Poññhapāda Sutta
Tentang Poññhapāda
Kondisi Kesadaran
Diterjemahkan dari bahasa Pāḷi ke bahasa Inggris oleh
Maurice O'Connell Walshe
© 2009-2012
Terjemahan alternatif: Pāḷi
Tentang Poññhapāda
Kondisi Kesadaran
Diterjemahkan dari bahasa Pāḷi ke bahasa Inggris oleh
Maurice O'Connell Walshe
© 2009-2012
Terjemahan alternatif: Pāḷi
1. DEMIKIANLAH
YANG KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthi, di Hutan
Jeta, di Taman Anāthapiõóika. Dan pada saat itu, pengembara Poññhapāda sedang
berada di aula-perdebatan di dekat pohon Tinduka, di taman dengan aula tunggal
milik Ratu Mallika,[1] di tengah-tengah tiga ratus pengembara.
2. Kemudian,
Sang Bhagavā, setelah bangun
pagi, membawa jubah dan mangkuk-Nya dan pergi ke Sāvatthi untuk menerima makanan. Tetepi Beliau berpikir:
‘Masih terlalu pagi untuk pergi ke Sāvatthi untuk menerima makanan. Bagaimana jika Aku pergi ke aula perdebatan
untuk menjumpai si pengembara Poññhapāda?’ Dan Beliau melakukan hal itu.
3. Di
sana Poññhapāda sedang duduk bersama kelompok para pengembara,
semuanya berteriak dan membuat kegaduhan, terlibat dalam berbagai pembicaraan
yang tidak bertujuan, seperti tentang raja-raja, perampok-perampok, menteri-menteri,
bala tentara, bahaya-bahaya, perang, makanan, minuman, pakaian, tempat tidur,
karangan bunga, pengharum, sanak saudara, kereta-kereta, desa, pasar dan kota, negeri-negeri,
perempuan-perempuan, pahlawan-pahlawan, gosip-sumur dan gosip-jalanan,
pembicaraan tentang mereka yang telah meninggal dunia, pembicaraan yang tidak
menentu, spekulasi mengenai daratan dan lautan, pembicaraan mengenai ke-ada-an
dan ke-tiada-an.
4. Tetapi
Poññhapāda melihat Sang Bhagavā datang dari kejauhan, dan ia memerintahkan para pengikutnya, dengan
mengatakan: ‘Tenanglah, Tuan-tuan, jangan berisik, Tuan-tuan! Petapa Gotama
sedang menuju ke sini, dan ia menyukai ketenangan, dan memuji ketenangan. Jika
ia melihat kelompok ini tenang, ia pasti akan datang dan mengunjungi kita.’
Mendengar kata-kata ini, para pengembara seketika diam.
5. Kemudian
Sang Bhagavā mendatangi Poññhapāda
yang berkata: ‘Mari, Yang Mulia Bhagavā, selamat datang, Yang Mulia Bhagavā! Akhirnya Bhagavā datang ke
sini. Silakan duduk, Bhagavā, tempat duduk telah disediakan.’
Sang
Bhagavā duduk di
tempat yang telah disediakan, dan Poññhapāda mengambil bangku kecil dan duduk
di satu sisi. Sang Bhagavā berkata: ‘Poññhapāda,
apakah yang sedang kalian bicarakan? Percakapan apakah yang terhenti karena
Aku?’
6. Poññhapāda
menjawab: ‘Bhagavā, jangan
pedulikan pembicaraan yang kami lakukan tadi, tidaklah sulit bagi Sang Bhagavā untuk mendengarnya nanti. Dalam beberapa hari ini,
Bhagavā, diskusi antara
para petapa dan para Brāhmaṇa dari berbagai
aliran, duduk bersama dan mengadakan rapat di dalam aula-perdebatan,
berhubungan dengan pemadaman kesadaran yang lebih tinggi,[2] dan
bagaimana hal ini terjadi. Beberapa berkata: “Persepsi seseorang muncul dan
lenyap tanpa sebab atau kondisi. Ketika muncul, maka seseorang sadar, ketika
lenyap, maka seseorang menjadi tidak sadar.” Demikianlah mereka menjelaskannya.
Tetapi yang lain berkata: “Tidak, itu bukan begitu. Persepsi[3]
adalah diri dari seseorang, yang datang dan pergi, ketika ia datang, maka
seseorang sadar, ketika ia pergi, maka seseorang menjadi tidak sadar.” Yang
lain lagi berkata: “Itu bukan begitu. Ada petapa dan Brāhmaṇa yang memiliki kesaktian, memiliki pengaruh besar.
Mereka memasukkan kesadaran ke dalam diri seseorang dan mencabutnya. Ketika
mereka memasukkannya ke dalam dirinya, ia sadar, ketika mereka mencabutnya, ia
menjadi tidak sadar.”[4] Dan yang lain lagi berkata: “Tidak, bukan
begitu. Ada para dewa yang memiliki kesaktian, memiliki pengaruh besar. Mereka
memasukkan kesadaran ke dalam diri seseorang dan mencabutnya. Ketika mereka
memasukkannya ke dalam dirinya, ia sadar, ketika mereka mencabutnya, ia menjadi
tidak sadar.”[5] Sehubungan dengan hal ini, aku teringat pada Sang
Bhagavā, yang telah
sempurna menempuh Sang Jalan, Beliau sangat ahli[6] dalam hal-hal
seperti ini! Sang Bhagavā memahami
dengan baik pemadaman kesadaran yang lebih tinggi. Apakah itu, Bhagavā, pemadaman kesadaran yang lebih tinggi?’
7. ‘Dalam
masalah ini, Poññhapāda, para petapa dan Brāhmaṇa yang mengatakan persepsi seseorang muncul dan lenyap tanpa sebab dan
kondisi adalah salah besar. Mengapakah? Persepsi seseorang muncul dan lenyap
karena suatu sebab dan kondisi. Beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan
beberapa lenyap melalui latihan.’ ‘Apakah latihan?’ Sang Bhagavā berkata. ‘Poññhapāda, seorang Tathāgata telah muncul di dunia ini, seorang Arahant,
Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku
yang Sempurna, telah sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam,
penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa
dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah mencapainya dengan
pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama para dewa, māra dan Brahma, para raja dan umat manusia. Beliau
membabarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir,
dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni
sepenuhnya. Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan
moralitas (DN 2, paragraf 41-62). Itu baginya adalah moralitas.’
8. ‘Dan
kemudian, Poññhapāda, bhikkhu tersebut yang sempurna dalam moralitas melihat
tidak ada bahaya dari sisi mana pun juga ... (seperti DN 2, paragraf 63).
Demikianlah ia sempurna dalam moralitas.’
9-10. ‘Ia
menjaga pintu-pintu indrianya, dan seterusnya (DN 2, paragraf 64-75). Setelah
mencapai jhāna pertama, ia
berdiam di sana. Dan sensasi apa pun yang ia miliki sebelumnya, menjadi lenyap.
Pada saat itu, terdapat persepsi kegirangan dan kegembiraan[7] yang
sesungguhnya namun halus, yang muncul dari ketidakmelekatan, dan ia menjadi
seorang yang sadar akan kegirangan dan kegembiraan ini. Demikianlah beberapa
persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan. Dan ini
adalah latihan itu’, Sang Bhagavā berkata.
11. ‘Kemudian
lagi, seorang bhikkhu, dengan melenyapkan awal-pikiran dan
kelangsungan-pikiran, dengan memperoleh ketenangan di dalam dan keterpusatan
pikiran, mencapai dan berdiam di dalam jhāna ke dua, yang bebas dari awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, yang
muncul dari konsentrasi, dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan. Persepsi
kegirangan dan kegembiraan yang sesungguhnya namun halus, yang muncul dari
ketidakmelekatan yang ada sebelumnya, menjadi lenyap. Pada saat itu, terdapat
persepsi kegirangan dan kegembiraan yang sesungguhnya namun halus, yang muncul
dari konsentrasi, dan ia menjadi seorang yang sadar akan kegirangan dan
kegembiraan ini. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan
beberapa lenyap melalui latihan.’
12. ‘Kemudian
lagi, dengan memudarnya kegirangan, ia berdiam dalam keseimbangan, penuh
perhatian dan berkesadaran jernih, dan ia mengalami dalam tubuhnya, perasaan
menyenangkan yang oleh Para Mulia dikatakan: “Berbahagialah ia yang berdiam
dalam keseimbangan dan perhatian,” dan ia mencapai dan berdiam di dalam jhāna ke tiga. Persepsi kegirangan dan kegembiraan yang
sesungguhnya namun halus, yang muncul dari konsentrasi yang ada sebelumnya,
menjadi lenyap, dan di sana muncul keseimbangan dan kebahagiaan yang
sesungguhnya namun halus, dan ia menjadi seorang yang sadar akan keseimbangan
dan kebahagiaan yang halus ini. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui
latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan.’
13. ‘Kemudian
lagi, dengan ditinggalkannya kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya
kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, ia mencapai dan berdiam di dalam jhāna ke empat, suatu kondisi yang melampaui kenikmatan
dan kesakitan, dimurnikan oleh keseimbangan dan perhatian. Keseimbangan dan
perhatian halus yang ada sebelumnya, menjadi lenyap, dan di sana muncul bukan
kebahagiaan dan juga bukan bukan-kebahagiaan yang halus, dan ia menjadi seorang
yang sadar akan kebahagiaan dan juga bukan bukan-kebahagiaan ini. Demikianlah
beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap melalui latihan.’
14. ‘Kemudian
lagi, dengan seluruhnya melampaui sensasi jasmani, dengan lenyapnya semua
penolakan dan dengan ketidaktertarikan pada persepsi yang beraneka-ragam,
melihat bahwa ruang adalah tidak terbatas, ia mencapai dan berdiam di dalam
alam ruang tanpa batas. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan,
dan beberapa lenyap melalui latihan.’
15. ‘Kemudian
lagi, dengan seluruhnya melampaui Alam Ruang Tanpa Batas, melihat bahwa
kesadaran adalah tidak terbatas, ia mencapai dan berdiam di dalam alam
kesadaran tanpa batas. Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan,
dan beberapa lenyap melalui latihan.’
16. ‘Kemudian
lagi, dengan seluruhnya melampaui Alam Kesadaran Tanpa Batas, melihat bahwa
tidak ada apa-apa, ia mencapai dan berdiam di dalam alam kekosongan.
Demikianlah beberapa persepsi muncul melalui latihan, dan beberapa lenyap
melalui latihan.’ Sang Bhagavā berkata.
17. ‘Poññhapāda,
sejak saat ketika seorang bhikkhu mencapai persepsi terkendali ini,[8]
ia maju secara bertahap hingga mencapai batas persepsi. Ketika ia mencapai
batas persepsi, muncul dalam dirinya: “Aktivitas batin buruk bagiku, kurangnya
aktivitas batin adalah lebih baik. Jika aku berpikir dan membayangkan,[9]
persepsi-persepsi ini [yang telah kucapai] akan lenyap, dan persepsi-persepsi
yang lebih kasar akan muncul dalam diriku. Bagaimana jika aku tidak berpikir
dan tidak membayangkan?” Maka ia tidak berpikir dan tidak membayangkan. Dan
kemudian, dalam dirinya, hanya persepsi-persepsi ini yang muncul, tetapi yang
lainnya, persepsi-persepsi yang kasar tidak muncul. Ia mencapai pelenyapan. Dan
itu, Poññhapāda, adalah bagaimana lenyapnya persepsi terjadi setahap demi
setahap.’
18.
‘Bagaimana menurutmu, Poññhapāda? Pernahkah engkau mendengarkan hal ini
sebelumnya?’ ‘Belum, Bhagavā. Seperti yang kupahami, Bhagavā telah mengatakan: “Poññhapāda, sejak saat ketika seorang bhikkhu mencapai
persepsi terkendali ini, ia maju secara bertahap hingga mencapai batas
persepsi. Ketika ia mencapai batas persepsi ... ia mencapai pelenyapan... dan
demikianlah bagaimana lenyapnya persepsi terjadi setahap demi setahap.”’ ‘Benar
sekali, Poññhapāda.’
19. ‘Bhagavā, apakah Engkau mengajarkan puncak persepsi hanya ada
satu, atau ada banyak?’ ‘Aku mengajarkannya satu dan juga banyak.’ ‘Bhagavā, bagaimanakah yang satu, dan bagaimanakah yang
banyak?’ ‘Sebagaimana ia mencapai berturut-turut pelenyapan dari masing-masing
persepsi, maka Aku mengajarkan puncak dari persepsi: demikianlah Aku
mengajarkan satu puncak persepsi, dan Aku juga mengajarkan banyak.’
20. ‘Bhagavā, apakah persepsi muncul sebelum pengetahuan, atau
pengetahuan muncul sebelum persepsi, atau apakah keduanya muncul bersamaan?’
‘Persepsi muncul terlebih dulu, Poññhapāda, kemudian pengetahuan, dan dari
munculnya persepsi, muncullah pengetahuan. Dan seseorang mengetahui: “Dengan
terkondisi demikian, muncullah pengetahuan.” Dengan demikian, engkau dapat
melihat bagaimana persepsi muncul terlebih dulu, dan kemudian pengetahuan, dan
bahwa dari munculnya persepsi, muncullah pengetahuan.’[10]
21. ‘Bhagavā, apakah persepsi adalah diri dari seseorang? Atau
persepsi adalah satu hal, dan diri adalah hal lainnya?’[11]
‘Baiklah, Poññhapāda, apakah engkau menerima[12] teori diri?’
‘Bhagavā, aku menerima
diri yang kasar, bermateri, tersusun dari empat unsur utama, dan memakan
makanan padat.’ ‘Tetapi dengan diri yang kasar begitu, Poññhapāda, persepsi
adalah satu hal, dan diri adalah hal lainnya. Engkau dapat melihatnya dengan
cara ini. Dengan diri yang kasar demikian, persepsi-persepsi tertentu akan
muncul dalam diri seseorang, dan yang lainnya lenyap. Dengan cara ini, engkau
dapat melihat bahwa persepsi adalah satu hal, dan diri adalah hal lainnya.’[13]
22. ‘Bhagavā, aku menerima diri ciptaan-pikiran lengkap dengan
semua bagiannya, tidak ada cacat dalam semua organ-indria.’[14]
‘Tetapi dengan diri ciptaan-pikiran demikian, persepsi adalah satu hal, dan
diri adalah hal lainnya ....’
23. ‘Bhagavā, aku menerima diri yang tanpa bentuk, terbuat dari
persepsi.’[15] ‘Tetapi dengan diri yang tanpa bentuk demikian,
persepsi adalah satu hal, dan diri adalah hal lainnya ....’
24. ‘Tetapi,
Bhagavā, apakah
mungkin bagiku untuk mengetahui apakah persepsi adalah diri seseorang, atau
apakah persepsi adalah satu hal, dan diri adalah hal lainnya?’ ‘Poññhapāda,
adalah sulit bagi seseorang yang berpandangan berbeda, keyakinan berbeda, di
bawah pengaruh yang berbeda, dengan tujuan yang berbeda, dan latihan yang
berbeda untuk mengetahui apakah kedua hal ini berbeda atau tidak.’
25. ‘Baiklah,
Bhagavā, jika
pertanyaan mengenai diri dan persepsi ini sulit bagi seseorang sepertiku –
katakan: apakah dunia ini kekal?[16] Apakah hanya ini yang benar dan
yang sebaliknya salah?’ ‘Poññhapāda, Aku tidak menyatakan bahwa dunia ini kekal
dan bahwa pandangan yang sebaliknya adalah salah.’ ‘Baiklah, Bhagavā, apakah dunia ini tidak kekal?’ ‘Aku tidak menyatakan
bahwa dunia ini tidak kekal ....’ ‘Baiklah, Bhagavā, apakah dunia terbatas, ... tidak terbatas? ....’ ‘Aku
tidak menyatakan bahwa dunia ini tidak terbatas dan bahwa pandangan yang
sebaliknya adalah salah.’
26. ‘Baiklah,
Bhagavā, apakah jiwa
sama dengan badan, ... apakah jiwa adalah satu hal, dan badan adalah hal
lainnya?’ ‘Aku tidak menyatakan bahwa jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal
lainnya.’
27. ‘Baiklah,
Bhagavā, apakah Tathāgata ada setelah kematian? Apakah hanya ini yang benar
dan semua yang lainnya salah?’ ‘Aku tidak menyatakan bahwa Tathāgata ada setelah kematian,’ ‘Baiklah, Bhagavā, apakah Tathāgata tidak ada setelah kematian, ... ada dan tidak ada setelah kematian?
... bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian?’ ‘Aku tidak menyatakan
bahwa Tathāgata bukan ada
dan bukan tidak ada setelah kematian, dan bahwa semua yang lainnya adalah salah.’
28. ‘Tetapi,
Bhagavā, mengapakah
Bhagavā tidak
menyatakan hal-hal ini?’ ‘Poññhapāda, itu tidak mendukung pada tujuan, tidak
mendukung pada Dhamma, bukan jalan untuk memulai kehidupan suci; tidak mengarah
menuju ketidaktertarikan, tidak menuju kebosanan, tidak menuju pelenyapan,
tidak menuju ketenangan, tidak menuju pengetahuan yang lebih tinggi, tidak
menuju pencerahan, tidak menuju Nibbāna. Itulah sebabnya, maka Aku tidak menyatakannya.’
29. ‘Tetapi,
Bhagavā, apakah yang
Bhagavā nyatakan?’ ‘Poññhapāda,
Aku telah menyatakan: “Ini adalah penderitaan, ini adalah asal-mula
penderitaan, ini adalah lenyapnya penderitaan, dan ini adalah jalan menuju
lenyapnya penderitaan.”’
30. ‘Tetapi,
Bhagavā, mengapakah
Bhagavā menyatakan
hal-hal ini?’ ‘Karena, Poññhapāda, itu mendukung pada tujuan, mendukung pada
Dhamma, [189] jalan untuk memulai kehidupan suci; mengarah menuju
ketidaktertarikan, menuju kebosanan, menuju pelenyapan, menuju ketenangan,
menuju pengetahuan yang lebih tinggi, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Itulah sebabnya, maka Aku menyatakannya.’
‘Jadi,
begitu, Bhagavā. Jadi, begitu,
Yang Sempurna menempuh Sang Jalan. Dan sekarang adalah waktunya bagi Sang
Bhagavā untuk
melakukan apa yang Beliau anggap baik.’ Kemudian Sang Bhagavā bangkit dari duduk-Nya dan pergi.
31. Kemudian
para pengembara, segera setelah Sang Bhagavā pergi, mencela, mengejek, mencemooh Poññhapāda dari segala penjuru, dengan
mengatakan: ‘Apa pun yang dikatakan Petapa Gotama, Poññhapāda setuju
dengan-Nya: “Jadi, begitu, Bhagavā. Jadi, begitu, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan!” Kami tidak mengerti
sepatah kata pun dari keseluruhan ceramah Petapa Gotama: “Apakah dunia ini
kekal atau tidak? – apakah terbatas atau tidak terbatas? – apakah jiwa sama
dengan badan atau berbeda? – apakah Tathāgata ada setelah kematian atau tidak ada, atau keduanya, atau bukan
keduanya?”’
Poññhapāda
menjawab: ‘Aku juga tidak mengerti tentang apakah dunia ini kekal atau tidak
... atau apakah Tathāgata ada
setelah kematian atau tidak, atau keduanya, atau bukan keduanya. Tetapi Petapa
Gotama mengajarkan cara yang benar dan nyata dalam praktik yang selaras dengan
Dhamma dan berdasarkan pada Dhamma. Dan mengapakah seorang sepertiku tidak
mengungkapkan persetujuan atas praktik yang benar dan nyata, yang diajarkan
dengan begitu baik oleh Petapa Gotama?’
32. Dua
atau tiga hari kemudian, Citta, putra seorang pelatih gajah, pergi bersama Poññhapāda
menemui Sang Bhagavā. Citta
bersujud di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Poññhapāda saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan menceritakan apa yang
terjadi.
33. ‘Poññhapāda,
semua pengembara itu adalah buta dan tidak memiliki penglihatan, engkau
satu-satunya di antara mereka yang memiliki penglihatan. Beberapa hal yang
Kuajarkan dan Kutunjukkan, Poññhapāda, adalah pasti, yang lainnya adalah tidak
pasti. Yang manakah yang Kutunjukkan adalah tidak pasti? “Dunia adalah kekal“
Aku nyatakan sebagai tidak pasti .... “Tathāgata ada setelah kematian ....” Mengapa? Karena tidak mendukung ... menuju
Nibbāna. Itulah
sebabnya, mengapa Aku menyatakannya sebagai tidak pasti.’
‘Tetapi
yang manakah yang Kutunjukkan sebagai pasti? “Ini adalah penderitaan, ini
adalah asal-mula penderitaan, ini adalah lenyapnya penderitaan, dan ini adalah
jalan menuju lenyapnya penderitaan.” Mengapa? Karena, itu mendukung pada
tujuan, mendukung pada Dhamma, jalan untuk memulai kehidupan suci; mengarah
menuju ketidaktertarikan, menuju kebosanan, menuju pelenyapan, menuju
ketenangan, menuju pengetahuan yang lebih tinggi, menuju pencerahan, menuju
Nibbāna. Itulah
sebabnya, maka Aku menyatakannya sebagai pasti.’
34. ‘Poññhapāda,
ada beberapa petapa dan Brāhmaṇa yang menyatakan dan percaya bahwa setelah kematian, diri ini bahagia
sepenuhnya dan bebas dari penyakit. Aku mendekati mereka dan bertanya apakah
ini adalah apa yang mereka nyatakan dan percayai, dan mereka menjawab: “Ya.”
Kemudian Aku berkata: “Apakah kalian, Teman-teman, hidup di dunia ini,
mengetahui dan melihat bahwa dunia ini adalah tempat yang bahagia sepenuhnya?”
dan mereka menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Pernahkah kalian mengalami satu
malam atau satu hari atau setengah malam atau setengah hari, merasa bahagia
sepenuhnya?” Dan mereka menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Apakah kalian
mengetahui jalan atau praktik yang mana kebahagiaan sepenuhnya di dunia dapat
diwujudkan?” Dan mereka menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Pernahkah kalian
mendengar suara-suara surgawi yang telah terlahir kembali di dunia yang bahagia
sepenuhnya, yang mengatakan: ‘Pencapaian dunia yang bahagia sepenuhnya telah
diperoleh dengan baik dan benar, dan kita, Tuan-tuan, telah terlahir di alam
demikian’?” dan mereka menjawab: “Tidak.” Bagaimana menurutmu, Poññhapāda?
Kalau begitu, bukankah perkataan para petapa dan Brāhmaṇa itu terbukti bodoh?’
35. ‘Ini
bagaikan seorang laki-laki yang mengatakan: “Aku akan mencari dan mencintai
seorang perempuan yang paling cantik di negeri ini.” Mereka akan mengatakan kepadanya:
“Sehubungan dengan perempuan cantik ini, apakah engkau mengetahui dia berasal
dari kasta Khattiya, Brāhmaṇa, pedagang,
atau pekerja?” dan ia akan mengatakan: “Tidak.” Dan mereka akan mengatakan:
“Apakah engkau mengetahui namanya, sukunya, apakah ia tinggi atau pendek atau
sedang, apakah ia berkulit gelap atau cerah atau kekuningan, atau dari desa
atau kota manakah ia berasal?” Dan ia akan mengatakan: “Tidak.” Dan mereka akan
mengatakan: “Jadi, engkau tidak mengetahui atau melihat orang yang engkau cari
dan inginkan?” dan ia akan mengatakan: “Tidak.” Bukankah kata-kata orang itu
terbukti bodoh?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’
36. ‘Dan
demikian pula dengan para petapa dan Brāhmaṇa yang menyatakan dan percaya bahwa setelah kematian, diri ini bahagia
sepenuhnya dan bebas dari penyakit .... Bukankah kata-kata mereka terbukti
bodoh?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’
37. ‘Ini
seperti seseorang yang membangun sebuah tangga untuk sebuah istana di
persimpangan jalan. Orang-orang akan berkata kepadanya: “Tangga ini, untuk
istana, yang sedang engkau bangun – tahukah engkau apakah istana ini akan
menghadap ke timur, atau barat, atau utara, atau selatan, atau apakah istana
ini akan tinggi, rendah, atau sedang?” dan ia akan mengatakan: “Tidak.” Dan
mereka akan mengatakan: “Jadi, engkau tidak mengetahui atau melihat bentuk
istana yang tangganya sedang engkau bangun?” dan ia akan menjawab: “Tidak.”
Bukankah kata-kata orang itu terbukti bodoh?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’
38. (seperti
paragraf 34)
39. ‘Poññhapāda,
ada tiga jenis ‘diri’:[17] diri yang kasar, diri yang
ciptaan-pikiran, dan diri yang tanpa bentuk. Apakah diri yang kasar? Diri ini
berbentuk, tersusun dari empat unsur utama, memakan makanan padat. Apakah diri
yang ciptaan-pikiran? Diri ini berbentuk, lengkap dengan semua bagian-bagiannya,
tidak cacat dalam semua organ-indria. Apakah diri yang tanpa bentuk? Diri ini
tanpa bentuk, dan terbuat dari persepsi.’
40. ‘Tetapi
aku mengajarkan suatu ajaran untuk bebas dari diri yang kasar, yang mana
kondisi batin yang mengotori lenyap dan kondisi yang condong ke arah pemurnian
tumbuh lebih kuat, dan seseorang memperoleh dan berdiam dalam kemurnian dan
kesempurnaan kebijaksanaan di sini dan saat ini, setelah menembus dan
mencapainya dengan pengetahuan-super. Sekarang, Poññhapāda, engkau mungkin
berpikir: “Mungkin kondisi-kondisi batin yang mengotori ini lenyap ... dan
seseorang masih tidak bahagia.”[18] Janganlah dianggap demikian,
jika kondisi-kondisi yang mengotori lenyap ..., tidak ada apa pun selain
kebahagiaan dan kegembiraan yang berkembang, ketenangan, perhatian dan
kesadaran jernih – dan itu adalah kondisi bahagia.’
41. ‘Aku
juga mengajarkan suatu ajaran untuk bebas dari diri yang ciptaan-pikiran ...
(seperti paragraf 40).
42. ‘Aku
juga mengajarkan suatu ajaran untuk bebas dari diri yang tanpa bentuk ...
(seperti paragraf 40).
43. ‘Poññhapāda,
jika orang lain bertanya kepada kita: “Apakah, Teman, diri yang kasar, yang
cara meninggalkannya engkau ajarkan ...?” Jika ditanya demikian, kita harus
menjawab: “Ini adalah[19] diri yang kasar yang harus ditinggalkan
yang tentangnya kami mengajarkan suatu ajaran ....”’
44. ‘Poññhapāda,
jika orang lain bertanya kepada kita: “Apakah diri yang ciptaan pikiran ...?”
(seperti paragraf 43).’
45. ‘Poññhapāda,
jika orang lain bertanya kepada kita: “Apakah diri yang tanpa bentuk ...?”
(seperti paragraf 43). Bagaimana menurutmu, Poññhapāda? Tidakkah pernyataan ini
terbukti masuk akal?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’
46. ‘Bagaikan
seseorang yang membangun sebuah tangga untuk suatu istana di bawah istana itu.
Mereka akan berkata kepadanya: “Tangga untuk istana yang sedang engkau bangun
ini, tahukah engkau apakah istana ini akan menghadap ke timur atau barat, atau
utara atau selatan, atau apakah istananya tinggi, rendah, atau sedang?” dan ia
akan berkata: “Tangga ini berada tepat di bawah istana ini.” Tidakkah engkau
berpikir bahwa pernyataan orang itu masuk akal?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’
47. ‘Demikian
pula, Poññhapāda, jika orang lain bertanya kepada kita: “Apakah diri yang kasar
...?” “Apakah diri yang ciptaan pikiran ...?” “Apakah diri yang tanpa bentuk
...?” kita menjawab: “Ini adalah diri [yang kasar, yang ciptaan-pikiran, yang
tanpa bentuk] yang untuk terbebas darinya kami mengajarkan suatu ajaran, yang
mana kondisi bathin yang mengotori lenyap dan kondisi yang condong ke arah
pemurnian tumbuh lebih kuat, dan seseorang memperoleh dan berdiam dalam
kemurnian dan kesempurnaan kebijaksanaan di sini dan saat ini, setelah menembus
dan mencapainya dengan pengetahuan-super.” Tidakkah pernyataan ini terbukti
masuk akal?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’
48. Mendengar
kata-kata ini, Citta, putera seorang pelatih gajah, berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Bhagavā, ketika diri yang kasar ada, salahkah untuk menganggap bahwa diri yang
ciptaan pikiran dan diri yang tanpa bentuk juga ada? Apakah hanya diri yang
kasar saja yang ada? Dan demikian pula halnya untuk diri yang ciptaan pikiran
dan diri yang tanpa bentuk?’
49. ‘Citta,
ketika diri yang kasar ada, kita pada saat yang sama tidak membicarakan tentang
diri yang ciptaan pikiran, kita tidak membicarakan tentang diri yang tanpa
bentuk. Kita hanya membicarakan diri yang kasar.[20] Ketika diri
yang ciptaan pikiran ada, kita hanya membicarakan diri yang ciptaan pikiran,
dan ketika diri yang tanpa bentuk ada, kita hanya membicarakan diri yang tanpa
bentuk.’
‘Citta,
jika mereka bertanya kepadamu: “Apakah engkau ada di masa lampau atau tidak,
akankah engkau ada di masa depan atau tidak, apakah engkau ada di masa sekarang
atau tidak?” Bagaimanakah engkau menjawabnya?’
‘Bhagavā, jika aku ditanya demikian, aku akan menjawab: “Aku
ada di masa lampau, aku tidak ada; aku akan ada di masa depan, aku tidak akan
ada; aku ada sekarang, aku tidak ada.” Itu, Bhagavā, adalah jawabanku.’
50. ‘Tetapi,
Citta, jika mereka bertanya: “Diri di masa lampau yang engkau miliki, apakah
itu adalah satu-satunya diri yang sebenarnya, dan yang di masa depan dan di
masa sekarang adalah bukan yang sebenarnya? Atau apakah yang akan engkau
milliki di masa depan adalah satu-satunya yang sebenarnya, dan yang masa lampau
dan masa sekarang adalah bukan? atau apakah yang akan engkau milliki di masa
sekarang adalah satu-satunya yang sebenarnya, dan yang masa lampau dan masa depan
adalah bukan?” Bagaimanakah engkau menjawabnya?’
‘Bhagavā, jika mereka menanyakan hal-hal ini kepadaku, aku
akan menjawab: “Diri di masa lampau adalah pada saat itu yang sebenarnya,
sedangkan yang di masa depan dan di masa sekarang adalah bukan yang sebenarnya,
diri di masa depan adalah pada saat itu yang sebenarnya, sedangkan yang di masa
lampau dan di masa sekarang adalah bukan, diri di masa sekarang adalah pada
saat ini yang sebenarnya, sedangkan yang di masa lampau dan di masa depan
adalah bukan sebenarnya.” Demikianlah jawabanku.’
51. ‘Demikian
pula, Citta, ketika diri yang kasar ada, kita tidak, pada saat yang sama
membicarakan diri yang ciptaan pikiran ... [atau] diri yang tanpa bentuk.’
52. ‘Demikian
pula, Citta, dari sapi kita memperoleh susu, dari susu menjadi dadih, dari
dadih menjadi mentega, dari mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim
ghee. Dan ketika ada susu, kita tidak membicarakan dadih, mentega, gheee, krim
ghee, kita membicarakan susu; ketika ada dadih, kita tidak membicarakan mentega
...; ketika ada krim ghee ... kita membicarakan krim ghee.’
53. ‘Demikian
pula, ketika ada diri yang kasar, kita tidak membicarakan diri yang ciptaan
pikiran, kita tidak membicarakan diri yang tanpa bentuk; ketika ada diri yang
ciptaan pikiran, kita tidak membicarakan diri yang kasar, kita tidak
membicarakan diri yang tanpa bentuk; ketika ada diri yang tanpa bentuk, kita
tidak membicarakan diri yang kasar, kita tidak membicarakan diri yang ciptaan
pikiran, kita membicarakan diri yang tanpa bentuk. Tetapi, Citta, semua ini
hanyalah sekadar nama, ungkapan, kata-kata, penandaan yang digunakan oleh Sang
Tathāgata tanpa
kesalah-pahaman.’[21]
54. Dan
mendengar kata-kata ini, Poññhapāda si pengembara berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Sungguh indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang
terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita
di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada
di sana. Demikian pula Yang Terberkahi telah membabarkan Dhamma dalam berbagai
cara. Bhagavā, aku
berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Sangha. Sudilah Bhagavā menerimaku sebagai seorang siswa-awam yang telah
menerima perlindungan dalam diri-Nya sejak hari ini hingga akhir hidupku!’
55. Tetapi
Citta, putera seorang pelatih gajah, berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Sungguh indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang
terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita
di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada
di sana. Demikian pula Yang Terberkahi telah membabarkan Dhamma dalam berbagai
cara. Bhagavā, aku
berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Sangha. Semoga aku, Bhagavā, menerima pelepasan dari tangan Sang Bhagavā, semoga aku menerima penahbisan!’
56. Dan
Citta, putera seorang pelatih gajah, menerima pelepasan keduniawian dari tangan
Sang Bhagavā, dan
penahbisan. Dan Yang Mulia Citta yang baru ditahbiskan, sendirian, terasing,
tanpa lelah, bersemangat, dan bertekad, dalam waktu singkat mencapai apa yang
dicari oleh para pemuda yang berasal dari keluarga mulia yang meninggalkan
rumah dan menjalani kehidupan tanpa rumah, yaitu puncak kehidupan suci yang
tanpa tandingan, setelah mencapainya di sini dan saat ini dengan
pengetahuan-super yang ia miliki dan berdiam di sana, mengetahui: ‘Kelahiran
telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan
telah dilakukan, tidak ada lagi yang lebih jauh di sini.’
Dan
Yang Mulia Citta, putera si pelatih gajah, menjadi salah satu dari Para
Arahant.
Catatan Kaki
1.
Permaisuri Raja Pasenadi dari Kosala. Ia dan raja
adalah siswa setia dari Sang Buddha. Taman itu diberikan oleh dermawan terkenal
Anāthapiõóika.
2.
Abhisaññānirodha. ‘awalan abhi menjelaskan bukan hanya saññā, melainkan keseluruhan kata, yang berarti ‘trance’
[sic!]. Ungkapan ini digunakan, bukan oleh Buddhis, tetapi oleh para pengembara
tertentu’ (PED).
3.
Saññā utamanya berarti ‘persepsi’, satu dari lima khandha, tetapi di sini
mendekati makna ‘kesadaran’ (baca BDic). Setelah beberapa keengganan, saya
mempertahankan terjemahan ‘persepsi’ di sini.
4.
DA mengatakan athabbanikā (‘para pendeta Atharva’) dapat melakukan hal ini.
5.
RD secara tidak sengaja menghilangkan kalimat ini.
6.
Sukusala: bentuk penegasan dari kusala ‘terampil’.
7.
Viveka-ja-pīti-sukha-sukhuma-sacca-saññā: formula dasar dari jhāna pertama tetapi diperluas dengan kata-kata sukhuma-sacca ‘halus dan
jujur’.
8.
Sakka-saññī hoti: secara harfiah, ‘menjadi penglihatan-sendiri’. Dari jhāna pertama, dan seterusnya seseorang memiliki
pengendalian atas persepsinya.
9.
Abhisakhāreyyaṁ. RD ‘bermain-main’ dengan catatan kaki: mungkin “menyempurnakan” atau
“merencanakan”. Mrs. Bennet menuliskan “memanipulasi”.
10.
DA memberikan penjelasan alternatif: 1. ‘Persepsi’ =
‘persepsi-jhāna’, ‘Pengetahuan’
= ‘Pengetahuan pandangan terang’ (vipassanā-ñāṇaṁ); 1. ‘Persepsi’ = ‘persepsi-pandangan terang’,
‘Pengetahuan’ = ‘Pengetahuan sang jalan’; 1. ‘Persepsi’ = ‘persepsi sang
jalan’, ‘Pengetahuan’ = ‘Pengetahuan Buah’ (phalañāṇaṁ). Ia kemudian mengutip suatu sumber resmi yang mengatakan ‘Persepsi’
adalah persepsi buah Kearahantaan, dan ‘Pengetahuan’ adalah yang persis setelah
‘pengetahuan peninjauan’ (paccavekkhaṇa-ñāṇaṁ): cf. VM 1.32, 22.19 dan Bdic. Tetapi sesungguhnya ‘Pengetahuan
peninjauan’ juga disebutkan muncul pada tingkatan rendah pada jalan pencerahan.
Akan tetapi, ‘pengetahuan peninjauan’ ini paling baik sepertinya menjelaskan
bagaimana seseorang diharapkan mengetahui bahwa persepsi muncul pertama dan
kemudian pengetahuan.
11.
RD mengutip komentar DA bahwa sebuah babi desa, bahkan
jika mandi di air harum, mengenakan karangan bunga, dan berbaring di atas kasur
terbaik, akan tetap kembali ke timbunan kotoran. Demikian pula Poññhapāda akan
tetap kembali kepada gagasan ‘diri’.
12.
Paccesi ‘mundur kembali’.
13.
Cf. DN 1.3.11.
14.
Cf. DN 1.3.12.
15.
Cf. DN 1.3.13 menurut DA, ini mewakili pendapat sebenarnya
Poññhapāda.
16.
Ini adalah sepuluh avyākatāni atau yang
tidak dapat ditentukan (lebih baik: ‘hal-hal yang tidak dinyatakan’) atau
pertanyaan-pertanyaan yang Sang Buddha menolak untuk menjawab: 1 – 2 Apakah
dunia ini kekal atau tidak? 3 – 4 Apakah dunia ini terbatas atau tidak? 5 – 6
Apakah jiwa (jīvaṁ) sama dengan
badan atau tidak? 7 – 10.1 Apakah Sang Tathāgata (a) ada, (b) tidak ada, (c) ada dan tidak ada, (d) bukan ada dan juga
bukan tidak ada, setelah kematian? Semua ini hanyalah spekulasi sia-sia, tidak
mendukung kepada pencerahan, dan seperti ditunjukkan dengan referensi nomor 5
dan 6 dalam DN 6, bagi seseorang yang ‘mengetahui dan melihat’ tidaklah pantas
berspekulasi pada hal-hal tersebut; dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan itu
akan hilang karena tidak bermakna. Sepuluh pertanyaan yang sama ditemukan dalam
berbagai bagian dari Canon, khususnya pada MN 63 (dengan sebuah perumpamaan
yang terkenal tentang seseorang yang terluka oleh anak panah, yang menolak
pengobatan sampai ia mendapatkan jawaban atas serangkaian panjang pertanyaan)
dan MN 72 (api yang padam); dan ada satu bagian penuh (saṁyutta) (44)
dalam SN. Telah diajarkan bahwa pertanyaan-pertanyaan ini membentuk suatu
rangkaian pertanyaan di antara para ‘pengembara’ untuk menentukan posisi
seseorang. Ini hanya mungkin jika kata Tathāgata memiliki makna pada masa pre-Buddhist, yang mungkin saja demikian.
Baca sebuah diskusi oleh Ñāṇananda, Concept
and Reality, 95ff.
17.
Atta-paṭilābha. Ini, tentu saja, hanyalah suatu ‘diri’ dugaan
atau anggapan: ‘Serangkaian gabungan kualitas-kualitas yang membentuk, untuk
satu saat saja, kepribadian yang tidak stabil’ (RD). Kata ini ditulis oleh DA
sebagai attabhāva-paṭilābha ‘adopsi (atau asumsi) dari ke-diri-an’. Ketiga
jenis diri bersesuaian dengan tiga alam kenikmatan-indria, berbentuk, dan tanpa
bentuk. Cf. DN 33.1.11 (38) dan AN 4.172.
18.
Rujukan yang tidak diragukan akan fakta yang terkenal
bahwa kondisi yang lebih tinggi akan sangat membosankan bagi kaum duniawi yang
belum mengalaminya.
19.
‘Yang ini yang engkau lihat’.
20.
Sankhaṁ gacchati: secara harfiah ‘memasuki penghitungan’.
21.
Suatu referensi penting atas dua kebenaran yang
dirujuk dalam DA sebagai ‘pembicaraan konvensional’ (sammuti-kathā) dan ‘pembicaraan yang benar mutlak’
(paramattha-katthā). Baca pendahuluan. Adalah
penting untuk mewaspadai tingkat kebenaran di mana pernyataan itu dilakukan.
Dalam MA (ad MN 5: Anangana Sutta), syair berikut ini dikutipkan (sumber tidak
diketahui): Dua kebenaran dinyatakan oleh Sang Buddha, yang terbaik dari mereka
yang bicara: Konvensional dan mutlak – tidak ada yang ketiga. Istilah-istilah
yang selaras adalah benar bagi penggunaan duniawi; Kata-kata yang bermakna
mutlak adalah benar Dalam hal dhamma. Demikianlah Sang Bhagavā, Sang Guru, Beliau Yang terampil dalam bahasa dunia,
dapat menggunakannya, dan tidak berbohong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar