INTI SARI AGAMA BUDDHA
Penyusun : Pandita S. Widyadharma
NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO
SAMMA-SAMBUDDHASSA
Bab.
I
PENDAHULUAN
1. RIWAYAT
HIDUP BUDDHA GAUTAMA
Ayah
dari Pangeran Siddharta adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan
ibunya adalah Sri Ratu Mahä Mäyä Dewi. Ibunda Ratu meninggal dunia tujuh hari
setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau terlahir di alam
Tusita, yaitu alam sorga luhur. Sejak itu maka yang merawat Pangeran Siddharta
adalah Mahä Pajäpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.
Pangeran
Siddharta dilahirkan pada tahun 623 Sebelum Masehi di Taman Lumbini. Oleh para
pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran Siddharta
kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi Seorang Buddha. Hanya
pertapa Kondañña yang dengan pasti meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan
menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena
apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya.
Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran
jangan sampai melihat empat macam peristiwa, atau ia akan menjadi pertapa dan
menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah : 1. Orang tua, 2. Orang
sakit, 3. Orang mati, 4. Seorang pertapa.
Sejak
kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan
sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang
masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Dalam usia 16 tahun
Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah
memenangkan berbagai sayembara. Ternyata akhirnya Sang Pangeran melihat empat
peristiwa yang selalu diusahakan agar tidak berada di dalam penglihatannya,
setelah itu Pangeran Siddharta tampak murung dan kecewa melihat kenyataan hidup
yang penuh dengan derita ini.
Ketika
beliau berusia 29 tahun, putera pertamanya lahir dan diberi nama Rahula.
Setelah itu Pangeran Siddharta meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk
pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua,
sakit dan mati.
Pertapa
Siddharta berguru kepada Alära Käläma dan kemudian kepada Uddaka Ramäputra,
tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian
beliau bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Akhirnya
beliau juga meninggalkan cara yang ekstrim itu dan bermeditasi di bawah pohon
Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.
Dalam
usia 35 tahun pertapa Siddharta memperoleh Penerangan Agung, menjadi Buddha di
bawah pohon Bodhi di hutan Uruvela (kini tempat tersebut disebut Buddha Gaya).
Untuk pertama kalinya Beliau mengajarkan Dhamma yang maha sempurna kepada lima
orang pertapa kawan Beliau di Taman Rusa Isipatana di dekat Benares. Adapun kelima
orang pertapa itu adalah Kondañña, Bodhiya, Vappa, Mahanama dan Assaji.
Setelah
mendengarkan khotbah Sang Buddha, Kondañña, segera menjadi Sotapanna dan
kemudian menjadi Arahat. Yang lainnya pun menyusul menjadi Arahat. Khotbah
pertama ini kemudian dikenal sebagai Khotbah Pemutaran Roda Dhamma (Dhamma
Cakka Pavattana Sutta). Selanjutnya Sang Buddha sangat giat mengajarkan Dhamma
kepada para siswaNya sampai Beliau mangkat di Kusinara dalam usia 80 tahun.
TIMBULNYA DUA ALIRAN
BESAR
Segera
setelah Buddha Gautama mencapai Pari-Nibbana, maka diadakanlah Sidang Agung
(Sanghasamaya) yang pertama di kota Rajagaha (543 S.M.). Sidang ini dipimpin
oleh Y.A. Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang bhikkhu yang semuanya telah
mencapai tingkat Arahat.
Maksud
dari sidang ini ialah untuk menghimpun Ajaran-ajaran dari Buddha Gautama yang
diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada orang-orang yang berlainan
dan pada waktu yang berlainan pula selama 45 tahun. Dalam sidang tersebut Y.A.
Upali mengulang tata-tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni (Vinaya) dan Y.A.
Ananda mengulang khotbah-khotbah (Sutta) dari Buddha Gautama. Ajaran-ajaran dan
khotbah-khotbah ini dihafalkan di luar kepala dan diajarkan lagi kepada orang
lain dari mulut ke mulut.
Sidang
Agung ke-dua diadakan di kota Vesali lebih kurang 100 tahun kemudian (l.k. 443
S.M.). Sidang ini diadakan untuk membicarakan tuntutan segolongan bhikkhu
(golongan Mahasangika), yang menghendaki agar beberapa peraturan tertentu dari
Vinaya, yang dianggap terlalu keras, dirobah atau diperlunak. Dalam sidang ini
golongan Mahasangika dikalahkan dan sidang memutuskan untuk tidak merobah
Vinaya yang sudah ada.
Sidang
Agung ke-tiga diadakan lebih kurang 230 tahun setelah Sidang Agung pertama
(l.k. 313 S.M.), di ibu kota kerajaan Asoka, yaitu Pataliputta. Sidang ini
dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta dan bertujuan menertibkan beberapa
perbedaan pendapat yang menyebabkan perpecahan di dalam Sangha. Di samping itu
sidang memeriksa kembali dan menyempurnakan Kanon (Kitab Suci) Pali. Di Sidang
Agung ke-tiga ini Ajaran Abidhamma diulang secara tersendiri, sehingga dengan
demikian lengkaplah sudah Kanon Pali yang terdiri dari tiga kelompok besar,
meskipun masih belum dituliskan dalam kitab-kitab dan masih dihafal di luar
kepala. Golongan bhikkhu-bhikkhu yang terkena penertiban meninggalkan golongan
Sthaviravada (pendahulu dari golongan yang sekarang dikenal sebagai Theravada)
dan mengungsi ke arah Utara.
Sidang
Agung ke-empat diadakan di Srilangka pada 400 tahun setelah Buddha Gautama meninggal
dunia dan dipimpin oleh seorang anak dari Raja Asoka, yaitu Mahinda. Sidang ini
berhasil untuk secara resmi menulis Ajaran-Ajaran Buddha Gautama di daun-daun
lontar yang kemudian dijadikan buku Tipitaka dalam bahasa Pali.
Sidang
Agung ke-lima diadakan di Kanishka oleh Raja Kanishka pada kurang lebih 600
tahun setelah Buddha Gautama meninggal dunia. Sidang ini diadakan oleh mereka
yang memisahkan diri dari golongan Sthaviravada dan di sidang ini buku Tipitaka
menurut pandangan golongan Mahayana secara resmi ditulis dalam bahasa
Sansekerta.
Catatan :
Buddha
Gautama bukanlah Buddha yang pertama di dalam masa-dunia ini (masa-dunia atau
kalpa ; satu kalpa lamanya kurang lebih 4.320.000.000 tahun). Buddha-Buddha
sebelumnya adalah Buddha Kakusandha, Buddha Konagamana, Buddha Kassapa, Buddha
yang akan datang adalah Buddha Mettaya (Maitreya).
Menurut
Buddha Gautama, Ajaran Beliau akan dapat bertahan selama lebih kurang 5.000
tahun; setelah itu Ajaran Beliau akan demikian diselewengkan, sehingga mungkin
masih ada yang menggunakan nama Agama Buddha, tetapi ajarannya akan jauh sekali
berbeda dengan Ajaran Beliau yang asli. Karena itu akan datang kembali Seorang
Buddha lain yang akan dikenal sebagai Buddha Mettaya (Maitreya).
2. SEJARAH PERKEMBANGAN
AGAMA BUDDHA DI INDONESIA
Pada
jaman dahulu orang-orang di Indonesia menyembah dan memuja roh leluhurnya.
Leluhur dianggap sebagai yang telah berjasa dan mempunyai banyak pengalaman.
Roh leluhur, Hyang atau Dahyang namanya, menurut kepercayaan pada waktu itu
dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat digunakan oleh orang-orang yang
masih hidup. Kekuatan gaib itu diperlukan jika orang akan memulai suatu
pekerjaan yang penting, misalnya akan berangkat perang, akan memulai
mengerjakan tanah dan lain sebagainya.
Mereka
juga percaya bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan
sebagainya dihuni oleh roh-roh. Ada kalanya benda-benda senjata-senjata
dianggap bertuah, sakti dan dijadikan jimat oleh pemiliknya.
Upacara
pemujaan roh leluhur harus diatur sebaik-baiknya agar restunya mudah diperoleh.
Dan pertunjukkan wayang, suatu bentuk kebudayaan Indonesia, erat hubungannya
dengan upacara tersebut. Kepercayaan
kepada "HYANG" masih dapat juga kita lihat sampai saat ini.
Jaman Sriwijaya.
Sriwijaya
bukan saja termashyur karena kekuatan angkatan perangnya, melainkan juga karena
merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Buddha. Di sana terdapat banyak vihara yang
dihuni oleh ribuan bhikkhu. Pada Perguruan Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya
orang dapat mengikuti selain kuliah-kuliah tentang Agama Buddha juga
kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan Bahasa Indonesia Kuno.
Pujangga-Pujangga Agama Buddha yang terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirti
pernah mengajar di Perguruan Tinggi tersebut. Pada waktu itu Sriwijaya merupakan
mercusuar Agama Buddha di Asia Tenggara yang memancarkan cahaya budaya manusia
yang cemerlang.
Tentang
Agama Buddha di Sriwijaya juga banyak diceritakan oleh seorang sarjana Agama
Buddha dari Tiongkok yang bernama I-Tsing. Dalam tahun 672 ia bertolak untuk
berziarah ke tempat-tempat suci Agama Buddha di India. Waktu pulang dalam tahun
685 ia singgah di Sriwijaya dan tinggal di sana sampai 10 tahun lamanya untuk
mempelajari dan menyalin buku-buku suci Agama Buddha dalam bahasa Sansekerta ke
dalam bahasa Tionghoa.
Sriwijaya
yang berada di pulau Sumatera didirikan pada kira-kira abad ke-7 dan dapat
bertahan terus hingga tahun 1377.
Jaman Sailendra di
Mataram.
Pada
tahun 775 hingga tahun 850 di daerah Bagelen dan Yogyakarta berkuasalah
raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk Agama Buddha. Jaman ini adalah
jaman keemasan bagi Mataram, dan negara di bawah pemerintahannya aman dan
makmur. Ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang Agama Buddha sangat
maju. Dan kesenian, terutama seni pahat, mencapai taraf yang sangat tinggi.
Pada
waktu itu seniman-seniman bangsa Indonesia menghasilkan karya-karya seni yang
mengagumkan. Hingga sekarang pun masih dapat kita saksikan betapa indahnya
candi-candi yang mereka buat misalnya :
a. Candi Kalasan. Candi ini terletak di sebelah
timur laut kota Yogyakarta dan didirikan di tahun 778 oleh Rakai Panakaran atas
perintah Raja Sailendra.
b. Candi
Sewu. Candi ini terletak di Prambanan (perbatasan Solo - Yogya) dan didirikan
di tahun 800.
c. Candi-candi Borobudur, Pawon, Mendut.
Candi-candi ini terletak dekat kota Muntilan dan didirikan di tahun 825 atas
perintah Raja Sailendra yang bernama Samarotungga.
Kecuali
candi-candi tersebut di atas masih banyak lagi candi-candi yang didirikan atas
perintah Raja-Raja Sailendra, tetapi yang paling besar dan paling indah adalah
candi Borobudur. Setelah Raja Samarotungga meninggal dunia, Mataram kembali
diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namun Agama
Buddha dan Agama Hindu dapat berkembang terus berdampingan dengan rukun dan
damai.
Jaman Majapahit.
Di
dalam masa pemerintahan raja-raja Majapahit (tahun 1292 s/d tahun 1476), Agama
Buddha berkembang dengan baik bersama-sama dengan Agama Hindu. Toleransi
(saling harga-menghargai) di bidang keagamaan dijaga baik-baik, sehingga
pertentangan agama tidak pernah terjadi. Di waktu pemerintahan Raja Hayam
Wuruk, seorang pujangga terkenal, Mpu Tantular, telah menulis sebuah buku yang
berjudul "Sutasoma", di mana terdapat kalimat Bhinneka Tunggal Ika
yang kini dijadikan lambang negara Republik Indonesia yang melambangkan motto
toleransi dan persatuan. Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka
berangsur-angsur agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.
Kebangkitan kembali
Agama Buddha di Indonesia.
Agama
Buddha mulai bangkit kembali di pulau Jawa dengan datangnya Bhikkhu Narada
Thera dari Sri Lanka (Ceylon) di bulan Maret tahun 1934. Selama berada di pulau
Jawa, Bhikkhu Narada Thera antara lain telah melakukan kegiatan-kegiatan sbb. :
a. Memberikan
khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha-Dhamma di beberapa tempat di Jakarta,
Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.
b. Memberkahi
penanaman pohon Bodhi di pekarangan candi Borobudur pada tanggal 10 Maret 1934.
c. Membantu
dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan agama Buddha yang
pertama) di Bogor dan Jakarta.
d. Menjalin
kerja-sama yang erat dengan bhikshu-bhikshu (hweshio-hweshio) dari
kelenteng-kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta,
kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng
Tin kok Sin di Solo dan perhimpunan-perhimpunan Theosofie di Jakarta, Bogor,
Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.
e. Melantik
upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang Beliau kunjungi.
Bapak Maha Upasaka S. Mangunkowotjo, tokoh umat Buddha Jawa-Tengah dan anggota
MPR telah dilantik menjadi upasaka di Yogyakarta oleh Bhikkhu Narada Thera pada
tanggal 10 Maret 1934.
Nama-nama
dari para perintis bangkitnya kembali Agama Buddha di pulau Jawa pada waktu itu
adalah antara lain :
1.
Pandita Josias van Dienst, Deputy
Director General Buddhist Mission, Java Section.
2.
Kwee Tek Hoay, Direktur dan
Redaktur Kepala dari Majalah Moestika Dharma, Jakarta.
3. KE TUHANAN YANG MAHA
ESA DALAM AGAMA BUDDHA
Sang
Buddha mengetahui bahwa ada suatu kekuatanm gaib yang maha dahsyat di alam
semesta ini yang mengatur segala isi dari alam semesta ini.
Siapa
yang berbuat sesuai dengan kekuatan gaib ini akan selamat, dan siapa yang
berbuat bertentangan dengan kekuatan gaib ini akan celaka.
Pada
waktu umat Buddha di Indonesia menyebut-Nya : Yang Maha Esa. Namun dalam
penggunaannya hendaknya jangan dipersonifikasi.
Bab. II
AJARAN SANG BUDDHA
1.
KITAB SUCI AGAMA BUDDHA
Kitab
Suci Agama Buddha yang tertulis dalam Bahasa Pali adalah TIPITAKA, yang terdiri
dari :
1.
Vinaya Pitaka = Yang
berisikan tata-tertib bagi para bhikkhu/bhikkhuni.
2.
Sutta Pitaka = Yang
berisikan khotbah-khotbah Sang Buddha
3. Abidhamma Pitaka = Yang berisikan
Ajaran tentang metafisika dan ilmu kejiwaan.
Sedangkan
yang tertulis dalam bahasa Sansekerta adalah :
1. Avatamsaka Sutra.
2. Lankavatara Sutra.
3. Saddharma Pundarika Sutra.
4. Vajracchendika Prajna Paramita Sutra (Kim
Kong Keng), dan lain-lain.
Dalam
bahasa kawi : Sanghyang Kamahayanikam
2.
KESUNYATAAN DAN KENYATAAN
a.
Paramatha-sacca : Kebenaran mutlak
(absolute truth), dan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Harus benar.
2. Tidak
terikat oleh waktu ; waktu dulu, sekarang dan waktu yang akan datang sama saja.
3. Tidak
terikat oleh tempat ; di sini, di Amerika ataupun di bulan sama saja.
b. Sammuti-sacca
: Kebenaran relatif ; berarti bahwa sesuatu itu benar, tetapi masih terikat
oleh waktu dan tempat.
3.
EHIPASSIKO
Ehipassiko
berarti "datang dan alamilah sendiri". Umat Buddha tidak diminta
untuk percaya saja, tetapi justru untuk mengalami sendiri segala sesuatu. Ini
menunjukkan khas Buddhis, berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Agama-agama
lain.
4.
EMPAT KESUNYATAAN MULIA
I.
Kesunyataan Mulia tentang Dukkha
Hidup
dalam bentuk apa pun adalah dukkha (penderitaan) :
a. dilahirkan,
usia tua, sakit, mati adalah penderitaan.
b. berhubungan
dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan.
c. ditinggalkan
oleh orang yang dicintai adalah penderitaan.
d. tidak
memperoleh yang dicita-citakan adalah penderitaan.
e. masih
memiliki lima khanda adalah penderitaan.
Dukkha dapat juga dibagi sbb. :
a. dukkha-dukkha
- ialah penderitaan yang nyata, yang benar dirasakan sebagai penderitaan
tubuh dan bathin, misalnya sakit kepala, sakit gigi, susah hati dll.
b. viparinäma-dukkha
- merupakan fakta bahwa semua perasaan senang dan bahagia -- berdasarkan
sifat ketidak-kekalan-- di dalamnya mengandung benih-benih kekecewaan,
kekesalan dll.
c. sankhärä-dukkha
- lima khanda adalah penderitaan ; selama masih ada lima khanda
tak mungkin terbebas dari sakit fisik.
II.
Kesunyataan Mulia tentang asal mula
Dukkha
Sumber
dari penderitaan adalah tanhä, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada
habis-habisnya. Semakin diumbar semakin keras ia mencengkeram. Orang yang
pasrah kepada tanhä sama saja dengan orang minum air asin untuk menghilangkan
rasa hausnya. Rasa haus itu bukannya hilang, bahkan menjadi bertambah, karena
air asin itu yang mengandung garam. Demikianlah, semakin orang pasrah kepada
tanhä semakin keras tanhä itu mencengkeramnya.
Dikenal
tiga macam tanhä, yaitu :
1. Kämatanhä
: kehausan
akan kesenangan indriya, ialah kehausan akan :
a.
bentuk-bentuk (indah) d. rasa-rasa (nikmat)
b.
suara-suara (merdu) e. sentuhan-sentuhan (lembut)
c.
wangi-wangian f. bentuk-bentuk pikiran
2. Bhavatanhä
: kehausan
untuk lahir kembali sebagai manusia berdasarkan kepercayaan tentang adanya
"atma (roh) yang kekal dan terpisah" (attavada).
3. Vibhavatanhä
: kehausan
untuk memusnahkan diri, berdasarkan kepercayaan, bahwa setelah mati tamatlah
riwayat tiap-tiap manusia (ucchedaväda).
III.
Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya
Dukkha
Kalau
tanhä dapat disingkirkan, maka kita akan berada dalam keadaan yang bahagia
sekali, karena terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana.
a. Sa-upadisesa-Nibbana = Nibbana masih bersisa. Dengan 'sisa'
dimaksud bahwa lima khanda itu masih ada.
b. An-upadisesa-Nibbana = Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan
mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan
Pari-Nibbana. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat
dilukiskan dengan kata-kata.
Misalnya,
kalau api padam, kejurusan mana api itu pergi? jawaban yang tepat : 'tidak
tahu' Sebab api itu padam karena kehabisan bahan bakar.
IV.
Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju
Lenyapnya Dukkha
Delapan
Jalan Utama (Jalan Utama Beruas Delapan) yang akan membawa kita ke Jalan Menuju
Lenyapnya Dukkha, yaitu :
P a ñ ñ a
1. Pengertian
Benar (sammä-ditthi)
2. Pikiran
Benar (sammä-sankappa)
S i l a
3. Ucapan
Benar (sammä-väcä)
4. Perbuatan
Benar (sammä-kammanta)
5. Pencaharian
Benar (sammä-ajiva)
S a m ä d h i
6. Daya-upaya
Benar (sammä-väyäma)
7. Perhatian
Benar (sammä-sati)
8. Konsentrasi
Benar (sammä-samädhi)
Delapan Jalan Utama ini dapat lebih
lanjut diperinci sbb. :
1.
Pengertian
Benar (sammä-ditthi)
menembus arti dari :
a. Empat
Kesunyataan Mulia
b. Hukum
Tilakkhana (Tiga Corak Umum)
c. Hukum
Paticca-Samuppäda
d. Hukum
Kamma
2. Pikiran
Benar (sammä-sankappa)
a. Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu
keduniawian (nekkhamma-sankappa).
b. Pikiran yang bebas dari kebencian (avyäpäda-sankappa)
c. Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsä-sankappa)
3.
Ucapan Benar (sammä-väcä)
Dapat
dinamakan Ucapan Benar, jika dapat memenuhi empat syarat di bawah ini :
a. Ucapan
itu benar
b. Ucapan
itu beralasan
c. Ucapan
itu berfaedah
d. Ucapan
itu tepat pada waktunya
4.
Perbuatan Benar (sammä-kammanta)
a. Menghindari
pembunuhan
b. Menghindari
pencurian
c. Menghindari
perbuatan a-susila
5.
Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
Lima pencaharian salah harus dihindari
(M. 117), yaitu :
a. Penipuan
b. Ketidak-setiaan
c. Penujuman
d. Kecurangan
e. Memungut
bunga yang tinggi (praktek lintah darat)
Di samping itu seorang siswa harus pula
menghindari lima macam perdagangan , yaitu :
a. Berdagang
alat senjata
b. Berdagang
mahluk hidup
c. Berdagang
daging (atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup)
d. Berdagang minum-minuman yang
memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan
e. Berdagang
racun.
6.
Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)
a. Dengan
sekuat tenaga mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam bathin.
b. Dengan
sekuat tenaga berusaha untuk memusnahkan unsur-unsur jahat dan tidak baik, yang
sudah ada di dalam bathin.
c. Dengan
sekuat tenaga berusaha untuk membangkitkan unsur-unsur baik dan sehat di dalam bathin.
d. Berusaha
keras untuk mempernyata, mengembangkan dan memperkuat unsur-unsur baik dan
sehat yang sudah ada di dalam bathin.
7.
Perhatian Benar (sammä-sati)
Sammä-sati
ini terdiri dari latihan-latihan Vipassanä-Bhävanä (meditasi untuk memperoleh pandangan
terang tentang hidup), yaitu :
a. Käyä-nupassanä
= Perenungan terhadap tubuh
b. Vedanä-nupassanä
= Perenungan terhadap perasaan.
c. Cittä-nupassanä
= Perenungan terhadap kesadaran.
d. Dhammä-nupassanä
= Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran.
8.
Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
Latihan meditasi untuk mencapai
Jhäna-Jhäna.
Siswa yang telah berhasil melaksanakan
Delapan Jalan Utama memperoleh :
1. Sila-visuddhi
- Kesucian
Sila sebagai hasil dari pelaksanaan Sila dan terkikis habisnya Kilesa.
2. Citta-visuddhi
- Kesucian
Bathin sebagai hasil dari pelaksanaan Samadhi dan terkikis habisnya Nivarana.
3. Ditthi-visuddhi - Kesucian
Pandangan sebagai hasil dari pelaksanaan Pañña dan terkikis habisnya Anusaya.
Untuk
lebih jelasnya, hal tersebut di atas akan diterangkan lebih lanjut seperti di
bawah ini :
Asava = Kekotoran bathin, dapat dibagi dalam 3 (tiga)
golongan besar, yaitu:
1. Kilesa =
Kekotoran bathin yang kasar dan dapat
jelas dilihat atau didengar.
2. Nivarana = Kekotoran
bathin yang agak halus, yang agak sukar diketahui.
3. Anusaya = Kekotoran
bathin yang halus sekali dan sangat sukar untuk diketahui.
5.
BHAVANA
Agama
Buddha mengenal 2 (dua) macam meditasi (Bhavana) :
I. Samatha-bhavana
= Meditasi untuk mendapatkan ketenangan bathin melalui Jhäna-Jhäna.
Jhäna pertama : a.
Vitakka = Usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang obyek.
b. Vicära = Pikiran
yang berhasil memegang obyek dengan kuat.
c. Piti = Kegiuran
d. Sukha = Kebahagiaan.
e.
Ekaggata = Pemusatan pikiran yang kuat.
Jhäna
kedua : Vicära, Piti, Sukha, Ekaggata.
Jhäna
ketiga : Piti, Sukha, Ekaggata.
Jhäna
keempat : Sukha, Ekaggata.
Jhäna
kelima : Ekaggata + keseimbangan bathin.
Meditasi
Samatha-bhävanä yang sangat dipujikan ialah Brahma-Vihära-bhävanä yang terdiri
dari :
1. Mettä-bhävanä = Usaha dalam tingkat permulaan untuk
memegang obyek.
2.
Karunä-bhävanä = Meditasi welas-asih
terhadap semua mahluk yang sedang menderita.
3.
Muditä-bhävanä = Meditasi yang
mengandung simpati terhadap kebahagiaan orang lain.
4.
Upekkhä-bhävanä = Meditasi keseimbangan
bathin.
Brahmä-Vihära-bhävanä
dapat juga dipakai untuk melemahkan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan
perbuatan yang tidak baik.
Tiga Akar Perbuatan
Tiga
hal yang di bawah ini dapat disebut sebagai tiga akar atau sumber untuk
melakukan perbuatan, yaitu :
1. Lobha =
Kemelekatan yang sangat terhadap
sesuatu sehingga menimbulkan keserakahan.
2. Dosa =
Penolakan yang sangat terhadap sesuatu
sehingga menimbulkan kebencian.
3. Moha =
Kebodohan ; tidak dapat
menbeda-bedakan mana yang buruk dan mana yang baik.
II. Vipassanä-bhävanä
=
Meditasi untuk memperoleh Pandangan
Terang tentang hidup, tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda.
Latihan-latihan
Vipassanä-bhävanä sudah diterangkan sewaktu membahas Perhatian Benar
(sammä-sati).
Tujuan
dari latihan-latihan bhävanä ialah untuk menyingkirkan Nivarana (lihat
pembahasan Asava) yang dianggap sebagai rintangan untuk memperoleh ketenangan
bathin maupun Pandangan Terang tentang hidup dan hakekat sesungguhnya dari
benda-benda.
Perincian
dari Nivarana adalah sbb. :
1. Kämacchanda -- nafsu keinginan
2. Vyäpäda -- keinginan jahat, kebencian
dan amarah.
3. Thina-middha -- lamban, malas dan
kesu.
4. Uddhacca-kukkucca -- gelisah dan
cemas.
5. Vicikicchä -- keragu-raguan.
Dalam
tingkat kesucian, umat Buddha dapat dibagi dalam dua golongan :
1. Puthujjana - Ialah
para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang belum mencapai tingkat kesucian.
2. Ariya-puggalä - Ialah
para bhikkhu dan orang-orang berkeluarga yang setidak-tidaknya telah mencapai
tingkat kesucian pertama.
Tingkat-tingkat
kesucian
Keterangan : Perbedaan antara Avijjä dan
Moha.
Avijjä =
Kebodohan/kegelapan bathin, karena
tidak dapat menembus arti dari Empat Kesunyataan Mulia, Hukum Tilakkhana, Hukum
Paticca-Samuppada, Hukum Kamma.
Moha =
Kebodohan/kegelapan bathin, karena
tidak dapat membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik.
6. HUKUM TILAKKHANA
(TIGA CORAK UMUM)
Hukum
Tilakkhana ini termasuk Hukum Kesunyataan ; berarti bahwa Hukum ini berlaku di
mana-mana dan pada setiap waktu. Jadi tidak terikat oleh waktu dan tempat.
1. Sabbe
sankhärä aniccä
Segala
sesuatu dalam alam semesta ini yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah
tidak kekal. Umat Buddha melihat segala sesuatu dalam alam semesta ini sebagai
suatu proses yang selalu dalam keadaan bergerak, yaitu :
Uppada Thiti
Bhanga
(timbul) (berlangsung) (berakhir/lenyap)
2. Sabbe
sankhärä dukkha
Apa
yang tidak kekal sebenarnya tidak memuaskan dan oleh karena itu adalah
penderitaan.
3. Sabbe
Dhammä Anattä
Segala
sesuatu yang tercipta dan tidak tercipta adalah tanpa inti yang kekal/abadi.
Contoh
dari sesuatu yang tidak tercipta adalah Nibbana.
Di
samping paham anattä yang khas Buddhis terdapat juga dua paham lain yaitu :
1. Attaväda
- Paham bahwa atma (roh) adalah kekal-abadi dan akan berlangsung sepanjang
masa (tidak dibenarkan oleh Sang Buddha).
2. Ucchedaväda
- Paham
bahwa setelah mati atma (roh) itu pun akan turut lenyap (tidak dibenarkan oleh
Sang Buddha).
Uraian
secara matematika tentang ketiga paham tersebut adalah sbb. :
Attaväda
I. A
+ p = A + p
II. (A
+ p) + p1 = A + p + p1
III. (A
+ p + p1) + p2 = A + p + p1 + p2
IV. (A-p-p1-p2)
+ ... + pn = A + p + p1 + p2 + ... + pn
Ucchedaväda
I. A
+ p = Nihil
Anattä
I, A
+ p = B A = Atma, roh
II, B
+ p1 = C p = Pengalaman hidup
III, C
+ p2 = D I, II, III = Kehidupan ke I, II, III.
Contoh
konkrit tentang paham anattä, misalnya kalau kita membuat roti. Roti dibuat
dengan memakai tepung, ragi, gula, garam, mentega, susu, air, api, tenaga kerja
dll.. Tetapi setelah menjadi roti tidak mungkin kita akan menunjuk satu bagian
tertentu dan mengatakan : ini adalah tepungnya, ini garamnya, ini menteganya,
ini airnya, ini apinya, ini tenaga kerjanya dst. Karena setelah bahan-bahan itu
diaduk menjadi satu dan dibakar di oven, maka bahan-bahan itu telah berubah
sama sekali.
Kesimpulan
: Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan yang tersebut di atas, namun
setelah melalui proses pembuatan dan pembakaran di oven telah menjadi sesuatu
yang baru sama sekali dan tidak mungkin lagi untuk mengembalikannya dalam
bentuknya yang semula.
LIMA KHANDHA
Dalam
Agama Buddha diajarkan bahwa seorang manusia terdiri dari lima kelompok
kehidupan/kegemaran (Khandha) yang saling bekerja-sama dengan erat sekali.
Ke
lima kelompok kehidupan/kegemaran tersebut adalah :
1.
Rupa
- Bentuk, tubuh, badan jasmani.
2.
Sañña -
Pencerapan.
3.
Sankhära - Pikiran,
bentuk-bentuk mental.
4.
Vedanä -
Perasaan.
5.
Viññana - Kesadaran.
Gabungan dari No. 2, 3, 4 dan 5
dapat juga dinamakan nama (bathin), sehingga seorang manusia dapat dikatakan terdiri
dari rupa dan nama.
Dalam
menangkap rangsangan dari luar, maka bekerja-samanya lima khandha ini adalah sebagai
berikut :
1.
Rupa -
Kita menangkap suatu rangsangan melalui
mata, telinga, hidung, lidah, tubuh yang merupakan bagian dari badan jasmani
kita.
2. Viññana (citta) - Kita lalu akan
menyadari bahwa bathin kita telah menangkap suatu rangsangan.
3. Sañña -
Rangsangan tersebut mencerap ke dalam
bathin kita melalui suatu bagian dari otak kita, mengenal obyek.
4.
Sankhära - Rangsangan ini
kita akan banding-bandingkan dengan pengalaman kita yang dulu dulu melalui
gambaran-gambaran pikiran yang tersimpan dalam bathin kita.
5.
Vedanä - Dengan membanding-bandingkan ini lalu timbul
suatu perasaan senang (suka) atau tidak senang (tidak suka) terhadap rangsangan
yang telah tertangkap melalui panca indera kita.
Proses
mental ini berlangsung sebagai berikut :
Penyerapan
→ Kesadaran → Pikiran → Perasaan.
Menurut
Ajaran Sang Buddha, di dalam diri seorang manusia hanya terdapat lima khandha
ini dan tidak dapat ditemukan suatu atma atau roh yang kekal dan abadi. Dengan
cara ini, maka anattä diterangkan melalui analisa.
6.
HUKUM PATICCA-SAMUPPADA
Paham
anattä dapat pula diterangkan melalui cara sinthesa, yaitu melalui Hukum
Paticca-Samuppada (Hukum Sebab-musabab Yang Saling Bergantungan).
Prinsip
dari Hukum ini diberikan dalam empat formula pendek, yaitu :
1. Imasming Sati Idang Hoti
Dengan adanya ini, maka
terjadilah itu.
2. Imassuppädä Idang Uppajjati
Dengan
timbulnya ini, maka timbullah itu.
3. Imasming Asati Idang Na Hoti
Dengan
tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
4. Imassa Nirodhä Idang Nirujjati
Dengan
terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.
Berdasarkan
prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan saling bergantungan ini, maka
seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup dan juga berhentinya hidup dapat
diterangkan dalam formula dari duabelas nidana (sebab musabab) :
1. Avijjä Paccayä Sankhära
Dengan
adanya kebodohan (ketidak-tahuan), maka terjadilah bentuk-bentuk karma.
2. Sankhära Paccayä Viññänang
Dengan adanya bentuk-bentuk karma, maka
terjadilah kesadaran.
3. Viññäna Paccayä Namarupang
Dengan adanya kesadaran, maka terjadilah
bathin dan badan jasmani.
4. Namarupang Paccayä Saläyatanang.
Dengan adanya bathin dan badan jasmani,
maka terjadilah enam indriya
5. Saläyatana Paccayä Phassa.
Dengan adanya enam indriya, maka
terjadilah kesan-kesan.
6. Phassa Paccayä Vedanä.
Dengan adanya kesan-kesan, maka
terjadilah perasaan.
7. Vedanä Paccayä Tanhä.
Dengan adanya perasaan, maka terjadilah
tanhä (keinginan).
8. Tanhä Paccayä Upädänang.
Dengan adanya tanhä (keinginan), maka
terjadilah kemelekatan.
9. Upädäna Paccayä Bhavo.
Dengan adanya kemelekatan, maka
terjadilah proses tumimbal lahir.
10. Bhava Paccayä Jati.
Dengan adanya proses tumimbal lahir,
maka terjadilah kelahiran kembali.
11. Jati Paccayä Jaramaranang.
Dengan adanya kelahiran kembali, maka
terjadilah kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll.
12. Jaramarana.
Kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit
dll. adalah akibat dari kelahiran kembali.
Demikianlah
kehidupan itu timbul, berlangsung dan bersambung terus. Kalau kita mengambil
rumus tersebut dalam arti yang sebaliknya, maka kita akan sampai kepada
penghentian dari proses itu. Dengan terhenti seluruhnya dari kebodohan, maka
terhenti pula bentuk-bentuk karma; dengan terhentinya bentuk-bentuk karma, maka
terhenti pulalah kesadaran; ..... dengan terhentinya kelahiran kembali, maka
terhenti pulalah kelapukan, kematian, kesedihan dll.
7.
HUKUM KAMMA
Kamma
adalah kata bahasa Pali yang berarti "perbuatan", yang dalam arti
umum meliputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang
buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Makna yang
luas dan sebenarnya dari Kamma, ialah semua kehendak atau keinginan dengan tidak
membeda-bedakan apakah kehendak atau keinginan itu baik (bermoral) atau buruk
(tidak bermoral), mengenai hal ini Sang
Buddha pernah bersabda :
"O,
bhikkhu, kehendak untuk berbuat (Pali : Cetana) itulah yang Kami namakan Kamma.
Sesudah berkehendak orang lantas berbuat dengan badan, perkataan atau
pikiran."
Kamma
bukanlah satu ajaran yang membuat manusia menjadi orang yang lekas
berputus-asa, juga bukan ajaran tentang adanya satu nasib yang sudah
ditakdirkan. Memang segala sesuatu yang lampau mempengaruhi keadaan sekarang
atau pada saat ini, akan tetapi tidak menentukan seluruhnya, oleh karena kamma
itu meliputi apa yang telah lampau dan keadaan pada saat ini, dan apa yang
telah lampau bersama-sama dengan apa yang terjadi pada saat sekarang
mempengaruhi pula hal-hal yang akan datang. Apa yang telah lampau sebenarnya merupakan
dasar di mana hidup yang sekarang ini berlangsung dari satu saat ke lain saat
dan apa yang akan datang masih akan dijalankan. Oleh karena itu, saat sekarang
inilah yang nyata dan ada "di tangan kita" sendiri untuk digunakan
dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu kita harus hati-hati sekali dengan
perbuatan kita, supaya akibatnya senantiasa akan bersifat baik.
Kita
hendaknya selalu berbuat baik, yang bermaksud menolong mahluk-mahluk lain,
membuat mahluk-mahluk lain bahagia, sehingga perbuatan ini akan membawa satu
kamma-vipaka (akibat) yang baik dan memberi kekuatan kepada kita untuk
melakukan kamma yang lebih baik lagi. Satu contoh yang klasik adalah sbb. :
Lemparkanlah
batu ke dalam sebuah kolam yang tenang. Pertama-tama akan terdengar percikan
air dan kemudian akan terlihat lingkaran-lingkaran gelombang. Perhatikanlah
bagaimana lingkaran ini makin lama makin melebar, sehingga menjadi begitu lebar
dan halus yang tidak dapat lagi dilihat oleh mata kita. Ini bukan berarti bahwa
gerak tadi telah selesai, sebab bilamana gerak gelombang yang halus itu
mencapai tepi kolam, ia akan dipantulkan kembali sampai mencapai tempat bekas
di mana batu tadi dijatuhkan.
Begitulah
semua akibat dari perbuatan kita akan kembali kepada kita seperti halnya dengan
gelombang di kolam yang kembali ke tempat dimana batu itu dijatuhkan.
Sang
Buddha pernah bersabda (Samyutta Nikaya I, hal. 227) sbb :
"Sesuai dengan benih yang telah ditaburkan begitulah buah yang akan dipetiknya, pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula.Tertaburlah olehmu biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah dari padanya".
Segala
sesuatu yang datang pada kita, yang menimpa diri kita, sesungguhnya benar
adanya. Bilamana kita mengalami sesuatu yang membahagiakan, yakinlah bahwa kamma
yang telah kita perbuat adalah benar. Sebaliknya bila ada sesuatu yang menimpa
kita dan membuat kita tidak senang, kamma-vipaka itu menunjukkan bahwa kita
telah berbuat suatu kesalahan. janganlah sekali-kali dilupakan hendaknya bahwa kamma-vipaka
itu senantiasa benar. Ia tidak mencintai maupun membenci, pun tidak marah dan
juga tidak memihak. Ia adalah hukum alam, yang dipercaya atau tidak dipercaya
akan berlangsung terus.
Terdapat
dua belas jenis bentuk-bentuk kamma yang tidak diperinci di sini. Bentuk kamma
yang lebih berat (bermutu) dapat menekan -- bahkan menggugurkan --
bentuk-bentuk kamma yang lain. Ada orang yang menderita hebat karena perbuatan
kecil, tetapi ada juga yang hampir tidak merasakan akibat apapun juga untuk perbuatan
yang sama. Mengapa? Orang yang telah menimbun banyak kamma baik, tidak akan
banyak menderita karena perbuatan itu, sebaliknya orang yang tidak banyak
melakukan kamma-kamma baik akan menderita hebat.
Singkatnya
: Kamma Vipaka dapat diperlunak, dibelokkan, ditekan, bahkan digugurkan.
Kamma
dapat dibagi dalam tiga golongan :
1. Kamma Pikiran (mano-kamma).
2. Kamma Ucapan (vaci-kamma).
3. Kamma Perbuatan (kaya-kamma).
10 (sepuluh) jenis
kamma baik
1. Gemar
beramal dan bermurah hati
akan berakibat dengan diperolehnya
kekayaan dalam kehidupan ini atau kehidupan yang akan datang.
2. Hidup
bersusila
mengakibatkan terlahir kembali dalam
keluarga luhur yang keadaannya berbahagia.
3. Bermeditasi
berakibat dengan terlahir kembali di
alam-alam sorga.
4. Berendah
hati dan hormat
menyebabkan terlahir kembali dalam
keluarga luhur.
5. Berbakti
berbuah dengan diperolehnya penghargaan
dari masyarakat.
6. Cenderung
untuk membagi kebahagiaan kepada orang lain
berbuah dengan terlahir kembali dalam
keadaan berlebih-lebihan dalam banyak hal.
7. Bersimpati
terhadap kebahagiaan orang lain
menyebabkan terlahir dalam lingkungan
yang menggembirakan.
8. Sering
mendengarkan Dhamma
berbuah dengan bertambahnya
kebijaksanaan.
9. Menyebarkan
Dhamma
berbuah dengan bertambahnya
kebijaksanaan (sama dengan No. 8).
10. Meluruskan
pandangan orang lain
berbuah dengan diperkuatnya keyakinan.
10 (sepuluh) jenis
kamma buruk
1. Pembunuhan
akibatnya
pendek umur, berpenyakitan, senantiasa dalam kesedihan karena terpisah dari
keadaan atau orang yang dicintai, dalam hidupnya senantiasa berada dalam
ketakutan
2. Pencurian
akibatnya
kemiskinan, dinista dan dihina, dirangsang oleh keinginan yang senantiasa tak
tercapai, penghidupannya senantiasa tergantung pada orang lain.
3. Perbuatan
a-susila
akibatnya
mempunyai banyak musuh, beristeri atau bersuami yang tidak disenangi, terlahir
sebagai pria atau wanita yang tidak normal perasaan seksnya.
4. Berdusta
akibatnya
menjadi sasaran penghinaan, tidak dipercaya khalayak ramai.
5. Bergunjing
akibatnya
kehilangan sahabat-sahabat tanpa sebab yang berarti.
6. Kata-kata
kasar dan kotor
akibatnya
sering didakwa yang bukan-bukan oleh orang lain.
7. Omong
kosong
akibatnya
bertubuh cacad, berbicara tidak tegas, tidak dipercaya oleh khalayak ramai.
8. Keserakahan
akibatnya
tidak tercapai keinginan yang sangat diharap-harapkan.
9. Dendam,
kemauan jahat / niat untuk mencelakakan mahluk lain
akibatnya
buruk rupa, macam-macam penyakit, watak tercela.
10. Pandangan
salah
akibatnya
tidak melihat keadaan yang sewajarnya, kurang bijaksana, kurang cerdas,
penyakit yang lama sembuhnya, pendapat yang tercela.
Lima bentuk kamma
celaka
Lima
perbuatan durhaka di bawah ini mempunyai akibat yang sangat berat ialah
kelahiran di alam neraka :
1.
Membunuh ibu.
2.
Membunuh ayah.
3.
Membunuh seorang Arahat.
4.
Melukai seorang Buddha.
5.
Menyebabkan perpecahan dalam Sangha.
8.
HIRI DAN OTAPPA
Dua
ciri khas yang dianggap dua sifat yang membantu melindungi dunia dari kekacauan
:
1. Hiri
= Perasaan malu, yaitu malu melakukan hal-hal yang tidak baik.
2. Otappa
= Perasaan
takut, yaitu takut akan akibat yang timbul dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik.
9. ATTHALOKA-DHAMMA
Dalam
penghidupan seorang manusia tidak dapat terlepas dari 8 (delapan) keadaan,
yaitu :
läbha
- aläbha = untung
– rugi
yasa
- ayasa
= terkenal - tak terkenal
nindä
– pasamsä
= dicela
– dipuji
sukha
- dukkha
= gembira,
bahagia - sedih, menderita dll.
Bab. III
BEBERAPA PENGERTIAN DALAM AGAMA BUDDHA
1.
PARITTA
a.
Vandana
Namo
Tassa Bhagavato Arahato Samma-Sambuddhassa = Terpujilah Sang Bhagava Yang Maha
Pengasih, Maha Suci dan Maha Bijaksana.
b.
Tisarana
Buddhang
saranang gacchami = Kami berlindung kepada Sang Buddha.
'Berlindung
kepada Sang Buddha' berarti mencontoh sifat-sifat yang baik yang terdapat pada
diri seorang Buddha.
Dhammang saranang
gacchami = Kami berlindung kepada Dhamma.
'Berlindung
kepada Dhamma' berarti bahwa kita berusaha untuk melaksanakan Ajaran Sang
Buddha dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga dengan demikian kita akan
terhindar dari hal-hal yang tidak baik.
Sanghang saranang
gacchami = Kami berlindung kepada Sangha.
'Berlindung
kepada Sangha' berarti bahwa kita menganggap Sangha sebagai guru dan mentaati
ajaran yang diberikan oleh bhikkhu-bhikkhu yang telah mencapai tingkat kesucian.
Yang
dimaksud di sini ialah bahwa kita berlindung kepada Ariya Sangha yaitu pasamuan
mereka yang telah mencapai tingkat kesucian.
c.
Pancasila
--
Pänätipätä veramani sikkhäpadang samädiyämi = Aku bertekad akan melatih diri
menghindari pembunuhan mahluk hidup.
Untuk
dapat digolongkan 'pembunuhan' harus memenuhi syarat-syarat sbb. :
1.
Adanya satu mahluk.
2.
Sadar bahwa itu mahluk.
3.
Niat untuk membunuh.
4.
Langkah-langkah perbuatan.
5.
Kematian sebagai akibatnya (mahluk itu betul-betul mati).
--
Adinnädänä veramani sikkhäpadang samädiyämi = Aku bertekad akan melatih diri
menghindari pencurian.
Untuk
dapat digolongkan 'pencurian' harus memenuhi syarat-syarat sbb. :
1.
Adanya milik orang lain.
2.
Kesadaran, pengertian akan keadaan ini.
3.
Niat untuk mencuri.
4.
Langkah-langkah perbuatan.
5.
Peralihan benda yang dicuri sebagai akibatnya.
--
Kämesu micchäcärä veramani sikkhäpadang samädiyämi = Aku bertekad akan melatih
diri menghindari perzinahan (perbuatan a-susila).
Untuk
dapat digolongkan 'perzinahan' harus memenuhi syarat-syarat sbb. :
1.
Niat untuk mengalami sensasi obyek / sasaran yang terlarang dan bukan haknya.
2.
Berusaha
3.
Memiliki sasaran yang dimaksud.
--
Musävädä veramani sikkhäpadang samädiyämi = Aku bertekad akan melatih diri
menghindari kedustaan (ucapan yang tidak benar).
Untuk
dapat digolongkan 'kedustaan' harus memenuhi syarat-syarat sbb. :
1.
Kedustaan.
2.
Niat untuk berdusta.
3.
Usaha, dan
4.
Menyampaikannya kepada orang lain.
--
Surämeraya-majjapamädatthänä veramani sikkhäpadang samädiyämi = Aku bertekad
akan melatih diri menghindari makanan dan minuman yang menimbulkan kemabukkan
dan ketagihan
2.
DASA PARAMITTA
Sepuluh
Kesempurnaan dalam Kebajikan yang harus dimiliki oleh seorang Buddha, yaitu :
1. Däna = Dermawan, gemar menolong orang lain.
2. Sila = Bersih dalam ucapan dan perbuatan.
3. Nekkhamma = Melepaskan
ikatan keduniawian.
4. Pañña = Kebijaksanaan
5. Viriya = Tekun,
bersemangat, ulet.
6. Khanti = Sabar,
dapat memaafkan kesalahan orang lain.
7. Sacca = Mencintai
kebenaran.
8. Adithäna = Teguh
dalam tekad, tak tergoyahkan.
9. Metta = Cinta
kasih luhur, mencintai semua mahluk tanpa perbedaan.
10. Upekkhä = Keseimbangan
bathin, tak terpengaruh lagi oleh perasaan sukha dan dukkha.
3. MAKNA TRIKAYA
Menurut agama
Buddha Mahayana, se-orang Buddha memiliki Tiga Tubuh :
1.
Tubuh Perubahan/Transformasi (Nirmana-Kaya)
Inilah Tubuh yang dipakai untuk mengajar manusia, tertampak pada
mata manusia, umpamanya Tubuh Jasmani dari Sang Buddha Gotama.
2. Tubuh Cahaya (Sambhoga-Kaya)
Tubuh ini
tidak tertampak pada mata manusia. Dengan Tubuh ini se-Orang Buddha mengajar
para Bodhisatva-Mahasatva.
3. Tubuh Dharma (Dharma-Kaya)
Tubuh ini
hanya dapat disadari oleh mereka yang telah mencapai Samyak-Sambodhi, ialah
para Buddha.
Dharma-Kaya
ini berada di mana-mana, meliputi seluruh alam semesta, kekal, tanpa awai,
tanpa akhir, tanpa perubahan dan tak akan lenyap.
4.
MUDRA (Posisi tangan)
1.
Menghadap ke Timur
Aksobhya dengan mudra Bhumisparsa
(menunjuk bumi sebagai saksi).
2.
Menghadap ke Selatan
Ratnasambhava dengan mudra Vara atau
Varada (memberi anugerah).
3.
Menghadap ke Barat
Amitabha dengan mudra Dhyana (meditasi).
4.
Menghadap ke Utara
Amogasiddhi dengan mudra Abhaya (jangan
takut).
5.
Menghadap ke empat penjuru
Vairocana dengan mudra Vitarka
(meyakinkan).
6. Di
Candi Mendut terdapat sebuah patung besar Buddha Gautama dengan
Dharmacakra-mudra (jari manis tangan kanan ditaruh di jari manis tangan kiri,
maksudnya : memutar Roda Dhamma).
Patung-patung
dari Vajrasatva-Vajrasatva dengan Dharmacakra-mudra (yang menghadap ke empat penjuru)
pun dapat diketemukan di candi Borobudur.
5.
HARI RAYA UMAT BUDDHA
Ada
4 (empat) hari raya yang penting dalam agama Buddha, yaitu Hari Waisak, Hari
Asadha, Hari Kathina dan Hari Magha-Puja.
Hari Waisak : Dirayakan dalam bulan
Mei pada waktu terang bulan (purnama sidhi) untuk memperingati 3 (tiga)
peristiwa penting, yaitu :
1. Lahirnya
Pangeran Siddharta di Taman Lumbini.
2. Pangeran
Siddharta mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha di Buddha-Gaya pada usia
35 tahun di tahun 588 S.M.
3. Buddha
Gautama mangkat di Kusinara pada usia 80 tahun di tahun 543 S.M.
Hari Asadha : Dirayakan 2 (dua) bulan
setelah Waisak, juga waktu terang bulan (purnama sidhi) di bulan Juli ; untuk
memperingati Khotbah pertama di taman rusa Isipatana (dekat Benares) di hadapan
5 (lima) orang pertapa (Kondañña, Bodhiya, Vappa, Mahanama, Assaji). Khotbah
pertama ini dikenal sebagai Dhammacakkapavatana-Sutta (Khotbah berputarnya roda
Dhamma).
Hari Kathina : Dirayakan 3 (tiga) bulan
setelah hari Asadha. Perayaan Kathina dapat dilakukan dalam waktu 1 (satu)
bulan, tidak ada hari-hari yang tertentu. Upacara Kathina dimaksudkan untuk
memberikan keperluan hidup sehari-hari kepada para bhikkhu yang telah
melaksanakan vassa selama 3 (tiga) bulan di suatu tempat tertentu.
Senioritas
seorang bhikkhu dihitung dari jumlah vassa yang telah dilaksanakannya.
Magha-Puja : Dirayakan di bulan Magha
(Februari / Maret) pada waktu terang bulan; untuk memperingati peristiwa
berkumpulnya 4 (empat) faktor (caturrangga-sannipata) pada hari tersebut.:
1.
Purnama sidhi di bulan Magha.
2. 1.250
(seribu dua ratus lima puluh) orang bhikkhu berkumpul di Rajagaha tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu.
3. Semuanya
Arahat dan memiliki 6 (enam) kekuatan gaib (abhiñña).
4. Semuanya ditahbiskan dengan
memakai ucapan 'Ehi-bhikkhu'.
Pada waktu itu Sang
Buddha membacakan Ovada patimokkha :
Khanti
paranang tapo titikkhä
Nibbänang
paramang vadanti Buddhä
Na
hi pabbajjito pärupaghati
Samano
hoti parang vihethayanto
Sabba
Päpassa akaranang
Kusalassa
upasampadä
Sacitta
pariyodapanang
Etang
Buddhäna säsanang
Anupavädo
anupaghäto
Pätimokkhe
ca samvaro
Matannutä
ca bhattasming
Pantanca
sayanäsanang
Adhicitte
ca äyogo
Etang
Buddhana Sasanang
|
Kesabaran
adalah cara bertapa yang paling baik.
Sang
Buddha bersabda : Nibbanalah yang tertinggi dari segalanya.
Beliau
bukan pertapa yang menindas orang lain.
Beliau
bukan pula pertapa yang menyebabkan kesusahan orang lain.
Janganlah
berbuat kejahatan
Perbanyaklah
perbuatan baik
Sucikan
hati dan pikiranmu
Itulah
Ajaran semua Buddha
Tidak
menghina, tidak melukai
Mengendalikan
diri sesuai dengan tata-tertib.
Makanlah
secukupnya
Hidup
dengan menyepi.
Dan
senantiasalah berpikir luhur
Itulah
Ajaran Semua Buddha.
|
Catatan
:
ABHIÑÑA
Dengan
Abhiñña dimaksud 6 (enam) kekuatan gaib, yaitu :
1. Memiliki
pelbagai tenaga magis (iddhi-vidhä)
2. Telinga
dewa (dibbasota)
3. Mata
dewa (dibbacakkhu)
4. Dapat
membaca pikiran orang lain (ceto pariya-ñana)
5. Dapat mengingat kelahiran-kelahirannya yang
lampau (pubbeniväsänussati-ñana)
6. Dapat membersihkan bathinnya dari semua
kekotoran-kekotoran bathin dan memperoleh kebijaksanaan luhur (pañña-vimutti).
6.
MISKONSEPSI
SALAH PANDANGAN MENGENAI AGAMA
BUDDHA
a.
Vihara dan Kelenteng :
Umumnya orang menganggap kelenteng
sama dengan vihara, padahal untuk disebut sebagai vihara harus memenuhi
syarat-syarat sbb. :
1. Harus ada patung Sang Buddha
pada tempat yang terhormat.
2. Harus ada Dhammasala (tempat
untuk berkhotbah).
3. Harus ada kuti (tempat menginap
untuk para bhikkhu/bhikkhuni).
Dan kebanyakan kelenteng tidak
dapat disebut sebagai vihara, karena tidak terdapat hal-hal tersebut di atas.
Di samping itu ada kelenteng yang khusus digunakan untuk menyimpan abu leluhur
dari suatu golongan masyarakat tertentu.
b. Pemuja
berhala :
Orang-orang menganggap bahwa umat Buddha
adalah pemuja berhala, padahal umt Buddha menyembah patung Sang Buddha :
1. Untuk menyatakan
rasa hormat dan terima kasihnya kepada Sang Guru yang telah memberikan AjaranNya
kepada umat manusia, seperti juga kita menghormat
kepada bendera nasional kita.
2. Sebagai obyek dalam
meditasi.
Kalau
umat Buddha menyembah patung Kwan Im (Avalokitesvara), mereka sebenarnya menghormat
sifat welas-asih, pengorbanan dan sifat suka menolong yang dilambangkan dalam patung
Kwan Im.
c. Makan sayuranis :
Umat
Buddha tidak diharuskan untuk hanya makan sayur-sayuran saja. mereka makan
sayuranis adalah dalam rangka melatih diri. Dan makan sayuranis atau makan
daging tidak dapat dipakai untuk mengukur kesucian seseorang.
d. Perabuan
jenazah :
Seorang
umat Buddha tidak mutlak harus diperabukan kalau meninggal dunia. Ia boleh
dengan bebas menentukan sendiri, apakah kelak setelah meninggal dunia akan
dikubur atau dibuang (dkubur) di laut atau ditinggal di hutan atau di goa tanpa
ditanam.
e. Sikap
pesimistis :
Seorang
umat Buddha sering dikatakan sebagai seorang yang pesimistis, karena selalu
memandang dari sudut dukkha (penderitaan), padahal kalau kita mengerti hukum
karma dan tahu arti dari istilah viriya (semangat yang membaja), kita tidak
mungkin menjadi orang pesimis.
f. Harus
meninggalkan keluarga :
Ada
anggapan bahwa untuk menjadi umat Buddha yang baik seseorang harus meninggalkan
keluarganya untuk menjadi bhikkhu atau bhikkhuni, padahal sebenarnya tidak
perlu meninggalkan keluarga. Terdapat banyak contoh bahwa orang-orang yang
masih berkeluarga pun (para upasaka/upasika) sanggup mencapai tingkat-tingkat
kesucian. Dan kalau ada orang yang mau menjadi bhikkhu, terlebih dahulu ia
harus mendapat ijin dari orang tuanya atau isterinya, dan harus memenuhi syarat
lain lagi, misalnya isteri dan anak-anaknya tidak terlantar, berkelakuan baik
dan tidak menderita penyakit yang menular atau penyakit jiwa.
g. Mandi
minyak, berjalan di atas bara api :
Kedua
hal tersebut tidak ada hubungannya dengan agama Buddha. Perlu kiranya diketahui
bahwa Buddha Gautama sendiri dengan tegas melarang murid-muridNya menggunakan
dan mempertontonkan ilmu gaib dalam usaha untuk mencari umat.
7. BUNGA, LILIN, AIR DAN DUPA
a.
Bunga
Simbol
dari ketidak-kekalan ; bunga segar yang diletakkan di altar setelah lima atau
enam hari akan menjadi layu.
Begitu
pula dengan badan jasmani kita, satu waktu kelak pasti akan menjadi tua, lapuk
akhirnya mati.
b. Lilin
Simbol
dari cahaya yang akan melenyapkan kegelapan bathin dan mengusir ketidak-tahuan
(avijja).
c. Air
Air
dianggap mempunyai sifat-sifat sbb. :
1. Dapat
membersihkan noda-noda.
2. Dapat
memberikan tenaga hidup kepada mahluk-mahluk.
3. Dapat
menyesuaikan diri dengan semua keadaan.
4. Selalu
mencari tempat yang rendah (tidak sombong).
5. Meskipun
kelihatannya lemah, tetapi dalam keadaan tertentu dapat bangkit menjadi tenaga yang
maha dahsyat (misalnya waktu banjir, air dapat menghancurkan jembatan yang
terdiri dari beton atau merobohkan bangunan-bangunan yang kokoh dll.).
d. Dupa
Bau
wangi dupa yang dibawa angin mungkin akan tercium di tempat yang agak jauh,
namun tidak dapat tercium di tempat yang berlawanan dengan arah angin. Tetapi
nama yang harum karena selalu melakukan perbuatan-perbuatan baik dapat
diketahui di tempat-tempat yang jauh sekali, bahkan di tempat-tempat yang
dipisahkan oleh samudera-samudera besar dan juga di alam-alam lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar