit, maka orang itu sama juga seperti merawat-Ku, menghormati diri-Ku dan menuruti nasehat-nasehatKu". ( Vinaya Mahavagga )
"Bukan karena kelahiran, orang menjadi sampah masyarakat (vasala); dan bukan karena kelahiran orang menjadi mulia (brahmana). Tctapi, karena perbuatanlah orang menjadi vasala'; dan karena perbuatanlah orang menjadi brahmana". (Sutta Nipata 136)
8. Psikologi - Karena semua ciptaan (sankhara)
yang terbatas harus binasa, karena semua yang dilahirkan harus mati, maka
dimana pun pada manusia tidak ditemukan jiwa yang kekal. Sebaliknya, agama
Buddha menganggap personalitas manusia sebagai suatu perpaduan kelompok
perasaan, persepsi ( ingatan ) dan bentuk-bentuk pikiran, yang semuanya
bermanifestasi dengan latar belakang kesadaran. Satu-satunya yang dianggap
sebagai yang kekal, yang tidak dilahirkan, tidak terbatas dan bukan pribadi
adalah Nibbana.
9. Kematian - Jika tak ada jiwa, lalu apakah agama
Buddha mengajarkan bahwa kematian adalah pengakhiran semua eksistensi
kesadaran? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan "ya" atau
"tidak" secara sederhana.
Sama sekali
tidak benar bahwa agama Buddha mengajarkan penjelmaan kembali dan mengajarkan penghancuran
secara mutlak. Namun, agama Buddha mengambil posisi di antara dua hal ekstrim
itu. Sang Buddha dilahirkan sebagai seorang Hindu sebagaimana halnya Yesus
dilahirkan sebagai seorang Yahudi. Di dalam agama Hindu, setiap bentuk yang
sadar dianggap mempunyai jiwa yang kekal dan tidak berubah. Tiap jiwa
merupakan perwujudan Jiwa Semesta nan agung, yang disebut oleh orang Hindu
sebagai Brahma atau Tuhan. Brahma, adalah Yang Mutlak, dasar dari segala
sesuatu yang tercipta, dan tujuan akhir dari jiwa yang terbatas adalah kembali
pada dan bersatu dengan Brahma. Penyatuan dengan Brahma adalah konsepsi Hindu
tentang Nibbana, dan dicapai setelah melalui banyak penjelmaan. Dengan setiap
kehidupan baru, jiwa itu mempelajari ajaran-ajaran baru, dosa-dosa dan
menderita karena dosa- dosanya, kemudian menuju ke kehidupan berikutnya yang
lebih baik daripada sebelumnya. Akhirnya, ia dibersihkan dari semua sifat
mementingkan diri sendiri, mencapai Nibbana dan tidak lagi dilahirkan kembali.
Penting bahwa kepercayaan Hindu mi dibedakan dengan posisi agama Buddha sebagai
berikut :
Untuk
menanggapi pertanyaan "Apakah yang akan terjadi pada diriku bila aku
meninggal dunia?", Sang Buddha menjawab, "Apakah engkau itu?"
Perkataan "aku" atau "diri" meliputi tidak hanya satu
benda, melainkan banyak benda. Kematian, tentu saja, berarti penghentian
seluruh fungsi jasmani. Lalu, apa yang terjadi atas pikiran kita? Dengan
pengetahuan modern kita tentang neurofisiologi, ada masalah kecil bahwa
kebanyakan, meski tidak semua, yang kita sebut kegiatan mental tergantung
secara langsung pada pekerjaan-pekerjaan otak secara elektro- kimiawi. Bila
otak berhenti berfungsi, maka perasaan, pencerapan, pikiran dan kesadaran
berakhir.
Agama Buddha
mengajarkan bahwa pikiran tanpa materi adalah kemustahilan ; jasmani merupakan
pra-syarat bagi kesadaran. Tetapi, agama Buddha juga mengajarkan badan jasmani
melulu tidaklah cukup. Ada aspek non-fisik dari jiwa manusia yang harus ada
sebelum kesadaran dapat terjadi.
Pikiran (nama) dan badan jasmani (rupa) membentuk suatu hubungan yang
saling bergantungan, bagaikan dua gabungan buluh yang tidak dapat berdiri sendiri,
tetapi berdiri saling bersandaran. Tanpa adanya komponen batiniah, badan
jasmani tidak berkembang dan hidup subur, dan tanpa lapisan materi, tidaklah
mungkin kesadaran terwujud.
Sebagai
pengganti ajaran tentang jiwa yang tidak berubah dan mendiami badan jasmani terus
menerus dan jiwa itu sendiri lepas dari badan jasmani, agama Buddha mengajarkan
proses perubahan yang dinamis, yang perwujudannya ditentukan oleh dasar
fisiknya. Ini seperti nyala korek api yang dipergunakan untuk menyulut lilin
dan kemudian korek dipadamkan. Lalu, dengan lilin itu orang menyalakan lentera,
dan lilin kemudian padam. Kita dapat bertanya : -Apakah api yang menyala pada
lentera sama dengan api yang menyala pada korek api? Jawabnya dapat ya dan
tidak. Demikian pula, Sang Buddha berkata bahwa ada dua pendapat yang ekstrim.
Yang satu menyatakan bahwa bila orang meninggal, orang itu juga yang akan dilahirkan
kembali ; dan pendapat ekstrim lain mengatakan bahwa setelah kematian, orang
itu binasa untuk selamanya. Posisi agama Buddha ada di antara kedua pendapat
itu.
Selanjutnya,
Sang Buddha memperhatikan bahwa yang kita sebut pikiran atau diri itu berubah
terus menerus dari detik ke detik, dan dari hari ke hari. Suasana hati, sikap,
pendapat dan konsepsi yang ber-beda dan sering bertentangan terus menerus
muncul dan jatuh pada titik kesadaran. Tidak satu pun yang merupakan diri yang
sesungguhnya ; tentu saja, diri adalah keseluruhan dari semua itu. Atau juga,
kepribadian seseorang pada umur empat tahun amat berbeda dengan kepribadian
pada umur duabelas tahun, yang juga berbeda dengan kepribadian dari orang yang
sama pada umur duapuluh tahun dan juga pada umur empatpuluh tahun. Seperti
halnya dengan nyala api pada lentera, jiwa itu bukanlah orang yang sama,
melainkan suatu proses perkembangan. Begitu juga, fenomena tumimbal lahir
seperti yang diajarkan di dalam agama Buddha merupakan kelanjutan proses, bukan
pemindahan suatu kesatuan atau zat.
Sebagaimana
kebanyakan orang menempuh kehidupan, mereka dipengaruhi oleh keluarga,
masyarakat dan ciri-ciri lain lingkungan mereka sedemikian rupa, sehingga
mereka menjadi produk lingkungan mereka. Akibatnya, perkembangan pribadi mereka
sebagian besar merupakan masalah kesempatan. Tujuan agama Buddha adalah
menuntun dan mengarahkan evolusi pribadi seseorang, sehingga perkembangan tidak
lagi secara kebetulan. Nibbana adalah tujuan akhir proses pematangan ini, dan
dengan Nibbana tumimbal lahir berakhir.
"Bhante,
apakah yang akan dilahirkan kembali?"
"Gabungan
psiko-fisik, Baginda, adalah jawabannya".
"Tetapi,
bagaimana, Bhante? Apakah gabungan psiko-fisik itu sama dengan gabungan psiko-fisik.
yang sekarang ini?"
"Tidak,
Baginda. Tetapi gabungan psiko-fisik yang sekarang ini menghasilkan kegiatan -
kegiatan berdasarkan kehendak yang menurut karma bermanfaat dan tidak
bermanfaat. Dan disebabkan oleh karma itulah gabungan psiko - fisik yang baru
akan dilahirkan kembali".
(Milinda Panha
46)
Karma yang
telah dihasilkan dalam satu masa kehidupan dan belum mewujudkan akibat- akibatnya
pada waktu kematian akan bermanifestasi dalam kehidupan berikutnya, dan bahkan
dapat menentukan waktu dan keadaan kelahiran yang baru. Jadi, keadaan yang seorang
temukan pada dirinya adalah hasil pikiran dari perbuatan-perbuatannya dahulu.
Perilakunya yang sekarang akan menentukan keadaannya nanti. Dengan demikian,
manusia menciptakan nasibnya sendiri.
10. Pengetahuan dan Kecerdasan - Tentang hal ini, Sang Buddha
bersabda : -
"Jika orang dapat menjadi suci hanya dengan mengubah pandangannya, jika dengan pengetahuan semata-mata ia dapat terbebas dari penderitaan, maka sesuatu yang lain daripada Jalan Utama berfaktor delapan membuat suci dan mengakhiri penderitaan. Namun, hal ini tidaklah mungkin". (Sutta Nipata 789)
Pengertian
mengenai hanya beberapa fakta yang penting diperlukan bagi kebebasan. Orang
dapat terus tanpa batas memperoleh fakta-fakta, akan tetapi tak pernah
memperoleh pengertian yang akan membawa ke Nibbana. Jadi, pengetahuan tentang
diri sendiri lebih penting daripada pengetahuan mengenai dunia. Sang Buddha
bersabda : -
"Magandiya, bukan karena pandangan-pandangan, tradisi, pengetahuan semata atau pun karena kebajikan dan kepandaian, maka kesucian dapat dicapai. Bukan juga tanpa pandangan-pandangan, tanpa tradisi, tanpa pengetahuan, tanpa kebajikan maupun kepandaian, bahwasanya kesucian itu dapat dicapai". (Sutta Nipata 839)
Kecerdasan, seperti ilmu pengetahuan, adalah dipandang sebagai alat yang
berharga, suatu cara untuk mencapai suatu tujuan tetapi bukanlah tujuan akhir
itu sendiri. Daiam analisa akhir, kenyataan mengatasi pengertian manusia normal
dan dengan begitu salah satu pencapaian tertinggi kecerdasan terlihat apabila
ia menunjuk di luar dirinya pada kenyataan.
11. Disiplin- Sang Buddha bersabda :
"Walaupun orang dapat menaklukkan ribuan musuh di medan perang, ia tidak lebih agung daripada orang yang dapat menaklukkan diri sendiri (Dhammapada 103)
Disiplin amatlah
penting. Hanya melalui disiplin diri yang teguh, kata Sang Buddha, orang dapat
mengatasi hawa nafsu dan kemalasan, dan akhirnya dapat mencapai Nibbana.
Namun, sekalipun orang harus menyucikan dirinya, ia tidak dapat membawa dirinya
menuju Nibbana, karena Nibbana di luar bidang upaya manusia yang terbatas.
Nibbana akan bermanifestasi dengan sendirinya bila orang pada akhirnya
menentukan kondisi yang merupakan prasyarat. Juga, di sini kita akan mengutip
ucapan Sang Buddha : -
"Ia yang tidak bangun pada saal ia harus bangun, yang meskipun muda dan kual, tetapi pcnuli kemalasan, yang kemauan dan pikirannya lomah, maka orang yang malas seperti itu tidak akan menemukan jalan menuju kebijaksanaan". (Dhammapada 280)
12. Sebagai Adat atau Kebiasaan - Agama Buddha menempatkan dirinya
sebagai kelompok penting yang, jika dipahami dengan baik, dapat menjadi besar
nilainya bagi hampir setiap manusia. Penting bahwa ajaran ini dijadikan adat
dan bagian asli masyarakat, karena tak ada jalan lain bahwa ajaran ini dapat
menjangkau semua tingkat umat manusia dan juga berlaku terus bagi banyak
generasi. Di samping itu, jika ajaran demikian tidak ada, maka
ideologi-ideologi yang tidak toleran, ketahyulan dan ilmu agama yang keliru
akan terpaksa muncul untuk memenuhi kebutuhan spiritual suatu kebudayaan
tertentu. Pada suatu ketika, Sang Buddha bersabda : -
"Terbebaslah Aku, O para bhikkhu, dari ikatan manusia maupun dewa. Kalian juga terbebas dari belenggu manusia dan dewa. Berkelanalah demi kesejahteraan dan kebahagiaan orang banyak, atas dasar kasih sayang terhadap dunia ; untuk keberuntungan, kesejahteraan dan kebaha- giaan para dewa dan manusia. Babarkanlah Dhamma yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan dan indah pada akhirnya, baik dalam isi maupun bahasanya. O para bhikkhu, babarkanlah kehidupan suci (brahmacariya) yang sempurna". (Samyutta Nikaya I, 105)
Sebaliknya,
sekali seseorang berhubungan dengan agama Buddha sebagai adat istiadat dan
bekerja untuk tujuan ini sebagai alasan utama baginya, maka ia akan kehilangan
pandangan tentang fakta bahwa kesunyataan bersifat universal. Perkataan
"agama Buddha" atau "Buddhisme" hanyalah lambang yang menggambarkan
keyakinan dan konsep tertentu. Kenyataan ini dapat juga sama-sama diwakili oleh
kata, adat istiadat atau lambang tertentu lainnya. Sekali kita berprasangka
terhadap agama Buddha, kita berhenti menjadi umat Buddha dalam arti kata yang
sesungguhnya. Setiap umat Buddha memiliki kesempatan untuk memberikan
pengetahuannya kepada orang lain. Sebenarnya, ia tidak perlu memberikannya
kepada orang lain dengan nama agama Buddha, tetapi berbuat demikian membantu
menjamin perwujudan pengetahuan ini sehingga memberi kesempatan bagi orang lain
untuk mencapainya. Dalam Digha Nikaya I, Sang Buddha menegaskan demikian : -
"O para bhikkhu, bilamana orang lain berbicara menentang diri-Ku, menentang Dhamma atau menentang Sahgha, kalian tidak perlu mempunyai pikiran jahat dan dendam atau pun menjadi sakit hati terhadap mereka karena hal itu. Jika kalian menyimpan kebencian dalam hati, hal itu tidak hanya akan menghalangi kemajuan batin kalian, tetapi kalian juga akan gagal mempertimbangkan seberapa jauh ucapan itu benar atau salah.Tetapi juga, O para bhikkhu, jika orang lain berbicara memuji diri-Ku, memuji Dhamma atau memuji Sangha, kalian tidak perlu bersuka cita, karena hal itu pun akan merusak kemajuan batin kalian. Kalian harus mengakui apa yang benar dan membuktikan kebenaran dari apa yang telah diucapkan".
Tentang
kebanggaannya, agama Buddha dapat menegaskan bahwa dalam sejarahnya selama dua
ribu lima ratus tahun belum pernah membinasakan seorang wanita penyihir atau
pun mengobarkan Perang Suci, dan juga tidak mempunyai contoh kejadian tentang
pengejaran terhadap mereka yang menyimpang dari ajarannya.
Meski
demikian, tidak ada agama yang dapat bertahan lama di tengah jutaan manusia
tanpa mengalami perubahan dan penyimpangan. Doa-doa yang meminta, pemujaan area
dan persembahan kepada Sang Buddha merupakan contoh-contoh tentang hal ini.
Juga, umat Buddha belakangan ini, terutama di Cina dan Jepang, menciptakan
banyak legenda tentang Sang Buddha dan ajaran-ajaranNya. Nibbana diganti dengan
surga nan agung tempat Sang Buddha duduk di atas tahta-Nya, dan kepercayaan
menempati kedudukan lebih penting daripada pengertian.
SEBAGAI CARA HIDUP
Aspek
kehidupan manusia yang paling mendasar dan penting bukanlah kepercayaan,
kedudukan sosial, kecerdasan dan bukan pula harta benda ; melainkan, aspek itu
adalah motif-motif, emosi-emosi, perasaan-perasaan. Hampir menurut definisi,
aspek itu adalah perasaan, dan perasaan itu sendiri yang memberi arti, nilai,
makna dan maksud pada setiap perbuatan dan pertemuan kita. Tanpa perasaan atau
motif tidak ada perangsang bagi orang untuk berpikir, berbicara atau berbuat; kehidupan
akan menjadi apatis terus menerus. Namun, perasaan tertentu lebih
menguntungkan, bermanfaat dan berarti daripada lainnya. Juga, amat sering
perasaan (baik mental maupun fisik) tidak menyenangkan, hampa, sedih, tidak
seimbang, khawatir, merangsang, mengecewakan atau dalam beberapa cara bernilai
negatif ; dengan kata lain, dukkha.
Maka, Sang
Buddha mengikhtisarkan ajaran-Nya dalam Empat Kesunyataan Mulia : -
Dukkha atau penderitaan, dalam segala macam bentuknya adalah
aspek eksistensi kesadaran yang berpautan dan universal.
Sebab dukkha ini adalah keinginan atau nafsu.
(keinginan dalam pengertian ini jangan dikacaukan dengan pengakuan semata
terhadap peng-alaman yang menyenangkan atau membahagia-kan. Pengakuan maupun
penerimaan terhadap pengalaman demikian bukanlah tak bermanfaat; namun, bahaya timbul
dari kemelekatan pada pengalaman- pengalaman demikian.
Ada akhir
dukkha yang dapat dicapai oleh setiap orang.
Akhir dukkha ini dicapai dengan melaksanakan Delapan Jalan Utama.
Perlu
ditekankan bahwa Delapan Jalan Utama ini bukanlah terdiri atas delapan buah
jalan, yang harus diikuti satu demi satu atau dilaksanakan secara terpisah.
Delapan Jalan Utama ini sebenarnya adalah satu jalan yang mempunyai delapan
faktor di dalamnya. Karenanya, kedelapan faktor itu harus dilekasanakan secara
serentak dan selaras sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Delapan Jalan Utama tersebut terdiri
atas : -
Pandangan Benar : yaitu pengembangan dan penerapan
intelektual sendiri guna memahami dan memecahkan masalah - masalah egoisme dan
penderitaan.
Pikiran Benar : yaitu pikiran yang bebas dari hawa
nafsu, bebas dari itikad jahat dan bebas dari kekejaman.
Ucapan Benar : yaitu menghindari kebohongan,
memfitnah, ucapan kasar dan omong kosong.
Perbuatan Benar : yaitu menjauhkan diri dari
pembunuhan, pencurian, minuman yang memabukkan dan perzinahan (Bagi para
bhikkhu diharapkan hidup membujang ; bagi umat awam dianjurkan untuk
menghindari perbuatan zinah atau hubungan seksual yang tidak patut).
Penghidupan Benar, yaitu menghindarkan setiap pekerjaan
yang menjurus kepada tindakan yang berbahaya dan tidak dikehendaki, seperti
perdagangan minum-minuman keras, perbudakan atau penjualan senjata untuk
pembunuhan.
Usaha Benar : mengusahakan kemauan serta
disiplin untuk mengembangkan keadaan batin yang baik serta mengatsi keadaan
batin yang tidak baik.
Perhatian Benar : ini mungkin merupakan aspek
terpenting dan terdalam bagi porkembangan batin umat Buddha, yang meliputi
bermacam-macam latihan meditasi dan teknik kejiwaan yang berbeda-beda. Latihan
dan teknik tersebut berbeda-beda menurut kebutuhan batin dan bentuk kepribadian
seseorang, yang meiiputi pengembangan kesadaran akan motif serta dp-rongan yang
tidak disadari.
Konsentrasi Benar : melatih pikiran agar tetap
terpusat pada obyek tunggal dan tidak mengembara dari pikiran yang satu ke
pikiran yang lain.
Langkah-langkah
tersebut tidak dapat dicapai sesaat, namun dikerjakan dengan kematangan
kerpibadian sendiri secara serentak. Tidak seorang pun mencapai Nibbana dalam
semalam, dan memaksa diri secara kaku melepaskan semua usaha keduniawian
sebelum cakap melakukan tindakan demikian sama bahayanya seperti melekat pada
pemuasan nafsu secara berlebihan. Dalam
sabda Sang Buddha disebutkan : -
"O para bhikkhu, seperti halnya lautan yang-luas mendalam dan melandai sedikit demi sedikit, lubang demi lubang, tidak mendadak terjun ke dalam karang yang curam ; demikian pula, para bhikkhu, latihan dalam disiplin Dhamma ini adalah bertahap dan berjalan setapak demi setapak; tidak ada penembusan pengertian secara tiba -tiba". (Udana 54)"Dengan latihan berangsur - angsur, dari saat ke saat dan sedikit demi sedikit, hendaklah orang bijaksana membebaskan dan membersihkan noda-noda yang ada dalam dirinya, bagaikan pandai emas membersihkan perak yang berkarat". (Dhammapada 239)"Orang bijaksana akan meluruskan pikiran yang goyah dan tidak tetap ; yang sulit dijaga dan sulit dikuasai, bagai seorang pembuat panah meluruskan anak panah".“Pikiran ini selalu menggelepar, bagai seekor ikan dikeluarkan dari dalam air dan dilemparkan ke atas tanah. Karena itu, kekuasaan Mara harus dihancurkan"."Mengawasi pikiran yang sukar dikendalikan, binal dan mengembara sesuka hatinya itu adalah baik. Pikiran yang telah dijinakkan akan memberikan kebahagiaan".(Dhammapada 33-35)
BUDDHA DHAMMA vs DOGMA
Dr, Douglas
M. Burns
Yayasan
Dhammadipa Arama. 1982
Tidak ada komentar:
Posting Komentar