AMBATTHA SUTTA
Sumber : Sutta
Pitaka Digha Nikaya
Oleh : Tim
Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha
Penerbit :
Badan Penerbit Ariya Surya Chandra, 1992
Bagian I
1.
Demikian yang
telah kami dengar. Pada suatu ketika, sewaktu Sang Bhagava bepergian
menjelajahi negara Kosala bersama dengan lima ratus orang Bhikkhu. Beliau tiba
di suatu desa yang bernama Icchanankala, desa tempat tinggal kaum brahmana.
Setelah berada di sana, Sang Bhagava tinggal di Hutan Icchanankala.Pada waktu
itu brahmana Pokkharasadi sedang berdiam di Ukkattha, suatu tempat yang padat
penduduknya, banyak padang rumput, hutan kayu dan ladang; tanah kerajaan yang
dihadiahkan oleh Raja Pasenadi Kosala kepadanya, dan ia berkuasa penuh atas
tempat itu seakan-akan ia seorang raja layaknya.
2.
Brahmana
Pokkharasadi mendengar berita bahwa Samana Gotama dari suku Sakya, yang telah
meninggalkan keluarga Sakya untuk menjalankan hidup pabbajja; bepergian
menjelajahi negara Kosala bersama dengan lima ratus orang bhikkhu dan sekarang
tiba di Icchanankala dan berdiam di Hutan Icchanankala. Demikianlah kabar baik
mengenai Sang Gotama, Sang Bhagava yang telah tersebar luas: “Sang Bhagava,
yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan
serta tindak-tanduk-Nya, sempurna dalam menempuh Jalan, Pengenal segenap alam,
Pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, Guru para
dewa dan manusia, Yang Sadar, Yang Patut Dimuliakan. Beliau mengajarkan
Pengetahuan yang telah diperoleh melalui usaha-Nya sendiri kepada orang orang
lain dalam dunia ini yang terdiri dari para dewa, mara dan Brahma; para petapa,
brahmana, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan Dhamma (Kebenaran) yang
indah pada permulaan, indah pada pertengahan dan indah pada akhirnya, baik
dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan cara hidup pertapa
(brahmacariya) yang sempurna dan suci”.’Sungguh baik sekali untuk pergi
mengunjungi Arahat seperti itu’.
3.
Pada waktu itu
seorang brahmana muda bernama Ambattha menjadi murid brahmana Pokkharasadi. Ia
adalah seorang yang hafal membaca mantra; menguasai Tri-Veda dengan indeks,
upacara, fonologi, keterangan-keterangan dan cerita-ceritanya sebagai yang
kelima; pandai dalam ungkapan-ungkapan dan tata bahasa; ahli ilmu lokayata
(materialisme) dan pengetahuan tentang tanda-tanda tubuh manusia besar
(mahapurisa-lakkhana). Dan karena dikenal sebagai seorang yang ahli dalam
sistim pengetahuan Tri-Veda (tevijja), maka ia dapat berkata: ‘Apa yang aku
ketahui, engkau juga tahu; apa yang engkau ketahui, aku juga tahu.’
4.
Kemudian
brahmana Pokkharasadi memberitahu Ambattha, demikian:
“Ambattha, itulah Samana Gotama dari suku Sakya, yang
telah meninggalkan keluarga Sakya untuk menjalankan hidup pabbajja; bepergian
menjelajahi negara Kosala bersama dengan lima ratus orang, bhikkhu, sekarang
tiba di Icchanankala dan berdiam di Hutan Icchanankala. Demikianlah kabar baik
mengenai Sang Gotama, Sang Bhagava yang telah tersebar luas: ‘Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah
Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduk-Nya,
sempurna menempuh Jalan, Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada tara bagi
mereka yang bersedia untuk dibimbing, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar,
Yang Patut Dimuliakan. Beliau mengajarkan Pengetahuan yang telah diperoleh
melalui usaha-Nya sendiri kepada orang orang lain dalam dunia ini yang meliputi
para dewa, mara dan Brahma; para petapa, brahmana, raja beserta rakyatnya.
Beliau mengajarkan Dhamma (Kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada
pertengahan dan indah pada akhir, baik dalam isi maupun bahasanya. Beliau
mengajarkan cara hidup petapa (brahmacariya) yang sempurna dan suci.’ Sungguh
baik pergi mengunjungi arahat seperti itu. Sekarang, Ambattha, pergilah
mengunjungi Samana Gotama; setelah bertemu dengan Samana Gotama selidiki apakah
kabar baik yang telah tersebar luas mengenai Sang Gotama itu sesuai dengan
kenyataan atau tidak; apakah keadaan diri Sang Gotama seperti yang mereka
katakan itu atau tidak’.
5.
“Tetapi, Guru,
bagaimana aku dapat mengetahui keadaan Sang Gotama; apakah kabar baik yang
telah tersebar luas mengenai diri Sang Gotama itu sesuai dengan kenyataan atau
tidak; apakah keadaan Sang Gotama seperti yang mereka katakan itu atau tidak ?”
"Ambattha, dalam syair-syair mantra kita telah
diajarkan tiga puluh dua tanda tubuh manusia besar; yang apabila seseorang
memiliki tanda-tanda ini, maka ia akan menjadi salah satu dari dua hal, bukan
lainnya. Bila ia hidup berumahtangga, ia akan menjadi raja yang memerintah
dunia (cakkavatti-raja), seorang Raja Kebenaran (Dhamma-raja), bahkan menguasai
sampai seberang empat lautan, seorang penakluk, pelindung rakyatnya, pemilik
tujuh-mustika (satta-ratana). Dan inilah tujuh mustika yang ia miliki, yaitu:
mustika Roda (cakka-ratana), mustika Gajah (hatthi-ratana), mustika Kuda
(assa-ratana), mustika Permata (mani-ratana), mustika Wanita (itthi-ratana),
mustika Harta (gahapati-ratana) dan mustika Panglima (parinayaka-ratana)
sebagai yang ketujuh. Dan ia memiliki putra lebih dari seribu, memiliki
pahlawan-pahlawan yang kuat untuk menghancurkan tentara musuh. Dan ia berkuasa
penuh atas tanah luas yang berbataskan lautan; memerintah dengan adil tanpa
mempergunakan tongkat dan pedang. Tetapi, apabila ia pergi meninggalkan hidup
keluarga, mengembara sebagai petapa tanpa rumah; maka ia akan menjadi seorang
Buddha, Arahat, yang menyingkirkan kegelapan dari mata dunia. Ambattha, aku
pemberi syair-syair mantra; engkau telah menerimanya dariku”.
6.
“Baiklah, Guru”
jawab Ambattha.
Kemudian ia bangkit dari duduknya dan memberi hormat
pada brahmana Pokkharasadi; kemudian ia naik kereta yang ditarik oleh kuda
betina dan berangkat bersama dengan serombongan pemuda brahmana menuju ke Hutan
Icchanankala. Setelah melanjutkan perjalanan dengan naik kereta sejauh jalan
masih dapat dilalui oleh kendaraan, selanjutnya ia turun dari keretanya dan
berjalan kaki ke arama.
7.
Pada waktu itu
sejumlah bhikkhu sedang berjalan-jalan di udara terbuka, Kemudian Ambattha
pergi mendekati para bhikkhu itu dan berkata:
“Di manakah yang Mulia Gotama sekarang berdiam ? Kami
datang ke mari ingin menjumpai Yang Mulia Gotama”
8.
Selanjutnya
para bhikkhu itu berpikir :
“Pemuda Ambattha ini berasal dari keluarga ternama dan
menjadi murid brahmana Pokkharasadi yang terkenal. Sang Bhagava tentu tidak
akan mengalami kesukaran untuk bercakap-cakap dengan dirinya.”
Dan mereka berkata kepada Ambattha:
“Ambattha, Beliau tinggal di sana, di rumah yang
pintunya tertutup; pergilah ke sana dengan diam-diam dan masuk perlahan-lahan
melalui serambi muka; berikan tanda batuk dan ketuklah palang pintunya. Sang
Bhagava akan membukakan pintu bagimu”.
9.
Kemudian
Ambattha menuju ke tempat tinggal Beliau yang pintunya tertutup. Ia pergi ke
sana dengan diam-diam dan masuk perlahan-lahan melalui serambi muka; memberikan
tanda batuk dan mengetuk palang pintunya. Sang Bhagava membuka pintu dan
Ambattha masuk. Para pemuda brahmana itu juga ikut masuk, mereka bersama-sama
saling bertukar salam dengan Sang Bhagava dengan kata-kata ramah dan
menyenangkan; kemudian mereka duduk. Tetapi, sewaktu Sang Bhagava duduk,
Ambattha berjalan kian kemari, mengucapkan sesuatu yang tidak sopan sambil
berjalan kian kemari atau berdiri menghadap Sang Bhagava yang duduk di sana.
10. Kemudian Sang Bhagava berkata kepadanya:
“Ambattha, apakah begitu caranya engkau bercakap-cakap
dengan para brahmana yang lanjut usianya, dengan para guru dari guru-gurumu
yang berusia tua, seperti yang sekarang engkau lakukan, sambil mengucapkan
sesuatu yang tidak sopan dengan sikap yang kasar sambil berjalan kian kemari
atau berdiri sewaktu aku sedang duduk ?”
"Sudah tentu tidak. Gotama, Gotama, adalah pantas
untuk berbincang-bincang dengan brahmana sambil berjalan hanya sewaktu brahmana
itu sendiri sedang berjalan. Gotama, adalah pantas untuk berbincang-bincang
dengan brahmana sambil berdiri hanya sewaktu brahmana itu sendiri sedang
berdiri. Gotama, adalah pantas untuk berbincang-bincang dengan brahmana sambil
duduk hanya sewaktu brahmana itu sendiri sedang duduk. Gotama, adalah pantas
untuk berbincang-bincang dengan brahmana sambil berbaring hanya sewaktu
brahmana itu sendiri sedang berbaring. Tetapi, Gotama, dengan orang berkepala
gundul, petapa palsu, kaum budak hitam, keturunan kaum Sudra – dengan mereka
aku akan berbincang seperti yang sekarang aku lakukan dengan engkau, Gotama”
11. “Tetapi, Ambatha, sewaktu datang ke mari engkau pasti
menginginkan sesuatu. Kembalikanlah pikiranmu pada obyek yang kau miliki
sewaktu datang. Pemuda Ambattha ini tidak terdidik baik, walaupun ia bangga
dengan pendidikannya; apakah ini bukannya karena kurang pendidikan ?”
12. Kemudian Ambattha menjadi tidak senang dan marah
kepada Sang Bhagava yang mengatakannya kurang pendidikan; dan mengira Sang
Bhagava menyesal kepadanya. Samana Gotama mengatakan diriku jahat, katanya
sambil mengejek Sang Bhagava, mengolok-ngoloknya dan mencemoohkannya. Ia lalu
berkata kepada Sang Bhagava :
“Gotama, keturunan Sakya kejam; Gotama, keturunan
Sakya kasar; Gotama, keturunan Sakya mudah tersinggung; Gotama, ¾ keturunan
sebangsa budak; mereka tidak menghormati kaum brahmana, mereka tidak menghargai
kaum brahmana, mereka tidak mengindahkan kaum brahmana, mereka tidak memuja
kaum brahmana, mereka tidak memberikan persembahan persembahan kepada kaum
brahmana. Gotama, sesungguhnya hal itu tidak pantas, hal itu tidak sopan. Suku
Sakya itu adalah budak-budak, sebangsa budak; mereka tidak menghormati kaum
brahmana, mereka tidak menghargai kaum brahmana, mereka tidak mengindahkan kaum
brahmana, mereka tidak memuja kaum brahmana; mereka tidak memberikan
persembahan-persembahan kepada kaum brahmana.”
Demikianlah untuk pertama kalinya pemuda Ambattha
menghina suku Sakya sebagai budak-budak.
13. Tetapi dengan cara bagaimana suku Sakya pernah berbuat
salah kepadamu, Ambattha ?
“Pada suatu waktu, Gotama, ketika aku harus pergi ke
Kapilavatthu untuk urusan pekerjaan guruku brahmana Pokkharasadi, aku
mengunjungi balaikota (santhagara) suku Sakya. Dan pada waktu itu, di dalam
gedung balaikota terdapat sekelompok suku Sakya, pemuda-pemuda Sakya sedang
duduk di atas kursi-kursi megah; mereka saling menggelitik dengan jari-jari
tangan satu sama lain, tertawa-tawa dan bergembira; dan kupikir, pastilah
diriku yang dijadikan bahan tertawaan mereka; dan bahkan tak seorang pun di
antara mereka yang memberikan tempat duduk kepadaku. Gotama, sesungguhnya hal
itu tidak pantas, hal itu tidak sopan. Suku Sakya itu adalah budak-budak,
sebangsa budak; mereka tidak menghormati kaum brahmana, mereka tidak menghargai
kaum brahmana, mereka tidak mengindahkan kaum brahmana, mereka tidak memuja
kaum barahmana, mereka tidak memberikan persembahan-persembahan kepada kaum
brahmana.”
Demikianlah untuk kedua kalinya pemuda Ambattha
menghina suku Sakya sebagai budak-budak.
14. “Ambattha, mengapa seekor burung walaupun kecil, dapat
mengatakan apa yang disenangi dalam sarangnya sendiri. Dan demikian pula halnya
dengan suku Sakya yang berada di tempatnya sendiri, di Kapilavatthu. Adalah
tidak patut bagimu, Ambattha, untuk merasa tersinggung dengan suatu hal yang
tidak berarti seperti itu.”
15. “Gotama, ada empat kasta (vanna) ini : Khattiya
(ksatria), Brahmana, Vessa dan Sudda. Dan di antara keempat kasta ini, Gotama,
tiga kasta, yaitu Khattiya, Vessa dan Sudda sesungguhnya hanya merupakan
pelayan dari kaum brahmana.”
"Karena itu, Gotama, sesungguhnya hal itu tidak
pantas, hal itu tidak sopan. Suku Sakya itu adalah budak-budak, sebangsa budak;
mereka tidak menghormati kaum brahmana, mereka tidak menghargai kaum brahmana,
mereka tidak mengindahkan kaum brahmana, mereka tidak memuja kaum brahmana,
mereka tidak memberikan persembahan-persembahan kepada kaum
brahmana.”Demikianlah untuk ketiga kalinya Pemuda Ambattha menghina suku Sakya
sebagai budak-budak.
16. Kemudian Sang Bhagava berpikir demikian:
“Pemuda Ambattha ini terlalu menghina suku Sakya
dengan mencelanya berasal dari keturunan rendah. Bagaimana bila Aku menanyakan
asal keturunannya sendiri?”
Dan Sang Bhagava bertanya:
“Ambattha, berasal dari keturunan apakah engkau?”
"Gotama, aku berasal dari keturunan Kanhayana.”
"Ya, tetapi bila menyelidiki nama keturunanmu di
masa lampau dari pihak ayah dan ibu, Ambattha, nampaknya suku Sakya pernah
menjadi majikanmu, dan engkau adalah anak dari salah satu pelayan wanita suku
Sakya. Tetapi suku Sakya mengusut kembali garis keturunan ayahnya dari Raja
Okkaka.”
"Pada jaman dahulu, Ambattha, karena Raja Okkaka
ingin mengalihkan penggantian (kedudukan raja) pada seorang putra dari
permaisuri kesayangannya, telah mengusir putra-putranya yang lebih tua:
Okkamukha, Karanda, Hatthinika dan Sinipura – keluar dari kerajaan. Setelah
diusir keluar dari kerajaan, mereka tinggal di lereng gunung Himalaya, pada
tepi sebuah danau di mana tumbuh sebatang pohon Saka besar. Dan karena takut
merusak kemurnian keturunan, mereka saling menikah dengan adik-adik
perempuannya sendiri.
”Kemudian Raja Okkaka bertanya kepada kumpulan para
menterinya:
“Kawan-kawan, di manakah sekarang putra-putraku
berada?”
"Tuanku, ada suatu tempat di lereng gunung
Himalaya, pada tepi sebuah danau di mana tumbuh sebatang pohon Saka besar. Di
sanalah putra-putra Baginda berdiam. Dan karena takut merusak kemurnian
keturunannya, mereka saling menikah dengan adik-adik perempuannya
sendiri.”Kemudian, Ambattha, Raja Okkaka berseru dengan gembira :
“Pemuda-pemuda itulah Sakya (hati pohon Ara). Sungguh sempurna-pemuda pemuda
itu mempertahankan kemurniannya sendiri (parama-sakya).”
"Itulah sebabnya, Ambattha, mengapa mereka
dikenal sebagai suku Sakya. Mereka adalah nenek moyang suku Sakya. Selanjutnya,
Ambattha, Raja Okkaka mempunyai seorang pelayan wanita bernama Disa. Ia
melahirkan seorang anak hitam. Dan tak lama setelah lahir, anak hitam itu
berkata:
“Cucilah aku, ibu; mandikanlah aku, ibu. Ibu,
bersihkanlah aku dari kotoran ini; maka aku akan memberikan manfaat kepadamu.”
“Ambattha, sama seperti sekarang orang-orang menyebut
setan-setan dengan sebutan ‘setan’: selanjutnya mereka menyebut setan-setan
dengan sebutan ‘mahluk-mahluk hitam’ (kanhi). Dan mereka berkata: “Anak ini
dapat berbicara segera setelah ia dilahirkan. Ini adalah mahluk hitam (kanha)
yang lahir, seorang setan telah lahir.”
“Itulah, Ambatha, asal-usul suku Kanhayana. Ia adalah
nenek moyang suku Kanhayana. Dan itulah Ambattha, apabila menyelidiki nama
keturunanmu di masa lampau dari pihak ayah dan, ibu, nampaknya suku Sakya
pernah menjadi majikanmu dan engkau adalah anak dari salah seorang pelayan
wanita suku Sakya.”
17. Setelah Beliau berbicara demikian, para pemuda
brahmana itu berkata kepada Sang Bhagava:
“Janganlah kawan Gotama terlalu menghina Ambattha
dengan mengatakan berasal dari keturunan seorang pelayan wanita. Kawan Gotama,
pemuda Ambattha lahir dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha adalah putra
dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha terpelajar, pemuda Ambattha pandai
berdebat, pemuda Ambattha bijaksana, pemuda Ambattha dapat memberikan jawaban
kepada kawan Gotama tentang hal ini.”
18. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para pemuda
brahmana itu :
“Baiklah, kawan-kawan, bila engkau berpikir bahwa
pemuda Ambattha lahir dari keluarga yang tidak baik, pemuda Ambattha adalah
putra dari keluarga yang tidak baik, pemuda Ambattha tidak terpelajar, pemuda
Ambattha tidak pandai berdebat, pemuda Ambattha tidak bijaksana, pemuda
Ambattha tidak dapat memberikan jawaban kepada Samana Gotama tentang hal ini,
biarlah pemuda Ambatttha sendiri yang melanjutkan percakapan tentang hal ini.
Bila engkau berpikir bahwa Ambattha lahir dari keluarga baik-baik, pemuda
Ambattha adalah putra dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha terpelajar,
pemuda Ambattha pandai berdebat, pemuda Ambattha bijaksana, pemuda Ambattha
dapat memberikan jawaban kepada Samana Gotama tentang hal ini, biarlah pemuda
Ambattha sendiri yang melanjutkan percakapan tentang hal ini.”
19. “Kawan gotama, pemuda Ambattha lahir dari keluarga
baik-baik, pemuda Ambattha adalah putra dari keluarga baik-baik, pemuda
Ambattha terpelajar, pemuda Ambattha pandai berdebat, pemuda Ambattha
bijaksana; pemuda Ambattha dapat memberikan jawaban kepada kawan Gotama tentang
hal ini. Dan kita akan berdiam diri. Pemuda Ambattha dapat memberikan jawaban
kepada kawan Gotama tentang hal ini.”
20. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ambattha :
“Selanjutnya timbul pertanyaan lagi, Ambattha, suatu
pertanyaan yang walaupun tidak diinginkan, engkau harus menjawabnya. Apabila
engkau tidak memberikan jawaban yang jelas atau memberikan jawaban yang lain;
atau engkau tetap diam atau pergi, maka kepalamu akan pecah berkeping-keping di
tempat ini juga. Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha? Apakah engkau pernah
mendengar, sewaktu para brahmana yang lanjut usianya atau para guru dari
guru-gurumu yang berusia tua sedang bercakap-cakap bersama mengenai darimana
asalnya suku Kanhayana dan siapa yang menjadi nenek moyang suku Kanhayana ?”
Setelah beliau berkata demikian, pemuda Ambattha tetap
diam. Dan untuk kedua kalinya Sang Bhagava bertanya kepada pemuda Ambattha:
“Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha? Apakah engkau
pernah mendengar, sewaktu para brahmana yang lanjut usianya atau para guru dari
guru-gurumu yang berusia tua sedang bercakap-cakap bersama mengenai darimana
asalnya suku Kanhayana dan siapakah yang menjadi nenek moyang suku Kanhayana ?
Dan juga untuk kedua kalinya pemuda Ambattha tetap
diam.Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ambattha :
“Engkau lebih baik menjawab pertanyaan itu sekarang,
Ambattha. Ini bukan waktunya bagimu untuk tetap diam. Karena, Ambattha,
siapapun juga yang tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Tathagata
sampai ketiga kalinya; maka kepalanya akan pecah berkeping-keping di tempat itu
juga.”
21. Pada waktu itu Yakkha Vajirapani berada di atas Ambattha,
berdiri di udara dengan membawa pemukul besi besar yang membara, menyala-nyala
dan menyilaukan; dengan maksud apabila pemuda Ambattha tidak menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh Sang Bhagava yang ketiga kalinya; segera aku akan
memecahkan kepalanya berkeping-keping di tempat ini juga.Sang Bhagava melihat
Yakkha Vajirapani itu, demikian pula pemuda Ambattha. Dan Ambattha yang sadar
akan hal itu merasa ketakutan, panik serta seluruh rambutnya menjadi berdiri;
mencari keselamatan kepada Sang Bhagava, mencari perlindungan pada Sang Bhagava
dan mencari bantuan pada Sang Bhagava; ia duduk dekat Sang Bhagava dan berkata:
“Apakah yang telah dikatakan oleh Yang Mulia Gotama?
Katakanlah sekali lagi, Yang Mulia Gotama !”
"Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Apakah
engkau pernah mendengar, sewaktu para brahmana yang lanjut usianya atau para
guru dari guru-gurumu yang berusia tua sedang bercakap-cakap bersama mengenai
darimana asalnya suku Kanhayana dan siapa yang menjadi nenek moyang suku
Kanhayana ?”
"Demikianlah, Gotama, yang telah kudengar tentang
asal-usul suku Kanhayana dan tentang mereka yang menjadi nenek moyang suku
Kanhayana, sama seperti yang dikatakan oleh yang Mulia Gotama.”
22. Setelah ia berkata demikian, para pemuda brahmana itu
menjadi gempar, ribut; dan mereka berkata:
“Pemuda Ambattha benar-benar lahir dari keluarga yang
tidak baik, pemuda Ambattha benar-benar putra dari keluarga yang tidak baik,
pemuda Ambattha benar-benar putra dari salah seorang pelayan wanita suku Sakya,
pemuda Ambattha benar-benar putra dari budak suku Sakya. Kita tidak mengira
bahwa Samana Gotama yang tidak kita percaya itu, sesungguhnya kata-kata-Nya
benar.”
23. Dan Sang Bhagava berpikir:
“Para pemuda brahmana ini terlalu menghina Ambattha
dengan mencelanya sebagai anak yang berasal dari seorang budak wanita. Biarlah
Aku membebaskannya dari celaan mereka.”
Dan Sang Bhagava berkata kepada para pemuda brahmana
itu:
“Kawan-kawan, janganlah terlalu menghina pemuda
Ambattha dengan mencelanya sebagai anak yang berasal dari seorang budak wanita.
Dan selanjutnya Kanha itu menjadi resi yang sakti. Setelah pergi ke negara
bagian selatan (Dekkan) untuk mempelajari mantra gaib, ia kembali ke tempat
Raja Okkaka untuk meminta putrinya yang bernama Khudda-rupi menjadi isterinya.
Sebagai jawaban kepadanya, Sang Raja berkata:
“Siapakah gerangan resi yang menjadi putra pelayan
wanitaku ini, yang meminta Khudda-rupi putriku sebagai istrinya?”
Karena marah serta merasa tidak senang, baginda
memasang sebatang anak panah pada busurnya. Tetapi ia tidak dapat menerbangkan
anak panah itu atau pun melepaskannya dari tali busur lagi. Kemudian para
menteri dan pembantu pembantu raja mendatangi Kanha sang resi itu, dan berkata:
“Bhadante, biarlah Baginda selamat (sotthi hotu);
bhadante, biarlah Baginda selamat.”
"Sang Raja akan selamat, bila ia memanahkan anak
panahnya ke bawah, maka tanah seluas wilayah kerajaannya akan mengering.”
"Bhadante, biarlah Baginda selamat; biarlah
negaranya selamat juga.”
"Sang Raja akan selamat, negaranya juga akan
selamat; tetapi bila ia memanahkan anak panahnya ke atas, maka hujan tidak akan
turun di seluruh wilayah kerajaannya selama tujuh tahun.”
"Sang Raja akan selamat, negaranya akan selamat
dan hujan akan turun; tetapi biarlah Sang Raja memanahkan anak panahnya kepada
putranya yang tertua. Pangeran akan selamat dan tidak akan mengalami cedera apa
pun.”
"Selanjutnya, kawan-kawan, para menteri
memberitahukan hal ini kepada Raja Okkaka, dan berkata:
“Biarlah Baginda memanahkan anak panahnya kepada putra
tertua; Pangeran akan selamat dan tidak akan mengalami cedera apa pun.”
Kemudian Raja Okkaka memanahkan anak panahnya kepada putranya yang tertua dan
Pangeran selamat, tidak mengalami cedera apa pun. Demikianlah, baginda yang
menjadi takut dengan pelajaran yang diberikan kepadanya, telah menyerahkan
Khudda-rupi putrinya menjadi istri Kanha itu. Karenanya, kawan-kawan, janganlah
terlalu menghina pemuda Ambattha dengan mencelanya sebagai anak yang berasal
dari seorang budak wanita. Selanjutnya Kanha itu menjadi resi yang sakti.”
24. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ambattha :
“Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Seandainya
seorang pemuda khattiya (kesatria) mengadakan hubungan dengan seorang gadis
brahmana. Dan sebagai akibat dari hubungan mereka lahirlah seorang putra.
Selanjutnya, apakah putra yang lahir dari pemuda khattiya dan gadis brahmana
itu akan menerima tempat duduk dan air (sebagai tanda penghormatan) dari kaum
brahmana?”
"Ya, Gotama, ia akan menerimanya.”
"Tetapi apakah kaum brahmana akan mengajarkan
mantranya atau tidak ?”
"Ya, Gotama, mereka akan mengajarkannya.”
"Tetapi apakah ia akan dilarang untuk berhubungan
dengan gadis gadis mereka atau tidak?”
"Ia tidak akan dilarang, Gotama.”
"Tetapi apakah kaum khattiya akan mengijinkan ia
menerima upacara penyucian seorang khattiya?”
"Tidak, Gotama.”
“Apakah sebabnya?”
“Karena ia bukan keturunan murni pada pihak sang ibu,
Gotama.”
25. “Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Seandainya
seorang pemuda brahmana mengadakan hubungan dengan seorang gadis khattiya. Dan
sebagai akibat dari hubungan mereka lahirlah seorang putra. Selanjutnya, apakah
putra yang lahir dari pemuda brahmana dan gadis khattiya itu akan menerima
tempat duduk dan air (sebagai tanda penghormatan) dari kaum brahmana ?”
"Ya, Gotama, ia akan menerimanya.”
"Tetapi apakah kaum brahmana akan mengajarkan
mantranya atau tidak ?”
"Ya, Gotama, mereka akan mengajarkannya.”
"Tetapi apakah ia akan dilarang untuk berhubungan
dengan gadis- gadis mereka atau tidak?”
"Ia tidak akan dilarang, Gotama.”
"Tetapi apakah kaum khattiya akan mengijinkan ia
menerima upacara penyucian seorang khattiya?”
"Tidak, Gotama.”
“Apakah sebabnya ?”
“Karena ia bukan keturunan murni pada pihak sang ayah,
Gotama.”
26. “Maka, Ambattha, apakah seseorang dengan membandingkan
wanita dengan wanita, atau lelaki dengan lelaki, maka kaum khattiya adalah
lebih tinggi dan kaum brahmana lebih rendah ?”
"Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Seandainya
seorang brahmana berbuat suatu kesalahan dan diusir oleh kaum brahmana keluar
dari kerajaan atau keluar dari kota dengan menggunduli dan menaburkan abu di atas
kepalanya. Apakah ia akan menerima tempat duduk dan air di antara kaum brahmana
?”
"Sudah tentu tidak, Gotama.”
"Apakah kaum brahmana mengijinkannya untuk ikut
ambil bagian dalam upacara persembahan makanan kepada orang mati, atau dalam
upacara persembahan makanan yang dimasak dalam susu, atau dalam upacara
persembahan kepada para dewa, atau dalam upacara persembahan makanan sebagai
sajian ?”
"Sudah tentu tidak, Gotama.”
"Apakah kaum brahmana akan mengajarkan mantra
kepadanya atau tidak ?”
"Sudah tentu tidak, Gotama.”
"Apakah ia akan dilarang untuk berhubungan dengan
gadis-gadis mereka atau tidak ?”
“Ia akan dilarang, Gotama.”
27. “Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Seandainya
seorang khattiya berbuat suatu kesalahan, dan diusir oleh kaum khattiya keluar
dari kerajaan atau keluar dari – kota dengan menggunduli dan menaburkan abu di
atas kepalanya. Apakah ia akan menerima tempat duduk dan air di antara kaum
brahmana ?”
"Ya, Gotama, ia akan menerimanya.”
"Apakah kaum brahmana mengijinkannya untuk ikut
ambil bagian dalam upacara persembahan makanan kepada orang mati, atau dalam
upacara persembahan makanan yang dimasak dalam susu, atau dalam upacara
persembahan kepada para dewa, atau dalam upacara persembahan makanan sebagai
sajian ?”
"Ya, Gotama, mereka akan mengijinkannya.”
"Apakah kaum brahmana akan mengajarkan mantra
kepadanya atau tidak ?”
"Ya, Gotama, mereka akan mengajarkannya.”
"Apakah ia akan dilarang untuk berhubungan dengan
gadis-gadis mereka atau tidak ?”
"Ia tidak akan dilarang, Gotama.”
“Dengan demikian, Ambattha, seorang khattiya akan
merosot rendah sekali karena diusir oleh kaum khattiya keluar dari kerajaan
atau keluar dari kota dengan menggunduli dan menaburkan abu di atas kepalanya.
Maka, Ambattha, walaupun seorang khattiya merosot sekali, tetapi masih tetap
kaum Khattiya lebih tinggi dan kaum brahmana lebih rendah.”
28. “Lagi pula, Ambattha, Sanam Kumara, salah seorang dari
dewa-dewa Brahma yang mengucapkan syair ini :
”Seorang khattiya adalah yang terbaik di antara
kumpulan ini, yang mempertahankan keturunannya.Tetapi ia yang sempurna
pengetahuan serta tindak-tanduknya, adalah yang terbaik di antara para dewa dan
manusia.”
”Syair ini, Ambattha, telah diucapkan dengan baik dan
bukannya diucapkan dengan tidak baik oleh Brahma Sanam Kumara; kata-kata yang
baik dan bukan kata-kata jahat ini; penuh arti dan bukan kosong dari arti.
Karenanya, Aku membenarkannya, Ambattha, Aku juga menyatakan : “Seorang
khattiya adalah yang terbaik di antara kumpulan ini, yang mempertahankan
keturunannya.Tetapi ia yang sempurna pengetahuan serta tindak-tanduknya, adalah
yang terbaik di antara para dewa dan manusia.” “
Bagian II
1.
“Gotama, apakah
tingkah laku (carana), dan apakah pengetahuan (vijja) itu ?”
"Ambattha, dalam kesempurnaan pengetahuan dan
tingkah laku tidak ada faham mengenai kelahiran, faham mengenai keturunan, atau
faham mengenai kebanggaan yang mengatakan: “Engkau sederajat dengan aku; atau,
engkau tidak sederajat dengan aku;” Ambattha, hanya di mana terdapat perkawinan
dan perceraian, maka di sana terdapat faham mengenai kelahiran, faham mengenai
keturunan atau faham mengenai kebanggaan yang mengatakan : “Engkau sederajat
dengan aku.” Karena, Ambattha, siapa pun yang terikat dengan faham mengenai
kelahiran, faham mengenai keturunan, faham mengenai kebanggaan, faham mengenai
perkawinan, faham mengenai perceraian atau faham mengenai perkawinan-perceraian
mereka adalah jauh dari kesempurnaan pengetahuan dan tingkah laku. Hanya dengan
menyingkirkan ikatan terhadap faham mengenai kelahiran, faham mengenai
keturunan, faham mengenai kebanggaan, faham mengenai perkawinan, faham mengenai
perceraian atau faham mengenai perkawinan-perceraian; maka ia dapat menyadari
melalui usahanya sendiri kesempurnaan pengetahuan dan tingkah laku itu.”
2.
“Tetapi,
Gotama, apakah tingkah laku dan apakah pengetahuan itu ?”
"Ambattha, seandainya di dunia ini muncul seorang
Tathagata, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna
pengetahuan serta tingkah laku-Nya, sempurna menempuh Jalan, Pengenal segenap
alam, Pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing,
Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar, Yang Patut Dimuliakan, Beliau
mengajarkan pengetahuan yang telah diperoleh melalui usaha-Nya sendiri kepada
orang-orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, mara dan Brahma;
para petapa, brahmana, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan Dhamma
(Kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan, indah pada akhir
dalam isi, maupun bahasanya. Beliau mengajarkan cara hidup petapa (brahma
cariya) yang sempurna dan suci.”
"Kemudian, Ambattha, seorang yang berkeluarga
atau salah seorang dari anak-anaknya atau seorang dari keturunan
keluarga-rendah datang untuk mendengarkan Dhamma itu, dan setelah mendengarnya
ia memperoleh keyakinan terhadap Sang Tathagata. Setelah ia memiliki keyakinan
itu, timbullah perenungan ini dalam dirinya : “Sesungguhnya, -hidup berkeluarga
itu penuh dengan rintangan, jalan yang penuh dengan nafsu. Bebas seperti udara
adalah hidup pabbaja. Sungguh sukar bagi seorang yang hidup berkeluarga untuk
menempuh hidup brahmacariya secara sungguh-sungguh, suci serta sungguh gemilang
kesempurnaannya. Maka, biarlah aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan
jubah kuning dan meninggalkan hidup-keluarga untuk menempuh hidup Pabbaja.”
"Setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan
diri sesuai dengan Patimokkha (peraturan-peraturan bhikkhu), sempurna kelakuan
dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling
kecil sekali pun. Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan.
Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya
sempurna silanya, terjaga pintu-pintu indrianya. Ia memiliki perhatian-murni
dan pengertian-jelas (sati – sampajanna); dan hidup puas.”
"Bagaimanakah, Ambattha, seorang bhikkhu yang
sempurna silanya? Dalam hal ini, Ambattha seorang bhikkhu menjauhi pembunuhan,
menahan diri dari pembunuhan mahluk-mahluk. Ia membuang alat pemukul dan
pedang, malu dengan perbuatan-kasar; ia hidup dengan penuh cinta-kasih, kasih
sayang dan bajik terhadap semua mahluk, semua yang hidup. Inilah, Ambattha,
sila yang dimilikinya.”
"Menjauhi pencurian, menahan diri dari memiliki
apa yang tidak diberikan; ia hanya mengambil apa yang diberikan dan tergantung
pada pemberian; ia hidup jujur dan suci. Inilah, Ambattha, sila yang
dimilikinya.”
"Menjauhi hubungan kelamin, menjalankan
Brahmacariya (tidak kawin); ia menahan diri dari perbuatan-perbuatan rendah dan
hubungan kelamin. Inilah, Ambattha, Sila yang dimilikinya.”
“Menjauhi kedustaan, menahan diri dari dusta; ia
berbicara benar, tidak menyimpang dari kebenaran, jujur dan dapat dipercaya,
serta tidak mengingkari kata-katanya sendiri di dunia.”
“Menjauhi ucapan fitnah, menahan diri dari memfitnah;
apa yang ia dengar di sini tidak akan diceritakannya di tempat lain karena akan
menyebabkan pertentangan dengan orang-orang di sini. Apa yang ia dengar di
tempat lain tidak akan diceritakannya di sini yang akan menyebabkan
pertentangan dengan orang-orang di sana. Ia hidup menyatukan mereka yang
terpecah-belah, menganjurkan persahabatan di antara mereka, pemersatu,
mencintai persatuan, mendambakan persatuan; persatuan merupakan tujuan
pembicaraannya. Inilah, Ambattha, sila yang dimilikinya.”
“Menjauhi ucapan kasar, menahan diri dari penggunaan
kata-kata kasar; ia hanya mengucapkan kata-kata yang tidak tercela,
menyenangkan, menarik, berkenan di hati, sopan, enak didengar dan disenangi
orang. Inilah, Ambattha, sila yang dimilikinya.”
“Menjauhi pembicaraan sia-sia, menahan diri dari
percakapan yang tidak bermanfaat; ia berbicara pada saat yang tepat, sesuai
dengan kenyataan, berguna, tentang Dhamma dan Vinaya. Pada saat yang tepat, ia
mengucapkan kata-kata yang berharga untuk didengar, penuh dengan gambaran yang
tepat, memberikan uraian yang jelas dan tidak berbelit-belit. Inilah, Ambattha,
sila yang dimilikinya.”
“Ia menahan diri untuk tidak merusak benih-benih dan
tumbuh-tumbuhan. Ia makan sehari sekali, tidak makan setelah tengah hari. Ia
menahan diri dari menonton pertunjukan-pertunjukan, tari-tarian, nyanyian dan
musik. Ia menahan diri dari penggunaan alat-alat kosmetik, karangan-karangan
bunga, wangi-wangian dan perhiasan-perhiasan. Ia menahan diri dari penggunaan
tempat-tidur yang besar dan mewah. Ia menahan diri dari menerima emas dan
perak. Ia menahan diri dari menerima gandum (padi) yang belum dimasak. Ia
menahan diri dari menerima daging yang belum dimasak. Ia menahan diri menerima
wanita dan perempuan-perempuan muda. Ia menahan diri dari menerima budak belian
lelaki dan budak belian perempuan. Ia menahan diri dari menerima biri-biri atau
kambing. Ia menahan diri dari menerima babi dan unggas. Ia menahan diri dari
menerima tanah-tanah pertanian. Ia menahan diri dari berlaku sebagai duta atau
pesuruh. Ia menahan diri dari membeli dan menjual. Ia menahan diri dari menipu
dengan timbangan, mata uang maupun ukuran-ukuran. Ia menahan diri dari
perbuatan menyogok, menipu dan penggelapan. Ia menahan diri dari perbuatan
melukai, membunuh, memperbudak, merampok, menodong dan menganiaya. Inilah,
Ambattha, sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih merusak
bermacam-macam benih dan tumbuhan, seperti : tumbuhan yang berkembang biak dari
akar-akaran, tumbuhan yang berkembang biak dari dahan-dahanan, tumbuhan yang
berkembang biak dari tetangkaian, tumbuhan yang berkembang biak dari ruas-ruas
atau tumbuhan yang berkembang biak dari kecambah-kecambahan; namun, seorang
bhikkhu menahan diri dari merusak bermacam-macam benih dan tumbuhan. Inilah, Ambattha,
sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan
barang-barang yang ditimbun, simpanan, seperti : bahan makan simpanan, minuman
simpanan, jubah simpanan, perkakas-perkakas simpanan, alat-alat tidur simpanan,
wangi-wangian simpanan, bumbu makanan simpanan; namun, seorang bhikkhu menahan
diri dari menggunakan barang-barang yang ditimbun semacam itu. Inilah,
Ambattha, sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih menonton aneka
macam pertunjukan, seperti : tari-tarian, nyanyi-nyanyian, musik, pertunjukan
panggung, opera, musik yang diiringi dengan tepuk tangan, pembacaan deklamasi,
permainan tambur, drama kesenian, permainan akrobat di atas galah, adu gajah,
adu-kuda, adu-sapi, adu-banteng, pertandingan bela-diri dengan menggunakan
tingkat, pertandingan tinju, pertandingan gulat, perang-perangan, pawai,
inspeksi, parade; namun seorang bhikkhu menahan diri dari menonton aneka macam
pertunjukan semacam itu. Inilah, Ambattha, sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terikat dengan
aneka macam permainan dan rekreasi, seperti : permainan catur dengan papan
berpetak sepuluh baris, permainan dengan membayangkan papan catur tersebut di
udara, permainan melangkah satu kali pada diagram yang digariskan di atas
tanah, permainan dengan cara memindahkan benda-benda atau orang dari satu
tempat ke lain tempat tanpa menggoncangkannya, permainan lempar dadu, permainan
memukul kayu pendek dengan menggunakan kayu panjang, permainan mencelup tangan
ke dalam air berwarna dan menempelkan telapak tangan ke dinding, permainan
bola, permainan meniup sempritan yang dibuat dari daun palem, permainan meluku
dengan luku-mainan, permainan jungkir-balik (salto), permainan dengan kitiran
yang dibuat dari daun palem, bermain dengan tembangan-mainan yang dibuat dari
daun palem, bermain dengan kereta-perang-mainan, bermain dengan panah-panah
mainan, menebak tulisan-tulisan yang digoreskan di udara atau pada punggung
seseorang, menebak pikiran teman bermain, menirukan gerak-gerik orang cacad;
namun, seorang bhikkhu menahan diri dari aneka macam permainan dan rekreasi
semacam itu. Inilah, Ambattha, sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mempergunakan
aneka macam tempat tidur yang besar dan mewah, seperti : dipan tinggi yang
dapat dipindah-pindahkan yang panjangnya enam kaki, dipan dengan tiang-tiang
berukirkan gambar binatang-binatang, seprei dari bulu kambing atau bulu domba
yang tebal, seprei dengan bordiran warna-warni, selimut putih, seprei dari wol
yang disulam dengan motif bunga-bunga, selimut yang diisi dengan kapas dan wol,
seprei yang disulam dengan gambar harimau dan singa, seprei dengan bulu
binatang pada kedua tepinya, seprei dengan bulu binatang pada salah satu
tepinya, seprei dengan sulaman permata, seprei dari sutra, selimut yang dapat
dipergunakan oleh enam belas orang, selimut gajah, selimut kuda atau selimut
kereta, selimut kulit kijang yang dijahit, selimut dari kulit sebangsa kijang,
permadani dengan tutup di atasnya, sofa dengan bantal merah untuk kepala dan
kaki; namun, seorang bhikkhu menahan diri untuk tidak mempergunakan aneka macam
tempat tidur yang besar dan mewah semacam itu. Inilah, Ambattha, sila yang
dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti; mereka masih memakai
perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri, seperti melumuri, mencuci
dan menggosok tubuhnya dengan bedak wangi; memukul tubuhnya dengan tongkat
perlahan-lahan seperti ahli gulat; memakai kaca, minyak-mata (bukan obat),
bunga-bunga, pemerah-pipi, kosmetika, gelang, kalung, tongkat jalan (untuk
bergaya), tabung bambu untuk menyimpan obat, pedang, alat penahan sinar
matahari, sandal bersulam, sorban, perhiasan dahi, sikat dari ekor binatang
yak, jubah putih panjang yang banyak lipatannya; namun, seorang bhikkhu menahan
diri dari pemakaian perhiasan-perhiasan dan alat-alat memperindah diri semacam
itu. Inilah, Ambattha, sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlibat dalam
percakapan-percakapan, seperti : percakapan tentang raja-raja, percakapan
tentang pencuri, percakapan tentang menteri-menteri, percakapan tentang
angkatan-angkatan perang, percakapan tentang pembunuh-pembunuhan, percakapan
tentang pertempuran-pertempuran, percakapan tentang makanan, percakapan tentang
minuman, percakapan tentang pakaian, percakapan tentang tempat tidur,
percakapan tentang karangan-karangan bunga, percakapan tentang wangi-wangian,
pembicaraan-pembicaraan tentang keluarga, percakapan tentang kendaraan,
percakapan tentang desa, percakapan tentang kampung, percakapan tentang kota,
percakapan tentang negara, percakapan tentang wanita, percakapan tentang
lelaki, percakapan di sudut-sudut jalanan, percakapan di tempat-tempat
pengambilan air, percakapan tentang hantu-hantu jaman dahulu, percakapan yang
tidak ada ujung pangkalnya, spekulasi tentang terciptanya daratan, spekulasi
tentang terciptanya lautan, percakapan tentang perwujudan dan bukan-perwujudan
(eksistensi dan non-eksistensi); namun, seorang bhikkhu menahan diri dari
percakapan-percakapan yang semacam itu. Inilah Ambattha, sila yang
dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih terlihat dalam
kata-kata perdebatan, seperti : “Bagaimana seharusnya engkau mengerti Dhamma
Vinaya ini ?”
“Engkau menganut pandangan-pandangan keliru, tetapi
aku menganut pandangan-pandangan benar.”
“Aku berbicara langsung pada pokok persoalan, tetapi
engkau tidak berbicara langsung pada pokok persoalan.”
“Engkau membicarakan di bagian akhir tentang apa yang
seharusnya dibicarakan di bagian permulaan; dan membicarakan di bagian
permulaan tentang apa yang seharusnya dibicarakan di bagian akhir.”
“Apa yang lama telah engkau persiapkan untuk
dibicarakan, semuanya itu telah usang.”
“Kata-kata bantahanmu itu telah ditentang, dan engkau
ternyata salah.”
“Berusahalah untuk menjernihkan pandangan-pandanganmu;
bebaskanlah dirimu bila kau sanggup”, namun, seorang bhikkhu menahan diri
dari kata-kata perdebatan semacam itu. Inilah Ambattha, sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih berlaku sebagai
pembawa berita, pesuruh dan bertindak sebagai perantara dari raja-raja,
menteri-menteri negara, kesatria, brahmana, orang berkeluarga atau
pemuda-pemuda, yang berkata : “Pergilah ke sana, pergilah ke situ, bawalah ini,
ambilkan itu dari sana”, namun, seorang bhikkhu menahan diri dari
tugas-tugas sebagai pembawa berita, pesuruh dan perantara semacam itu. Inilah
Ambattha, sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari makanan
yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih melakukan
tindakan-tindakan penipuan dengan cara : merapalkan kata-kata suci, meramal
tanda-tanda dan mengusir setan dengan tujuan memperoleh keuntungan setelah
memperlihatkan sedikit kemampuannya; namun, seorang bhikkhu menahan diri
dari tindakan-tindakan penipuan semacam itu. Inilah Ambattha, sila yang
dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa-petapa dan brahmana hidup
dari makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari
penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti : meramal
dengan melihat guratan-guratan tangan, meramal melalui tanda-tanda dan
alamat-alamat, menujumkan sesuatu dari halilintar atau keanehan-keanehan benda
langit lainnya, meramal dengan mengartikan mimpi-mimpi, meramal dengan melihat
tanda-tanda pada bagian tubuh, meramal dari tanda-tanda pada pakaian yang
digigit tikus, mengadakan korban pada api, mengadakan selamatan yang dituang
dari sendok, memberikan persembahan dengan sekam untuk dewa-dewa, memberikan
persembahan dengan bekatul untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan beras
untuk dewa-dewa, memberikan persembahan dengan mentega untuk dewa-dewa,
memberikan persembahan dengan minyak untuk dewa-dewa, mempersembahkan biji
wijen dengan cara menyemburkannya dari mulut ke api, mengeluarkan darah dari
lutut kanan sebagai tanda persembahan kepada dewa-dewa, melihat pada buku jari,
setelah itu mengucapkan mantra dan meramalkan apakah orang itu mujur, beruntung
atau sial; menentukan apakah letak rumah itu baik atau tidak; menasehati
cara-cara pengukuran tanah; mengusir setan-setan di kuburan; mengusir hantu,
mantra untuk menempati rumah yang dibuat dari tanah, mantra untuk menjinakkan
ular, mantra racun, mantra kalajengking, mantra tikus, mantra burung, mantra
burung gagak, meramal umur, mantra melepas panah, keahlian untuk mengerti
bahasa binatang; namun seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan
dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah Ambattha,
sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari
penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti :
pengetahuan tentang tanda-tanda atau alamat-alamat baik atau buruk dari
benda-benda, yang menyatakan kesehatan atau keberuntungan dari pemiliknya,
seperti : batu-batu permata, tongkat, pedang, panah, busur, senjata-senjata
lainnya; wanita, laki-laki, anak lelaki, anak perempuan, budak lelaki, budak
perempuan; gajah, kuda, kerbau, sapi jantan, sapi betina, kambing, biri-biri,
burung hantu, burung gereja, burung nasar, kura-kura, dan binatang-binatang
lainnya; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan
cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah sila Ambattha,
yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari
penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti : meramal
dengan akibat : pemimpin akan maju, pemimpin akan mundur, pemimpin kita akan
menyerang dan musuh-musuh akan mundur, pemimpin musuh akan menyerang dan
pemimpin kita akan mundur, pemimpin kita akan menang dan pemimpin musuh akan
kalah, pemimpin musuh akan menang dan pemimpin kita akan kalah; jadi kemenangan
ada di pihak ini dan kekalahan ada di pihak itu; namun, seorang bhikkhu
menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu
rendah semacam itu. Inilah, Ambattha, sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari
penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti :
meramalkan adanya gerhana bulan, gerhana matahari, gerhana bintang, matahari
atau bulan akan menyimpang dari garis edarnya, matahari atau bulan akan kembali
pada garis edarnya, adanya bintang akan kembali pada garis edarnya, meteor
jatuh, hutan terbakar, gempa bumi, halilintar; matahari, bulan dan bintang akan
terbit, terbenam, bersinar dan suram; atau meramalkan lima belas gejala
tersebut akan terjadi yang akan mengakibatkan sesuatu, namun, seorang
bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui
ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah Ambattha, sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari
penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti :
meramalkan turun hujan yang berlimpah-limpah, turun hujan yang tidak mencukupi,
hasil panen yang baik, masa paceklik (kekurangan bahan makanan), keadaan damai,
keadaan kacau, akan terjadi wabah sampar, musim baik; meramal dengan menghitung
jari, tanpa menghitung jari; ilmu menghitung jumlah besar, menyusun lagu,
sajak, nyanyian rakyat yang populer dan adat kebiasaan : namun, seorang
bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui
ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah Ambattha, sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari
penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah seperti : mengatur
hari baik bagi mempelai pria atau wanita untuk dibawa pulang, mengatur hari
baik bagi mempelai pria atau wanita untuk dikirim pergi, menentukan saat yang
baik untuk menentukan perjanjian damai (atau mengikat persaudaraan dengan
menggunakan mantra), menentukan saat yang baik untuk meletuskan permusuhan,
menentukan saat baik untuk menagih hutang, menentukan saat baik untuk memberi
pinjaman, menggunakan mantra untuk membuat orang beruntung, menggunakan mantra
untuk membuat orang sial, menggunakan mantra untuk menggugurkan kandungan,
menggunakan mantra untuk menyebabkan kebisuan, menggunakan mantra untuk
mendiamkan rahang seseorang, menggunakan mantra untuk membuat orang lain
mengangkat tangannya, menggunakan mantra untuk menimbulkan ketulian, mencari
jawaban dengan melihat kaca-ajaib, mencari jawaban melalui seorang gadis yang
kerasukan, mencari jawaban dari dewa, memuja matahari, memuja maha-ibu (dewa
tanah), mengeluarkan api dari mulut, mohon kepada dewi Sri, atau dewi
keberuntungan; namun, seorang bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan
dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah Ambattha,
sila yang dimilikinya.”
“Meskipun beberapa petapa dan brahmana hidup dari
makanan yang disediakan oleh umat yang berbakti, mereka masih mencari
penghidupan dengan cara-cara salah melalui ilmu-ilmu rendah, seperti : berjanji
akan memberikan persembahan-persembahan kepada para dewa apabila keinginannya
terkabul, melaksanakan janji-janji semacam itu, mengucapkan mantra untuk
menempati rumah yang dibuat dari tanah, mengucapkan mantra untuk menimbulkan
kejantanan, membuat pria menjadi impoten, menentukan letak yang tepat untuk
membangun rumah, mengucapkan mantra untuk membersihkan tempat, melakukan
upacara pembersihan mulut, melakukan upacara mandi, mempersembahkan korban,
memberikan obat tumpah dan penguras perut, memberikan obat bersin untuk
mengobati sakit kepala, meminyaki telinga orang lain, merawat mata orang,
memberikan obat melalui hidung, memberikan collyrium di mata, memberikan obat
tetes pada mata, menjalankan praktek sebagai okultis, menjalankan praktek
sebagai dokter bedah, menjalankan praktek sebagai dokter anak-anak, meramu
obat-obatan dari bahan akar-akaran, membuat obat-obatan; namun, seorang
bhikkhu menahan diri dari mencari penghidupan dengan cara-cara salah melalui
ilmu-ilmu rendah semacam itu. Inilah Ambattha, sila yang dimilikinya.”
“Selanjutnya, O Tuanku, seorang bhikkhu yang sempurna
silanya, tidak melihat adanya bahaya dari jurusan mana pun sejauh berkenaan
dengan pengendalian terhadap sila. O Tuanku, sama seperti seorang kesatria yang
patut dinobatkan menjadi raja, yang musuh-musuhnya telah dikalahkan, tidak
melihat bahaya dari arah mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian terhadap
sila. Demikian pula, seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat
bahaya dari arah mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian sila. Dengan
memiliki kelompok sila yang mulia ini, dirinya merasakan suatu kebahagiaan
murni (anavajja-sukham). Demikianlah, Ambattha, seorang bhikkhu yang memiliki
sila sempurna.”
“Bagaimanakah, Ambattha bila seorang bhikkhu memiliki
penjagaan atas pintu-pintu indrianya ? O Tuanku, bilamana seorang bhikkhu
melihat suatu obyek dengan matanya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan
atau bentuk bagian kecilnya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk
yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan
buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya
sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indria penglihatannya. Ia
menjaga indria pengelihatannya, dan memiliki pengendalian terhadap indria
pengelihatannya.
Bilamana ia mendengar suara dengan telinganya, ia
tidak terpikat dengan bentuk-keseluruhan atau bentuk bagian kecilnya. Ia
berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan
bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian;
yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian
diri terhadap indria pendengarannya. Ia menjaga indria pendengarannya, dan
memiliki pengendalian terhadap indria pendengarannya.
Bilamana ia mencium bau dengan hidungnya, ia tidak
terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk bagian kecilnya. Ia berusaha
menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi
tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang
telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri
terhadap indria penciumannya. Ia menjaga indria penciumannya, dan memiliki
pengendalian terhadap indria penciumannya.
Bilamana ia mengecap rasa dengan lidahnya, ia tidak
terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk-bagian kecilnya. Ia berusaha
menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi
tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang
telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri
terhadap indria pengecapannya. Ia menjaga indria pengecapannya, dan memiliki
pengendalian terhadap indria pengecapannya.
Bilamana ia merasakan suatu sentuhan dengan tubuhnya,
ia tidak terpikat dengan bentuk-bentuk keseluruhan atau bentuk-bagian kecilnya.
Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan
kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan
kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa
pengendalian terhadap indria perabanya. Ia menjaga indria perabanya, dan
memiliki pengendalian terhadap indria perabanya.
Bilamana ia mengetahui sesuatu (dhamma) dengan
pikirannya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk-bagian
kecilnya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan
kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk; keserakahan dan
kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa
pengendalian terhadap indria pikirannya. Ia menjaga indria pikirannya, dan
memiliki pengendalian terhadap indria pikirannya.
“Dengan memiliki pengendalian diri terhadap
indria-indrianya, ia merasakan suatu kebahagiaan yang tidak ternoda –
sedikitpun. Demikianlah, Ambattha, seorang bhikkhu yang memiliki pengendalian
atas pintu-pintu indrianya.”
“Bagaimanakah, Ambattha, bila seorang bhikkhu memiliki
perhatian-murni dan pengertian yang benar ? Dalam hal ini, Ambattha, seorang
bhikkhu mengerti dan sadar sewaktu ia pergi atau sewaktu ia kembali; ia
mengerti dan sadar sewaktu melihat ke depan atau melihat ke samping; ia
mengerti dan sadar sewaktu mengenakan jubah atas (sanghati), jubah luar
(civara) atau mengambil mangkuk (patta); ia mengerti dan sadar sewaktu makan,
minum, mengunyah atau menelan; ia mengerti dan sadar sewaktu buang air atau
sewaktu kencing; ia mengerti dan sadar sewaktu dalam keadaan berjalan, berdiri,
duduk, tidur, bangun, berbicara atau diam. Demikianlah, Ambattha, seorang
bhikkhu yang memiliki perhatian-murni dan pengertian-jelas.”
“Bagaimanakah, Ambattha bila seorang bhikkhu merasa
puas ? Dalam hal ini, Ambattha, seorang bhikkhu merasa puas hanya dengan
jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang
cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Dan kemana pun ia akan pergi, ia
pergi hanya membawa hal-hal ini. Ambattha, sama seperti seekor burung dengan
sayapnya, kemana pun akan terbang, burung itu terbang hanya dengan membawa
sayapnya. Demikian pula, Ambattha, seorang bhikhu merasa puas hanya dengan
jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang
cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Maka, kemana pun ia akan pergi,
ia pergi hanya dengan membawa hal-hal ini. Demikianlah, Ambattha, seorang
bhikkhu merasa puas.”
“Setelah memiliki kelompok-sila yang mulia ini,
memiliki pengendalian terhadap indria-indria, memiliki perhatian-murni dan
pengertian benar yang mulia ini, memiliki kepuasan yang mulia ini, ia memilih
tempat-tempat sunyi di hutan, di bawah pohon, di lereng bukit, di celah gunung,
di gua karang, di tanah-kubur, di dalam hutan lebat, di lapangan terbuka, di
atas tumpukan jerami untuk berdiam. Setelah pulang dari usahanya mengumpulkan
dana makanan dan selesai makan; ia duduk bersila, badan tegak, sambil
memusatkan perhatiannya ke depan.”
Dengan menyingkirkan kerinduan terhadap dunia, ia
berdiam dengan pikiran yang bebas dari kehidupan, membersihkan pikirannya dari
nafsu-nafsu. Dengan menyingkirkan itikad-jahat, ia berdiam dengan pikiran yang
bebas dari itikad jahat; dengan pikiran bersahabat serta penuh kasih sayang
terhadap semua mahluk, semua yang hidup, ia membersihkan pikirannya dari
itikad-jahat. Dengan menyingkirkan kemalasan dan kelambanan, ia berdiam dalam
keadaan bebas dari kemalasan dan kelambanan; dengan memusatkan perhatiannya
pada pencerapan terhadap cahaya (alokasanni), ia membersihkan pikirannya dari
kemalasan dan kelambanan. Dengan menyingkirkan kegelisahan dan kekhawatiran, ia
berdiam bebas dari kekacauan; dengan batin tenang, ia membersihkan pikirannya
dari kegelisahan dan kekhawatiran. Dengan menyingkirkan keragu-raguan, ia
berdiam mengatasi keragu-raguan; dengan tidak lagi ragu-ragu terhadap apa yang
baik, ia membersihkan pikirannya dari keragu-raguan.”
“Ambattha, sama halnya seperti seseorang, yang setelah
berhutang, ia berdagang sampai berhasil, sehingga bukan saja ia mampu membayar
kembali pinjaman hutangnya, tetapi masih ada kelebihan untuk merawat seorang
istri. Dan ia berpikir :
“Dahulu aku berhutang dan berdagang sampai berhasil,
sehingga bukan saja aku dapat membayar kembali pinjaman hutangku, tetapi masih
ada kelebihan untuk merawat seorang istri.”
Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas
hal itu.”
“Ambattha, sama halnya seperti seseorang yang diserang
penyakit, berada dalam kesakitan, amat parah keadaannya, tidak dapat mencerna
makanannya, sehingga tidak ada lagi kekuatan dalam dirinya; namun setelah
beberapa waktu ia sembuh dari penyakit itu, dapat mencerna makanannya sehingga
kekuatannya pulih. Dan ia berpikir :
“Dahulu aku diserang penyakit, berada dalam kesakitan,
amat parah keadaanku, tidak dapat mencerna makananku, sehingga tidak ada lagi
kekuatan dalam diriku : namun, sekarang aku telah sembuh dari penyakit itu,
dapat mencerna makanan sehingga kekuatanku pulih.”
Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas
hal itu.”
“Ambattha, sama halnya seperti seseorang yang ditahan
dalam rumah penjara, dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari tahanannya,
aman dan sehat, barang-barangnya tidak ada yang dirampas. Dan ia berpikir :
“Dahulu aku ditahan dalam rumah penjara, dan sekarang
aku telah bebas dari tahanan, aman dan sehat, barang-barangku tidak ada yang
dirampas.”
Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas
hal itu.”
“Ambattha, sama halnya seperti seseorang yang menjadi
budak, bukan tuan bagi dirinya sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat
pergi kemana ia suka; dan setelah beberapa waktu ia dibebaskan dari perbudakan
itu, menjadi tuan bagi dirinya sendiri, tidak tunduk kepada orang lain, seorang
yang bebas, bebas pergi kemana ia suka. Dan ia berpikir :
“Dahulu aku seorang budak, bukan tuan bagi diriku
sendiri, tunduk kepada orang lain, tidak dapat pergi kemana aku suka; dan
sekarang aku telah bebas dari perbudakan, menjadi tuan bagi diriku sendiri,
tidak tunduk kepada orang lain, seorang yang bebas, bebas pergi kemana aku
suka.”
Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas
hal itu.”
“Ambattha, sama halnya seperti seseorang yang dengan
membawa kekayaan dan barang-barang, melakukan perjalanan di padang pasir, di
mana tidak terdapat makanan melainkan banyak bahaya; dan setelah beberapa waktu
ia berhasil keluar dari padang pasir itu, selamat tiba di perbatasan desanya,
suatu tempat yang aman, tidak ada bahaya. Dan ia berpikir :
“Dahulu, dengan membawa kekayaan dan barang-barang,
aku melakukan perjalanan di padang pasir, di mana tidak terdapat makanan
melainkan banyak bahaya; dan sekarang aku telah berhasil keluar dari padang
pasir itu, selamat tiba di perbatasan desaku, suatu tempat yang aman, tidak ada
bahaya.”
Dengan demikian ia merasa gembira, bersenang hati atas
hal itu.”
“Demikianlah, Ambattha, selama lima rintangan (panca
nivarana) belum disingkirkan, seorang bhikkhu merasakan dirinya seperti orang
yang berhutang, terserang penyakit, dipenjara, menjadi budak, melakukan
perjalanan di padang pasir. Tetapi Ambattha, setelah lima rintangan itu
disingkirkan, maka seorang bhikkhu merasa dirinya seperti orang yang telah bebas
dari hutang, bebas dari penyakit, keluar dari penjara, bebas dari perbudakan,
sampai di tempat yang aman.”
“Apabila ia menyadari bahwa lima rintangan itu telah
disingkirkan dari dalam dirinya, maka timbullah kegembiraan, karena gembira maka
timbullah kegiuran (piti), karena batin tergiur, maka seluruh tubuhnya terasa
nyaman, karena tubuh menjadi nyaman, maka ia merasa bahagia, karena bahagia,
maka pikirannya menjadi terpusat. Kemudian, setelah terpisah dari nafsu-nafsu,
jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka ia masuk dan berdiam
dalam Jhana pertama; suatu keadaan batin yang nikmat dan bahagia (piti-sukha),
yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai dengan vitakka (pengarahan
pikiran pada obyek) dan vicara (mempertahankan pikiran pada obyek). Seluruh
tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan nikmat
dan bahagia, yang timbul dari kebebasan; dan tidak ada satu bagian pun dari
tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan nikmat dan bahagia itu, yang timbul
dari kebebasan (viveka).
“Ambattha, sama halnya seperti tukang rias yang pandai
atau pembantunya akan menebarkan bubuk-sabun wangi dalam sebuah mangkuk logam,
memercikinya dengan air setetes air demi setetes, dan kemudian ia meramasnya
bersama sehingga bubukan sabun itu dapat menyerap seluruh cairan; dibasahi,
diresapi dan diliputi dengannya, baik dalam maupun luar, dan tidak ada yang
mengalir keluar.”
“Demikian pula, Ambattha, bhikkhu itu seluruh tubuhnya
dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan
bahagia, yang timbul dari kebebasan; sehingga tidak ada satu bagian pun dari
tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan nikmat dan bahagia, yang timbul dari
kebebasan itu.”
“Inilah, Ambattha, carana yang dimilikinya, yang lebih
indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.”
“Selanjutnya, Ambattha, seorang bhikkhu yang telah
membebaskan diri dari vitakka dan vicara, memasuki dan berdiam dalam Jhana
kedua; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan
konsentrasi, tanpa disertai dengan vitakka dan vicara, keadaan batin yang
memusat. Demikianlah bahagia, yang timbul dari konsentrasi; dan tidak ada satu
bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan nikmat dan bahagia
itu, yang timbul dari konsentrasi.”
“Ambattha, bagaikan sebuah kolam yang dalam, yang
mempunyai sumber air di bawahnya, tanpa lubang masuk dari Timur atau Barat,
dari Utara atau Selatan. Sekalipun dari waktu ke waktu tidak turun hujan;
namun, arus air yang sejuk yang berasal dari sumber itu akan tetap memenuhi;
menggenangi, meresapi dan meliputi kolam itu, sehingga tidak ada satu bagian
pun dari kolam itu yang tidak diliputi oleh air yang sejuk itu.”
“Demikian pula, Ambattha, bhikkhu itu seluruh tubuhnya
dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi oleh perasaan nikmat dan bahagia,
yang timbul dari konsentrasi; sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya
yang tidak diliputi oleh perasaan nikmat dan bahagia yang timbul dari
konsentrasi itu.”
“Inilah, Ambattha, carana yang dimilikinya, yang lebih
indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.”
“Selanjutnya, Ambattha, seorang bhikkhu yang telah
membebaskan dirinya dari perasaan nikmat, berdiam dalam keadaan seimbang yang
disertai dengan perhatian-murni dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan
perasaan bahagia, yang dikatakan oleh para ariya sebagai “kebahagiaan yang
dimiliki oleh mereka yang batinnya seimbang dan penuh perhatian murni”, ia
memasuki dan berdiam dalam Jhana ketiga. Demikianlah seluruh tubuhnya dipenuhi,
digenangi, diresap serta diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa disertai
dengan perasaan nikmat; dan tidak ada satu bagianpun dari tubuhnya yang tidak
diliputi oleh perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan nikmat itu.”
“Ambattha, seperti dalam sebuah kolam yang berisi
bunga-bunga teratai : merah, putih atau biru, yang beberapa di antara
bunga-bunga teratai merah, putih atau biru yang bersemi dalam air, tumbuh dalam
air, tidak muncul di atas permukaan air serta menghisap makanan dari dalam air
itu adalah dipenuhi, digenangi diresapi serta diliputi dengan air dingin;
sehingga tidak ada satu bagian pun dari bunga-bunga teratai merah, putih atau
biru itu mulai dari ujung daun sampai ke akarnya yang tidak diliputi
dengannya.”
“Demikian pula, Ambattha, bhikkhu itu seluruh tubuhnya
dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa
disertai dengan perasaan nikmat; sehingga tidak ada satu bagian pun dari
tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan
perasaan nikmat itu.”
“Inilah, Ambattha, carana yang dimilikinya, yang lebih
indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.”
“Selanjutnya, Ambattha, dengan menyingkirkan perasaan
bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan senang dan
tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, bhikkhu itu memasuki dan berdiam
dalam Jhana keempat, yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang, yang
memiliki perhatian-murni (satiparisuddhim), bebas dari perasaan bahagia dan
tidak-bahagia. Demikianlah ia duduk di sana, meliputi seluruh tubuhnya dengan
perasaan batin yang bersih dan jernih.”
“Ambattha, sama seperti seorang yang sedang duduk,
diselubungi dengan jubah putih mulai dari kepala sampai ke kaki, sehingga tidak
ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak bersentuhan dengan jubah putih
itu.”
“Demikian pula, Ambattha, bhikkhu itu duduk di sana,
meliputi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih;
sehingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi dengan perasaan
batin yang bersih dan jernih itu.”
“Inilah, Ambattha, carana yang dimilikinya, yang lebih
indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.”
“Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih,
bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan
tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya ke
pandangan-terang yang timbul dari pengetahuan (nana-dassana). Demikianlah ia
mengerti : “Tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri atas empat unsur-pokok
(maha-bhuta), berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan
yang terus menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan,
kehancuran dan kematian; begitu pula halnya dengan kesadaranku (vinnana) yang
terikat dengannya.”
“Ambattha, sama seperti halnya dengan permata
Veluriya, yang gemerlapan, bersih, mempunyai delapan sudut yang terpotong rapi,
jernih, murni, tanpa cacat, sempurna dalam keadaan apa pun. Dan di tengahnya
dimasuki seutas benang, yang berwarna biru, jingga, merah, putih atau kuning.
Seandainya seseorang yang memiliki mata meletakkannya di atas tangannya, maka
ia akan merenung : “Permata Veluriya ini adalah gemerlapan, bersih, mempunyai
delapan sudut yang terpotong rapi, jernih, murni, tanpa cacat, sempurna dalam
keadaan apa pun. Sekarang, permata itu diikatkan pada seutas benang yang
berwarna biru, jingga, merah, putih atau kuning.”
“Demikian pula, Ambattha, dengan pikiran yang telah
terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk
dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan
mengarahkan pikirannya ke pandangan-terang yang timbul dari pengetahuan. Dan
demikianlah ia mengerti :
“Tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri atas empat
unsur pokok, berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan
yang terus menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan,
kehancuran dan kematian. Begitu pula halnya dengan kesadaranku yang terikat
dengannya.”
“Inilah, Ambattha, vijja yang dimilikinya, yang lebih
indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.”
“Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih,
bebas dari nafsu, bebas dari noda, lembut, siap untuk dipergunakan, teguh dan
tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada
penciptaan “wujud-ciptaan batin” (mano-maya-kaya). Dari tubuh ini, ia
menciptakan ”tubuh-ciptaan-batin” melalui pikirannya; yang memiliki bentuk,
memiliki anggauta-anggauta dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan
sesuatu organ apapun.”
“Ambattha, sama seperti halnya seorang menarik
sebatang ilalang keluar dari pelepahnya. Maka ia akan mengerti :
“Inilah ilalang, inilah pelepah. Ilalang adalah satu
hal, pelepah adalah hal yang lain. Adalah dari pelepah bahwasanya ilalang itu
telah ditarik keluar.”
“Ambattha, sama seperti halnya seseorang mengeluarkan
ular dari selongsongnya. Maka ia akan tahu :
“Inilah ular, inilah selongsong. Ular adalah satu hal,
selongsong adalah hal yang lain. Adalah dari selongsong bahwasanya ular itu
telah dikeluarkan.”
“Ambattha, sama seperti halnya seseorang menghunus
pedang dari sarungnya. Maka ia akan tahu :
“Inilah pedang, inilah sarung-pedang. Pedang adalah
satu hal, sarung-pedang adalah hal yang lain. Adalah dari sarung-pedang
bahwasanya pedang itu telah dihunus.”
“Demikian pula, Ambattha, dengan pikiran yang telah
terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk
dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan
mengarahkan pikirannya pada penciptaan “wujud-ciptaan-batin” (mano-maya-kaya).
Dari tubuh ini, ia menciptakan “tubuh-ciptaan-batin” melalui pikirannya; yang
memiliki bentuk, memiliki anggauta-anggauta dan bagian-bagian tubuh lengkap,
tanpa kekurangan sesuatu organ apapun.”
“Inilah Ambattha, vijja yang dimilikinya, yang lebih
indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.”
“Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih,
bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan
tidak dapat digoncangkan; ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada
bentuk-bentuk iddhi (perbuatan-perbuatan gaib). Ia melakukan iddhi dalam aneka
ragam bentuknya : dari satu ia menjadi banyak, atau dari banyak kembali menjadi
satu; ia menjadikan dirinya dapat dilihat atau tidak dapat dilihat; tanpa
merasa terhalang, ia berjalan menembusi dinding, benteng atau gunung,
seolah-olah berjalan melalui tanah, seolah-olah berenang dalam air; ia berjalan
di atas air tanpa tenggelam, seolah-olah berjalan di atas tanah; dengan duduk
bersila ia melayang-layang di udara, seperti seekor burung dengan sayapnya;
dengan tangan ia dapat menyentuh dan meraba bulan dan matahari yang begitu
dahsyat dan perkasa; ia dapat pergi mengunjungi alam-alam Brahma dengan membawa
tubuh kasarnya.”
“Ambattha, sama seperti halnya seorang pembuat
barang-barang tembikar atau pembantunya, dapat membuat, berhasil menciptakan
berbagai bentuk barang tembikar yang mengkilap menurut keinginannya.”
“Ambattha, sama seperti halnya pemahat gading atau
pembantunya, dapat memilih gading serta berhasil memahatnya menjadi berbagai
bentuk pahatan-gading menurut keinginannya.”
“Ambattha, sama seperti halnya tukang emas atau
pembantunya, dapat menjadikan, berhasil membuat berbagai bentuk barang dari
emas menurut keinginannya.”
“Demikian pula, Ambattha, dengan pikiran yang telah
terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lembut, siap untuk
dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan
mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (perbuatan gaib). Demikianlah
ia melakukan iddhi dalam aneka ragam bentuknya : dari satu ia menjadi banyak,
atau dari banyak kembali menjadi satu; ia menjadikan dirinya dapat dilihat atau
tidak dapat dilihat atau tidak dapat dilihat; tanpa merasa terhalang, ia
berjalan menembus dinding, benteng atau gunung, seolah-olah berjalan melalui
ruang kosong; ia menyelam dan timbul melalui tanah, seolah-olah berenang dalam
air; ia berjalan di atas air tanpa tenggelam, seolah-olah berjalan di atas
tanah; dengan duduk bersila ia melayang-layang di udara, seperti seekor burung
dengan sayapnya; dengan tangan ia dapat menyentuh dan meraba bulan dan matahari
yang begitu dahsyat dan perkasa; ia pergi mengunjungi alam-alam Brahma dengan
membawa tubuh kasarnya.”
“Inilah, Ambattha, vijja yang dimilikinya, yang lebih
indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.”
“Dengan pikirannya yang terpusat, bersih, jernih,
bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan
tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada
kemampuan-kemampuan dibba-sota (telinga-dewa). Dengan kemampuan-kemampuan
dibba-sota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, ia mendengar suara-suara
manusia dan dewa, yang jauh atau yang dekat.”
“Ambattha, sama seperti halnya seseorang yang sedang
berada di jalan raya, dapat mendengar suara genderang-besar, suara tambur,
suara-tiupan terompet kulit-kerang, suara genderang kecil. Maka ia akan tahu :
“Ini suara genderang besar, ini suara tambur, ini
suara tiupan terompet kulit kerang, ini suara genderang kecil.”
“Demikian pula, Ambattha, dengan pikiran yang telah
terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk
dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan
mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan dibba-sota (telinga dewa). Dan
dengan kemampuan-kemampuan dibba-sota yang jernih, yang melebihi telinga
manusia, ia mendengar suara-suara manusia dan dewa, yang jauh atau yang dekat.”
“Inilah, Ambattha, vijja yang dimilikinya, yang lebih
indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.”
“Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih,
bebas dari nafsu, bebas dari noda, lembut, siap untuk dipergunakan, teguh dan
tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada
ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus
melalui pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran mahluk lain, pikiran
orang-orang lain.”
“Ia mengetahui :
Pikiran yang disertai nafsu sebagai pikiran yang
disertai nafsu.
Pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu.
Pikiran yang disertai kebencian sebagai pikiran yang
disertai kebencian.
Pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa
kebencian.
Pikiran yang disertai ketidaktahuan sebagai pikiran
yang disertai ketidaktahuan.
Pikiran tanpa ketidaktahuan sebagai pikiran tanpa
ketidaktahuan.
Pikiran yang teguh sebagai pikiran yang teguh.
Pikiran yang ragu-ragu sebagai pikiran yang ragu-ragu.
Pikiran yang berkembang sebagai pikiran yang berkembang.
Pikiran yang tidak-berkembang sebagai pikiran yang
tidak berkembang.
Pikiran yang rendah sebagai pikiran yang rendah.
Pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur.
Pikiran yang terpusat sebagai pikiran yang terpusat.
Pikiran yang berhamburan (kacau) sebagai pikiran yang
berhamburan (kacau).
Pikiran yang bebas sebagai pikiran yang bebas.
Pikiran yang tidak-bebas sebagai pikiran yang
tidak-bebas.
“Ambattha, sama halnya seperti seorang wanita, lelaki
atau anak kecil, yang ingin memperindah diri dengan melihat wajahnya pada
permukaan sebuah kaca yang bersih dan jernih atau pada sebuah tempayan yang
berisikan air jernih; maka apabila wajahnya memiliki tahi-lalat, ia tahu bahwa
wajahnya memiliki tahi-lalat; apabila wajahnya tidak memiliki tahi-lalat, ia tahu
bahwa wajahnya tidak memiliki tahi-lalat.”
“Demikian pula, Ambattha, dengan pikiran yang telah
terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk
dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan
mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran
orang lain). Dengan menembus melalui pikirannya sendiri, ia mengetahui
pikiran-pikiran mahluk lain, pikiran orang-orang lain. Dan ia mengetahui :
Pikiran yang disertai nafsu sebagai pikiran yang
disertai nafsu.
Pikiran tanpa-nafsu sebagai pikiran tanpa-nafsu.
Pikiran yang disertai kebencian sebagai pikiran yang
disertai kebencian.
Pikiran tanpa-kebencian sebagai pikiran tanpa
kebencian.
Pikiran yang disertai ketidaktahuan sebagai pikiran
yang disertai ketidaktahuan.
Pikiran tanpa ketidaktahuan sebagai pikiran tanpa
ketidaktahuan.
Pikiran yang teguh sebagai pikiran yang teguh.
Pikiran yang ragu-ragu sebagai pikiran yang ragu-ragu.
Pikiran yang berkembang sebagai pikiran yang berkembang.
Pikiran yang tidak berkembang sebagai pikiran yang
tidak berkembang.
Pikiran yang rendah sebagai pikiran yang rendah.
Pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur.
Pikiran yang terpusat sebagai pikiran yang terpusat.
Pikiran yang berhamburan (kacau) sebagai pikiran yang
berhamburan (kacau).
Pikiran yang bebas sebagai pikiran yang bebas.
Pikiran yang tidak bebas sebagai pikiran yang tidak
bebas.
“Inilah Ambattha, vijja yang dimilikinya, yang lebih
indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.”
“Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih,
bebas dari nafsu, bebas dari noda, lembut, siap untuk dipergunakan, teguh dan
tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada
pengetahuan tentang pubbenivasanussati (ingat terhadap kelahiran-kelahiran
lampau). Demikianlah ia ingat tentang bermacam-macam kelahirannya yang lampau,
seperti : satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima
kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat
puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran,
seratus ribu kelahiran, melalui banyak masa perkembangan (samvata-kappa),
melalui banyak masa kehancuran (vivatta-kappa), melalui banyak masa
perkembangan kehancuran (samvatta-vivatta-kappa). ‘Di suatu tempat demikian,
namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian,
suku bangsaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang
demikian, batas umurku adalah demikian. Kemudian, setelah aku berlalu dari
keadaan itu, aku lahir kembali di suatu tempat demikian; disana, namaku adalah
demikian, makananku adalah demikian, keluargaku adalah demikian, suku bangsaku
adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang demikian, batas
umurku adalah demikian. Setelah aku berlalu dari keadaan itu, kemudian aku
lahir kembali disini’ Demikianlah ia mengingat kembali tentang bermacam-macam
kelahirannya di masa lampau, dalam seluruh seluk beluknya, dalam seluruh
macamnya.”
“Ambattha, sama halnya seperti seseorang yang pergi
dari desanya menuju ke lain desa, dan dari desa itu ia pergi ke desa lainnya
lagi, serta dari desa itu ia pulang kembali ke desanya sendiri; maka ia akan
tahu : ‘Dari desaku sendiri, aku pergi ke lain desa. Di sana aku berdiri di
tempat-tempat demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri
demikian. Dari tempat itu aku datang ke desa lainnya; di sana aku berdiri di
tempat-tempat demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri
demikian. Dan sekarang, dari desa itu aku pulang ke desaku sendiri.’ ”
“Demikian pula, Ambattha, dengan pikirannya yang telah
terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lembut, siap untuk
dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan
mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang pubbe-nivasanussati (ingat
terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Demikian ia ingat tentang bermacam-macam
kelahirannya yang lampau, seperti : satu kelahiran, dua kelahiran, tiga
kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, seratus kelahiran, seribu
kelahiran, seratus ribu kelahiran, melalui banyak masa perkembangan
(samvatta-kappa), melalui banyak masa kehancuran (vivatta-kehancuran), dan
melalui banyak masa-perkembangan-kehancuran (samvatta-vivatta-kappa). ‘Di suatu
tempat kelahiran, namaku adalah demikian, makananku adalah demikian, keluargaku
adalah demikian, suku bangsaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan
penderitaan yang demikian, batas umurku adalah demikian. Kemudian, setelah aku
berlalu dari keadaan itu, aku lahir kembali di suatu tempat demikian : di sana,
namaku adalah demikian, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan yang
demikian, batas umurku adalah demikian. Setelah aku berlalu dari keadaan itu,
kemudian aku lahir kembali di sini.’ Demikianlah ia mengingat kembali tentang
bermacam-macam kelahirannya di masa lampau, dalam seluruh seluk-beluknya, dalam
seluruh macamnya.”
“Inilah, Ambattha, vijja yang dimilikinya, yang lebih
indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.”
“Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih,
bebas dari nafsu, bebas dari noda, lembut, siap untuk dipergunakan, teguh dan
tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada
pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya mahluk-mahluk (cutupapata-nana) Dan
dengan kemampuan dibba-cakkhu (matadewa yang jernih, yang melebihi mata
manusia), ia melihat bagaimana setelah mahluk-mahluk berlalu dari satu
perwujudan, muncul dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia
dan menderita.
Ia melihat bagaimana mahluk-mahluk itu muncul sesuai
dengan perbuatan-perbuatannya :
‘Mahluk-mahluk ini, saudara, memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang jahat,
penghina para Suci, pengikut pandangan-pandangan keliru, dan melakukan
perbuatan menurut pandangan keliru. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah
mati, mereka terlahir kembali dalam alam celaka, alam sengsara, alam neraka.
Tetapi, mahluk-mahluk yang lain, saudara, memiliki perbuatan, ucapan dan
pikiran yang baik, bukan penghinaan para Suci, pengikut pandangan-pandangan
benar, dan melakukan perbuatan menurut pandangan benar. Pada saat kehancuran
tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam bahagia, alam
surga.”
“Demikianlah, dengan kemampuan dibbacakkhu (mata dewa)
yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah
mahluk-mahluk berlalu dari satu perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek,
bahagia dan menderita.”
“Ambattha, sama halnya seperti di sana terdapat sebuah
rumah bertingkat, terletak di suatu tempat yang menghadap ke perempatan jalan;
dan seandainya seseorang yang memiliki mata berdiri di atasnya, mengamati
orang-orang memasuki rumah, keluar dari rumah, berjalan hilir mudik sepanjang
jalan, duduk di tengah perempatan jalan; maka ia akan tahu : ‘Orang-orang itu
memasuki rumah; orang-orang itu keluar dari rumah; orang-orang itu berjalan
hilir-mudik sepanjang jalan; orang-orang itu duduk di tengah perempatan jalan’”
“Demikian pula, Ambattha, dengan pikirannya yang
terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk
dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan
mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya
mahluk-mahluk (cutupapata nana). Dan dengan kemampuan dibba-cakkhu (mata dewa)
yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah
mahluk-mahluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain;
rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana
mahluk-mahluk itu muncul sesuai dengan perbuatan-perbuatannya :
Mahluk-mahluk ini, saudara memiliki perbuatan, ucapan
dan pikiran yang jahat, penghina para Suci, pengikut pandangan-pandangan
keliru, dan melakukan perbuatan menurut pandangan-pandangan keliru. Pada saat
kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam cela,
alam sengsara, alam neraka. Tetapi, mahluk-mahluk yang lain, saudara, memiliki
perbuatan, ucapan dan pikiran yang baik, bukan penghinaan para Suci, pengikut
pandangan-pandangan benar, dan melakukan perbuatan menurut pandangan benar.
Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam
bahagia, alam surga.’
Demikianlah, dengan kemampuan dibba-cakkhu (mata dewa)
yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah
mahluk-mahluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain;
rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita.”
“Inilah, Ambattha, vijja yang dimilikinya, yang lebih
indah dan lebih tinggi daripada yang terdahulu.”
“Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih,
bebas dari nafsu, bebas dari noda, lembut, siap untuk dipergunakan, teguh dan
tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada
pengetahuan tentang penghancuran noda-noda batin (asava).
Demikianlah, ia mengetahui sebagaimana adanya :
‘Inilah dukkha.’
Ia mengetahui sebagaimana adanya : ‘Inilah sebab
dukkha.’
Ia mengetahui sebagaimana adanya : ‘Inilah akhir
dukkha.’
Ia mengetahui sebagaimana adanya : ‘Inilah jalan yang
menuju pada lenyapnya dukkha.’
Ia mengetahui sebagaimana adanya : ‘Inilah asava.’ Ia
mengetahui sebagaimana adanya : ‘Inilah sebab asava.’
Ia mengetahui sebagaimana adanya : ‘Inilah akhir
asava.’
Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah jalan yang
menuju pada lenyapnya asava.’ Dengan mengetahui, melihat demikian, maka
pikirannya terbebas dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda perwujudan
(bhavasava), noda-noda ketidaktahuan (avijjasava). Dengan terbebas demikian,
maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya, dan ia mengetahui : ‘Berakhirlah
kelahiran kembali, terjalani kehidupan suci, selesailah apa yang harus
dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini.’”
“Ambattha, sama halnya seperti dalam suatu lekukan
gunung terdapat sebuah kolam yang bersih, jernih dan terang airnya; dan
seandainya seseorang yang memiliki mata berdiri pada tepinya, melihat di dalam
kolam itu terdapat tiram-tiram, kerang-kerang, batu-batu kerikil, pasir dan
sekawanan ikan yang berenang kian kemari maka ia akan tahu : ‘Kolam ini bersih,
jernih dan tenang airnya. Di dalamnya terdapat tiram-tiram, kerang-kerang,
batu-batu kerikil, pasir dan sekawanan ikan yang berenang kian kemari.’”
“Demikian pula, Ambattha, dengan pikiran yang telah
terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lembut, siap untuk
dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu mempergunakan dan
mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda batin
(asava).
Demikianlah, ia mengetahui sebagaimana adanya :
‘Inilah dukkha.’
Ia mengetahui sebagaimana adanya ‘Inilah sebab
dukkha.’
Ia mengetahui sebagaimana adanya : ‘Inilah akhir
dukkha.’
Ia mengetahui sebagaimana adanya : ‘Inilah jalan yang
menuju pada lenyapnya dukkha.’
Ia mengetahui sebagaimana adanya : ‘Inilah asava.’ Ia
mengetahui sebagaimana adanya : ‘Inilah sebab asava.’
Ia mengetahui sebagaimana adanya : ‘Inilah akhir
asava.’
Ia mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah jalan yang
menuju pada lenyapnya asava.’
Dengan mengetahui, melihat demikian, maka pikirannya
terbebas dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda perwujudan (bhavasava),
noda-noda ketidaktahuan (avijjasava). Dengan terbebas demikian, maka timbullah
pengetahuan tentang kebebasannya, dan ia mengetahui : ‘Berakhirlah kelahiran
kembali, terjalani kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada
lagi kehidupan sesudah ini.’”
“Inilah, Ambattha, bhikkhu yang memiliki vijja-carana
yang sempurna. Ambattha, inilah vijja-carana yang sempurna, yang lebih indah
dan lebih tinggi daripada yang terdahulu. Tidak ada vijja-carana yang lebih
mulia dan lebih tinggi daripada ini.”
3.
“Ambattha, ada
empat sebab-keruntuhan (apayamukha) bagi kesempurnaan vijja dan carana. Apakah
empat itu ? Dalam hal ini, Ambattha, seorang samana atau brahmana yang belum
mencapai kesempurnaan vijja dan carana, yang dengan bermacam-macam keranjang di
pundaknya untuk membawa kayu bakar, tempat air, jarum dan barang-barang
keperluan petapa yang lain) masuk ke dalam hutan, dan berkata :
‘Selanjutnya aku akan hidup hanya dari buah-buahan
yang jatuh sendiri.’
Maka, sesungguhnya, ia hanya pantas menjadi pelayan
orang yang telah mencapai kesempurnaan vijja dan carana. Inilah, Ambattha,
sebab-keruntuhan bagi kesempurnaan vijja dan carana yang pertama.”
"Dalam hal ini, Ambattha, seorang samana atau
brahmana yang belum mencapai kesempurnaan vijja dan carana, tidak mampu hidup
hanya dari buah-buahan yang jatuh sendiri; yang dengan membawa sekop dan
keranjang masuk ke dalam hutan dan berkata :
‘Selanjutnya aku hanya akan hidup dari umbi-umbian,
akar-akaran dan buah-buahan.’
Maka, sesungguhnya ia hanya pantas menjadi pelayan
orang yang telah mencapai kesempurnaan vijja dan carana. Inilah, Ambattha,
sebab keruntuhan bagi kesempurnaan vijja dan carana yang kedua.”
"Dalam hal ini, Ambattha, seorang samana atau
brahmana yang belum mencapai kesempurnaan vijja dan carana, tidak mampu hidup
hanya dari buah-buahan yang jatuh sendiri, tidak mampu hidup hanya dari
umbi-umbian, akar-akaran dan buah-buahan; membangun tempat pemujaan api di
dekat perbatasan desa atau kota dan berdiam di sana mengabdi pada dewa api.
Maka, sesungguhnya ia hanya pelayan orang yang telah mencapai kesempurnaan
vijja dan carana. Inilah, Ambattha, sebab keruntuhan bagi kesempurnaan vijja
dan carana yang ketiga.”
"Dalam hal ini, Ambattha, seorang samana atau
brahmana yang belum mencapai kesempurnaan vijja dan carana, tidak mampu hidup
hanya dari buah-buahan yang jatuh sendiri, tidak mampu hidup hanya dari
umbi-umbian, akar-akaran dan buah-buahan, tidak mampu mengabdi pada dewa api;
membangun rumah berpintu empat di perempatan jalan besar dan berdiam di sana,
berkata:
‘Samana atau brahmana siapa pun juga yang melewati
salah satu dari empat jurusan ini, aku akan menjamunya sesuai dengan kemampuan
dan kekuatanku.
’ Maka, sesungguhnya ia hanya pelayan orang yang telah
mencapai kesempurnaan vijja dan carana. Inilah, Ambattha, sebab keruntuhan bagi
kesempurnaan vijja dan carana yang keempat.
Ambattha, inilah empat sebab keruntuhan bagi
kesempurnaan vijja dan carana.”
4.
“Bagaimanakah
pendapatmu, Ambattha ? Sudahkah engkau dilatih oleh gurumu dalam kesempurnaan
vijja dan carana ini ?”
"Belum, Gotama, siapakah yang sudah melatih aku
dalam kesempurnaan vijja dan carana ini ? Gotama, aku belum pernah dilatih
dalam kesempurnaan vijja dan carana ini.”
"Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Walaupun
belum mencapai kesempurnaan vijja dan carana ini, sudahkah engkau, dengan
membawa bermacam-macam keranjang (untuk membawa kayu bakar, tempat air, jarum
dan barang-barang keperluan petapa yang lain) masuk ke dalam hutan, berlatih :
‘Selanjutnya aku akan hidup hanya dari buah-buahan yang jatuh sendiri ?’ “
”Belum, Gotama.”
"Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Walaupun
belum mencapai kesempurnaan vijja dan carana, belum mampu hidup hanya dari
buah-buahan yang jatuh sendiri, sudahkah engkau, dengan membawa sekop dan
keranjang masuk ke dalam hutan, berlatih : ‘Selanjutnya aku akan hidup hanya
dari umbi-umbian, akar-akaran dan buah-buahan?’ “
”Belum, Gotama.”
"Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Walaupun
belum mencapai kesempurnaan vijja dan carana, belum mampu hidup hanya dari
buah-buahan yang jatuh sendiri, belum mampu hidup hanya dari umbi-umbian,
akar-akaran dan buah-buahan; sudahkah engkau, dengan membangun tempat pemujaan
api di dekat perbatasan desa atau kota, berdiam di sana dan berlatih mengabdi
kepada dewa api ?”
“Belum, Gotama.”
“Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Walaupun belum
mencapai kesempurnaan vijja dan carana, belum mampu hidup hanya dari
buah-buahan yang jatuh sendiri, belum mampu hidup hanya dari umbi-umbian,
akar-akaran dan buah-buahan, belum mampu mengabdi kepada dewa api; sudahkah
engkau, dengan membangun rumah berpintu empat di perempatan jalan besar,
berdiam di sana dan berlatih : ‘Samana atau brahmana siapa pun juga yang
melewati salah satu dari empat jurusan ini, aku akan menjamunya sesuai dengan
kemampuan dan kekuatanku ?’ ”
“Belum, Gotama.”
5.
“Maka,
Ambattha, sebagai seorang murid engkau telah melalaikan latihan dalam
kesempurnaan vijja dan carana, bahkan juga melalaikan latihan dalam empat sebab
kemerosotan itu yang merupakan rintangan bagi perkembangan kesempurnaan vijja
dan carana. Dan gurumu brahmana Pokkharasadi, Ambattha, yang telah mengucapkan
kata-kata ini : ‘Siapakah orang berkepala gundul, petapa palsu, kaum budak
hitam, keturunan kaum sudda ini yang ingin berdiskusi dengan kaum brahmana yang
pandai dalam Tri-Veda’; ia sendiri bahkan belum menyelesaikan salah satu pun
dari tugas-tugas ringan ini (yang menjadikan ia lalai akan tugas-tugas yang
lebih tinggi). Lihatlah, Ambattha, betapa dalamnya kesalahan gurumu brahmana
Pokkharasadi itu.”
6.
“Ambattha,
brahmana Pokkharasadi menikmati pemberian Raja Pasenadi Kosala. Tetapi Raja
Pasenadi Kosala tidak mengijinkan ia untuk berhadapan muka dengannya. Bilamana
raja berdiskusi dengannya, raja hanya berbicara dari balik tirai. Mengapa, Ambattha,
ia yang menerima bantuan yang murni dan tulus dari Raja Pasenadi Kosala, tetapi
raja tidak mengijinkan ia berhadapan muka dengannya ? Lihatlah, Ambattha,
betapa dalamnya kesalahan gurumu brahmana Pokkharasadi itu.”
7.
“Sekarang
bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Seandainya Raja Pasenadi Kosala, sewaktu
dengan duduk di atas leher gajah, atau di atas punggung kuda, atau berdiri di
atas permadani keretanya, membicarakan beberapa putusan negara dengan para
menteri atau panglimanya. Kemudian, setelah raja meninggalkan tempat itu dan
berdiri di samping tempat itu, seorang pekerja (sudda) atau budak-pekerja
(sudda-dasa) datang dan berdiri di situ, membicarakan hal itu :
‘Demikian yang dikatakan oleh Raja Pasenadi Kosala.’
Walaupun ia berbicara seperti apa yang telah diucapkan
atau dibicarakan oleh Sang Raja; dan karena hal itu apakah ia akan menjadi raja
atau salah seorang menterinya ?”
"Sudah tentu tidak, Gotama.”
8.
“Demikian juga,
Ambattha : ‘Para resi dari kaum brahmana jaman dahulu, pengarang mantra,
pembaca mantra; yang bentuk lama syair-syairnya telah dinyanyikan, dirapalkan
atau digubah. Dan para brahmana sekarang membacakan atau memperdengarkan
kembali, melagukan atau merapalkan kembali sama seperti yang pernah dilagukan
atau dirapalkan; yaitu : Atthaka, Vamaka, Vamadeva, Vessamitta, Yamataggi,
Angirasa, Bharadvaja, Vasettha, Kassapa dan Bhagu dan walaupun engkau dapat
mengatakan : ‘Aku, sebagai seorang murid hafal mantra-mantra mereka’; sehingga
karena hal itu engkau menjadi seorang resi atau telah mencapai keadaan seorang
resi; keadaan yang demikian tidak dapat terjadi.”
9.
“Sekarang
bagaimana pendapatmu, Ambattha ? Apakah engkau pernah mendengar, sewaktu para
brahmana yang lanjut usianya atau para guru dari guru-gurumu yang berusia tua
sedang bercakap-cakap bersama ? Apakah para resi dari kaum brahmana jaman
dahulu, pengarang mantra, pembaca mantra; yang bentuk lama syair-syairnya telah
dinyanyikan, dirapalkan atau digubah; dan para brahmana sekarang membaca atau
memperdengarkan, melagukan atau merapalkan kembali sama seperti yang pernah
dilagukan atau dirapalkan, yaitu : Atthaka, Vamaka, Vamandeva, Vessamitta,
Yamataggi, Angirasa, Bharadvaja, Vasettha, Kassapa dan Bhagu dimandikan dan
diminyaki tubuhnya; rambut dan janggutnya diatur rapi; dihiasi dengan rangkaian
bunga dan permata; mengenakan jubah putih; memiliki, menyerahkan dan memanjakan
diri dalam lima kesenangan indria; seperti apa yang engkau dan gurumu lakukan
sekarang ?”
"Tidak, Gotama.”
"Apakah mereka makan nasi dari jenis beras yang
terbaik, yang noda-noda hitamnya telah disingkirkan dan ditambah dengan
bermacam-macam kuah dan lauk; seperti apa yang engkau dan gurumu lakukan
sekarang ?”
"Tidak, Gotama.”
"Apakah mereka pergi mengendarai kereta yang oleh
kuda-kuda betina yang bulu suri dan ekornya dijalin, sambil membawa tongkat
panjang dan cemeti; seperti apa yang engkau dan gurumu lakukan sekarang ?”
"Tidak, Gotama.”
"Apakah mereka harus dijaga dalam kota-kota yang
dibentengi dengan galian parit di sekelilingnya serta diletakkan palang-palang
di depan pintu-pintu gerbang; seperti apa yang engkau dan gurumu lakukan
sekarang ?”
“Tidak, Gotama.”
10. “Dengan demikian, Ambattha, engkau dan gurumu bukanlah
seorang resi; engkau dan gurumu juga tidak menempuh cara hidup seperti yang
dilakukan oleh para resi itu. Tetapi, Ambattha apa pun juga keragu-raguan dan
kebingunganmu tentang diriku, tanyakanlah hal itu kepadaku. Aku akan
menjelaskannya dengan keterangan.”
11. Kemudian Sang Bhagava keluar dari kamarnya, dan mulai
berjalan ke sana kemari (cankamana). Ambattha juga keluar dari kamar itu dan
mulai berjalan ke sana kemari. Sewaktu Ambattha berjalan ke sana kemari
mengikuti Sang Bhagava ia memeriksa apakah pada tubuh Sang Bhagava terdapat
tiga puluh dua tanda tubuh manusia besar atau tidak. Dan Ambattha melihat tiga
puluh dua tanda manusia besar itu semua terdapat pada tubuh Sang Bhagava,
kecuali dua. Mengenai dua tanda tubuh manusia besar, yaitu kemaluan yang
tersembunyi di balik jubah dan panjangnya lidah; ia merasa ragu-ragu, bingung,
tidak puas dan tidak yakin.
12. Dan Sang Bhagava berpikir : “Ambattha telah melihat
seluruh tiga puluh dua tanda manusia besar yang terdapat pada tubuhku kecuali
yang dua. Mengenai dua tanda manusia besar, yaitu kemaluan yang tersembunyi di
balik jubah dan panjangnya lidah; ia merasa ragu-ragu, bingung, tidak puas dan
tidak yakin.
”Kemudian Sang Bhagava mengatur dengan kekuatan
iddhi-nya sehingga Ambattha dapat melihat bahwa kemaluan Sang Bhagava
terbungkus dalam kantung (seperti kemaluan gajah). Selanjutnya Sang Bhagava
menjulurkan lidahnya sampai menyentuh dan mengenai kedua telinganya; menyentuh
dan mengenai kedua lubang hidungnya; serta menutupi seluruh keliling keningnya
dengan lidahnya. Ambattha berpikir :
“Samana Gotama memiliki seluruh tiga puluh dua tanda
manusia besar, tidak hanya sebagian saja.”
Dan ia berkata kepada Sang Bhagava :
“Gotama, sekarang kami akan mohon diri. Kami masih
banyak tugas. Banyak hal yang harus kami kerjakan.”
"Silahkan, Ambattha, kerjakanlah apa yang
nampaknya pantas bagimu.”
Kemudian Ambattha menaiki keretanya yang ditarik oleh
kuda-kuda betina, dan meninggalkan tempat itu.
13. Pada waktu itu brahmana Pokkharasadi telah pergi dari
Ukkatha bersama dengan sejumlah besar brahmana dan berdiam di tempat tinggalnya
sendiri, menunggu kedatangan Ambattha disana. Dan Ambattha berangkat menuju ke
tempat tinggal brahmana Pokkharasadi. Setelah ia melanjutkan perjalanan dengan
naik kereta sejauh jalan masih dapat dilalui oleh kendaraan, selanjutnya ia
turun dari keretanya dan berjalan kaki menemui brahmana Pokkharasadi. Setelah
bertemu, ia memberi hormat kepada brahmana Pokkharasadi dan duduk di salah satu
sisinya. Dan setelah ia duduk di salah satu sisinya, brahmana Pokkharasadi
berkata kepadanya :
14. “Baiklah, Ambattha, apakah engkau bertemu dengan Yang
Mulia Gotama ?”
"Ya, Guru, aku telah bertemu dengan Yang Mulia
Gotama.”
"Baiklah, Ambattha; apakah berita yang telah
tersebar luas mengenai Yang Mulia Gotama itu sesuai dengan kenyataan atau tidak
? Apakah keadaan diri Yang Mulia Gotama seperti yang mereka katakan itu atau
tidak ?”
"Guru, berita yang telah tersebar luas mengenai
diri Yang Mulia Gotama itu sesuai dengan kenyataan; bukannya tidak sesuai
dengan kenyataan. Keadaan diri Yang Mulia Gotama itu seperti apa yang mereka
katakan; bukannya tidak seperti apa yang mereka katakan. Samana Gotama memiliki
seluruh tiga puluh dua tanda manusia besar, tidak hanya sebagian saja.”
"Dan apakah engkau bercakap-cakap dengan Samana
Gotama, Ambattha ?”
"Ya, Guru, aku telah bercakap-cakap dengan Samana
Gotama.”
"Bagaimanakah berlangsungnya percakapan yang
engkau lakukan dengan Samana Gotama itu, Ambattha ?”
Kemudian Ambattha menceriterakan seluruh percakapan
yang ia lakukan dengan Sang Bhagava kepada brahmana Pokkharasadi.
15. Ketika Ambattha selesai berbicara demikian, brahmana
Pokkharasadi berkata kepadanya : “O, engkau orang benar-benar pandai. O, engkau
orang yang benar-benar terpelajar. O, engkau orang yang benar-benar ahli Tri
Veda. Orang-orang mengatakan; seseorang yang menjalankan tugasnya semacam
dirimu, pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, harus lahir kembali dalam
apaya (alam celaka), duggati (alam rendah), Vinipata (alam keruntuhan) dan
neraka. Ambattha, apakah yang dapat membawa Yang Mulia Gotama membuat
pernyataan-pernyataan seperti itu jika bukan karena kata-katamu yang menghina
Yang Mulia Gotama itu ? O, engkau orang yang benar-benar pandai. O, engkau
orang yang benar-benar terpelajar. O, engkau orang yang benar-benar ahli Tri
Veda. Orang-orang mengatakan; seseorang yang menjalankan tugasnya semacam
dirimu, pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati harus lahir kembali dalam
apaya (alam celaka), duggati (alam rendah), vinipata (alam keruntuhan) dan
neraka.
”Karena marah dan merasa tidak senang, ia menendang
dengan kakinya dan menggulingkan Ambattha. Seketika itu juga brahmana
Pokkharasadi ingin pergi sendiri menemui Sang Bhagava.
16. Kemudian para brahmana yang berada di sana berkata
demikian kepada brahmana Pokkharasadi :
“Yang Mulia, hari ini terlalu malam untuk pergi
menemui Samana Gotama. Besok Yang Mulia Pokkharasadi dapat pergi menemui Samana
Gotama.”
Selanjutnya brahmana Pokkharasadi menyuruh
mempersiapkan makan-makanan yang lezat, yang keras maupun yang lunak di
rumahnya sendiri; dengan naik kereta dan membawa obor ia meninggalkan Ukkattha,
menuju ke Hutan Icchanankala. Setelah melanjutkan perjalanan dengan naik kereta
sejauh jalan masih dapat dilalui oleh kendaraan, selanjutnya ia turun dari
keretanya dan berjalan kaki menemui Sang Bhagava. Setelah saling bertukar
salam, mengucapkan kata-kata persahabatan dan sopan santun dengan Sang Bhagava,
ia duduk di sebelahnya. Setelah duduk di sebelahnya, brahmana Pokkharasadi
berkata kepada Sang Bhagava :
17. “Gotama, apakah muridku, pemuda brahmana Ambattha
telah datang kemari ?”
"Ya, brahmana, pemuda Ambattha telah datang
kemari.”
"Apakah engkau telah bercakap-cakap dengan
Ambattha, Gotama ?”
"Ya, brahmana, Aku telah bercakap-cakap dengan
Ambattha.”
"Bagaimanakah berlangsungnya percakapan yang
engkau lakukan dengan pemuda Ambattha itu, Gotama ?”
Kemudian Sang Bhagava menceriterakan seluruh
percakapan yang telah Beliau lakukan dengan Ambattha kepada brahmana
Pokkharasadi. Kemudian brahmana Pokkharasadi berkata kepada Sang Bhagava :
“Gotama, pemuda Ambattha bodoh. Maafkanlah Ambattha, Gotama.”
“Biarlah pemuda Ambattha berbahagia, brahmana.”
18. Kemudian brahmana Pokkharasaddi memeriksa tiga puluh
dua tanda manusia besar yang terdapat pada tubuh Sang Bhagava. Dan brahmana
Pokkharasadi melihat tiga puluh dua tanda manusia besar itu semua terdapat,
pada tubuh Sang Bhagava, kecuali dua. Mengenai dua tanda manusia besar, yaitu :
kemaluan yang tersembunyi di balik jubah dan panjangnya lidah; Ia merasa
ragu-ragu, bingung, tidak puas dan tidak yakin.”
19. Dan Sang Bhagava berpikir :
“Brahmana Pokkharasadi telah melihat seluruh tiga
puluh dua tanda manusia besar yang terdapat pada tubuhKu kecuali yang dua.
Mengenai dua tanda manusia besar, yaitu : kemaluan yang tersembunyi di balik
jubah dan panjangnya lidah; ia merasa ragu-ragu, bingung, tidak puas dan tidak
yakin.”
Kemudian Sang Bhagava mengatur dengan kekuatan
iddhi-Nya sehingga brahmana Pokkharasadi dapat melihat bahwa kemaluan Sang
Bhagava terbungkus dalam kantung (seperti kemaluan gajah). Selanjutnya Sang
Bhagava menjulurkan lidahnya sampai menyentuh dan mengenai kedua telingaNya;
menyentuh dan mengenai kedua lubang hidungnya; serta menutupi seluruh keliling
keningNya dengan lidahnya. Brahmana Pokkharasadi berpikir :
“Samana Gotama memiliki seluruh tiga puluh dua tanda
manusia besar, tidak hanya sebagian saja.”
Dan ia berkata kepada Sang Bhagava :
”Sudilah besok Sang Bhagava bersedia menerima undangan
makan dariku bersama dengan bhikkhu-sangha.”
Dan Sang Bhagava menerimanya dengan berdiam diri.
20. Kemudian, setelah melihat Sang Bhagava bersedia
menerimanya, brahmana Pokkharasadi memberitahu Sang Bhagava bahwa saatnya
(keesokan harinya) telah tiba :
“Waktunya telah tiba, Gotama; makanan telah siap.”
Kemudian pada pagi hari, dengan mengenakan jubah luar
dan membawa mangkuk-Nya, Sang Bhagava bersama dengan bhikkhu-sangha berangkat
menuju ke rumah brahmana Pokkharasadi; setelah sampai, Beliau duduk pada tempat
duduk yang telah disediakan untuk-Nya. Dan dengan tangannya sendiri, brahmana
Pokkharasadi melayani Sang Bhagava beserta bhikkhu-sangha dengan makan-makanan
yang lezat, yang keras maupun yang lunak; sampai Beliau merasa puas. Setelah
Sang Bhagava selesai makan, membersihkan mangkuk dan tangan-Nya. Brahmana
Pokkharasadi mengambil tempat duduk yang lebih rendah dan duduk di samping
Beliau.
21. Setelah brahmana Pokkharasadi duduk, Sang Bhagava
memberikan uraian Dhamma dalam urutan bertahap, yaitu : uraian tentang dana
(kemurahan hati); uraian tentang sila (moralitas); uraian tentang sagga
(surga); uraian tentang bahaya-bahaya, kesia-siaan dan noda-noda dari nafsu;
serta manfaatnya pelepasan diri dari nafsu-nafsu. Dan ketika Sang Bhagava
melihat bahwa pikiran brahmana Pokkharasadi telah siap, lembut, bebas dari
rintangan, tenang dan yakin; kemudian Beliau menerangkan Dhamma yang hanya
diketemukan oleh para Buddha saja, yaitu : Ajaran tentang dukkha, sebab dukkha,
akhir dukkha dan jalan untuk mengakhiri dukkha. Dan sama seperti halnya
sepotong kain yang telah bersih dari segala noda akan siap untuk dicelup;
demikian pula dengan diri brahmana Pokkharasadi, sewaktu sedang duduk disana,
timbullah Mata Kebenaran (Dhammacakkhu) yang murni tanpa noda :
“Segala sesuatu yang timbul pasti akan mengalami
kehancuran” (Yam kinci samudaya – dammam saban tam niroddha dhammam).
22. Kemudian brahmana Pokkharasadi, sebagai seorang yang
telah menyadari Dhamma, memperoleh Dhamma, mengerti Dhamma, menembus kedalam
Dhamma; yang telah mengatasi keragu-raguan, menyingkirkan kebingungan dan telah
memperoleh keyakinan; yang tidak lagi tergantung kepada orang lain atas
pengetahuannya tentang Ajaran Sang Buddha, berkata kepada Sang Bhagava :
”Sungguh mengagumkan, Gotama. Sungguh mengagumkan,
Gotama. Sama seperti halnya seseorang menegakkan kembali apa yang telah roboh,
memperlihatkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan benar kepada ia yang
tersesat, atau memberikan cahaya dalam kegelapan agar mereka yang mempunyai
mata dapat melihat benda-benda di sekitarnya. Demikian pula, dengan berbagai
macam cara Dhamma telah dikabarkan oleh Gotama kepadaku. Dan sekarang, Gotama,
aku beserta putra-putraku, istriku, orang-orangku dan sahabat-sahabatku
menyatakan berlindung kepada Gotama Sang Bhagava, Dhamma serta Sangha. Semoga
Yang Mulia Gotama sudi menerima aku sebagai seorang upasaka, yang mulai hari
ini sampai selama-lamanya, telah menyatakan berlindung kepada Buddha, Dhamma
serta Sangha. Dan sama seperti Yang Mulia pergi mengunjungi para keluarga
upasaka di Ukkattha, maka biarlah Yang Mulia Gotama juga mengunjungi keluarga
Pokkharasadi. Siapapun juga yang berada di sana, apakah para brahmana atau
istri-istrinya, yang akan memberi hormat pada Yang Mulia Gotama, atau
menyambut-Nya dengan berdiri, atau mempersembahkan tempat duduk dan air
kepada-Nya, atau merasa gembira dan yakin dengan-Nya, maka biarlah hal itu
menjadi sebab kebahagiaan dan kesejahteraan baginya untuk waktu yang
lama.”"Sungguh baik, brahmana, apa yang telah engkau katakan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar