SEJARAH PERKEMBANGAN BUDDHISME DI INDONESIA
Belum diketahui secara pasti kapan pertama kali Ajaran Buddha masuk ke
Indonesia, walaupun nama Pulau Jawa sebagai "Labadiu" telah dikenal
oleh Ptolemi, seorang ahli ilmu bumi di Iskandariah pada tahun 130 M. Demikian
juga di dalam kitab Ramayana yang mengatakan bahwa Hanoman datang ke Javadwipa
mencari Dewi Sinta, dikatakan terdapat tujuh kerajaan, pulau emas dan perak,
kaya dengan tambang-tambang emas, tetapi tidak menyebut agama yang terdapat di
sana.
Pada abad pertama masehi sudah dikenal "Javadwipa" yang meliputi
Jawa dan Sumatera sekarang. "Suvarnadwipa" adalah nama untuk Pulau
Sumatera. Dapat disimpulkan bahwa sebelum abad kedua masehi, sudah terdapat
hubungan antara India dengan kepulauan Nusantara.
Kedatangan Fa-Hien pada tahun 414 M ke Pulau Jawa dalam perjalanan kembali
ke China melalui laut (berangkat melalui jalan darat) setelah mengunjungi India
selama enam tahun, telah membuka sedikit tabir kegelapan mengenai kehidupan
agama di Pulau Jawa. Beliau tinggal 5
bulan di Pulau Jawa dan dalam catatannya mengatakan bahwa banyak terdapat
penganut agama Brāhmana, yang jauh berbeda (dari yang di India), tetapi sedikit
penganut ajaran Buddha dan tidak menarik untuk dicatat.
Atas usaha Bhikkhu Gunawarman pada tahun 423 M, ajaran Buddha berkembang di
Jawa. Gunawarman adalah putera Raja Kashmir yang melepaskan tahta untuk menjadi
bhikkhu. Awalnya beliau pergi ke Sri Langka dan kemudian ke She-Po (Jawa) dan
berhasil mengembangkan ajaran Buddha di sana.
Sementara itu keadaan ajaran Buddha di Sumatera masih belum diketahui.
Setelah kedatangan I-Tsing pada tahun 671 M dan pada tahun 688-695 M mulai
tersingkap keadaan ajaran Buddha di Sumatera. Beliau datang ke Sribhoja,
ibukota kerajaan Bhoja dekat Palembang. Beliau menga-takan bahwa "Raja
dari Kerajaan Bhoja dan penguasa-penguasa di kepulauan lain adalah penganut
ajaran Buddha.
Sribhoja merupakan pusat terpenting di mana Dhamma dipelajari. Di kota itu
terdapat 1000 bhikkhu yang mempelajari dan menelaah Dhamma, sama seperti yang
diajarkan di India. Di kerajaan Bhoja dan di kepulauan sekitarnya, sebagian
besar adalah penganut aliran Mūlasarvāstivāda, sebagian kecil adalah penganut
aliran Sammitiya dan dua aliran lain yang baru berkembang, sedangkan di Melayu
terdapat sedikit penganut Mahāyāna. Semua aliran-aliran di atas tergolong
aliran Hīnayāna.
Ini merupakan petunjuk bahwa ajaran Buddha telah masuk jauh sebelum abad ke
VII Masehi yang dikembangkan oleh dhammadūta-dhammadūta dari aliran
Sarvāstivāda, yang diduga berasal dari India Utara (Kashmir). Tetapi hal itu
juga merupakan petunjuk bahwa ajaran Buddha Mahāyāna telah berkembang di
Melayu, sewaktu I-Tsing datang ke Sumatera.
Mahāyāna awalnya masuk ke Sumatera, kemudian ke Jawa dan ke Kamboja (Khmer).
Sriwijaya adalah penganut ajaran Buddha dan mengembangkan aliran Mahāyāna di
daerah yang mereka kuasai. Pada tahun 759 M kerajaan Sriwijaya meluaskan
kekuasaannya sampai ke Thailand Selatan yang sekarang disebut Suratani
(Suratradhani) dan Pattani.
Bentuk bangunan candi-candi yang dibuat oleh Sriwijaya masih ada sampai
sekarang, arca-arca Buddha dan Bodhisattva mirip dengan yang terdapat di Jawa,
misalnya Vihāra Mahādhatu di Jawa dan Vihāra Mahādhatu di Nakorn Si Thamarat
(Nagara Sirī Dhammarāja).
Catatan sejarah dari Tibet menyatakan bahwa Sriwijaya pada abad ke II
merupakan pusat kegiatan ajaran Buddha yang terkemuka. Atissa yang sangat
terkenal, pembangkit kembali Ajaran Buddha di Tibet, dikatakan pernah datang
(dari India) ke Sumatera dan berdiam disana dari tahun 1011-1023, belajar di
bawah bimbingan Bhikkhu Dharmakīrti, seorang Bhikkhu yang terkemuka di
Sumatera. Dalam biografi Atissa yang ditulis di Tibet, disebutkan bahwa
Sumatera merupakan pusat utama ajaran Buddha dan Bhikkhu Dharmakīrti adalah sarjana
terbesar di zaman itu.
Kedatangan para dhammadūta ke Indonesia mendorong banyak orang pergi ke
India, mengunjungi tempat-tempat suci dan pusat-pusat ajaran Buddha seperti
Universitas Nalanda di Bihar yang didirikan oleh dinasti Gupta (320-606).
Peziarah yang datang dari Sriwijaya tinggal dan menetap di sana demikian
banyaknya, sehingga dibuatkan Vihāra khusus dekat Nalanda dan Nagapattanam
untuk mereka dan raja setempat (Raja Pala dan Cola) memerintahkan rakyatnya
untuk memberi bantuan. Setelah kembali ke Indonesia, mereka mendirikan
candi-candi dengan bentuk dan ukiran yang bercorak Indonesia.
Mengenai perguruan tinggi ajaran Buddha di Nalanda tersebut dapat
ditambahkan bahwa berdasarkan berita-berita yang dibuat oleh Bhikkhu Huan Tsang
yang berkunjung ke India pada tahun 629-645, dikatakan bahwa pada abad ke-7
tersebut Nalanda telah berkembang sebagai lembaga pendidikan intelektual.
Nalanda di bawah pimpinan Silabadra tidak saja memberikan pelajaran ajaran
Buddha, tetapi juga mengajarkan kitab-kitab Veda, filsafat Hindu, logika, tata
bahasa, dan pengobatan. Kemudian diberitakan bahwa Nalanda mempunyai pendukung
dāna yang besar, yang dikumpulkan dari 100 desa, termasuk dāna dari Raja Harsha
pribadi, untuk mendidik 10.000 siswa (tanpa bayaran). Nalanda juga mempunyai
staf yang banyak serta kompleks bangunan yang luas seperti yang terlihat dalam
reruntuhannya (karena serbuan bangsa Hun dan masuknya agama Islam ke India).
Dalam pemberitaannya, Bhikkhu Huan Tsang juga menyebutkan bahwa beliau
mendapatkan ajaran Buddha Hīnayāna yang sudah menyurut di India dan hanya
sedikit dijumpai di bagian barat India. Pada masa itu pengaruh ajaran Tantra
sudah meluas ke India, termasuk dalam lingkungan pendidikan di Nalanda.
Candi-candi dan ukiran yang ada di Indonesia membuktikan bahwa pembuatnya
bukanlah orang asing yang berkebuda-yaan asing, melainkan orang Indonesia asli
dengan mem-pergunakan latar belakang kehidupan masyarakat dan kebudayaan asli.
Diantaranya terdapat candi Pawon, candi Kalasan, candi Sari, candi Sewu, candi
Plaosan, candi Mendut, candi Borobudur, candi Pogo, candi Singosari, dan
lain-lain serta beberapa candi Hindu (Siwa, Brahmana, dan Wisnu).
Nenek moyang bangsa Indonesia adalah seniman religi yang besar, hal ini
terlihat juga dari puji-pujian yang diberikan oleh ahli-ahli purbakala dari
Barat. Menurut C. Elliot (Hinduism and Buddhism Vol. IL 170), banyak
relief-relief, terutama di candi Panataran tidak terlihat adanya pengaruh
India, walaupun tidak tepat namun dapat dikatakan mempunyai ciri khas Polynesia.
Keistimewaan arca-arca di Indonesia terletak pada kehalusan dan keindahan
wajahwajah dari pribadi yang dipatungkan. Di antara arca-arca yang ditemukan
di India sulit dijumpai yang memiliki keindahan dan kehalusan seperti arca
Avalokitesvara di candi Mendut, arca Manjusri yang sekarang disimpan di Museum
Berlin atau seperti arca Prajnāpāramitā yang sekarang ada di Leiden.
Prof. Dr. A.J. Bernet Kempres, bekas Direktur Dinas Purbakala Indonesia
mengatakan bahwa gambaran dan susunan ketiga arca dalam candi Mendut merupakan
suatu manifestasi alam pikiran dan kesenian Buddhis yang terbesar. Menurut
pendapatnya, sangat sedikit kelompok arca dimanapun dari negara buddhis yang
dapat menandinginya.
Bentuk ajaran Buddha semula di pulau Jawa adalah Hīnayāna, yang
dikembangkan oleh Bhikkhu Gunawarman, namun ajaran tersebut lama kelamaan
terdesak oleh aliran-aliran lain yang terus menerus masuk setelah mereka
mempunyai kedudukan yang kuat di India. Hal ini terlihat dengan didirikannya
candi Kalasan yang dipersembahkan untuk Dewi Tara (personifikasi dari Prajnāpāramitā
menurut aliran Tantra), yang tercatat pada tahun 778 M.
Hubungan kebudayaan antara India dan Indonesia itu menyebabkan masuknya
aliran-aliran lain dari ajaran Buddha, terutama yang telah berkembang di
Bengal, yaitu Tantrayāna yang berpusat di Universitas Nalanda. Aliran tersebut
mula-mula masuk ke Sumatera, kemudian ke Jawa. Di antara aliran yang masuk
tersebut, terdapat aliran Tantrayāna, terutama menjelang hancurnya Universitas
Nalanda.
Kitab-kitabnya masih terdapat pada masa sekarang, seperti Sang Hyang
Kamahayanikan. Sang Hyang Kamahayanikan menguraikan ajaran Mahāyāna dan
Tantrayāna dengan baik. Dari catatan epigraphic diketahui, bahwa salah seorang
dari Raja Sailendra di Jawa mempunyai guru bernama Kumaraghosa dari negeri
Gauda (Bengal). Hal tersebut menyebabkan berkembangnya Tantrayāna di Jawa.
Demi baktinya kepada guru, salah seorang Raja Sailendra mempersembahkan
candi untuk pemujaan Dewi Tara yang sekarang disebut candi Kalasan, yang konstruksinya
sama dengan candi-candi yang terdapat di Kamboja.
Agama Hindu yang datang ke Indonesia ialah suatu bentuk penyembahan Siwa.
Tetapi oleh karena data-data mengenai awal zaman Hindu - Jawa ini tidak
lengkap, maka sulit untuk mengetahui penyembahan Siwa seperti apa yang
mula-mula datang ke Indonesia. Karena terdapat banyak aliran agama Siwa, di
antaranya aliran Pasupata, aliran Kalamukha, aliran Linggayat, aliran Saiwa
Sindhata, dan lain-lain. Pada zaman berikutnya, tampaknya aliran Saiwa Sidhanta
yang semakin berpengaruh di Jawa. Hal ini dapat diketahui dari perpustakaan
Hindu-Jawa yang hingga kini masih ada. Seperti salah satu naskah yang bernama
Bhuwanakosa, menyebutkan "Jnana siddhanta sastram".
Agama Siwa yang ada di Indonesia pada waktu itu adalah agama Siwa yang
telah dipengaruhi oleh aliran Tantra, yang mengajarkan penjelmaan atau
penumbuhan Brahman (zat pertama, asas segala sesuatu) dalam beberapa tingkatan,
dari tingkatan yang halus hingga yang kasar. Penjelmaan atau penumbuhan ini
dimungkinkan karena adanya kesaktian atau daya kekuatan atau kuasa yang dinamis
di dalam Brahman itu.
Disamping agama Siwa, ajaran Buddha juga datang ke Indonesia. Meskipun
ajaran Buddha yang datang adalah dari aliran Hīnayāna, namun pada abad ke-8,
aliran Mahāyāna yang menjadi lebih berpengaruh di Jawa. Dapat dikatakan bahwa
di Jawa sampai akhir zaman Hindu, terdapat dua agama negara yang diakui, yaitu
agama Siwa dan ajaran Buddha Mahāyāna.
Sejak pertengahan abad ke-10 M hingga kira-kira pertengahan abad ke-15 M, kepustakaan
Hindu-Buddha di Jawa mengalami zaman emasnya. Naskah-naskah agama Siwa yang
menjadi sumber pengetahuan tentang ajaran kepercayaan Hindu-Jawa menerbitkan
buku-buku pegangan bagi pelaksanaan yoga dalam agama Siwa, yang bermaksud untuk
memberi sarana yang cocok kepada para murid supaya dapat mencapai kesatuan
dengan Tuhan, dengan Siwa.
Naskah-naskah ajaran Buddha Mahāyāna menyebut dirinya sebagai buku-buku
pelajaran ajaran Buddha dari aliran Mantrayāna, yaitu suatu aliran Mahāyāna
yang mementingkan mantra-mantra sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan.
Juga terdapat sebuah buku yang berisi suatu amanat yang diberikan oleh seorang
guru kepada seorang murid setelah upacara penahbisannya.
JAMAN KERAJAAN
Jaman Kerajaan Sriwijaya Dan
Kalinga
Agama Buddha bagi bangsa Indonesia sebenarnya
bukanlah agama baru. Ratusan
Tahun yang silam agama ini pernah menjadi pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia
tepatnya pada zaman kerajaan Sriwijaya,
kerajaan Maratam Purba dan keprabuan Majapahit. Candi Borobudur, salah satu warisan
kebudayaan bangsa yang amat kita banggakan
tidak lain cerminan dari kejayaan agama Buddha di zaman lampau.
Sekitar tahun 423 M Bhiksu Gunawarman datang
ke negri Cho-Po (jawa) untuk menyebarluaskan ajaran Buddha. Ternyata ia memperoleh perlindungan dari penguasa
setempat, sehingga misinya menyebar
luaskan ajaran Buddha berjalan lancar. semua ini tercatat di dalam buku Gunawarman dan jika di
dasarkan pada buku ini maka kemungkinan
besar ia adalah seorang perintis pengembangan agama Buddha di Indonesia pada zaman
tersebut.
Berdasarkan catatan dari kerajaan Tang di
Tiongkok, pada pertengahan abad
ke-7 di Jawa Tengah terdapat sebuah kerajaan yang menganut agama Buddha namanya Kaling.
Di Tiongkok nama itu lebih dikenal
dengan sebutan Ho Ling. Kerajaan ini sangatlah tertib dan tentram walaupun dipimpin oleh seorang
wanita tangan besi yang bernama
ratu Sima. Ho ling saat itu menjadi pusat ilmu pengetahuan agama Buddha, dan tidak sedikit orang
Tionghoa dari dataran Cina datang
ke negri tersebut untuk belajar agama Buddha, walaupun pada zaman dinasti Tang agama Buddha telah
menjadi agama resmi di negri Cina..
Pada akhir abad ke-7, seorang bhiksu yang berasal dari Dinasti Tang di
China yang bernama I-Tsing (635-713) mencatat dengan lengkap mengenai Agama
Buddha dan aplikasinya di India dan Melayu. Ia melakukan perjalanan ke India
pada tahun 672 dan singgah ke Sriwijaya, Sumatera, pada tahun 685.
I-Tsing menghabiskan waktunya hidup sendirian sebagai bhiksu di India dan
Sumatera. Seluruh bukunya merupakan catatan lengkap tentang kehidupan biarawan.
Ia tinggal di India seluruhnya berdasarkan peraturan vinaya.
Bila dibandingkan catatan Fa Hsien tahun 414 dengan catatan I-Tsing, dapat
diambil kesimpulan bahwa Agama Buddha di pulau Jawa dan Sumatera telah dibangun
dengan sangat cepat. Pekerjaan I-Tsing selain menulis catatan seperti
dikemukakan di atas, ia juga menulis buku tentang perjalanan seorang guru agama
asal China bernama Hwui Ning yang datang ke Kerajaan Kalingga (Ho-Ling) di Jawa.
Dalam bukunya dikatakan bahwa bhiksu asli Jawa dan Sumatera merupakan
sarjana bahasa Sanskerta yang sangat bagus. Salah satunya adalah Jnanabhadra
yang merupakan orang Jawa asli asal Kerajaan Kalingga yang bertindak sebagai
guru bagi para bhiksu China, termasuk Hwui Ning, dan membantu menerjemahkan
sutra ke dalam bahasa China.
I-Tsing juga menceritakan bahwa beberapa naskah yang diterjemahkan oleh
Hwui Ning adalah mengenai mangkatnya (parinibbana) Sang Buddha. Namun, ia
mengatakan bahwa naskah tersebut berbeda dengan naskah yang biasa digunakan
dalam Mahayana. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Agama
Buddha yang dianut oleh mayoritas masyarakat nusantara pada waktu itu adalah
non-Mahayana meskipun bahasa yang digunakan adalah bahasa Sansekerta. Namun di
Melayu juga terdapat sedikit masyarakat yang mengadopsi Mahayana.
Attisa, Bhikkhu yang sangat terkenal dari
Tibet yang membangun kembali agama Buddha di negara tersebut pernah datang ke Sumatra dan tinggal di sana dari tahun
1011 - 1023. Ia belajar di bawah
bimbingan Dharmakirti, seorang Bhiksu terkemuka di zaman Sriwijaya. berdasarkan catatan
biografi Attisa yang di tulis di Tibet,
Sumatra adalah pusat utama agama Buddha,
sedang Bhiksu Dharmakirti adalah
seorang cendekiawan terbesar di zaman itu.
Kedatangan para dharmaduta ke Indonesia
mendorong banyak orang pergi
berziarah ke India untuk mengunjungi tempat-tempat suci dan pusat-pusat agama Buddha seperti
Universitas Nalanda dan lain-lain. Setelah kembali ke Indonesia mereka
mendirikan candi-candi dengan
berbagai bentuk dan ukuran.
Agama Buddha yang semula berkembang di Pulau
Jawa dan Sumatra adalah beraliran
Theravada yang dikembang-kan oleh Bhiksu Gunawarman.
Lambat-laun aliran ini terdesak oleh aliran-aliran lain yang masuk ke Indonesia setelah mereka
mempunyai kedudukan yang kuat di
India. Hal ini terlihat dengan berdirinya candi Kalasan yang dipersembahkan
untuk Dewi Arya Tara (personifikasi Prajnaparamita menurut aliran Tantrayana, salah satu
sekte agama Buddha Mahayana) pada
tahun 779 M. Dari catatan epigraphic diketahui bahwa salah satu dari raja Syailendra di Jawa
mempunyai guru bernama Kumaraghosa dari
negri Ganda (Bengal) yang menganut faham Tantrayana. Hal tersebut mendorong berkembangnya agama
Buddha Mahayana.
Pada awal abad ke-20, dua prasasti ditemukan di dekat Palembang yang
bercorak Mahayana. Prasasti lain yang dibuat tahun 775, ditemukan di Viengsa,
semenanjung Melayu mengemukakan bahwa salah satu raja Sriwijaya dari keturunan
Sailendra - yang tidak cuma memerintah di selatan Sumatera tapi juga dibagian
selatan semenanjung Melayu - memerintahkan pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa
tersebut dipersembahkan kepada Buddha, Bodhisattva Avalokitesvara dan
Vajrapani. Dan ditempat lain ditemukan plat emas yang bertuliskan beberapa nama
Dyani Buddha; yang jelas-jelas merupakan aliran Mahayana.
Kemudian, seiring dengan pergantian waktu, agaknya Mahayana-lah yang
berkembang dan berpengaruh besar di bumi Sriwijaya. Hal ini terbukti dari
beberapa prasasti yang didapat disekitar Palembang yang menyebutkan bahwa
“daputa hyang” (barangkali berarti perdana menteri) berusaha mencari berkat dan
kekuatan gaib (kesaktian) guna meneguhkan kerajaan Sriwijaya, agar segala
mahluk dapat menikmatinya. Dari ungkapan-ungkapan yang digunakan tersebut, dapat
diambil kesimpulan bahwa upacara ini adalah upacara Indonesia kuno yang sesuai
dengan ajaran Mahayana. Dari berita-berita yang lain jelaslah bahwa Mahayana lah
yang berpengaruh pada masa itu. Bahkan bukan cuma itu saja, mungkin pengaruh
Tantra (Vajrayana), yang di India mempengaruhi Agama Buddha sejak pertengahan
abad ketujuh, juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari uraian bahwa
salah satu tingkat untuk mendapatkan kondisi tertinggi adalah Vajra Sarira atau
Tubuh Intan, yang mengingatkan kita kepada ajaran Vajrayana.
Dari uraian di atas dapat dikataan bahwa pada tahap permulaan masih ada
hubungan yang erat antara Indonesia dan India. Namun, hubungan ini agaknya
makin lama makin berkurang.
Jaman Kerajaan Sailendra
Informasi mengenai keadaan Agama Buddha pada masa Kerajaan Sailendra
nampaknya lebih jelas dibanding pada masa Kerajaan Sriwijaya. Hal ini
dikarenakan sumber-sumber yang memberi informasi mengenai Agama Buddha lebih
banyak, misalnya dengan keberadaan prasasti-prasasti dan bangunan-bangunan seperti
candi.
Sekitar tahun 775 sampai dengan 850 di daerah Bagelan dan Yogyakarta, di
Jawa Tengah berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk Agama
Buddha dan wangsa Sanjaya yang memeluk agama Hindu-Shiva. Inilah jaman keemasan
bagi Mataram dan negara pada saat itu aman dan makmur karena kedua wangsa
(dinasti) itu saling menolong satu sama yang lain dalam mendirikan
tempat-tempat suci (candi).
Di kerajaan Sailendra agama yang dipeluk adalah Agama Buddha Mahayana. Hal
ini dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan sejarah dan candi dari
kerajaan ini yang bercorak Mahayana. Walaupun kerajaan Sailendra banyak
mendirikan candi namun masih terbilang sedikit bila dibandingkan dengan candi
yang dibangun oleh kerajaan Sanjaya. Selain berdasarkan prasasti-prasasti yang
ada, bahwa Agama Buddha yang berkembang adalah Buddha Mahayana, jelas terlihat
dari candi di desa Kalasan - yang kemudian diabadikan sebagai nama candi
tersebut. Candi ini dipergunakan untuk pemujaan kepada Tara, pemujaan kepada
Bodhisattva Avalokitesvara, peresmian rupang (arca) Bodhisattva Manjusri, dan
sebagainya.
Nampaknya, pada masa ini kerajaan di Jawa Tengah masih ada hubungan yang
erat dengan India, sebab ada juga berita bahwa seorang guru dari Gaudadwipa
(Bengala) yang memimpin upacara pada waktu peresmian rupang Manjusri. Demikian
juga diberitakan diprasasti lain bahwa ada orang dari Gujarat yang senantiasa
melakukan kebaktian di candi tertentu. Dugaan itu berasal dari berita di India.
Raja Dewapala dari dinasti Pala (Bengala) pada tahun pemerintahannya yang ke-39
(antara tahun 856 sampai 860) menghadiahkan beberapa desa untuk keperluan
pemeliharan sebuah vihara di Nalanda, yang didirikan oleh Balaputra, raja dari
Suwarnadwipa (Sumatera), cucu raja di Jawa.
Sekalipun demikian, nampaknya keadaan di Jawa Tengah tidaklah sama dengan
keadaan di Sriwijaya yang menjadi pusat Agama Buddha.
Namun, aliran Mahayana yang bagaimanakah yang berkembang di Jawa Tengah?
Pertanyaan ini sukar untuk dijawab. Tapi, yang perlu diperhatikan adalah apa yang
tertera pada prasasti Kalurak (782) yang agaknya berhubungan dengan peresmian
rupang Manjusri.
Disebutkan dalam prasasti itu bahwa Manjusri selain disamakan dan anggap
sebagai salah satu perwujudan dari Triratna (Buddha, Dhamma, dan Sangha), Ia
juga disamakan dan anggap sebagai salah satu perwujudan dari Trimurti yaitu
Brahma, Vishnu dan Mahesvara (Shiva). Hal ini menimbulkan suatu teori bahwa
telah terjadi sinkretisasi (penyerasian, pencampuran) antara Agama Buddha
Mahayana dengan agama Hindu di Jawa Tengah. Bagi para pengikut Mahayana di Jawa
Tengah, agaknya para Bodhisattva tidak dibedakan dengan dewa dari agama Hindu.
Disamping prasasti, ada pula candi-candi yang menjadi bukti keberadaan
Agama Buddha di Jawa Tengah. Pada masa itu, ilmu pengetahuan, terutama ilmu
pengetahuan tentang Agama Buddha, sangatlah maju. Kesenian - terutama seni
pahat, mencapai taraf yang sangat tinggi. Seniman-seniman nusantara telah
menghasilkan karya seni yang mengagumkan, misalnya candi Borobudur, Pawon,
Mendut, Kalasan, dan Sewu. Dari candi-candi tersebut memberikan kita penjelasan
yang lebih banyak. Selain candi-candi tersebut di atas, sebenarnya masih banyak
lagi candi-candi yang didirikan atas perintah raja-raja Sailendra. Tetapi yang
paling besar dan paling indah serta terkenal adalah Candi Borobudur yang
dibangun pada masa Raja Samarottungga.
Jika kita ingin memahami filosofi dibalik kemegahan Borobudur, bangunan itu
harus dipandang sebagai suatu satu kesatuan. Borobudur yang mengandung filosofi
Mahayana dan juga Tantrayana (Vajrayana) ini, secara menyeluruh mengungkapkan
gambaran mengenai alam semesta atau kosmos. Borobudur terbagi atas tiga bagian,
yaitu Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu. Kamadhatu adalah tingkat hawa napsu
dan ini digambarkan dengan jelas pada bagian bawah atau kaki candi. Di sini
merupakan kehidupan yang terikat oleh hawa napsu dan segala hal yang berbau
duniawi. Rupadhatu adalah tingkat dunia rupa, atau alam yang terbentuk, yang
digambarkan pada lima teras yang menggambarkan kehidupan Buddha Gotama.
Arupadhatu adalah tingkat alam yang tak berupa, tidak berbentuk. Pada tingkat
teratas terdapat sebuah stupa yang kosong, yang menggambarkan sunyata atau
Nirvana. Borobudur adalah tempat untuk bermeditasi, tempat untuk merenung.
Mengingat bahwa Borobudur dibangun diatas bukit, agaknya pembangunan
Borobudur itu dijiwai oleh gagasan Indonesia kuno, yaitu tentang adanya tempat
suci yang berbentuk teras, yang biasanya dipakai untuk menghormati nenek
moyang, dan terletak diatas bukit. Oleh karena itu maka kiranya pemujaan kepada
Bodhisattva sudah dipandang sebagai alat untuk menghormati nenek moyang mereka
yang sudah meninggal. Jika demikian maka Agama Buddha pada waktu ini sudah
dipengaruhi oleh cita-cita keagamaan Indonesia asli.
Setelah Raja Samarottungga wafat, kerajaan Mataram kembali diperintah oleh
raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu-Shiva, namun Agama Buddha dan
agama Hindu-Shiva dapat berkembang terus berdampingan dengan rukun dan damai.
Jaman Kerajaan Majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang berdiri dari sekitar
tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari tahun
1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang
menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara
terbesar dalam sejarah Indonesia.
Majapahit banyak
meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu.
Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan.
Bangunan-bangunan survei ini kebanyakan bersifat agama Siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha, antara lain Candi
Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang
ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual, misalnya Kakawin
Nagarakertagama, Arjunawijaya, Sutasoma, dan sedikit
berita prasasti.
Berdasarkan sumber
tertulis, raja-raja Majapahit pada umum nya beragama Siwa dari aliran
Siwasiddhanta kecuali Tribuwanatunggadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang ber agama Buddha
Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi
kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi
keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya(Kertarajasa)
ada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian lima pejabat Siwa
di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Pada zaman majapahit ada
dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana yaitu Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi mengenai
ajaran yang ditujukan kepada bhiksu yang sedang ditahbiskan, dan Sanghyang Kamahayanikan yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat
mencapai pelepasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan
adalah menunjukan
bahwa bentuk yang bermacam-macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah
sama. Nampaknya, sikap sinkretisme dari penulis Sanghyang Kamahayanikan tercermin dari pengidentifikasian Sida dengan Buddha dan menyebutnya
sebagai "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi
Siwa-Buddha sebagai satu kesadaran tertinggi.
Pada zaman Majapahit
(1292-1478), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran Hindu-Siwa, Hindu-Wisnu dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiga-nya dipandang
sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya
dan mereka digambarkan sebagai "Harihara" yaitu rupang (arca) setengah Siwa
setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular misalnya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki
candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang
digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Vairocana sama dengan Sadasiwa yang
menduduki posisi tengah. Aksobyasama dengan Rudra yang menduduki posisi
timur.
Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki posisi selatan, Amitabhasama dengan Mahadewa yang menduduki posisi barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang
menduduki posisi utara. Oleh karena itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak
ada perbedaan antara Agama Buddha dengan Siwa. Dalam kitab Kunjarakarna disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut
Siwa maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang
sebenarnya satu, yaitu Siwa-Buddha.
Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit,
antara lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat
pada dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja
pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa, yang
didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud
Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) sebagai
Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini
memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa
maupun Buddha tidak berbeda.
Meskipun Buddhisme dan
Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, nampaknya kepercayaan leluhur masih
memerankan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan
struktur candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang
berwujud batu megalit, yang ditempatkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.
Setelah Kerajaan Majapahit
mengalami kemunduran pada masa akhir pemerintahan Raja Brawijaya V (1468-1478) dan runtuh
pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan Hindu digeser
kedudukannya oleh agama Islam.
Dari penjelasan di atas, kita mendapat kesan bahwa pada waktu itu Agama
Buddha lebih berkembang dari agama Hindu-Shiva. Ini juga dapat dilihat dari
kitab kakawin Sutasoma yang juga merupakan karya Mpu Tantular yang hidup pada
masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, yang di dalamnya menceritakan tentang
kemarahan Kalarudra (tokoh agama Hindu) yang hendak membunuh Sutasoma yang
diceritakan sebagai titisan Buddha. Para dewata mencoba meredakan Kalarudra
dengan mengingatkan bahwa sebenarnya Buddha dan Shiva tidak bisa dibedakan.
Jinatwa (hakekat Buddha) adalah sama dengan Shivatattwa (hakekat Shiva).
Selanjutnya dianjurkan agar orang merenungkan Shiva-Buddha-tattwa, hakekat
Shiva-Buddha. Dalam kakawin Sutasoma di dalamnya juga terdapat kalimat Ciwa
Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tanhang Dharma Mandrawa. Dari kata-kata inilah
kemudian diambil semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang kini dijadikan
lambang Negara Republik Indonesia yang melambangkan motto toleransi dan
persatuan.
Begitu juga dengan kisah Bubuksah. Dikisahkan ada dua saudara, yang tua
bernama Gagang Aking, menganut agama Hindu-Shiva dan yang muda bernama
Bubuksah, menganut Agama Buddha. Sejak muda mereka hidup sebagai pertapa di
gunung Wilis. Bubuksah makan segala sesuatu yang dapat dimakan sedangkan Gagang
Aking menahan makannya, ia hanya memakan tumbuh-tumbuhan saja. Mereka pun
berdebat mengenai dua jenis pertapaan ini. Sesudah beberapa waktu, dewa
Mahaguru mengutus Kala Wijaya dalam wujud harimau putih yang kelaparan untuk
menguji kedua saudara itu. Ketika harimau putih datang ke Gagang Aking untuk
memakannya, harimau tersebut dinasehati oleh Gagang Aking untuk pergi kepada
saudaranya yaitu Bubuksah, yang tubuhnya lebih gemuk daripada dirinya,
sedangkan ia kurus kering. Ketika harimau itu tiba ditempat Bubuksah, ia disambut
dengan baik dan dengan senang hati Bubuksah menyerahkan diri pada harimau itu
untuk dimakannya. Setelah itu Bubuksah dilahirkan di alam surga.
Dari kisah di atas, jelas menunjukan sebuah polemik yang ingin menunjukkan
keunggulan dari Agama Buddha, dimana Bubuksah sebagai seorang Buddhis yang
menghindari praktik pertapaan yang ekstrem dan yang lebih menekankan sikap
batin dibanding dengan apa yang dimakan dalam kehidupannya, justru mendapatkan
kebahagiaan. Yang menarik adalah kisah ini dilukiskan pada relief candi
Panataran yang merupakan candi untuk agama Hindu .
JAMAN PENJAJAHAN
Sekalipun
di zaman penjajahan tidak ada pengakuan terhadap agama Buddha, orang-orang
Tionghoa mendirikan klenteng di mana-mana, khususnya di tempat yang disebut
sebagai Pecinan. Di kebanyakan kota, kehadiran agama Buddha terutama dapat
ditelusuri dari pertumbuhan klenteng. Menurut Cl. Salmon, sebutan klenteng
berasal dari kata Kuan-yin teng (kuil Kuan Yin). Kuan-yin adalah Bodhisattwa
Awalokiteswara, manifestasi Dia Yang Maha Melihat dan Mendengar. Sebagai
contoh, Klenteng Jin-de yuan (sekarang Wihara Dharma Bhakti) yang tertua di
Batavia didirikan sekitar tahun 1650. Pada abad ke-18 tak kurang dari 18 orang
biksu tinggal di situ (kini dikelola hanya oleh umat awam). Ada juga
klenteng-klenteng yang dihuni oleh biksuni atau biarawati yang disebut
caima/caici. Mereka datang dari Tiongkok. Pada tahun 1901 Biksu Pen Ching (Ben
Qing Lau He Shang), yang kemudian dikenal dengan nama Aryamula, tiba di
Indonesia. Bersama-sama dengan biksu lain yang juga berasal dari Tiongkok, ia
memberi pelayanan keagamaan di klenteng-klenteng di sejumlah kota, antara lain
Bandung, Karawang, Cirebon, dan Semarang. Biksu Pen Ching juga mendirikan
Wihara Kong-hua Si di Jakarta. Para rahib tersebut memberi pelayanan yang
bersifat ritual, tetapi jarang membahas mengenai ajaran Buddha. Agaknya
kedatangan mereka ke Indonesia tidak membawa misi dakwah.
Pada masa itu, di Indonesia hanya dikenal adanya tiga agama yaitu agama
Kristen Protestan, Katolik dan Islam sedangkan Agama Buddha tidak disebut-sebut
meskipun candi Borobudur telah kembali diketemukan pada tahun 1814 oleh Sir
Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa. Hal ini
adalah salah satu sikap Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu. Dengan demikian
Agama Buddha dianggap sudah sirna di bumi Indonesia, tetapi secara tersirat di
dalam sanubari bangsa Indonesia, Agama Buddha masih tetap terasa antara ada dan
tiada.
Di
antara orang Belanda yang datang ke Indonesia, khususnya cendekiawan, dikenal
ajaran Teosofi yang mempelajari inti kebijaksanaan semua agama dengan
menekankan aspek persaudaraan antar-manusia. Perkumpulan Teosofi membentuk
cabangnya (loji) di Indonesia pada tahun 1883, saat kedatangan H.P. Blavatsky.
Sebelumnya tokoh ini sudah dua kali berkunjung ke Jawa (tahun 1853 dan 1858).
Orang Indonesia berpendidikan ada juga yang menjadi anggota Teosofi. Dalam
pertemuan Teosofi ajaran Buddha banyak dibicarakan, dan seluruh anggota Teosofi
tanpa memandang perbedaan agama juga mempelajarinya. Dari ceramah-ceramah dan
bimbingan meditasi yang diberikan di loji-loji di Jakarta, Bandung, Medan,
Yogyakarta, Surabaya, dan lain-lain, agama Buddha mulai dikenal kembali.
Penganutan
agama Buddha di kalangan bumiputra sendiri kelihatannya tinggal berupa tradisi
domestik yang sporadis. Surat kabar Sin Tit Po yang terbit tanggal 27 Maret
1935 memberitakan bahwa di Kampung Petenon, Surabaya, ada 1,500 orang penganut
agama Buddha. Mereka sering mengadakan selamatan untuk sebuah jangkar kuno yang
dianggap berasal dari zaman Majapahit, yang terdapat di desa Kedunganyar. Di
sejumlah desa ada kelompok penduduk yang masih mengaku beragama Buddha, tetapi
tidak lagi mengenal ajaran Buddha. Ada pula yang menjadikan agama Buddha sebagai
bagian dari agama Hindu, menganut konsep Siwa Buddha, memandang Buddha tak lain
dari Wisnu atau Awatara.
Di tahun 1920-an muncul satu tokoh di kalangan Tri Dharma yang bernama Kwee
Tek Hoay (31 Juli 1886 - 4 Juli 1952), seorang pedagang, penulis yang tajam dan
juga budayawan. Ia menerbitkan majalah berbahasa Indonesia pertama yang
berisikan ajaran Agama Buddha, dengan nama Moestika Dharma (1932 - 1934).
Dari majalah Moestika Dharma yang terbit pada tahun 1932 di Jakarta,
diketahui bahwa telah berdiri sebuah organisasi Buddhis bernama Java Buddhist
Association di bawah kepemimpinan E. Power dan Josias van Dienst. Organisasi
ini merupakan anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton
Birma (organisasi ini mengacu pada Agama Buddha Theravada). Kemudian berlanjut
dengan International Buddhist Mission, Java Section yang berdiri di Batavia
tahun 1932 dengan Deputy Director Generalnya adalah Josias van Dienst.
Kedatangan Pandita Josias membuka pikiran banyak tokoh-tokoh masyarakat
yang memperhatikan Agama Buddha. Di kelenteng, waktu ia berdiskusi dengan
bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio), banyak tokoh-tokoh kelenteng yang ikut
mendengarkan. Pembicaraan antara upasaka keturunan Belanda itu dengan tokoh
kelenteng adalah berkisar pada ajaran Agama Buddha dan perkembangannya di Pulau
Jawa.
Atas jasa Kwee Tek Hoay, terselenggara dialog antara Pandita Josias v.
Dients dan Bhiksu Lin Feng Fei, kepala kelenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan
(Mangga Besar), Jakarta. Dialog itu menghasilkan kesepakatan bahwa kelenteng
sebagai tempat ibadah umat Buddha tidak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan
saja, melainkan pula sebagai tempat untuk mendapatkan pelajaran Agama Buddha.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan itu, Bhiksu Lin Feng Fei mengizinkan
Pandita Josias memberikan ceramah Agama Buddha di kelenteng Kwan Im Tong.
Kemudian Kongkoan (Chineesche Raad), suatu badan yang mengorganisir
kelenteng-kelenteng di Jakarta, mengizinkan pula Pandita Josias memberikan ceramah
di kelenteng-kelenteng di sekitar Jakarta.
Pada tanggal 4 Maret 1934, Y.M. Bhikkhu Narada Thera dari Ceylon (Sri
Lanka) datang ke Indonesia atas undangan Kwee Tek Hoay, Ir. Mengelaar Meertens
(Ketua Perhimpunan Teosofi cabang Indonesia) dan Pandita Josias van Dienst
(Deputy Director General International Buddhist Mission, Java Section). Selama
berada di Pulau Jawa, Y.M. Bhikkhu Narada telah melakukan sejumlah kegiatan.
Antara lain sebagai berikut:
-
Memberikan khotbah-khotbah dan
pelajaran-pelajaran Buddha Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Jawa Barat,
dan Jawa Tengah.
-
Memberkahi penanaman Pohon Bodhi
di pelataran Candi Borobudur pada 10 Maret 1934.
-
Membantu dalam pendirian Java
Buddhist Association (Perhimpunan Agama Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
-
Menjalin kerja-sama yang erat
dengan bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio) dari kelenteng-kelenteng Kim Tek Ie,
Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, kelenteng Hok Tek Bio di Bogor,
kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng Tin kok Sin di Solo dan
perhimpunan-perhimpunan Teosofi di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.
-
Melantik upasaka-upasaka dan
upasika-upasika di tempat-tempat yang Beliau kunjungi, salah satunya adalah
Bapak Maha Upasaka S. Mangunkawatja, tokoh umat Buddha Jawa Tengah yang
kemudian menjadi anggota MPR, dilantik menjadi upasaka di Yogyakarta oleh
Bhikkhu Narada Thera pada tanggal 10 Maret 1934.
Pada tahun yang sama dibentuk Java Buddhists Association Afdeeling Batavia
(Jakarta) dengan J.W. de Witt sebagai ketua, DR. R. Ng. Poerbatjaraka sebagai
wakil ketua, dan Ny. Tjoe Hin Hoey sebagai sekretaris. Disamping itu dibentuk
juga Java Buddhists Association Afdeeling Buitenzorg (Bogor) dibawah pimpinan
A. Van der Velde sebagai ketua dan Oeij Oen Ho sebagai sekretaris. Tak lama kemudian,
tanggal 10 Mei 1934, Java Buddhists Association Afdeeling Batavia melepaskan
diri dari Java Buddhists Association pusat dan berdiri sendiri dengan nama
Batavia Buddhists Association (BBA) dibawah pimpinan Kwee Tek Hoay sebagai
ketua dan Ny. Tjoa Hin Hoey sebagai sekretaris. Dalam majalah Moestika Dharma,
Kwee Tek Hoay menjelaskan bahwa pemisahan ini bukan merupakan pemecahan tapi
untuk dapat bergerak lebih leluasa. Batavia Buddhists Association condong
menyebarkan ajaran Mahayana, berbeda dengan Java Buddhist Association yang
condong menyebarkan ajaran Theravada.
Juga pada tahun yang sama yaitu tahun 1934, dibentuk Central Buddhists
Institut Voor Java (Bhs. Belanda : De Dharma in Nederlandsche Indie) yaitu
wadah kebersamaan seluruh organisasi Umat Buddha di Hindia Belanda. Organisasi
ini juga menerbitkan media cetak berbahasa Belanda yang bernama De Dharma in
Nederlandsche Indie.
Hingga tahun 1935, Kwee Tek Hoay telah banyak membentuk Sam Kauw Hwee,
yaitu organisasi-organisasi setempat yang anggotanya terdiri dari penganut
Agama Buddha, Kong Hu Chu dan Tao, dengan media cetak bernama Sam Kauw Goat Poo
yang berbahasa Indonesia. Tujuan Organisasi ini pada dasarnya adalah untuk
mencegah orang Tionghoa dan keturunan Tionghoa untuk menjadi penganut ajaran agama
lain. Selama pendudukan Jepang, semua kegiatan organisasi Buddhis
terhenti.
JAMAN KEMERDEKAAN
Kemerdekaan memberi kebebasan menganut agama Buddha. Terdorong
oleh semangat tersebut, umat Buddha menyelenggarakan upacara Waisak di Candi
Borobudur, untuk pertama kalinya tahun 1953. Peristiwa itu dihadiri oleh lebih
dari 3,000 peserta, diikuti oleh duta besar mancanegara, dan menjadi berita di
koran-koran. Masyarakat luas pun tahu kalau agama Buddha ada di Indonesia.
Sebelumnya di situ kalangan Teosofi pernah beberapa kali mengadakan perayaan
yang terbatas bagi aktivisnya saja. Gagasan perayaan Waisak nasional muncul
dari Tee Boan An, yang kemudian dikenal sebagai Bhikkhu Ashin Jinarakkhita.
Ketika itu ia hidup sebagai anagarika, menjabat ketua umum Gabungan Sam Kauw
Indonesia (GSKI) merangkap sebagai wakil ketua Perhimpunan Pemuda Teosofi
Indonesia. GSKI terbentuk pada tanggal 20 Pebruari 1953 sebagai gabungan dari
Sam Kauw Hwee setelah Kwee Tek Hoay meninggal dunia dan Thian Li Hwee yang
dipimpin oleh Ong Tiang Biauw (kemudian menjadi Bhikkhu Jinaputta pada tahun
1959), yang selanjutnya diikuti Bagian Kebaktian Sin Ming Hui (Perkumpulan
Sosial Candra Naya sekarang) dan Buddha Tengger pada tahun 1952. GSKI kemudian
berganti nama menjadi Gabungan Tridharma Indonesia pada tahun 1961-1963.
Tee Boan An berguru pada Mahabiksu Pen Ching di Kong-hua si,
Vaipulya Sasana sekarang. Pada tahun 1953 ia ditahbiskan oleh gurunya itu
menjadi sramanera menurut tradisi Mahayana (C’han), dan diberi nama Ti Cheng.
Di tahun berikutnya ia pergi ke Myanmar, menerima upasampada menurut tradisi
Theravada di bawah bimbingan Mahasi Sayadaw, seorang pakar meditasi vipassana.
Ia diberi nama Ashin Jinarakkhita. Maka untuk pertama kalinya setelah zaman
Majapahit, seorang putra Indonesia menjadi bhikkhu. Pada tahun 1955 Bhikkhu
Ashin Jinarakkhita kembali ke Indonesia dan mulai mengadakan perjalanan ke
seluruh pelosok tanah air. Di mana-mana, di kota ataupun desa, umat dibimbing
untuk mempraktikkan ajaran Buddha, melatih diri dalam meditasi metta-bhavana
dan vipassana-bhavana. Umat pun terdorong membangun vihara, atau
setidak-tidaknya cetya. Dengan mengikuti kedua tradisi, Mahayana dan Theravada,
sejak awal umat Buddha yang dibinanya tidak mempersoalkan perbedaan aliran.
Sekalipun Bhikkhu Ashin Jinarakkhita mengajarkan umat lebih banyak membaca
paritta menurut tradisi Pali, mantra berbahasa Sanskerta atau Tionghoa juga
diperkenalkan.
Pada hari Asadha 2499 atau 4 Juli 1955, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita
mendirikan organisasi Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI) di vihara
Buddha Gaya Watugong, Ungaran. PUUI sebagai wadah bagi pembantu bhikkhu,
diketuai oleh Maha Upasaka Madhyantika S. Mangunkawatja. Upasaka-upasika adalah
umat yang sudah menyatakan diri berlindung kepada Triratna dan berjanji untuk
melaksanakan Panca-sila lewat sebuah ritual yang disebut Visudhi. Di tahun 1956
umat Buddha sedunia merayakan Buddha Jayanti, genapnya masa 2,500 tahun
perjalanan sejarah agama Buddha terhitung sejak Buddha Gotama wafat. Selama ini
beredar ramalan yang menyatakan bahwa setelah 2,500 tahun agama Budha akan
lenyap, atau sebaliknya akan berkembang kembali. Melalui perayaan ini tersirat
harapan agama Buddha bangkit di zaman modern. Di Indonesia perayaan Buddha
Jayanti ditandai semangat kebangkitan kembali agama Buddha yang pernah terkubur
di bawah reruntuhan kerayaan Majapahit. PUUI menerbitkan buku “2500 Tahun
Buddha Jayanti” yang memuat bermacam-macam tulisan mengenai agama Buddha, baik Theravada,
Mahayana, maupun Tantrayana. Di antaranya terdapat tulisan mengenai Candi
Borobudur termasuk penjelasan bahwa arca yang belum selesai dari stupa induk
melambangkan Adi Buddha.
Perjalanan perkembangan Agama Buddha dan pembentukan organisasi umat Buddha
di Indonesia pada jaman Kemerdekaan hingga Orde Lama yang diwarnai oleh
perbedaan pendapat dan pandangan di kalangan pimpinan umat Buddha sehingga
menimbulkan gejolak di sana-sini hingga didirikannya beragam organisasi Buddhis
baru.
Gabungan Tridharma Indonesia
(GTI)
Sam Kauw Hwee (Perhimpunan Tiga Agama) lahir atas prakarsa Kwee
Tek Hoay yang kini dikenal sebagai Bapak Tridharma Indonesia dan hari lahir
beliau tanggal 31 Juli diperingati juga sebagai hari Tridharma di Indonesia.
Pada tahun 1920-an Kwee Tek Hoay mendirikan Penerbitan &
Percetakan MOESTIKA di Jakarta dan menerbitkan majalah MOESTIKA DHARMA yang
banyak mengupas ajaran agama Buddha, Khong Hu Cu, dan Lo Cu bahkan juga ajaran
agama lainnya. Majalah MOESTIKA DHARMA ini berjasa dalam menyebarluaskan
kembali ajaran Tridharma sehingga kemudian ajaran Tridharma mulai kembali
dikenal, dimengerti, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sekitar tahun yang sama lahirlah organisasi Sam Kauw Hwee yang mana di kemudian
hari Sam Kauw Hwee menjadi organisasi yang mempelopori kebangkitan kembali
agama Buddha di Indonesia. Kwee Tek Hoay menjadi Ketua Umum Sam Kauw Hwee yang
pertama dengan dibantu oleh putrinya yang bernama Kwee Yat Nio ( Ny. Hin Hoey atau Ny. Visaka Gunadharma ).
Sam Kauw Hwee yang didirikan Kwee Tek Hoay ini sifatnya Indonesia
Sentris, dalam arti bahwa sebagai suatu sistem ia dibangun dan diciptakan di
Indonesia kendatipun ketiga ajaran agama tersebut berasal dari luar Indonesia.
Pada mulanya Sam Kauw Hwee ini bisa dianggap sebagai suatu gerakan keagamaan
yang mencangkup tiga unsur di mana salah satu unsurnya bisa bergabung ataupun
berdiri sendiri-sendiri.
Ketiga ajaran tersebut sama sekali tidak dicampuradukkan sehingga
tercipta suatu ajaran yang baru. Ketiga agama tersebut masing-masing tetap
bersumber dan berpedoman pada kitab sucinya sendiri-sendiri. Dan memang pada
kenyataannya bagi para umat, ketiga ajaran agama tersebut sama sekali tidak
bertentangan bahkan saling menunjang dengan serasi, selaras dan seimbang. Bagi
para umat, ketiga ajaran agama tersebut pengejawantahannya didalam kehidupan
sehari-hari dari waktu ke waktu sudah begitu membudaya dan mendarah daging
sehingga sungguh teramat sulit untuk dipisah-pisahkan terutama yang tercermin
pada upacara-upacara ritual (keagamaan) dan kemasyarakatan serta
perayaan-perayaan lainnya.
Pada tanggal 24 Maret 1934 Kwee Tek Hoay bersama dengan Yosias Van
Dienst (Director General International Buddhist Mission Bagian Jawa) mengundang
Bikkhu Narada dari Sri Langka. Bikkhu Narada merupakan Bikkhu pertama yang
datang dari luar negeri setelah kerajaan Majapahit runtuh, beliau memberikan
ceramah-ceramah diberbagai tempat di Jakarta dan Jawa Barat serta Jawa Tengah
dengan dikoordinir oleh Sam Kauw Hwee dimasing-masing daerah yang bersangkutan.
Ketika itu pula Sam Kauw Hwee menerbitkan Majalah Sam Kauw Gwat Po
dalam bahasa Indonesia yang bertujuan untuk menyebarluaskan misi organisasi.
Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia dan Perang Dunia II, segala kegiatan organisasi
dihentikan untuk sementara waktu. Baru setelah Indonesia Merdeka Sam Kauw Hwee
aktif kembali dalam kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan.
Namun sayang sekali dalam pesatnya perkembangan organisasi, pada
tanggal 04 Juli 1952 Kwee Tek Hoay wafat di desa Waning Ceuri, Cicurug-Priangan
dalam usia 66 tahun. Jenasahnya diperabukan di Muara Karang Jakarta pada
tanggal 06 Juli 1952 bertepatan dengan perayaan hari suci Buddhis Asadha.
Setelah terhenti pada masa penjajahan Jepang, baru kemudian pada tahun
1952, organisasi Sam Kauw Hwee digiatkan kembali. Perkumpulan Sam Kauw Hwee
Indonesia bergabung dengan Thian Lie Hwee yang dipimpin oleh almarhum Ong Tiang
Biauw (yang kemudian menjadi Bhikkhu Jinaputta) dan Gabungan Khong Kauw Hwee
Indonesia (GAPAKSI). Bagian kebaktian dari Sin Ming Hui (Perkumpulan Sosial
Candrayana) dan Buddha Tengger, membentuk Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI)
pada tanggal 20 Februari 1952 di bawah pimpinan The Boan An.
Setelah The Boan An ditahbiskan menjadi Bhikkhu Theravada pada tahun 1954
di Birma (Myanmar) oleh Y.M. Mahasi Sayadaw dengan nama Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita, ketua GSKI beralih kepada DRS. Khoe Soe Kiam (Drs. Sasana Surya).
Pada tahun 1962, GSKI berganti nama menjadi Gabungan Tridharma Indonesia (GTI).
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita merupakan putera pertama Indonesia yang menjadi
bhikkhu sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit.
Dalam perkembangannya Sam Kauw Hwee diganti menjadi GSKI (Gabungan
Sam Kauw Indonesia) yang kemudian dirubah menjadi GTI (Gabungan Tridharma
Indonesia) yang resmi berdiri tanggal 20 Februari 1953 pukul 12.00 WI dan
berbentuk Badan Hukum/Rechtspersoon/Legal Body berdasarkan Penetapan Menteri
Kehakiman R.I No. JA5/31/13 tanggal 9 April 1953, dan termuat
dalam Tambahan Berita Negara RI No. 33 tanggal 24 April
1953 urutan No.3.
GTI ini juga terdaftar pada Departemen Agama R.I. berdasarkan
Surat Direktur Urusan Agama Hindu dan Buddha No.G-II/l/d-2/7/73 tanggal 10
Januari 1973 dan Surat Keputusan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha No.H.437/SK/1982
tanggal 1 Agustus 1982.
Di bawah kepimpinan Drs. Khoe Soe Kiam (Sasanasurya) Gabungan
Tridharma Indonesia menerbitkan majalah bulanan untuk para anggota dengan nama
majalah Tribudaya yang terbit mencapai 145 nomor hingga bulan Februari
1966-Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional GTI kemudian berturut-turut adalah Drs.
Aggi Tjetje,SH,SS, kemudian Pandita Bhagyadewa Shiddharta lalu kembali Drs.
Aggi Tjetje,SH,SS dan Dr. Danny Wiradharma,SH.
Persaudaraan Upasaka-Upasika
Indonesia (PUUI)
Untuk membantu menyebarkan ajaran Agama Buddha di Indonesia dan membantu
Sangha dan bertanggung jawab kepada Sangha Suci Indonesia, Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) pada 1955
- 1956 di Watugong, Semarang. PUUI yang merupakan organisasi Buddhis yang
mempelopori kebangkitan dan perkembangan Agama Buddha di Indonesia sejak tahun
1950-an dalam perkembangannya berganti nama menjadi Majelis Ulama Agama Buddha
Indonesia (MUABI), kemudian menjadi Majelis Upasaka-pandita Agama Buddha
Indonesia (MUABI), dan kemudian terakhir menjadi Majelis Buddhayana Indonesia
(MBI) pada tahun 1979. Organisasi ini diketuai secara berturut-turut oleh
Sariputra Sudono, kemudian oleh Khemanyana Karbono, Kolonel Soemantri M.S,
Brigjen. Suraji A.A, Oka Diputhera (Sek. Jen).
Perhimpunan Buddhis Indonesia
(PERBUDHI)
Tanggal 3 Mei 1958 dibentuk Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDHI) yang
berkedudukan di Semarang. Organisasi ini dipimpin oleh Sosro Utomo (Ketua
Buddha Tengger) dan terbentuk karena kesukaran yang dialami oleh suku Jawa
untuk bergabung dengan Gabungan Tridharma Indonesia (GTI). Tetapi sejak tahun
1965 PERBUDHI dipindahkan ke Jakarta. Dalam Kongres 1978, PERBUDHI berubah
menjadi PERBUDDHI sebagai gabungan dari PERBUDHI, PUUI (Persaudaraan
Upasaka-Upasika Indonesia), GPBI (Gerakan Pemuda Buddhis Indonesia), dan Wanita
Buddhis Indonesia. Dengan Ketua Umum Sariputa Sudono, kemudian Kolonel
Soemantri M.S. dan Brigjen Suraji A.A.
Sangha Suci Indonesia
Pada tahun 1959 Y.M. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita mengundang 13 bhikkhu dari
luar negeri, yaitu:
-
Y.M. Mahasi Sayadaw dari Birma.
-
Y.M. Somdach Choun Nath Mahathera
dari Kamboja.
-
Y.M. Ung Mean Chanavanno
Mahathera dari Kamboja.
-
Y.M. Piyadasi Mahathera dari Sri
Lanka.
-
Y.M. Narada Mahathera dari Sri
Lanka.
-
Y.M. Tudawe Arivawangsa Nayaka
Thera dari Sri Lanka.
-
Y.M. Walane Satthisara Mahathera
dari Sri Lanka.
-
Y.M. Kamburugamuwe Mahanama
Mahathera dari Sri Lanka.
-
Y.M. Ransegoda Sarapala Thera
dari Sri Lanka.
-
Y.M. Phra Visal Samanagun dari
Thailand.
-
Y.M. Phra Sumreng Arnuntho Thera
dari Thailand.
-
Y.M. Phra Kru Champirat Threra
dari Thailand.
-
Y.M. Phra Kaveevorayan dari
Thailand.
Undangan tersebut dalam rangka membentuk Sangha Suci Indonesia, melalui
penahbisan 3 calon bhikkhu Indonesia. Kemudian Y.M. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita
juga mengirim calon-calon bhikkhu/bhiksuni Indonesia lainnya untuk ditahbiskan
di luar negeri.
Tanggal 21 Mei 1959, Ong Tiang Biauw (dari Tangerang) ditahbiskan menjadi
Bhikkhu di "International Sima" di Kassap, Semarang oleh H.E. Somdach
Choun Nath Mahathera dari Kamboja dengan nama Jinaputta. Pada hari yang sama I
Ketut Tangkas (dari Mengwi, Bali) ditahbiskan menjadi Samanera Jinapiya dan
Sontomihardjo (dari Kutoarjo) menjadi Samanera Jinananda. Tanggal 3 Juni 1959
di Pura Besakih, Samanera Jinapiya ditahbiskan menjadi bhikkhu (pada tanggal
12-2-1976 sempat lepas jubah) oleh Y.M. Narada Mahathera. Tanggal 26 Juli 1988
ia ditahbiskan kembali di Wat Bovoranives, Bangkok dan diberi nama Thitaketuko.
Sangha Suci Indonesia pada tahun 1963 diubah namanya menjadi Maha Sangha Indonesia.
Maha Sangha Indonesia beranggotakan baik para bhikkhu Theravada maupun para
bhiksu/bhiksuni Mahayana. Dapat bersatunya para bhikkhu dari berbagai aliran
yang ditahbiskan di berbagai negara adalah karena selaku Nayaka (Ketua) Y.M.
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita menerapkan cara pandang Buddhayana yang
non-sektarian, pluralistik, inklusif, dan sekaligus kontekstual.
Kendati demikian perbedaan pandangan tetap saja dapat terjadi. Lima orang
bhikkhu sempat memisahkan diri dari Maha Sangha Indonesia pada tanggal 12
Januari 1972 dan membentuk Sangha baru bernama Sangha Indonesia yang dipimpin
oleh Y.M. Bhikkhu Girirakkhito. Namun pada tanggal 14 Januari 1974 Sangha di
Indonesia kembali satu dan menggunakan nama baru, yaitu Sangha Agung Indonesia
(SAI / SAGIN).
Musyawarah Umat Buddha Seluruh
Indonesia (MUBSI)
Pada tahun 1962, anggota PERBUDHI cabang Yogyakarta dan Jawa Tengah
menyatakan keluar dari PERBUDHI, kemudian membentuk Musyawarah Umat Buddha
Seluruh Indonesia (MUBSI) dipimpin oleh Drs. Soeharto Djojosumpeno
(Yogyakarta). Keluarnya anggota PERBUDHI cabang Yogyakarta dan Jawa Tengah
dipicu dengan pendapat bahwa kegiatan organisasi PERBUDHI tidak dapat berjalan
dengan baik karena para Upasaka-Upasika yang tergabung dalam PUUI (Persaudaraan
Upasaka-Upasika Indonesia) tidak tunduk kepada keputusan kongres, tetapi kepada
Sangha.
Buddhis Indonesia
Pata tanggal 1 Januari 1965 anggota PERBUDHI cabang Semarang melepaskan
diri dari PERBUDHI dan membentuk Buddhis Indonesia yang bermarkas di Vihara
Tanah Putih Semarang. Buddhis Indonesia mendapat dukungan dari berbagai cabang
PERBUDHI di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan menyatakan diri menjadi cabang
Buddhis Indonesia. Awal perpecahan ini adalah ketidakserasian dan masalah
pribadi antara tokoh-tokoh umat Buddha di Semarang dan Jawa Tengah dengan tokoh
sentral umat Buddha, tetapi sebagai alasan untuk keluar dari PERBUDHI adalah
keikutsertaan PERBUDHI dalam Konferensi World Buddhists of Fellowship (WFB) di
Bangkok yang hadir pula utusan dari Malaysia.
Federasi Umat Buddha Indonesia
Pada bulan Juli 1965 diadakan pertemuan antar organisasi-organisasi Buddhis
yang ada untuk membuat landasan kerukunan dan kerjasama. Pertemuan ini
dilanjutkan lagi pada bulan Agustus 1966 dan Oktober 1966. Pada pertemuan
mereka bulan Februari 1967 berhasil dibentuk Federasi Umat Buddha Indonesia
yang anggotanya adalah :
1. Buddhis Indonesia
2. Gabungan Tridharma Indonesia
3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia
4. Agama Hindu-Buddha Tengger
5. Agama Buddha Wisnu Indonesia
PERBUDHI tidak ingin bergabung dengan Federasi Umat Buddha Indonesia
dikarenakan adanya pernyataan bersama Federasi Umat Buddha Indonesia yang
merugikan Sangha Suci Indonesia (Maha Sangha Indonesia) dan PERBUDHI.
JAMAN ORDE BARU
Perkembangan Agama Buddha pada jaman Orde Baru diawali dengan ditahbiskan
Samanera Jinagiri (dari Banjar, Singaraja Bali) menjadi Bhikkhu di Wat
Benchamabophit, Bangkok oleh Y.M.. Chau Kun Dhammakittisophon dan diganti
namanya menjadi Girirakkhito, pada tanggal 15 November 1966. Pada kesempatan
yang sama juga ditahbiskan Samanera Jinaratana menjadi bhikkhu. (Pada tanggal
18 Desember 1976 ikut menyusul rekannya Bhikkhu Jinapiya untuk lepas jubah, dan
kembali menjadi umat Buddha biasa). Selanjutnya pada tahun 1967 Soenaryo (dari
Solo) ditahbiskan manjadi Bhikkhu di Sri Lanka dan diberi nama Sumanggalo
(meninggal di Belanda pada 2 September 1987).
Pada 14 Mei 1967 di Lawang dibentuk Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma
(PTITD) untuk seluruh Jawa Timur dengan Ketua Umum Ong Kie Tjay dari Surabaya.
Di tahun 1969 datanglah Y.M. Chau Kun Phra Dhepvoravethi dari Wat Paknam,
Thonburi, Bangkok. Setelah kembali ke Bangkok, ia mengirim, melalui Y.M.
Bhikkhu Jinaratana, buku-buku bagian dari Kitab Suci Tipitaka dalam Bahasa Pali
dan Inggris dan patung-patung Buddha dari kuningan untuk vihara-vihara di
Banten, Bogor, Garut, Muntilan, Purworejo, Bali, Ujung Pandang, Samarinda,
Palembang, Jambi, dan tempat-tempat lainnya.
Pada tahun itu juga datang di Indonesia empat orang Dhammaduta dari
Thailand untuk membantu mengembang-kan Agama Buddha di Indonesia. Mereka adalah
Y.M. Phra Kru Pallad Attachariya Nukich (sekarang memakai nama Chau Kun
Vidhurdhammabhorn), Y.M. Phra Kru Pallad Viriyacarya, Y.M. Phra Maha Prataen
Khemadas, dan Y.M. Phara Maha Sujib Khemacharo.
Juga pada tahun 1969, untuk pertama kalinya mahasiswa Buddhis di Jakarta
mengadakan Upacara Asadha di Gandhi School, Pasar Baru, Jakarta. Dua tahun
kemudian terbentuklah Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ).
Menjelang perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak tahun 1971, datang rombongan
Bhikkhu dari Thailand untuk meresmikan Brahma-Vihara yang terletak di Banjar,
Singaraja Bali. Rombongan tersebut terdiri dari Y.M. Chau Kun Phra
Dhammakittisophon dari Wat Benjamabophit, Y.M. Chau Kun Phra Dhepgunaphon dari
Wat Sraket, Y.M. Chau Kun Phra Patrasaramuni dari Wat Prabatmingmaung, Prae,
dan Y.M. DR. Phra Maha Singhaton Narasabho dari Wat Prajetubon.
Majelis Tertinggi Seluruh Umat
Buddha Indonesia
Pada tanggal 16-18 Maret 1969, dalam Maha Samaya II (kongres PUUI) yang
diselenggarakan di Bandung, yang dihadiri pula oleh PERBUDHI dan Sangha Suci
Indonesia yang sudah berubah menjadi Maha Sangha Indonesia, terbentuklah
Majelis Tertinggi Seluruh Umat Buddha Indonesia yang berfungsi menetapkan
kebijaksanaan dalam keagamaan dan bertanggung jawab kepada Maha Sangha
Indonesia. Pimpinan majelis ini adalah Bhikkhu Girirakkhito sebagai ketua umum
dan Brigjen Suraji Aryakertawijaya sebagai Sekjen.
Sangha Indonesia
Adanya perbedaan dalam pemahaman Vinaya dan Dhamma, serta adanya usulan
pembentukan Sangha Agung oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, ketua Maha Sangha
Indonesia, yang bertujuan untuk menfusikan/melebur seluruh mazhab/ tradisi
Agama Buddha, memicu keluarnya beberapa bhikkhu dari Maha Sangha Indonesia.
Para bhikkhu yang keluar dari Maha Sangha Indonesia membentuk Sangha Indonesia
pada tanggal 12 Januari 1972. Sangha Indonesia tersebut terdiri dari Y.M.
Bhikkhu Girirakkhito (ketua), Y.M. Bhikkhu Jinapiya, Y.M. Bhikkhu Jinaratana,
Y.M. Bhikkhu Sumanggalo, dan Y.M. Bhikkhu Subhato.
Sangha Indonesia mendapat dukungan dari organisasi-organisai yang terhimpun
dalam Federasi Umat Buddha Indonesia dan dari organisasi lain seperti PERBUDHI
dan Persaudaraan Umat Buddha Salatiga. Dukungan PERBUDHI terhadap Sangha
Indonesia dan menyatakan bahwa Sangha Indonesia sebagai Pengayom PERBUDHI
disamping Maha Sangha Indonesia, telah menyebabkan PUUI, yang namanya telah
diganti menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI) menyatakan keluar
dari PERBUDHI.
Saat ini terdapat 2 (dua) Sangha di Indonesia, yaitu Maha Sangha Indonesia
(yang berlandaskan pada 3 mazhab/ tradisi atau disebut Buddhayana) yang
dipimpin oleh Y.M. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dan Sangha Indonesia (yang
berlandaskan mazhab/tradisi Theravada) dipimpin oleh Y.M. Bhikkhu Girirakkhito.
BUDHI - Peleburan Tujuh
Organisasi
Untuk mencegah perpecahan antar umat Agama Buddha, pada tanggal 28 Mei
1972, atas prakarsa dan mediator Brigjen Saparjo, dibuatlah ikrar di Candi
Borobudur yang mencetuskan ikrar persatuan dan kesatuan dari tujuh organisasi
Buddhis yang menjadi satu organisasi tunggal dengan nama Buddha Dharma
Indonesia (BUDHI). Di samping itu, berdiri juga sebuah Majelis yang diberi nama
Majelis Buddha Dharma Indonesia yang kelak akan menetapkan pedoman-pedoman mengenai
segala sesuatu yang berhubungan dengan Agama Buddha di Indonesia. Ketujuh
organisasi yang menandatangani ikrar tersebut di atas adalah:
1.
Perhimpunan Buddhis Indonesia
(PERBUDDHI) diwakili oleh Brigjen. Suraji Ariyakertawijaya ).
2.
Buddhis Indonesia diwakili oleh
Suryaputta Ks Suratin.
3.
Musyawarah Umat Buddha Seluruh
Indonesia (MUBSI) diwakili oleh Djoeri.
4.
Gabungan Tridharma Indonesia
(GTI) diwakili oleh Drs. Sasana Surya.
5.
Persaudaraan Umat Buddha Salatiga
diwakili oleh Soepangat Prawirokoesoemo SH.
6.
Majelis Ulama Agama Buddha
Indonesia (MUABI) diwakili oleh Brigjen Sumantri MS.
7.
Dewan Vihara Indonesia
(Maitreya-NSI)
Hasil Ikrar Nasional Umat Buddha di Candi Borobudur tahun 1972 ini, baru
dapat diwujudkan dalam wadah tunggal Buddha Dharma Indonesia (BUDHI) dengan
pimpinan Brigjen Suraji Ariyakertawijaya, pada tahun 1975.
Namun, Gabungan Tridharma Indonesia (GTI) dan Majelis Ulama Agama Buddha
Indonesia (MUABI), karena sesuatu hal, tidak meleburkan diri ke dalam Buddha
Dharma Indonesia (BUDHI).
Peran Wanita Buddhis Indonesia
Perkembangan Agama Buddha di Indonesia juga tidak terlepas dari peran kaum
wanita. Sejak bangkitnya kembali Agama Buddha di Indonesia, sudah terdapat
seksi-seksi wanita yang berperan dalam berbagai vihara, yang kemudian pada
tahun 70-an terbentuklah organisasi dan koordinator berbagai cabang dan seksi
Wanita Buddhis. Pada saat itu tidak ada sekte-sekte atau Majelis Agama,
semuanya masih merupakan kesatuan dari perjuangan umat Buddha di bawah panji
Persaudaraan Upasaka - Upasika Indonesia (PUUI). Perlu diingat jasa ibu-ibu
yang telah mempelopori pergerakan para wanita yang ber Agama Buddha di wihara
masing-masing, seperti Ibu Sujata, Ibu Visakha Gunadharma, Ibu Djamhir, dll.
Pada tanggal 14 Juli 1973 terbentuk Wanita Buddhis Indonesia, di mana
pengurus aktifnya termasuk Ibu Sujata dan Ibu Visakha Gunadharma. Generasi
penerusnya merasa perlu adanya koordinator dan bentuk organisasi yang lebih
mantap. Maka pada tahun 1976 di Bandung diadakan re-organisasi. Dengan bantuan
Sangha Agung Indonesia dapat dibentuk/dikoordinir wanita-wanita dari vihara-vihara
dari 18 propinsi. Wadah itu tetap bernama Wanita Buddhis Indonesia, disingkat
WBI dengan Ketua Umum DR. Parwati Soepangat, MA.
Menjadi Agama Resmi Negara
Sebuah literatur kuno mengatakan bahwa Agama Buddha di Indonesia akan
tertidur dalam 4 jaman dan akan bangkit kembali setelah 500 tahun kemudian
semenjak runtuhnya Kerajaan Mahapahit pada tahun 1478. Hal ini nampaknya
menjadi sebuah kenyataan.
Setelah melewati 4 (empat) jaman yaitu, jaman Kerajaan Islam, jaman
Penjajahan, jaman Kemerdekaan, dan jaman Orde Lama; dan juga setelah sekitar
500 tahun semenjak runtuhnya Kerajaan Mahapahit pada tahun 1478, Agama Buddha
mulai bangkit kembali di Nusantara (Indonesia). Hal ini ditandai dengan adanya
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 45 Tahun 1974 dan Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 30 Tahun 1978 yang menetapkan berdirinya Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha.
Jika dihitung, sejak semenjak runtuhnya Kerajaan Mahapahit pada tahun 1478
dan terbitnya Kepres R.I No. 30 Tahun 1978, terdapat selang waktu kurang lebih
500 tahun. Dan dengan adanya Keputusan Presiden tersebut, Agama Buddha menjadi
salah satu agama resmi yang diakui oleh Negara dan sejajar dengan agama-agama
lainnya.
Pada tahun 1983, Hari Raya Waisak (Vesak) ditetapkan oleh pemerintah
sebagai hari libur nasonal (Tahun Buddhis 2527 B.E) dengan Surat Keputusan
Presiden RI No. 3/1983.
Sangha Agung Indonesia
(SAI/SAGIN)
Pada tahun 1974, atas prakarsa dan mediator Gde Puja, MA., Ditjen Bimas
Hindu dan Buddha, terjadi pertemuan antara Maha Sangha Indonesia (yang
berlandaskan pada 3 mazhab/tradisi) dan Sangha Indonesia (yang berlandaskan
pada ajaran Theravada). Hasil pertemuan tersebut adalah bergabungnya kedua Sangha
ini dan membentuk Sangha Agung Indonesia dengan landasan bahwa setiap bhikkhu
akan melaksanakan Vinaya sesuai dengan mazhab/ tradisinya masing-masing. Sangha
Agung Indonesia dipimpin oleh:
Ketua ( Nayaka ) : Y.M. Bhikkhu
Ashin Jinarakkhita
Wakil Ketua : Y.M. Bhikkhu Jinapiya
Akan tetapi, pertemuan selanjutnya untuk menetapkan antara lain struktur
dan fungsi organisasi Sangha Agung Indonesia tidak pernah dapat dilaksanakan.
Konsensus yang dibuat pada tanggal 14 Januari tersebut tidak dapat diwujudkan.
Peran Pemerintah
Perkembangan Agama Buddha pada masa Orde Baru tidak terlepas dari peran
pemerintah, dalam hal ini Ditjen Bimas Hindu dan Buddha yang berada dalam
naungan Departemen Agama. Di antara peran pemerintah dalam perkembangan Agama
Buddha adalah menjadi mediator di dalam permasalahan yang dihadapi oleh
organisasi-organisasi Agama Buddha. Salah satu peran serta pemerintah sebagai
mediator adalah memprakarsai pertemuan antara Maha Sangha Indonesia dengan
Sangha Indonesia sehingga terbentuklah Sangha Agung Indonesia pada tahun 1974.
Pada 23 Juli 1975, alm. Ibu Tien Soeharto meresmikan Arya Dwipa Arama di
Taman Mini Indonesia Indah dan menyerahkan penggunaannya kepada umat Buddha
Indonesia yang diwakilkan oleh Suraji Ariakertawijaya.
Pada 11 Oktober 1976, atas prakarsa Ditjen Bimas Hindu-Buddha (Gde Puja,
MA) terbentuklah Majelis Agung Buddha Indonesia (MABI) sebagai forum konsultasi
dari Majelis-majelis Agama Buddha yang ada.
Pergolakan dalam antar organisasi-organisasi Buddhis masih terjadi dan
kerukunan pun belum terwujud. Pada tahun 1976, atas dasar Ditjen Bimas Hindu
dan Buddha dilakukanlah pertemuan pimpinan organisasi Buddhis dan para pemuka
Agama Buddha di Jakarta.
Pada tahun 1983, Hari Raya Waisak (Vesak) ditetapkan oleh pemerintah
sebagai hari libur nasonal (Tahun Buddhis 2527 B.E).
Meskipun pemerintah ikut berperan dalam perkembangan Agama Buddha di
Indonesia, tapi nampaknya pemerintah juga ikut berperan dalam kemelut yang
muncul dalam organisasi Buddhis yang muncul pada masa Orde Baru (1965-1998).
Pasamuan I Buddha Dharma
Indonesia (BUDHI)
Pada tanggal 12-14 Maret 1976 diselenggarakan Pasamuan ke-I Buddha Dharma
Indonesia (BUDHI) di Lawang, Jawa Timur. Pasamuan itu berhasil membuat beberapa
ketetapan mengenai berbagai aspek Agama Buddha di Indonesia yang kemudian
disahkan dalam Kongres Umat Buddha di Yogyakarta pada tahun yang sama.
Ketetapan ini dijadikan landasan dalam perkembangan umat Buddha Indonesia, yang
nantinya tercantum dalam AD/ART Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI). Dalam
pertemuan tersebut juga terbentuk Badan Pekerja Majelis Buddha Dharma
Indonesia.
Pembentukan Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI)
Tanggal 29 September 1976 di Jakarta, atas prakarsa Mayjen Raharjo
Projopradoto (DPP Partai Golongan Karya/Golkar), Mayjen Saparjo (Sekjen Partai
Golkar) dan Gde Puja, MA. selaku Ditjen Hindu-Buddha mengadakan pertemuan
Pemimpin Organisasi Buddhis dan para pemuka Agama Buddha. Hasil pertemuan ini
disepakati:
1.
Aspek pembinaan kehidupan
keagamaan yang dilakukan oleh para rohaniawan dari sektenya masing-masing,
karena tidak mungkin dipersatukan oleh sebab tradisi, vinaya dan nilai-nilai
spiritual-spiritual yang berbeda satu sama lainnya.
2.
Aspek Sosial Kemasyarakatan dapat
dipersatukan dengan wadah tunggal GUBSI (Gabungan Umat Buddha Seluruh
Indonesia) dibawah pimpinan R. Eko Sasongko Pratomo, S.H (ketua) dan Drs.
Pannajiwa, AT (Sekjen).
GUBSI terdiri dari gabungan umat dari tujuh organisasi, yaitu:
1. Buddha Dharma Indonesia (BUDHI- Theravada)
2. Gabungan Tridharma Indonesia (GTI-Tridharma)
3. Gabungan Vihara Buddha Mahayana Indonesia (Mahayana)
4. Majelis Agama Buddha Nichiren
Shoshu Indonesia (Nichiren Shoshu)
5. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Maitreya)
6. Pamong Umat Buddha Kasogatan (Kasogatan)
7. Perhimpunan Buddha Dharma Indonesia (PERBUDHI)
Namun pada perkembangannya, GUBSI menjadi Ormas partai Golkar yang kemudian
ditinggalkan oleh anggotanya.
Kemudian organisasi BUDHI tumbuh menjadi Majelis Pandita Buddha Dharma
Indonesia (MAPANBUDHI) yang terbentuk pada tanggal 3 Oktober 1976 di Bandung
MAPANBUDHI yang berlandaskan pada ajaran Theravada ini dipimpin oleh Sekretaris
Jenderal: Maha Pandita Upasaka (M.P.U) Khemanyana Karbono dan Wakil Sekjen:
(alm.) M.P.U. Sumedha Widyadharma.
Terbentuknya MABI
Pada tanggal 11 Oktober 1976, atas prakarsa Ditjen Bimas Hindu dan Buddha
(Gde Puja, MA) terbentuk Majelis Agung Buddha Indonesia (MABI) sebagai forum
konsultasi dari Majelis Agama Buddha yang ada .
MABI yang berbentuk federasi sebagai forum konsultasi dari Majelis-majelis
Agama Buddha yang ada beranggotakan:
1. Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI)
2. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI)
3. Majelis Buddha Dharma Indonesia (Maitreya)
4. Gabungan Tri Dharma Indonesia (GTI)
5. Majelis Dharmaduta Kasogatan Indonesia (Kasogatan)
6. Parisada Buddha Dharma Nichiren Syosyu Indonesia (NSI)
7. Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD)
Gabungan Tridharma Indonesia (GTI) berpusat di Jakarta dan Perhimpunan
Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD) berpusat di Jawa Timur bergabung menjadi
Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia (MARTRISIA) dipimpin oleh Ongko
Prawiro.
MUABI mengundurkan diri dari Federasi MABI. Namun sebagian anggota MUABI
tidak menyetujui pengunduran diri tersebut, dan membentuk majelis baru dengan
nama Lembaga Dharmaduta Kasogatan Indonesia yang kemudian berganti nama menjadi
Majelis Dharmaduta Kasogatan Indonesia dan dipimpin Giriputra Sumarsono dan
Drs. Oka Diputhera. Sedangkan anggota MUABI lainnya kemudian mengganti MUABI
menjadi Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) pada tahun 1979.
Berdirinya Sangha Theravada
Indonesia
Hingga pada masa pertengahan tahun 1970-an umat Buddha di Indonesia terdiri
dari banyak organisasi. Pada masa itu ada beberapa organisasi umat Buddha yang
aktif di bidang pembinaan keagamaan tidak dibina oleh Sangha (yang ada waktu
itu).
Berdasarkan adanya situasi dan kondisi umat Buddha di Indonesia seperti
itulah, maka pada sore hari tanggal 23 Oktober 1976, bertempat di Vihara Maha
Dhammaloka (sekarang Vihara Tanah Putih), Semarang, beberapa orang bhikkhu dan
tokoh umat yaitu: Y.M. Bhikkhu Aggabalo, Y.M. Bhikkhu Khemasarano, Y.M. Bhikkhu
Sudhammo, Y.M. Bhikkhu Khemiyo dan Y.M. Bhikkhu Nanavutto; Bapak Suratin MS,
Bapak Mochtar Rasyid, dan Ibu Supangat, bersepakat untuk membentuk Sangha
Theravada Indonesia.
JAMAN WADAH TUNGGAL WALUBI
Polemik Politisasi Ketuhanan
Menjelang Negara Indonesia berdiri, para Pendiri Bangsa telah menetapkan
Pancasila sebagai landasan dasar negara yang menjadi pondasi bagi bangsa
Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Meskipun berbeda isi dengan Pancasila
Buddhis, nampaknya pemikiran dasar dari terbentuknya Pancasila Dasar Negara
Republik Indonesia ini merujuk pada Pancasila Buddhis sebagai inspirasinya.
Salah satu sila dari Pancasila RI yaitu sila pertama adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa. Mayoritas orang salah mengartikannya sebagai pengakuan bangsa
Indonesia atas keberadaan tuhan yang hanya satu. Padahal, ditinjau dari sudut
etimologi bahasa khususnya bahasa Sanskerta yang merupakan bahasa yang
digunakan dalam pembentukkan kalimat pada sila pertama tersebut, Ketuhanan Yang
Maha Esa tidaklah mengacu pada keberadaan tuhan yang satu. Ketuhanan Yang Maha
Esa lebih mengacu pada nilai-nilai atau sifat-sifat luhur yang tinggi yang
mutlak ada.
Pada tahun-tahun setelah percobaan kudeta 1965 yang gagal tersebut, setiap
adanya petunjuk penyimpangan dari ajaran monoteistik Pancasila dianggap sebagai
pengkhianatan. ketika semua warga negara Indonesia diharuskan untuk mendaftar
dengan denominasi agama tertentu atau dicurigai sebagai simpatisan komunis, Untuk
mempertahankan agama Buddha di Indonesia, pendiri Perbuddhi, Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita, mengusulkan adanya penyesuaian dalam dogma Buddhisme di
Indonesia, yaitu adanya dewa tertinggi tunggal, "Sang Hyang Adi
Buddha". Ia mencari bukti dan konfirmasi untuk versi khas Buddhisme
Indonesia ini dalam teks-teks Jawa kuna, dan bahkan dari bentuk kompleks candi
Buddha di Borobudur di Provinsi Jawa Tengah.
Jumlah umat yang terdaftar sebagai penggikut Buddhisme naik tajam, beberapa
puluh biara Buddha baru dibangun. Hal ini kemudian disampaikan kepada Menteri
Agama dan akhirnya pemerintah menerima Agama Buddha sebagai agama resmi negara
pada tahun 1978. Hal ini tercantum dalam GBHN tahun 1978, Kepres R.I No. 30
Tahun 1978, serta Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/ 74054/1978 (18
November 1978), UU RI No 43 Tahun 1999 (Perubahan atas UU No 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian), sebagaimana Peraturan Pemerintah RI No 21 Tahun 1975
(tentang Sumpah/Janji PNS): Demi Allah diganti dengan demi Sang Hyang
Adi-Buddha.
Pada tanggal 20 Pebruari 1979 di Jakarta berlangsung Lokakarya
Pemantapan Ajaran Agama Buddha dengan Kepribadian Nasional Indonesia.
Selanjutnya Kongres Umat Buddha Indonesia pada tanggal 8 Mei 1979 di Yogyakarta
menyetujui wadah tunggal dengan nama Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi).
Nama ini pemberian Menteri Agama (Alamsyah Ratu Prawiranegara), yang
menghendaki adanya satu organisasi mewakili umat Buddha dalam Wadah Musyawarah
Antar Umat Beragama (1980). Walubi merupakan federasi dengan anggota :
(1) Sangha
Theravada Indonesia.
(2) Sangha
Mahayana Indonesia,
(3) Sangha
Agung Indonesia,
(4) Majelis
Agama Buddha Nichiren Syosyu Indonesia,
(5) Majelis
Buddha Mahayana Indonesia, kemudian menjadi Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia,
(6) Majelis
Dharma Duta Kasogatan,
(7) Majelis
Pandita Buddha Dhamma Indonesia (Mapanbudhi),
(8) Majelis
Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi),
(9) Majelis
Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia),
(10) MUABI.
Setelah Kongres Umat Buddha MUABI diubah namanya menjadi Majelis Buddhayana
Indonesia (MBI).
Walubi diketuai oleh Suparto Hs dari Mapanbudhi dengan sekjen Ir.
T. Soekarno dari NSI dan ketua Dewan Pembinanya Soemantri M.S. dari MUABI.
Walubi memiliki organ Persidangan Sangha-Sangha di Indonesia sehingga
menempatkan ketiga Sangha sebagai lembaga fatwa dengan ketuanya Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita.
Kongres Umat Buddha Indonesia mengukuhkan keputusan Lokakarya
Pemantapan Ajaran Agama Buddha dengan Kepribadian Nasional Indonesia. Keputusan
itu mengenai pengakuan bahwa semua sekte agama Buddha di Indonesia berkeyakinan
terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa. Semua sekte agama Buddha menghormati
sebutan yang berbeda-beda untuk menyebut Tuhan tetapi hakikatnya satu dan sama.
Semua sekte mengakui Buddha Gotama sebagai Nabi, berpedoman kepada Kitab Suci
Tripitaka/Tipitaka dan bertekad melaksanakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila. Semua sekte mempunyai umat yang berbeda di seluruh pelosok tanah
air. Kongres juga menetapkan kriteria agama Buddha di Indonesia, yaitu adanya
Tuhan Yang Maha Esa, Triratna / Tiratana, hukum trilaksana / tilakkhana, Catur Arya
Satyani / Cattari Ariya Saccani, pratitya samutpada / paticca samuppada, karma /
kamma, punarbhava / punnabhava, nirvana/nibbana, dan Bodhisattva / Bodhisattva.
Meskipun Agama Buddha telah resmi menjadi agama negara, namun penggunaan
istilah Sanghyang Adi Buddha sebagai tuhan menjadi polemik dan kontroversi
tersendiri di kalangan umat Buddha Indonesia sampai sekarang. Hal ini
dikarenakan konsep Sanghyang Adi Buddha yang hanya ada dalam Agama Buddha
mazhab/tradisi Tantrayana/ Vajrayana bukanlah Tuhan dalam pengertian Tuhan
berpersonal seperti pengertian dalam agama monotheis (agama Abraham).
Politisasi dengan menggunakan dan sekaligus menyandingkan istilah Sanghyang Adi
Buddha sebagai tuhan personal sangat bertentangan dengan ajaran Agama Buddha yang
pada dasarnya adalah nonteis. Dengan adanya politisasi ini, menjadikan Agama
Buddha di Indonesia menjadi sedikit berbeda dengan Agama Buddha di dunia.
Selain itu, hal ini menambah jumlah sikap kontroversi yang ada pada diri Y.M.
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita sebagai pencetus penggunaan istilah Sanghyang Adi
Buddha sebagai tuhan dalam Agama Buddha.
Akhirnya, pada tahun yang sama, Ditjen Bimas Hindu-Buddha (Gde Puja, MA.)
mengeluarkan keputusan bahwa seluruh mazhab/tradisi Agama Buddha berkeyakinan
terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa dan masing-masing sekte memberikan nama
yang berbeda-beda, tetapi pada hakekatnya adalah sama.
Dengan demikian, maka secara tidak langsung timbul pemaksaan dontrin oleh
pemerintah dimana seluruh mazhab/tradisi Agama Buddha wajib meyakini adanya
Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan bagi mazhab/tradisi yang tidak meyakini adanya
Tuhan Yang Maha Esa, maka akan dibubarkan. Hal ini pernah terjadi pada
mazhab/tradisi Buddha Mahayana yang diperkenalkan oleh Bhiksu Surya Karma
Chandra. Karena Mazhab/tradisi ini tidak menerima doktrin Tuhan Yang Maha Esa,
maka akhirnya mazhab/ tradisi ini dilarang keberadaannya pada tanggal 21 Juli
1978.
Pembentukan WALUBI
Setelah mengadakan petemuan dengan Menteri Agama, Alamsyah Ratu
Perwiranegara, atas prakarsa pemerintah, para pemimpin umat Buddha Indonesia
sepakat untuk membentuk wadah tunggal yang akan mewakili seluruh umat Buddha
Indonesia.
Pada tanggal 7 sampai 8 Mei 1978 dilangsungkan Kongres Umat Buddha di
Yogyakarta. Dalam kongres ini terbentuklah Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI)
sebagai wadah tunggal umat Buddha di Indonesia yang berbentuk Federasi. Nama
Perwalian Umat Buddha Indonesia sendiri di berikan oleh Menteri Agama, Alamsyah
Ratu Perwiranegara. Saat itu dalam keanggotaan pengurus WALUBI terpilih:
Suparto Hs. dari Majelis Pandita Buddha Dharma Indonesia sebagai ketua
(Sekretaris Jenderal).
DPP WALUBI adalah :
1. Suwarto Kolopaking, SH.
(MUABI)
2. Ir. T. Soekarno (Nichiren Shoshu
Indonesia)
3. Gunawan Sindhumarto, SH. ( Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia
)
4. Drs. Oka Diputhera (Majelis Dharmaduta Kasogatan Indonesia)
5. Bhaggadewa Siddharta (Majelis
Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia)
6. Herman S. Endro, SH. (Majelis
Pandita Buddha Dharma Indonesia)
7. Ir. Hartanto Kulle (Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia)
Dewan Kehormatan adalah :
1. Soemantri MS. (MUABI-MBI)
2. Sumeda Widyadharma ( Majelis
Pandita Buddha Dharma Indonesia)
3. Giriputra Soemarsono (Majelis Dharmaduta Kasogatan Indonesia)
4. IS. Susilo (Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia)
5. Zen Dharma (Majelis Pandita
Buddha Maitreya Indonesia)
6. Sasanaputera ( Majelis
Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia)
7. Seno Soenoto (Nichiren Shoshu
Indonesia)
Berdirinya Sangha Mahayana
Indonesia
Pada menjelang akhir tahun 1978, sebagian bhiksu Mahayana memisahkan diri
dari Sangha Agung Indonesia. Kemudian, untuk menyatukan para bhiksu dan
bhiksuni Mahayana dalam satu wadah kesatuan, mereka mendirikan Sangha Mahayana
Indonesia pada tanggal 10 September 1978 di Vihara Buddha Murni, Medan,
Sumatera Utara.
Para pemrakarsa dari berdirinya Sangha Mahayana Indonesia yaitu Bhiksu
Dharmabatama Mahasthavira (Suhu Huat Sien), Bhiksu Heng Sin, Bhiksu Sakyaputra
Mahasthavira (Suhu Seng Hiong), Bhiksu Dharmasagaro Sthavira (Suhu Ting Hay),
Bhiksu Mioa Kai, Bhiksu Ru Kong, Bhiksu Dharmasetya Sthavira (Suhu Xing Xiu),
Bhiksu Miao Huat, Bhiksu Cong Gie, Bhiksuni Ti Yao, Bhiksuni Beng Kie, dan
Bhiksuni Tuan Sin.
Dengan berdirinya Sangha Mahayana Indonesia, maka di Indonesia terdapat
tiga Sangha, yaitu, Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia dan
Sangha Mahayana Indonesia.
Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama
Buddha
Pada akhir tahun 1978, diadakan pertemuan para pemuka agama dan organisasi
Buddhis dengan pihak pemerintah. Pertemuan ini membahas dan menyepakati
mengenai pelaksanaan Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha dengan
Kepribadian Nasional Indonesia sebelum bulan Februari 1979 sebagai dasar untuk
mengadakan Kongres Umat Buddha Indonesia yang juga akan dilaksanakan pada tahun
1979.
Dalam pertemuan pembahasan mengenai Lokakarya, keikutsertaan Nichiren
Shoshu Indonesia (NSI) diprotes oleh anggota MUABI dan Sangha Agung Indonesia
karena ajaran NSI yang dianggap menyimpang dari ajaran Agama Buddha. Aliran NSI
yang berasal dari Jepang ini tetap menjadi kontroversi pada sampai sekarang,
baik dari segi sejarah maupun dari segi ajarannya. Dalam ajarannya terdapat
penyimpangan yaitu pengangkatan Nichiren Daishonin sebagai Buddha pada masa
sekarang yang menggantikan Buddha Gotama. Aliran ini juga memperbolehkan para
bhiksunya untuk menikah, suatu tindakan yang tidak sesuai dengan vinaya
(peraturan ke-bhikshu-an) manapun.
Namun, dengan ikut campurnya pihak pemerintah dalam berkeagamaan umat
Buddha Indonesia, akhirnya NSI diperkenankan untuk mengikuti Lokakarya yang
akan diselenggarakan bulan Februari 1979.
Lokakarya yang merupakan Prakongres Umat Buddha Indonesia, dilaksanakan
pada tanggal 20 Februari 1978 di Jakarta dan menghasilkan dokumen
"Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha dalam kepribadian Nasional
Indonesia". Hasil lokakarya ini merupakan dasar untuk mengadakan Kongres
Umat Buddha Indonesia.
Berdirinya Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia sebelum Kongres Umat Buddha Indonesia diadakan
pada bulan Mei 1979, berdirilah Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia
(MAJABUMI) dimana seluruh Umat Mahayana dan Sangha Mahayana Indonesia bergabung
menjadi satu kesatuan yang utuh.
Kongres Umat Buddha Indonesia
Setelah diadakan prakongres, Kongres Umat Buddha Indonesia diselenggarakan
pada tanggal 8 Mei 1979 di Yogyakarta. Hasil kongres itu antara lain Kode Etik,
Kriteria Agama Buddha, Ikrar Umat Buddha Indoensia dan pengukuhan Hasil
Keputusan Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha Dengan Kepribadian Nasional
Indonesia.
Ikrar Umat Buddha yang isinya antara lain akan melaksanakan dengan sepenuh
hati dan sebaik-baiknya semua Ketetapan dan Keputusan Kongres Umat Buddha
Indonesia, dinyatakan dalam forum terbuka dihadapan Menteri Agama Alamsyah Ratu
Perwiranegara dalam Upacara Waisak Nasional pada tanggal 10 Mei 1979 di Candi
Mendut dan ditandatangani oleh semua Sangha dan Majelis Agama Buddha, termasuk
NSI yang pada waktu itu mengakui sebagai Agama Buddha yang sama dengan
Majelis-majelis lainnya.
Hasil Kongres Umat Buddha tersebut merupakan dasar dan besar artinya untuk
mewujudkan kerukunan, persatuan dan kesatuan umat Buddha di Indonesia. Oleh
sebab itu, akan dikukuhkan dalam Kongres I WALUBI yang dilaksanakan pada 8
sampai 11 Juli 1986 di Jakarta. Dengan adanya hasil Kongres yang merupakan
dasar kerukunan, persatuan dan kesatuan umat Buddha bukanlah berarti kerukunan
itu dapat segera tercipta. Tidaklah mudah untuk melaksanakan program WALUBI
pada tahun-tahun pertama terbentuknya.
Berdirinya Majelis Buddhayana
Indonesia (MBI)
Pada tahun 1979 juga diadakan Kongres MUABI yang kemudian menghasilkan
perubahan nama organisasi menjadi Majelis Buddhayana Indonesia.
Penyimpangan
Pada tanggal 27 sampai 28 Februari 1982, dengan dalih Anggaran Dasar WALUBI
tidak sah, maka diadakan Kongres Luar Biasa WALUBI untuk membuat Anggaran Dasar
baru. Hasil dari Kongres Luar Biasa tersebut adalah penggantian DPP WALUBI.
Ketua umum yang baru adalah Soemantri Mohammad Saleh dari Majelis Buddhayana
Indonesia dan Seno Sunoto dari Nichiren Shoshu Indonesia sebagai Sekjen.
Penggantian pimpinan WALUBI tahun 1982 tidaklah membawa peningkatan pada
kerukunan intern Umat Buddha dan terlaksananya program WALUBI, tetapi
sebaliknya Sambutan Hari Raya Waisak dari Seno Sutono selaku Sekjen WALUBI yang
dimuat dalam surat kabar 'Sinar Harapan' pada tahun 1983 adalah bertentangan
dengan kode etik dan hasil lokakarya pemantapan ajaran Agama Buddha. Dalam
sambutannya itu Seno Sutono mengubah Hari Raya Waisak (Vesak) sebagai hari
balas budi bagi umat Buddha yang berdasarkan pada filsafat dan pandangan hidup
orang Jepang.
Protes-protes dalam surat kabar dapat dihentikan agar tidak menimbulkan
keresahan dan mengganggu kerukunan lebih lanjut dikalangan umat Buddha. Masalah
tersebut akan diselesaikan oleh DP WALUBI Pusat. Akan tetapi masalah tersebut
tidak pernah diselesaikan.
Kemudian pada awal tahun 1985 timbul kembali kepermukaan keresahan
dikalangan umat Buddha di Jawa Tengah, terutama di Wonogiri tentang adanya
Buddha lain disamping Buddha Gotama. Dalam konsultasi pejabat Direktorat
Jendral Bimas Hindu-Buddha dengan pemuka Agama Buddha, Seno Sutono mengakui
bahwa Nichiren Daisyonim adalah seorang Buddha.
Permasalahan tentang adanya dua Buddha yang bertentangan dengan kriteria
Agama Buddha, kode etik dan hasil lokakarya pemantapan ajaran Agama Buddha dan
merusak kerukunan intern umat Buddha, tidak diselesaikan oleh DPP WALUBI hingga
pada Kongres I WALUBI tahun 1986.
Kongres I WALUBI
Pada tanggal 8 sampai 11 Juli 1986, dilaksanakanlah Kongres I WALUBI yang
dibuka oleh Presiden Soeharto di Istana Negara. Kongres ini mengukuhkan
hasil-hasil Kongres Umat Buddha Indonesia tentang kode etik, kriteria Agama
Buddha di Indonesia, Agama Buddha dengan kepribadian nasional Indonesia, ikrar
umat Buddha Indonesia. Dalam Kongres I WALUBI tersebut terpilih sebagai ketua
umum WALUBI adalah Y.M. Bhikkhu Girirakkhito Maha Thera dari Sangha Theravada
Indonesia dan wakilnya adalah Drs. Aggi Tjetje dari Majelis Rohaniawan
Tridharma Seluruh Indonesia, serta Y.M. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita Maha Thera
sebagai ketua dan Maha Pandita Sumedha Widyadharma sebagai wakil ketua.
Sidang Khusus Vidhayaka Sabha WALUBI
Kontroversi Nichiren Shoshu Indonesia yang terjadi sebelum Kongres I WALUBI
akhirnya mencapai puncaknya.
Sidang Khusus Vidhayaka Sabha WALUBI pada tanggal 8 Juli 1987 dan Sidang
DPP WALUBI tanggal 9-10 Juli 1987 menjadi sidang-sidang yang penting. Karena melalui
sidang-sidang itu, Vidhayaka Sabha WALUBI mengambil keputusan bulat mengenai
Nichiren Shoshu Indonesia (NSI) dengan tidak mengakuinya sebagai sebuah Majelis
Agama Buddha di Indonesia. Dasar yang dipakai antara lain, NSI ternyata berisi
ajaran dan doktrin yang menyimpang/menyeleweng dari Agama Buddha yang
berpedoman pada Kitab Suci Tripitaka/Tipitaka secara utuh terpadu sebagaimana
yang diajarkan oleh Sang Buddha Gotama/Sakyamuni.
Keputusan ini kemudian dilaksanakan oleh DPP WALUBI dengan mengeluarkan NSI
dari keanggotaan WALUBI pada tanggal 10 Juli 1987 dengan SK No. 01/DPP/WALUBI/VII/87.
Setelah peristiwa itu, WALUBI terdiri dari 3 (tiga) Sangha dan 6 (enam)
Majelis Agama Buddha.
Pengabdian
Tanggal 16 Oktober 1988 untuk pertama kali di Indonesia men-divisudhi-kan 3
(tiga) orang Sarjana Agama Buddha (jurusan Dharmacariya) lulusan Sekolah Tinggi
Agama Buddha NALANDA. STAB NALANDA ini dikelola oleh Yayasan Dana Pendidikan
Buddhis Nalanda dan terdaftar di Direktorat Jendral Bimas Hindu dan Buddha No. H/9/SK/1988.
Bapak Mulyadi Wahono, SH adalah direktur dari STAB NALANDA, jabatan mana yang
dipegangnya sejak diresmikannya Akademi Buddhis Nalanda (pandahulu dari STAB
NALANDA) oleh Dirjen Bimas Hindu & Buddha, Bapak Drs. Gde Puja, SH pada
tanggal 11 Juni 1979.
Pada tanggal 19 November 1988 diadakan Pasamuan III/1988 Sangha Theravada
Indonesia di Vihara Mendut, Magelang, yang dihadiri 14 bhikkhu peserta, salah
satu keputusannya adalah perubahan kepemimpinan Sangha Theravada Indonesia.
Pada Juli 1991 Sangha Theravada Indonesia (STI) menyerahkan upadi (tanda
penghargaan) kepada tiga orang tokoh umat Buddha, bertempat di Vihara Jakarta
Dhammacakka Jaya, Jakarta. Ketiganya adalah Sumedha Widyadharma mendapat gelar
Sasana Cariya, (alm.) Anton Haliman mendapat gelar Sasana Pala, dan Visakha
Hartati Tjakra Murdaya mendapat gelar Sasana Pala. Gelar penghargaan ini
merupakan gelar kehormatan tertinggi saat itu dan juga yang pertama kali
diberikan oleh STI.
Setelah 16 tahun Agama Buddha menjadi agama resmi yang diakui oleh negara,
pada 12 Juli 1994 untuk pertama kalinya, Presiden Soeharto (saat itu) dan
(alm.) Ny. Tien Soeharto bersedia menghadiri Dharmasanti Waisak 2538/1994 di
Jakarta Hilton Convention Centre bersama dengan Wakil Presiden Tri Sutrisno dan
Ny. Tuti Try Sutrisno serta sejumlah menteri.
Pada 18 Agustus 1994 dibentuk satu lembaga Buddhis baru yang diberi nama
Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI) dengan Siti Hartati Murdaya, MBA
sebagai Ketua Umum dan Drs. Oka Diputhera sebagai Sekjen.
Tanggal 2 April 1995 bertempat di Vihara Mendut, Mungkid, Jawa Tengah,
Sangha Theravada Indonesia meng anugerahkan tanda penghormatan kepada tiga
orang Pengurus Pusat Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDHI,
sekarang MAGABUDHI). Penghargaan itu diberikan karena pengabdian terus menerus
disertai dedikasi yang tinggi selama lebih dari dua puluh lima tahun dan turut
aktif mengembangkan Agama Buddha Theravada di Indonesia. Mereka adalah Drs.
Teja S. Mochtar Rashid (mendapat gelar Dhamma Visarada), Herman Satriyo Endro,
S.H. (Dhamma Lankara), dan dr. R. Surya Widya (Sasana Dhaja).
Kemelut Dalam WALUBI
Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) sebagai organisasi besar yang
mewadahi seluruh umat Buddha, nampaknya tidak luput dari permasalahan dan
kemelut yang muncul dari dalam tubuh organisasi ini. Pelanggaran kode etik,
buruk sangka, kesalahpahaman sampai pada pemaksaan kepentingan pribadi mewarnai
permasalahan, kemelut serta konflik internal yang berkepanjangan dalam tubuh WALUBI.
Pada tahun 1990, Wakil Ketua Umum WALUBI : Drs. Aggie Tjetje, SH. dipecat
dengan tidak hormat oleh DPP WALUBI melalui Rapat Pleno DPP WALUBI karena
melakukan tindakan indisipliner organisasi dan menyalahgunakan wewenang serta
memecah belah kerukunan umat Buddha Indonesia.
Pada tanggal 7 Desember 1992 diadakan Kongres atau MUNAS II WALUBI yang
dibuka oleh Presiden Soeharto di Istana Negara. Kemudian rapat-rapat Munas II
ini dilakukan di Hotel Horison, Jakarta sampai tanggal 9 Desember 1992.
Pada tahun 1994, dalam pembentukan AD/ART WALUBI, muncullah AD/ART
“kembar”. AD/ART yang pertama (AD/ ART Munas) merupakan AD/ART yang disusun
oleh Tim yang diangkat oleh Munas. Sedangkan AD/ART yang lainnya (AR/ARD Pleno)
merupakan AD/ART yang disusun oleh Tim Perumus Kecil dari rapat Pleno yang
dimotori oleh Ketua Dewan Penyantun, Siti Hartati Murdaya.
Diawali dengan adanya AD/ART “kembar” dan yang diikuti dengan pemecatan 13
pengurus DPP WALUBI yang berasal dari keanggotaan Majelis Budhayana Indonesia
(MBI) dan Sangha Agung Indonesia, kemelut dalam tubuh WALUBI terus berlanjut
dengan pembekuan Keanggotaan Majelis Buddhayana Indonesia dengan SK No.
135/SK/DPP-WLB/1.8/X/94. Kemudian WALUBI mengeluarkan Surat Keputusan No. 141/SK/DPP-WLB/1.8/94
tentang Pember-hentian Sangha Agung Indonesia (SAI) dan Majelis Buddhayana
Indonesia (MBI) dari WALUBI.
Diberhentikannya Sangha Agung Indonesia dan Majelis Buddhayana Indonesia
dari keanggotaan WALUBI pada 15 Oktober 1994, menandai berakhirnya kemelut
dalam tubuh WALUBI.
Dikeluarkannya SAI dari keanggotaan WALUBI yang didasari oleh
kesalahpahaman terhadap praktek keagamaan yang dilakukan oleh beberapa anggota
SAI dan MBI, menimbulkan kritik dari banyak pihak. Kesalah pahaman ini jelas
tertampak dari “fatwa” WALUBI No. 001/WS-WLB/III/1995 yang menyatakan bahwa SAI
dan MBI sebagai aliran Kepercayaan dan bukan organisasi. Dan bukan saja
kesalahpahaman dari pengurus WALUBI yang dikritisi tetapi juga sikap yang tidak
menghormati Sangha Agung Indonesia sebagai lembaga ulama (bhikkhu/bhiksu) yang
telah mempelopori kebangkitan Agama Buddha Indonesia, juga mendapatkan kritikan
keras.
Kemelut WALUBI dengan SAI dan MBI nampaknya tidak berhenti setelah SAI dan
MBI dikeluarkan dari keanggotaan WALUBI. Kemelut terus berlanjut hingga
tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998.
JAMAN REFORMASI
Sudah 64 tahun semenjak kedatangan Y.M. Bhikkhu Narada Thera dari Sri Lanka
pada 1934, hingga tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998. Perkembangan Agama
Buddha di Indonesia terus mengalami dinamika. Berdasarkan Badan Pusat Statistik
tahun 2005 Departemen Agama Republik Indonesia, jumlah umat Buddha di Indonesia
berjumlah 2.242.833 orang. Jumlah ini belum termasuk umat Buddha yang terdapat
di pelosok-pelosok daerah.
Berkembangnya media komunikasi seperti internet ikut mempengaruhi
perkembangan Agama Buddha di Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya
situs-situs (website) bernuansa Buddhis berbahasa Indonesia.
Meskipun pada masa reformasi ini perkembangan Agama Buddha di Indonesia
bisa dikatakan lebih baik jika dibanding-kan dengan masa-masa sebelumnya, namun
bukan berarti tidak memiliki permasalahan. Adanya globalisasi, dan munculnya
aliran-aliran ataupun agama baru di dunia juga mempengaruhi perkembangan Agama
Buddha di Indonesia. Selain itu, umat Buddha Indonesia juga dihadapi oleh
kemelut yang tidak kunjung selesai yang terjadi dalam Perwalian Umat Buddha
Indonesia (WALUBI).
Pembubaran Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI-Lama)
Kemelut yang berkepanjangan yang melibatkan Sangha Agung Indonesia, Majelis
Buddhayana Indonesia, dan WALUBI, terus berlanjut sampai menjelang akhir tahun
1998.
Pada tanggal 20 Agustus 1998 ditandatangani Konsensus Nasional Umat Buddha
Indonesia dengan membentuk Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI-Baru) dengan
bentuk federasi dan memegang prinsip Non Intervensi. Beberapa pihak mencurigai
adanya rekayasa dibalik Konsensus Nasional Umat Buddha Indonesia yang
diselenggarakan oleh WALUBI yang saat itu kepemimpinannya berada ditangan Siti
Hartati Murdaya.
Pembentukan WALUBI-Baru menimbulkan pertanyaan besar bagai banyak kalangan.
Umumnya, pembentukan suatu organisasi atau lembaga baru yang terdiri dari
anggota-anggota lama seharusnya didahului terlebih dulu dengan pembekuan dan
pembubaran organisasi atau lembaga yang lama.
Baru kemudian pada 6 November 1998 Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI-Baru)
mengadakan MUNAS Khusus dengan agenda pembubaran Perwalian Umat Buddha
Indonesia (WALUBI-Lama). Oleh beberapa kalangan, pembubaran WALUBI-Lama
dianggap telah menyalahi AD/ART WALUBI-Lama.
Nampaknya dengan dibubarkannya Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI-Lama),
tidak membuat perbaikan yang berarti dalam tubuh organisasi Perwalian Umat
Buddha Indonesia (WALUBI-Baru). Dan dengan dikeluarkannya Sangha Agung
Indonesia dari WALUBI-Lama, maka WALUBI-Baru hanya tinggal memiliki dua Sangha,
yaitu Sangha Theravada Indonesia (STI) dan Sangha Mahayana Indonesia (SMI).
Namun, tidak lama setelah WALUBI-Lama dibubarkan, Sangha Theravada
Indonesia dan Sangha Mahayana Indonesia yang berpendapat sudah tidak ada lagi
wadah yang mengikat, akhirnya bersama dengan Sangha Agung Indonesia mengadakan
pertemuan dan membentuk Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI).
Kini WALUBI-Baru tidak lagi memiliki Lembaga Sangha yang secara historis
merupakan Sangha Indonesia yang telah mengayomi umat Buddha Indonesia sejak
kemunculan kembali Sangha di Indonesia pada tahun 1959. Yang tertinggal dalam WALUBI-Baru
adalah pribadi-pribadi anggota sangha yang tidak tergabung dalam Lembaga Sangha
manapun. Dalam perkembangan selanjutnya, WALUBI-Baru mulai merekrut pribadi-pribadi
anggota Sangha baik dari dalam maupun dari luar negeri dan membentuk lembaga
yang kemudian diklaim sebagai lembaga sangha dalam WALUBI-Baru. Perekrutan
pribadi-pribadi anggota Sangha dari luar negeri dinyatakan oleh beberapa pihak
sebagai pelanggaran atas prinsip non intervensi dan pelanggaran terhadap
Anggaran Dasar WALUBI-Baru Pasal 21.
Selain merekrut pribadi-pribadi anggota sangha, WALUBI-Baru juga mulai
merangkul aliran-aliran kontroversial termasuk merangkul kembali Nichiren
Shoshu Indonesia (NSI) yang pada tanggal 10 Juli 1987 telah dikeluarkan dari
keanggotaan WALUBI-Lama.
Konferensi Agung Sangha Indonesia
(KASI)
Dengan dibubarkannya Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI-Lama), maka
tidak ada lagi Lembaga Sangha yang menyatukan sangha-sangha yang ada di
Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 14 November 1998 berdirilah Konferensi
Agung Sangha Indonesia (KASI), atas prakarsa para Ketua Sangha yang ada di
Indonesia.
Naskah berdirinya KASI ditandatangani bersama oleh:
- Y.M. Bhiksu Dharmasagaro Mahasthavira : Ketua Sangha Mahayana Indonesia
- Y.M. Bhikkhu Sri Pannavaro Mahathera : Ketua Sangha Theravadha Indonesia
- Y.M. Bhiksu Arya Maitri
Mahasthavira : Wakil Ketua Sangha
Agung Indonesi
- Y.M. Bhiksu Prajnavira
Mahasthavira yang terpilih sebagai Sekjen KASI.
KASI adalah Perhimpunan Sangha-Sangha (persaudaraan para bhikkhu/bhiksu)
dalam suatu persidangan (konferensi) Agung, dengan berpedoman pada Kitab Suci
Agama Buddha (Tripitaka Pali, Mahayana, Tibet/kanjur), Lembaga ini sebagai
pengambilan keputusan berpedoman Dhamma (Dhammaniyoga). Meskipun KASI merupakan
Perhimpunan Sangha-Sangha yang anggota pengurusnya adalah para bhikkhu/bhiksu,
namun KASI juga tetap melibatkan umat awam sebagai pembantu para sangha.
Pada hari Rabu tanggal 4 Agustus 1999 pukul 14.00, Konferensi Agung Sangha
Indonesia (KASI) beserta pimpinan majelis-majelis Agama Buddha yang terkait
dengan KASI akan bertemu dengan Menteri Agama, Prof. Drs. Malik Fadjar, MSc.
Majelis-majelis Agama Buddha yang terkait dengan KASI adalah Majelis Buddhayana
Indonesia (MBI), Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (MAJABUMI), Majelis
Agama Buddha Theravada Indonesia (MAGABUDHI), dan Majelis Agama Buddha
Tridharma Indonesia.
Dalam kesempatan itu KASI melaporkan kepada Menteri Agama bahwa setelah
Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI-Lama) dibubarkan pada tanggal 6
November 1998, maka pada tanggal 14 November 1998 ketiga Sangha yang ada di
Indonesia, yaitu: Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia, dan
Sangha Mahayana Indonesia telah berhimpun dalam wadah independen Konferensi
Agung Sangha Indonesia (KASI).
Menurut Kitab Suci Tripitaka, Sangha dan umat perumah-tangga merupakan
kelompok yang berdiri masing-masing. Kehadiran Sangha adalah wajib hukumnya,
sedangkan kehadiran organisasi awam (umat perumah-tangga) memang dipuji, tetapi
bukan keharusan. Organisasi awam boleh diubah atau mungkin dibubarkan dan
diganti baru, tetapi Sangha harus dipertahankan keberadaannya dengan segala
ketentuan Vinaya sebagaimana tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka/Tripitaka.
Dalam pertemuan dengan Menteri Agama, juga dilaporkan beberapa kegiatan
KASI, antara lain: mengikuti Rapat Kerja II Komite Eksekutif VI World Buddhist
Sangha Council (WBSC) di Sri Lanka pada tanggal 17-22 April 1999 dan mengadakan
Waisak Bersama se-Sumatera Utara di Medan. Pimpinan World Buddhist Sangha
Council (WBSC) menyambut dengan gembira terbentuknya KASI, sekaligus juga
mengangkat Y.M. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita Maha Nayaka Sthavira (76 tahun,
bhikkhu pelopor kebangkitan Agama Buddha di Indonesia) sebagai Wakil Presiden
WBSC.
KASI sebagai organisasi resmi umat Buddha tertuang dalam surat bernomor
455.5/1204 yang ditandatangani PLH Dirjen Sosial dan Politik Departemen Dalam
Negeri Republik Indonesia, Drs H Ragam. Dengan demikian KASI layak mewakili
umat Buddha dalam forum apa pun.
Dengan berdirinya KASI maka kini umat Buddha Indonesia memiliki lembaga
ulama yang sejajar dengan lembaga-lembaga ulama dalam agama lain dimana
kepengurusannya berada di tangan para ulama seperti Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dari agama Islam, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dari Katolik,
Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dari Kristen.
Nampaknya kehadiran KASI tidaklah mulus. Kehadiran KASI mendapat guncangan
melalui upaya-upaya tidak sehat dari oknum pemimpin WALUBI-Baru. Guncangan
pertama adalah dengan membentuk Dewan Sangha WALUBI yang berusaha menjadi
tandingan KASI, Dewan Sangha WALUBI tersebut terdiri dari pribadi-pribadi
anggota sangha yang tidak tergabung dalam Lembaga Sangha manapun dan para
pribadi bhikkhu/bhiksu warga negara asing (WNA) yang sengaja didatangkan dari
Thailand, Amerika Serikat, dan lain-lain. Kedua melalui siaran pers WALUBI-Baru
meminta para bhikkhu/bhiksu senior yang tergabung dalam Konferensi Agung Sangha
Indonesia (KASI) untuk lepas jubah (kembali menjadi umat awam) dan menuding
para bhikkhu/bhiksu tersebut sebagai bhikkhu/bhiksu liar. Ketiga adalah sempat
mempengaruhi Dirjen Bimas Hindu dan Buddha sehingga terbitlah surat No.
H/BA.04.1/452/IV/99/RHS tanggal 19 April 1999 yang menyatakan tidak lagi
membina KASI beserta SAI / SAGIN dan MBI.
Dengan adanya upaya-upaya tersebut di atas, maka timbullah konflik antar
anggota WALUBI-Baru dengan umat pendukung KASI. Konflik antara WALUBI-Baru
dengan umat pendukung KASI ini membuat sebagian umat Buddha Indonesia merasa
bingung dan menimbulkan perpecahan dikalangan umat. Silat lidah diberbagai
media sampai aksi demo mewarnai konflik WALUBI-Baru dengan KASI yang dimulai
pada pertengahan tahun 1999.
Posisi KASI sebagi Lembaga Ulama Agama Buddha menjadi semakin kuat semenjak
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berlangsung pada 20
Oktober 1999 sampai pada 23 Juli 2001. Dukungan Gus Dur kepada KASI tercermin
dalam keikutsertaan Beliau sebagai tamu undangan dalam setiap acara keagamaan
yang diselenggarakan oleh KASI, termasuk dalam setiap perayaan Waisak.
Sebaliknya, WALUBI-Baru tidak mendapatkan dukungan dari Presiden RI ke-4
tersebut.
Seiring dengan berjalannya waktu, konflik antara WALUBI-Baru dengan KASI
mulai mendingin. Meskipun demikian sisa-sisa konflik masih tersisa.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tahun 2005
menjelang perayaan Waisak 2549, atas peran pemerintah sebagai mediator, telah
terjadi kesepakatan bersama antara KASI dengan WALUBI-Baru mengenai perayaan
Waisak Nasional di Candi Borobudur. Sesuai kesepakatan bersama, perayaan Waisak
Nasional di Candi Borobudur penyelengaranya akan dilakukan secara bergantian
antara KASI dengan WALUBI-Baru.
Pada tahun 2006 untuk pertama kalinya KASI menyelenggarakan Waisak Nasional
di pelataran Candi Borobudur.
Perkembangan
Mahayana
Aliran
Buddha Mahayana diduga datang di antara abad 1 SM hingga 1 M, istilah Mahayana ditemukan
di Sutra Saddharma Pundarika. Aliran Mahayana baru dikenal secara jelas pada
kira – kira abad ke 2 M, ketika ajaran Mahayana dijelaskan dalam tulisan –
tulisan.
Perkembangan
ajaran Mahayana di Indonesia pada umumnya terbagi atas dua yaitu Buddha Mahayana
dan Buddha Tridharma. Buddha Mahayana merupakan perpaduan sekte Zen dan sekte
Sukhavati (unsur ke-Tiongkokannya masih kuat). Buddha Tridharma (Buddha
Kelenteng) yang ada di Indonesia adalah perpaduan Buddha Mahayana dengan
Taoisme dan Konghucu (Konfusianisme), yaitu budaya Tionghoa tradisi Dao Jiao,
Run Jiao, dan budaya lokal. Dimana pengembangnya antara lain Kwee Tek Hoay,
Khoe Soe Khiam, Ong Kie Tjay, dan Aggi Tje Tje.
Pada
tahun 1978, Bhikkhu-bhikkhu dari aliran Mahayana membentuk Sangha Mahayana
Indonesia yang diketuai oleh Bhikkhu Dharmasagaro. Sangha Mahayana Indonesia
inilah yang mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana Indonesia.
Cita-cita Sangha adalah menyebar luaskan ajaran Buddha Mahayana di Indonesia
dengan menggunakan bahasa Indonesia serta menerjemahkan kitab-kitab suci agama
Buddha ke dalam bahasa Indonesia.
Perkembangan
Vajrayana
Aliran
Buddha Vajrayana atau juga disebut Tantrayana di Indonesia pertama kali
dipelopori oleh Romo Giriputre Soemarsono dan Romo Dharmesvara Oke Diputhera
pada tahun 1953 – 1956 dengan membentuk kelompok Tantrayana yang disebut
Kasogatan. Kasogatan dibentuk karena dorongan untuk mengembalikan agama Buddha
agar dapat meluas kembali seperti ketika masa zaman kerajaan Majapahit.
Kasogatan memiliki arti dan sejarah penting dilihat dari segi kepribadian
bangsa. Pada zaman Majapahit, kasogatan merupakan kata yang dipakai untuk
menyebut ke-Buddha-an. Kasogatan berasal dari kata "sugata", salah
satu gelar maha agung Sang Buddha yang berarti “yang berbahagia”. Ajaran agama
Buddha yang berkembang pada masa itu didapat pada kitab suci Sanghyang
Kamahayanikan yang dianut oleh umat-umat Buddha pada saat itu.
Kelompok
aliran Tantrayana kedua ialah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang
didirikan pada tahun 1987. Kelompok ini merupakan kelompok umat Tantrayana yang
beraliran Zhanfo Zong, dipimpin oleh seorang umat Buddha bernama Harsono (kini
bernama Vajracarya Harsono). Saat itu umat Tantrayana Zhenfo Zong berjumlah
lebih kurang 200 umat, mereka melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada
satu vihara ke vihara lainnya karena tidak tersedianya fasilitas yang tetap.
Akhirnya dibentuklah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan pembangunan
sebuah vihara di daerah Muara Karang dengan nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta
sebagai tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia. Pada bulan Oktober
1988, semua pemimpin Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan umat Majelis
Dharma Duta Kasogatan Indonesia bertemu dan menggabung kedua yayasan ini.
Penggabungan ini bermaksud untuk pembauran umat secara wajar melalui agama dan
sosial budaya dan terwujudnya agama Buddha yang berorientasi kepada kepribadian
dan budaya Indonesia.
Dengan
bergabungnya mazhab agama Buddha menjadi sangha-sangha dan majelis-majelis
Agama Buddha menjadi anggota Perwalian Umat Buddha Indonesia, maka Majelis
Dharma Duta Kasogatan Indonesia berubah nama menjadi Majelis Agama Buddha
Tantrayana Kasogatan Indonesia, diresmikan pada Oktober 1994 lalu berubah
menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada
tahun 2001.
Perkembangan
Theravada
Perkembangan
aliran Buddha Theravada dipelopori oleh Bante Vidhurdhammabhorn (Bhante Vin).
Pada saat perkembangan agama Buddha yang sedang pesatnya, Bhikkhu-bhikkhu muda
ditahbiskan di Wat Bovoranives, Thailand, atas bantuan Bhante Vin. Penahbisan
ini diberi izin oleh Bhante Vin sendiri, tidak melalui Bhante Ashin. Bhikkhu-bhikkhu
yang di tahbiskan di Wat Bovoranives memiliki garis keturunan Dhammayuttika,
ini berarti apabila garis keturunan berbeda, maka tidak boleh mengikuti upacara
Patimokkha dari garis keturunan yang lain.
Dengan
adanya perbedaan pandangan, maka pada Januari 1972, Bhikkhu – Bhikkhu yang
merupakan lulusan dari Wat Bovoranives akhirnya memisahkan diri dan membentuk
Sangha Indonesia, namun pada tahun 1974, Sangha Indonesia akhirnya bergabung
kembali ke Maha Sangha Indonesia di bawah pimpinan Bhante Ashin. Nama Maha
Sangha Indonesia diubah menjadi Sangha Agung Indonesia (SAGIN). Pada tahun
1976, Bhikkhu-bhikkhu lulusan Wat Bovoranives yang merupakan murid binaan
Bhante Vin memutuskan keluar dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha
Theravada Indonesia (STI).
Faktor-faktor
berkurangnya umat Buddha di Indonesia
Faktor-faktor
yang menyebabkan kekurangan jumlah penduduk yang beragama Buddha di Indonesia
antara lain :
- Ajaran
Buddha sendiri yang mengajarkan bahwa kita harus melakukan ehipassiko, yaitu
datang, lihat dan buktikan diri sendiri. Inilah yang menyebabkan banyak orang
yang tidak mengenal ajaran agama Buddha karena mereka tidak tahu kapan mereka
dapat mempelajarinya.
- Banyak
yang menganggap bahwa ajaran agama Buddha identik dengan dupa, bunga, lilin,
dan lain-lain yang membuat orang-orang berpikir mengenai modal cukup besar yang
akan dikeluarkan.
- Dalam
agama Buddha tidak ada suatu perjanjian yang mengikat seseorang untuk tetap
menganut agama Buddha, sehingga setelah menikah, cukup banyak umat buddhis
berganti agama karena harus mengikuti agama pasangannya.
- Banyak
orang yang menganggap bahwa agama Buddha tidak memberikan mereka hal yang
dijanjikan untuk masuk surga karena mayoritas membutuhkan suatu keamanan dan
jaminan bahwa mereka akan masuk surga.
- Kurangnya
ajaran agama Buddha dalam keluarga sehingga anak-anak mereka yang bersekolah di
sekolah non-buddhis akan mengikuti cara-cara dan aturan-aturan di sekolahnya
yang menyebabkan mereka terpengaruh.
- Faktor-faktor
dari orang tuanya yang tidak terlalu mengerti ajaran agama Buddha sehingga ada
orang tua yang hanya menjalankan tradisi orang cina dan ada juga yang hanya
berstatus agama Buddha, tetapi tidak tahu apa-apa mengenai agama Buddha. Hal
ini juga disebabkan oleh Kurangnya keyakinan akan agama Buddha.
PENUTUP
Buddhisme atau Agama Buddha merupakan salah satu agama yang sejak lama
telah dianut oleh sebagian besar masyarakat Nusantara. Jaman Kerajaan Sriwijaya
dan Majapahit merupakan jaman keemasan bagi Buddhisme. Keberadaan Buddhisme di
Nusantara (Indonesia) dapat dibuktikan dengan adanya peninggalan-peninggalan
sejarah berupa prasasti-prasasti dan bangunan-bangunan berupa candi serta
literatur-literatur asing khususnya yang berasal dari China.
Tradisi atau aliran Agama Buddha yang dianut oleh masyarakat Nusantara pada
awalnya adalah non-Mahayana, namun untuk perkembangan selanjutnya Mahayana dan
Tantrayana menjadi lebih populer di masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya peninggalan sejarah yang memiliki nilah filsafat Mahayana dan
Tantrayana.
Dari peninggalan sejarah juga dapat dilihat bahwa telah terjadi
sinkretisasi antara agama Hindu-Shiva dengan Buddhisme Mahayana di Indonesia.
Setelah mengalami dua masa kejayaan, yaitu masa Kerajaan Sriwijaya dan
Kerajaan Majapahit, akhirnya Buddhisme di Indonesia mengalami kemunduran
setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.
Namun setelah melalui empat jaman, setelah 500 tahun kemudian semenjak
runtuhnya Kerajaan Mahapahit pada tahun 1478, Agama Buddha mulai bangkit
kembali dari tidurnya.
Perjalanan kebangkitan kembali dan perkembangan Agama Buddha yang dimulai
pada jaman penjajahan hingga sekarang melalui jalan yang berliku-liku. Berbagai
permasalahan muncul silih berganti.
Pada jaman penjajahan, perkembangan Agama Buddha menghadapi kendala berupa
minimnya tokoh-tokoh yang memahami Buddha Dharma dan menghadapi agresifitas
para misionaris agama lain. Pada masa kemerdekaan dan Orde Lama, perkembangan
Agama Buddha diwarnai oleh perbedaan pendapat dan pandangan di kalangan
pimpinan umat Buddha sehingga menimbulkan gejolak di sana-sini hingga
didirikannya beragam organisasi Buddhis baru. Selain itu, sikap pemerintah yang
belum mengakui Agama Buddha sebagai agama resmi, telah mempersempit gerak
perkembangan Agama Buddha. Namun pada masa ini lahirlah Sangha Indonesia
sebagai pengayom umat Buddha.
Agama Buddha menjadi salah satu agama yang resmi mewarnai perkembangan
Agama Buddha pada era Orde Baru. Selain itu, terbentuknya Wadah Tunggal WALUBI
serta kemelut dalam organisasi juga terjadi pada masa ini. Alih-alih
mempersatukan seluruh umat Buddha seluruh Indonesia, tidak begitu lama,
kehadiran WALUBI menimbulkan kemelut dan perpecahan dikalangan umat Buddha.yang
disebabkan adanya prasangka, kesalah pahaman, serta pemaksaan kepentingan
pribadi dari beberapa oknum anggota pengurus WALUBI.
Pembubaran WALUBI-Lama dan mendirikan WALUBI-Baru dengan maksud mengubur
permasalahan yang ada, nampaknya tidak memberikan dampak yang baik. Meskipun
demikian, terdapat sisi terang dari kemelut yang terjadi. Setidaknya umat
Buddha akhirnya memiliki Lembaga Sangha yaitu KASI yang dapat duduk sejajar
dengan lembaga-lembaga ulama dalam agama lain.
Akhirnya, melalui sejarah, generasi muda Buddhis akan mengingat dan
mencatat bahwa dalam perkembangan Agama Buddha di Indonesia, pernah terjadi
konflik-konflik yang terjadi dalam tubuh organisasi Agama Buddha. Hal ini
merupakan sebuah peristiwa kelam yang terjadi dalam perkembangan Agama Buddha
di Indonesia. Peristiwa kelam ini seharusnya tidak perlu terjadi apabila setiap
anggota organisasi tidak mengedepankan dan menyalahgunakan kekuasaan untuk
kepentingan pribadi. Generasi muda Buddhis juga diharapkan dapat mengedepankan
kepentingan bersama, saling memahami serta selalu merujuk pada Dharma dan
Vinaya yang telah dibabarkan oleh Buddha Gautama.
”Kelahiran Buddha merupakan sebab kebahagiaan. Pembabaran Ajaran Benar
merupakan sebab kebahagiaan. Persatuan Sangha merupakan sebab kebahagiaan.
Usaha perjuangan mereka yang telah bersatu merupakan sebab kebahagiaan.”
(Dhammapada 194)
(Dhammapada 194)
EVAM
Di susun oleh: Sakura
dari berbagai sumber
Idaÿ me mãtãpitunaÿ hontu, sukhitã
hontu mãtãpitaro
Idaÿ me ñãtinaÿ hontu, sukhitã
hontu ñãtayo
Idaÿ me sabbadevatanaÿ hontu, sukhitã
hontu sabbe deva
Idaÿ me sabbapetanaÿ hontu, sukhitã
hontu sabbe peta
Idaÿ me sabbaverinaÿ hontu, sukhitã
hontu sabbe veri
Idaÿ me sabbasattanaÿ hontu, sukhitã
hontu sabbe satta
Semoga jasa kebajikan ini melimpah kepada ayah ibu saya,
semoga ayah ibu saya berbahagia
Semoga jasa kebajikan ini melimpah kepada sanak keluarga
saya,
semoga sanak keluarga saya berbahagia
Semoga jasa kebajikan ini melimpah kepada para dewa,
semoga para dewa berbahagia
Semoga jasa kebajikan ini melimpah kepada para peta,
semoga para peta berbahagia
Semoga jasa kebajikan ini melimpah kepada mereka yang
memusuhi,
semoga mereka berbahagia
Semoga jasa kebajikan ini melimpah kepada semua makhluk,
semoga semua makhluk berbahagia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar