Apakah Umat Buddha Penyembah
Berhala?
Penghormatan Terhadap Objek
Dalam setiap agama pasti terdapat objek-objek atau
simbol-simbol yang ditujukan untuk Penghormatan. Dalam Buddhisme terdapat tiga
objek agama yang utama untuk tujuan tersebut, yaitu:
-
Saririka atau relik-relik jasmani Sang Buddha;
-
Uddesika atau simbol-simbol agama seperti rupang (patung, gambar) Sang Buddha dan cetiya atau pagoda;
-
Paribhogika atau barang-barang pribadi yang pernah digunakan oleh Sang Buddha.
Sudah menjadi hal yang biasa bagi semua umat
Buddha di seluruh dunia untuk memberikan penghormatan kepada objek-objek di
atas. Dan juga merupakan tradisi umat Buddha untuk membangun rupang Sang Buddha,
cetiya atau pagoda pagoda serta menanam pohon Bodhi di setiap Vihara sebagai
objek penghormatan keagamaan.
Banyak orang salah paham dan menggangap umat
Buddha sebagai penyembah berhala. Kesalahpahaman ini disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan tentang ajaran Buddha serta adat istiadat dan tradisi Buddhis.
Penyembahan berhala secara umum berarti mendirikan
patung dewa-dewi di beberapa agama theistik dalam berbagai bentuk oleh
pemeluknya untuk disembah, mencari berkah dan perlindungan serta untuk berkah
kemewahan, kesehatan dan kekayaan para pemohon. Beberapa pemohon bahkan memohon
kepada patung untuk memenuhi bermacam kekuasaan pribadi walaupun kekuasaan itu
diperoleh dengan cara yang salah. Mereka juga berdoa agar dosa mereka diampuni.
Pemujaan terhadap rupang (gambar/patung) Sang
Buddha sebenarnya berbeda dengan aspek yang diterangkan di atas. Bahkan istilah
“menyembah” ini sendiri tidak sesuai dengan sudut pandang Buddhis.
“Memberi penghormatan” merupakan istilah yang lebih tepat. Umat
Buddha tidak berdoa kepada patung atau berhala; apa yang mereka lakukan adalah
memberi penghormatan kepada seorang guru agama yang agung yang layak diberi
penghormatan. Rupang-rupang didirikan sebagai tanda penghormatan dan penghargaan
untuk pencapaian tertinggi dari Pencerahan dan kesempurnaan yang dicapai oleh
seorang guru agama yang luar biasa. Bagi seseorang Buddhis, rupang
(gambar/patung) Sang Buddha hanya merupakan suatu tanda, simbol yang membantunya
mengingat Sang Buddha.
Umat Buddha berlutut dan memberi hormat kepada
rupang (gambar/patung) sebenarnya memberi hormat kepada apa yang diwakili dari
rupang (gambar/patung) itu. Mereka mencari keinginan duniawi dari rupang
(gambar/patung) tersebut. Mereka merenung dan bermeditasi untuk mendapatkan
inspirasi dari kepribadian mulia Sang Buddha. Mereka berusaha menyamakan
kesempurnaanNya dengan mengikuti ajaran-ajaran mulia Sang Buddha.
Umat Buddha menghormati kebajikan dan kesucian
guru agamanya yang diwakili oleh rupang (gambar/patung) tersebut. Faktanya semua
penganut agama menciptakan rupang (gambar/patung) yang mewakili guru agama
mereka baik dalam bentuk visual atau dalam bentuk penggambaran secara pikiran
untuk penghormatan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil untuk mengkritik
dan menyatakan bahwa umat Buddha adalah penyembah berhala.
Tindakan memberi penghormatan kepada seorang yang
mulia, Sang Buddha, bukanlah suatu perbuatan yang dilakukan atas dasar rasa
takut atau perbuatan untuk memohon kebahagiaan duniawi. Umat Buddha percaya
bahwa perbuatan menghargai dan menghormati ciri-ciri suci yang dimiliki oleh
guru agama mereka merupakan suatu perbuatan yang berpahala dan membawa berkah.
Umat Buddha juga percaya bahwa mereka sendiri yang bertanggung jawab atas
keselamatan diri mereka sendiri dan tidak harus bergantung kepada pihak ketiga.
Meskipun demikian, ada pihak lain yang percaya bahwa mereka bisa mendapat
keselamatan mereka melalui perantaran pihak ketiga dan mereka inilah yang
mengkritik umat Buddha sebagai penyembah rupang (gambar/patung) seorang yang
sudah tiada lagi di dunia. Fisik seseorang bisa mengalami disintegrasi dan
terurai menjadi empat unsur tetapi kebajikannya akan kekal selamanya. Seorang
Buddhis menghargai dan menghormati sifat-sifat mulia ini. Oleh itu, tuduhan
terus menerus terhadap umat Buddha sangat disayangkan, sama sekali salah serta
tidak berdasar.
Ketika kita mempelajari ajaran Sang Buddha, kita
dapat memahami Sang Bhagava telah mengatakan bahwa Sang Buddha hanyalah seorang
guru yang telah menunjukkan jalan yang benar untuk keselamatan dan berpulang
kembali kepada penganutnya untuk menjalani kehidupan beragama dan menyucikan
pikiran mereka untuk mendapatkan keselamatan tanpa bergantung kepada guru agama
mereka. Menurut Sang Buddha, tidak ada tuhan atau guru agama manapun yang dapat
memasukkan seseorang ke dalam surga atau neraka. Manusia menciptakan surga dan
nerakanya sendiri melalui pikiran, tindak-tanduk serta perkataan mereka sendiri.
Oleh karena itu, berdoa kepada pihak ketiga untuk
keselamatan diri tanpa menyingkirkan pikiran jahat merupakan satu perbuatan yang
sia-sia. Namun begitu, ada beberapa orang termasuk umat Buddha dalam melakukan
sembahyang tradisional di hadapan rupang (gambar/patung) akan mencurahkan
masalah-masalah mereka, nasib malang yang dialami serta kesulitan yang dihadapi
dan memohon pertolongan Sang Buddha untuk membantu mereka menyelesaikan
masalah-masalah tersebut. Walaupun perbuatan tersebut bukan suatu praktek
Buddhis yang sebenar, tetapi perbuatan demikian dapat mengurangi ketegangan
emosi, memberi inspirasi kepada pemohon untuk mendapatkan keberanian dan
ketetapan hati untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Hal ini juga umum
dilakukan dibeberapa agama lain. Tetapi bagi mereka yang dapat memahami
sebenarnya penyebab dasar dari permasalahan mereka, mereka tidak membutuhkan
tindakan seperti itu. Ketika umat Buddha menghormati Sang Buddha, mereka
menghormatiNya dengan malafalkan kalimat-kalimat yang memuliakan kebajikan
murniNya. Kalimat-kalimat ini bukanlah doa-doa dalam hal meminta kepada tuhan
atau dewa untuk menghapus dosa mereka. Kalimat-kalimat ini hanya bertujuan untuk
memberikan penghormatan kepada seorang Guru Agung yang telah mencapai Pencerahan
dan menunjukkan cara hidup yang benar untuk kebaikan manusia. Umat Buddha
menghormati guru agama mereka atas dasar rasa berterima kasih sedangkan penganut
agama lain berdoa dan membuat permohonan untuk mendapatkan keuntungan dan
manfaat bagi mereka. Sang Buddha juga menasihati kita untuk “menghormati
mereka yang pantas dihormati.” Oleh karena itu, seorang Buddhis boleh
mengakui dan menghormati guru agama manapun yang pantas dan layak dihormati.
Di tempat puja bakti, umat Buddha melaksanakan
meditasi untuk melatih pikiran dan disiplin diri. Untuk tujuan meditasi, sebuah
objek diperlukan; tanpa suatu objek untuk dipegang, tidaklah mudah untuk
berkonsentrasi. Umat Buddha kadangkala menggunakan rupang (gambar/patung) Sang
Buddha sebagai objek dimana mereka dapat berkonsentrasi dan mengontrol pikiran
mereka.
Di antara banyak objek meditasi, objek visual
(yang bisa dilihat dengan nyata) memiliki efek yang lebih baik dalam pikiran. Di
antara lima panca-indera, objek yang kita tangkap melalui kesadaran penglihatan
(mata) memiliki pengaruh lebih besar pada pikiran dibanding dengan objek-objek
yang ditangkap melalui kesadaran indera lainnya. Indera penglihatan dapat
mempengaruhi pikiran lebih dari indera lainnya. Oleh karena itu, objek yang
dapat ditangkap oleh mata membantu pikiran untuk konsentrasi secara lebih mudah
dan lebih baik.
Gambar atau bentuk adalah bahasa bawah sadar
(sub-conscious). Jika demikian, rupang (gambar/patung) Sang Buddha
tereflesikan dalam pikiran seseorang sebagai penjelmaan seorang yang sempurna,
refleksi ini akan menembus pikiran bawah sadar seseorang dan jika cukup kuat,
secara otomatis akan bertindak sebagai pengerem keinginan jahat.
Sebagai suatu objek visual, rupang (gambar/patung)
Buddha mempunyai dampak yang baik dalam pikiran; perenungan akan pencapaian dari
Sang Buddha dapat menghasilkan kegembiraan, kesegaran pikiran dan menghilangkan
ketegangan, keresahan dan frustasi di dalam diri seseorang.
Salah satu tujuan dalam meditasi “Buddha –
nussati” (Perenungan Terhadap Buddha), yaitu untuk
menciptakan rasa bakti dan keyakinan terhadap Sang Buddha dengan menyadari dan
menghargai keagungan Beliau. Oleh karena itu, “menyembah” rupang (gambar/patung)
Sang Buddha, dimana tidak terdapat doa permohonan, sumpah-sumpah atau ritual
tidak bisa dianggap sebagai menyembah berhala, tetapi sebagai suatu bentuk
penghormatan yang ideal.
Penghormatan
Beberapa kalimat yang dibacakan oleh umat Buddha
untuk mengenang Guru Agung mereka sebagai tanda penghormatan dalam rasa terima
kasih dan dalam pujian kepada Sang Buddha berbunyi seperti berikut:
Namo Tassa Bhagavato Arahato
Sammasambuddhassa
Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang
Telah Mencapai Pencerahan Sempurna.
Selanjutnya mereka membaca kalimat yang
menjelaskan ciri-ciri agung dan kebajikan Sang Buddha seperti berikut:
“Iti pi so Bhagava Araham Samma sambuddho
vijja carana–sampanno Sugato
Lokavidu
Anuttaro Purisa
dammasarathi
Sattha
Devamanussanam Buddho Bhagava ti”
Keseluruhan kalimat ini di dalam bahasa Pali. Jika
anda tidak terbiasa dengan bahasa ini, anda dapat melafalkan kalimat tersebut
dalam berbagai bahasa yang anda ketahui. Terjemahannya di dalam bahasa Indonesia
seperti berikut:
“Karena itulah Sang Bhagava, Yang Maha Suci,
Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna: Sempurna pengetahuan serta
tindak–tandukNya, Sempurna menempuh Sang Jalan (ke Nibbana), Pengenal segenap
alam, Pembimbing yang tiada taranya, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar ,
Yang Patut Dimuliakan”
Sebuah Kisah Buddhis
Ada sebuah kisah yang akan membantu kita memahami
mengapa rupang (gambar/patung) Sang Buddha penting untuk memberi inspirasi
pikiran kita serta mengenang Sang Buddha dalam pikiran kita. Kisah ini terdapat
di dalam kitab suci Buddhis tetapi tidak di dalam Tipitaka Pali.
Beberapa ratus tahun setelah Sang Buddha mangkat,
ada seorang bhikkhu yang taat di India bernama Upagupta. Beliau adalah penyebar
agama yang paling popular pada masa itu. Setiap kali Beliau menyampaikan ceramah
Dhamma, beribu–ribu orang akan datang mendengarkan ceramah Dhamma yang
disampaikannya.
Pada suatu hari, Mara, si penggoda, merasa iri
hati dengan kemasyhuran Yang Mulia Upagupta. Mara mengetahui bahwa kemasyhuran
Upagupta membantu penyebaran ajaran Sang Buddha. Mara tidak menyukai melihat
perkataan Sang Buddha memenuhi pikiran dan hati banyak orang. Mara membuat
rencana untuk menghentikan orang-orang orang mendengarkan ceramah-ceramah
Upagupta. Suatu hari, ketika Upagupta memulai ceramahnya, Mara mengadakan suatu
pertunjukan bersebelahan dengan tempat dimana Upagupta berkotbah. Sebuah pentas
yang indah muncul dengan tiba–tiba. Terdapat gadis-gadis penari yang cantik dan
musisi yang lincah.
Orang-orang segera melupakan ceramah Upagupta dan
beralih ke pertunjukkan untuk menikmati pernampilannya. Upagupta memperhatikan
orang-orang perlahan-lahan meninggalkannya. Kemudian Beliau juga memutuskan
untuk bergabung dalam kerumunan. Setelah itu ia memutuskan untuk memberikan
pelajaran kepada Mara.
Ketika pertunjukkan itu berakhir, Upagupta
menghadiahkan sebuah kalung bunga kepada Mara.
“Kau telah menyusun suatu pertunjukkan yang
luar biasa,“ kata Yang Mulia Upagupta.
Mara tentu saja merasa senang dan bangga dengan
pencapaiannya. Dengan sukacitanya, Mara menerima kalung bunga dari Upagupta dan
mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.
Tiba–tiba kalung bunga itu berubah menjadi lilitan
menyerupai ular. Perlahan-lahan lilitan itu menjadi semakin ketat dan mencekik
leher Mara. Lilitan itu mencengkram lehernya begitu sakitnya, sehingga ia
mencoba menarik lilitan itu hingga putus. Walau seberapa kuat Mara menariknya,
ia tidak bisa melepaskan lilitan itu dari lehernya. Ia pergi mencari Sakka untuk
membuka lilitan itu. Sakka juga tidak bisa melepasnya. “Saya tidak dapat
melepaskan lilitan ini,” kata Sakka. “Pergilah dan temui Maha Brahma yang
paling kuat.”
Lalu, Mara pun pergi menemui Maha Brahma dan
meminta pertolongannya; tapi Maha Brahma juga tidak bisa berbuat apapun.
“Saya tidak dapat melepaskan lilitan ini, satu-satunya orang yang dapat
melepaskan lilitan ini adalah orang yang memakaikannya kepadamu,” kata Maha
Brahma.
Lalu, Mara terpaksa kembali ke Yang Mulia
Upagupta.
“Tolong bukakan lilitan ini; ini sangat
menyakitkan,” Mara memohon.
“Baiklah, saya akan melakukannya tetapi dengan
dua kondisi,” kata Upagupta. “Kondisi pertama yaitu kau harus berjanji
untuk tidak mengganggu para penganut di masa depan. Kondisi kedua yaitu kau
harus menunjukkan kepadaku wujud Sang Buddha yang sebenarnya. Karena saya tahu
engkau pernah melihat Sang Buddha dalam beberapa kesempatan, tapi saya tidak
pernah melihat Nya. Saya ingin melihat wujud sebenarnya dari Sang Buddha sama
persis, dengan 32 tanda istimewa yang terdapat pada fisik Nya.”
Mara merasa sangat gembira. Ia setuju dengan
Upagupta. “Tapi satu hal”, pinta Mara. “Jika saya merubah diri saya
menjadi rupa Sang Buddha, kau harus berjanji untuk tidak akan menyembah saya
kerena saya bukan orang suci sepertimu.”
“Saya tidak akan menyembahmu,” janji
Upagupta.
Tiba-tiba Mara merubah dirinya menjadi rupa yang
terlihat persis sama seperti Sang Buddha. Ketika Upagupta melihat rupa itu,
pikirannya dipenuhi dengan inspirasi besar; rasa baktinya muncul dari dalam
hatinya. Dengan tangan beranjali, dengan segera Beliau menyembah figur Buddha
itu.
“Kau telah melanggar janjimu,” teriak Mara.
“Engkau berjanji tidak akan menyembah saya. Sekarang, kenapa kau menyembah
saya?”
“Saya tidak menyembahmu. Kau harus memahami
saya sedang menyembah Sang Buddha,” kata Yang Mulia Upagupta.
Berdasarkan kisah ini, kita dapat memahami mengapa
rupang (gambar/patung) Sang Buddha penting untuk memberi inspirasi kepada kita
dan mengingat kemuliaan Sang Buddha dalam pikiran kita sehingga kita dapat
memuliakannya. Kita sebagai Buddhis tidak menyembah simbol material atau wujud
yang hanya mewakili Sang Buddha. Tetapi kita memberi penghormatan kepada Sang
Buddha.
Inspirasi dari Rupa Sang Buddha
Sang Buddha telah mangkat dan mencapai Nibbana.
Sang Buddha tidak memerlukan penghormatan atau persembahan, tetapi hasil dari
penghormatan akan mengikuti kita dan orang-orang akan mendapatkan manfaat dengan
mengikuti teladanNya serta merefleksikan melalui pengorbanan tertinggi dan
kualitas agungNya.
Seorang Buddhis tidak melakukan pengorbanan
binatang atas nama Sang Buddha.
Ketika beberapa Buddhis melihat rupang
(gambar/patung) Sang Buddha, rasa bakti dan kebahagiaan muncul dalam pikirannya.
Rasa bakti atau kebahagiaan ini merupakan suatu objek yang menciptakan pikiran
luhur di dalam pikiran seorang Buddhis yang berbakti. Rupang (gambar/patung)
Sang Buddha ini juga membantu orang untuk melupakan kerisauan mereka, kekecewaan
dan masalah-masalah serta membantu mereka mengontrol pikiran mereka.
Beberapa filosof terkenal dunia, para sejarahwan
dan sarjana menyimpan rupang (gambar/patung) Sang Buddha di atas meja di dalam
ruang baca mereka untuk mendapatkan inspirasi kehidupan dan pemikiran yang lebih
tinggi. Kebanyakan dari mereka adalah non-Buddhis. Banyak orang menghormati
kedua orang tua mereka yang telah meninggal, guru, para pahlawan besar, para
raja dan ratu, pemimpin nasional dan politik serta orang-orang lain yang
disayangi dengan menyimpan gambar-gambar untuk menghargai memori mereka. Mereka
mempersembahkan bunga untuk menyatakan perasaan kasih, terima kasih,
penghargaan, penghormatan dan bakti mereka. Mereka mengenang kembali kualitas
mulia dan mengingatnya dengan bangga atas pengorbanan dan pelayanan yang
diberikan oleh para tokoh ketika mereka masih hidup.
Orang-orang juga mendirikan patung untuk mengenang
beberapa tokoh pemimpin politik tertentu yang telah membantai berjuta nyawa yang
tidak bersalah. Karena kejahatan dan ketamakan mereka untuk mendapatkan
kekuasaan, mereka menjajah negara-negara yang miskin dan menciptakan
penderitaan, kekejaman, dan kesengsaraan yang tak terkira dengan tindakan
perampasan mereka. Namun, mereka masih dianggap sebagai pahlawan besar; dan
peringatan tanda jasa diselenggarakan untuk menghormati mereka, dan memberikan
bunga-bunga di atas makam dan kuburan mereka. Jika perbuatan tersebut dapat
dibenarkan mengapa sebagian orang mengejek umat Buddha sebagai pemuja berhala
ketika mereka memberikan penghormatan kepada guru agama mereka yang telah
melayani umat manusia tanpa merugikan yang lain dan yang telah menaklukkan
seluruh dunia melalui kasih sayang, belas kasih dan kebijaksanaanNya?
Bisakah seseorang dengan pikiran sehat mengatakan
bahwa menghormati rupang (gambar/patung) Sang Buddha sebagai sesuatu yang tidak
berbudaya, tidak bermoral atau tindakan yang merugikan seperti mengganggu
kedamaian dan kebahagiaan orang lain?
Apabila sebuah rupang (gambar/patung) sama sekali
tidak penting bagi manusia dalam menjalankan agama maka simbol-simbol agama
tertentu dan tempat-tempat beribadat juga tidak diperlukan. Umat Buddha dikecam
oleh beberapa orang sebagai penyembah batu. Tetapi menyembah batu tidak
berbahaya dan lebih terhormat dibandingkan dengan umat agama lain yang melakukan
pelemparan batu.
Pentingnya Praktek
Bagaimanapun juga, untuk mempraktekkan
ajaran-ajaran Sang Buddha, keberadaan rupang (gambar/patung) Sang Buddha
bukanlah suatu keharusan . Seorang Buddhis dapat mempraktekkan agama mereka
tanpa rupang (gambar/patung) Sang Buddha; mereka bisa melakukan hal ini kerena
Sang Buddha tidak menganjurkan manusia untuk mengembangkan pengkultusan
individu, dimana menurut ajaran Sang Buddha, seorang Buddhis tidak sepatutnya
bergantung kepada orang lain bahkan kepada Sang Buddha sendiri untuk keselamatan
dirinya.
Semasa kehidupan Sang Buddha, ada seorang bhikkhu
bernama Wakkali. Bhikkhu ini selalu duduk di hadapan Sang Buddha dan mengagumi
keindahan ciri-ciri fisik Sang Buddha. Wakkali mengatakan bahwa ia mendapat
kebahagiaan dan inspirasi yang besar dengan mengagumi keindahan Sang Buddha.
Sang Buddha menjawab, “Engkau tidak dapat melihat Buddha yang sebenarnya
dengan hanya melihat tubuh fisiknya saja. Mereka yang melihat ajaran saya maka
melihat saya”.
Aspek yang paling penting sekali dalam Buddhisme
adalah mempraktekkan nasihat-nasihat yang diberikan oleh Sang Buddha. Di dalam
hal ini, tidak ada bedanya antara seorang Buddhis yang memberi penghormatan
kepada Sang Buddha dengan yang tidak. Tetapi bagi beberapa umat, penghormatan
ini sangat penting. Bagaimanapun juga, Sang Buddha tidak mengatakan bahwa Beliau
mengharapkan penghormatan.
Asal Muasal Rupang Buddha
Lalu, Bagaimanakah rupang (gambar/patung) Buddha
bermula? Sukar untuk mengetahui apakah ide ini diberikan oleh Sang Buddha atau
tidak. Tidak ada satupun dalam kitab suci Buddhis bahwa Sang Buddha meminta
untuk membuat rupang (gambar/patung) Nya. Namun, Sang Buddha memberikan ijin
untuk menyimpan relik-relik Beliau.
Suatu ketika Yang Mulia Ananda pernah ingin
mengetahui mengetahui apakah diijinkan mendirikan pagoda (cetiya) untuk
mengenang Sang Buddha sebagai cara menghormati Beliau. Kemudian Yang Mulia
Ananda bertanya kepada Sang Buddha, ”Apakah layak, Yang Mulia, untuk
membangun sebuah pagoda ketika Sang Bhagava masih hidup?”
Sang Buddha menjawab, “Tidak, adalah tidak
layak ketika Saya masih hidup. Engkau bisa membangun objek penghormatan ini
hanya setelah Saya tiada.”
Juga dalam kotbah terakhirNya, Maha Parinibbana
Sutta, Sang Buddha menasihati para siswaNya bahwa jika mereka ingin menghormati
Sang Buddha setelah Ia tiada, mereka boleh membangun pagoda-pagoda untuk
menyimpan relik tubuhNya. Nasihat ini sesuai dengan kebiasaan di India pada masa
itu: kebiasaan membangun pagoda-pagoda untuk menyimpan relik orang–orang yang
suci. Relik ini disimpan sebagai suatu kenangan sebagai tanda penghormatan
kepada orang-orang suci. Pada saat yang sama, Sang Buddha sendiri tidak
menganjurkan dan juga tidak melarang para siswaNya untuk mendirikan rupang
(gambar/patung)Nya setelah Ia meninggal dunia. Idea untuk menciptakan rupang
(gambar/patung) Buddha datang dari pengikut-pengikutNya yang ingin memuja
pemimpin terkasih mereka dan bertujuan mendapat inspirasi dari pribadi Sang
Buddha yang luhur. Mereka juga menggunakannya untuk menyimpan sebagian dari
relik Sang Buddha di dalam rupang (gambar/patung) tersebut setelah didirikan.
Fa-hsien, yang mengunjungi India pada akhir abad
keempat menyebutkan dalam catatannya bagaimana rupang (gambar/patung) Sang
Buddha yang pertama didirikan. Bagaimanapun, kitab-kitab suci Buddhis tidak
menyebut apa-apa tentang pengamatan Fa-hsien tersebut. Meskipun demikian,
mitologi mencatat sebagai berikut:
Pada suatu ketika, Sang Buddha menghabiskan waktu
selama tiga bulan di surga mengajarkan Abhidhamma atau Dhamma Yang Tertinggi.
Selama kepergian Beliau, orang-orang yang pergi ke vihara merasa sangat tidak
gembira kerena mereka tidak dapat melihat Sang Buddha. Mereka mulai mengeluh.
Siswa Utama, Yang Mulia Sariputta, pergi menemui dan melaporkan situasi itu
kepada Sang Buddha. Sang Buddha menasihati Beliau untuk mencari seseorang yang
dapat membuat rupang (gambar/patung) yang sama persis dengan diri Sang Buddha;
kemudian orang-orang akan menjadi gembira melihat rupang Sang Buddha. Sariputta
pun kembali dan menemui raja untuk meminta kebaikannya untuk menolong mencari
seseorang yang dapat membuat tiruan Sang Buddha. Tidak lama kemudian, orang yang
dicari ditemukan; dia mengukir rupang dari kayu cedana. Setelah rupang itu
diletakkan di vihara, orang-orang menjadi sangat gembira. Sejak saat itu,
selanjutnya, menurut Fa-hsien, orang-orang mulai meniru replika Sang Buddha
tersebut.
Tetapi hal yang sukar untuk menemukan bukti di
dalam literatur Buddhis dan sejarah untuk mendukung keberadaan Rupang Sang
Buddha di India sampai hampir 500 tahun setelah Sang Buddha mangkat. Pada masa
itu, para umat biasanya menghormati Sang Buddha dengan menyimpan bunga teratai
atau gambar telapak kaki Sang Buddha. Nampaknya, pada permulaan beberapa umat
Buddha tidak menyukai membuat rupang Sang Buddha, mengingat memungkinkan
terjadinya penyimpangan terhadap ciri-ciri penting Sang Buddha.
Banyak para sejarahwan mengklaim bahwa rupang
(gambar/patung) Sang Buddha dibuat pertama kali di India pada masa pendudukan
bangsa Yunani. Orang–orang Yunani membantu dan menganjurkan orang–orang India
dalam seni membangun rupang Sang Buddha. Sejak saat itu, orang-orang di berbagai
negara mulai mendirikan rupang Sang Buddha. Rupang-rupang di berbagai negara
diukir dan dibentuk mengikut gaya dan seni yang menggambarkan ciri–ciri fisik
orang–orang di negara tersebut. Di dalanm negara Buddhis itu sendiri, gaya dari
Rupang Sang Buddha pun berkembang menjadi beragam bentuk dan gaya disesuaikan
dengan perubahan jaman dan sejarah.
Pendapat Para Intelektual Mengenai Rupang
Buddha
Pendit Nehru, mantan Perdana Menteri India,
mengulas tentang rupang (gambar/patung) Buddha seperti berikut:
“MataNya tertutup, tetapi ada suatu
kekuatan spiritual yang keluar dari matanya dan energi vital memenuhi
strukturnya. Banyak jaman bergulir, dan nampaknya Sang Buddha tidak pergi
terlalu jauh; suara Nya berbisik di telinga kita dan memberitahu kita supaya
jangan lari dari perjuangan tetapi, menghadapinya dengan pandangan tenang, dan
melihat peluang–peluang besar dalam hidup untuk terus berkembang dan maju.”
Nehru juga pernah berkata, “Semasa saya berada di dalam
penjara, saya sentiasa memikirkan tentang rupang (gambar/patung) Buddha yang
merupakan sumber inspirasi yang luar biasa untuk saya.”
Semasa Perang Dunia Kedua, General Ian
Hamilton menemukan sebuah rupang Buddha di dalam sebuah reruntuhan vihara di
Burma. Ia mengirim rupang tersebut ke Winston Churchill yang
pada waktu itu menjadi Perdana Menteri Inggris dengan satu pesanan:
“Ketika anda khawatir, lihatlah rupang yang
wajahnya begitu tenang dan tersenyumlah kepada kekhawatiran anda.”
Count Keyserling, seorang filosof
berkata:
“Saya tidak mengetahui hal lain yang lebih
agung di dunia ini selain dari figur seorang Buddha; yang merupakan suatu
penjelmaan spiritual yang sungguh sempurna di dalam dunia nyata (visible
domain)”
Sarjana lain berkata:
“Rupang (gambar/patung) Buddha yang kita
lihat merupakan suatu simbol yang mewakili kualitas. Pujian dan penghormatan
kepada Sang Buddha tidak lain merupakan suatu simbol penghargaan atas keagungan
dan kebahagian yang kita ketemui melalui ajaranNya.”
Ketenangan dan ketentraman rupang Sang Buddha
telah menjadi konsep umum kecantikan dari keindahan yang ideal. Rupang Sang
Buddha merupakan sesuatu yang sangat berharga, aset kebudayaan Asia yang paling
berharga dan dipunyai oleh banyak orang. Tanpa rupang Buddha, Asia hanya akan
dikenali sebagai suatu kawasan geografi saja mespikun semakmur apapun.
Umat Buddhis menghormati patung Sang Buddha
sebagai monumen keagungan, kebijaksanaan, yang paling sempurna, dan penuh belas
kasih dari seorang guru agama yang pernah hidup di dunia ini. Rupang ini
diperlukan untuk mengingat kembali Sang Buddha dan kualitas agungNya yang
memberikan inspirasi kepada jutaan manusia dari generasi ke generasi dalam dunia
yang berbudaya. Rupang ini menolong mereka berkonsentrasi kepada Buddha. Mereka
merasakan kehadiran Sang Guru di dalam pikiran mereka, dan dengan demikian
menjadikan penghormatan mereka lebih jelas dan bermakna.
Sebagai seorang Buddhis, akan sangat tepat
sekiranya untuk anda mempunyai rupang atau gambar Buddha di dalam rumah anda.
Simpanlah rupang atau gambar ini bukan sebagai pajangan yang dipamerkan tetapi
sebagai objek puja, penghormatan, dan inspirasi. Ketentraman rupang Buddha
merupakan satu simbol yang memancarkan kasih sayang, kesucian dan kesempurnaan
yang menjadi sumber penghibur dan inspirasi dalam membantu anda mengatasi
berbagai permasalahan dan kekhawatiran yang harus anda hadapi dalam akitivitas
keseharian di dunia yang bermasalah ini.
Ketika anda memberi penghormatan kepada Sang
Buddha, anda akan mendapat banyak manfaat apabila anda bermeditasi beberapa saat
dengan memfokuskan pikiran anda pada kualitas agung dan mulia Sang Buddha. Jika
anda memikirkan Guru Agung, anda dapat menyempurnakan diri anda melalui
bimbinganNya. Oleh karena itu, bukan hal yang tidak wajar penghormatan ini
terekspresikan di dalam bentuk seni dan pahatan yang terbaik dan terindah di
dunia.
Seorang penulis terkenal lainnya mengatakan di
dalam bahasa filsafatnya mengenai arti sebenarnya di dalam memberi penghormatan
kepada Sang Buddha, seperti berikut:
“Kita juga perlu memberi penghormatan
meskipun pemujaan itu diarahkan bukan untuk seorang - karena sebenarnya semua
personalitas merupakan mimpi, tetapi pemujaan itu diarahkan kepada kesesuaian
hati kita. Dengan itu, kita dapat menemui kekuatan baru dan membangun mahligai
kehidupan kita sendiri, membersihkan hati kita sampai layak untuk membawa rupang
tersebut di dalam tempat perlindungan kasih sayang yang mendalam. Di atas
altarnya, kita semua perlu mempersembahkan hadiah bukan cahaya yang padam,
bunga-bunga yang layu, tetapi tindakan kasih sayang, pengorbanan dan tanpa
keakuan terhadap semua yang berada di sekeliling kita.”
Anatol France, di dalam
autobiografinya menulis, “Di awal bulan Mei, 1890, kesempatan membawaku
untuk mengunjungi sebuah musium di Paris. Di sana berdiri dewa-dewa Asia dalam
kesunyian dan kesederhanaan, pandanganku jatuh pada patung Sang Buddha yang
memberi isyarat kepada penderitaan manusia untuk mengembangkan pemahaman dan
belas kasih. Jika ada tuhan yang pernah berjalan di atas muka bumi ini, saya
merasakan Beliaulah (Buddha) orangnya. Saya merasa seperti berlutut dan berdoa
kepadaNya seperti kepada Tuhan.”
Mr. Ouspensky, seorang penulis
Barat lainnya, mengekspresikan perasaannya terhadap rupang Buddha yang ia
temukan di Sri Lanka. Ia berkata, “Rupang Buddha ini merupakan suatu
bagian seni yang sungguh istimewa. Saya tidak mengetahui hasil karya seni
lainnya yang sejajar dengan rupang Buddha dengan mata dari batu safir, dimana
sepengetahuan saya tidak ada karya seni yang dapat mengekspresikan dengan
sempurna idea suatu agama seperti wajah rupang Buddha yang mengekspresikan ide
Buddhisme.” Selanjutnya ia berkata, ”Tidak perlu
membaca banyak buku tentang Buddhisme atau berjalan bersama dengan para
professor yang mempelajari agama–agama Timur atau belajar dengan para bhikkhu.
Seseorang harus datang ke sini, berdiri di hadapan rupang Buddha ini dan biarkan
pancaran mata birunya menembus kehidupannya, dan dia akan memahami apa itu
Buddhisme.”
Kesenian Buddhis yang indah dari membangun rupang,
menciptakan lukisan dinding tentang beragam kisah Buddhis telah memberikan
inspirasi yang sangat besar pada kekayaan seni dan budaya di hampir setiap
negara Asia lebih dari 2000 tahun.
Apakah yang membuat pesan-pesan Sang Buddha begitu
diminati oleh orang yang telah mengembangkan intelektual mereka? Jawabannya
mungkin terlihat pada ketentraman rupang Sang Buddha. Bukan hanya dalam warna
dan garis manusia mengekspresikan keyakinannya terhadap Sang Buddha dan
ajaranNya. Tangan manusia menempa logam dan batu memproduksi rupang Buddha yang
merupakan salah satu ciptaan terbesar dari kejeniusan manusia.
Jika umat Buddha benar–benar ingin melihat
kehadiran Sang Buddha dalam segala keagungan dan keindahanNya, mereka harus
menerjemahkan ajaran-ajaranNya ke dalam tindakan dan situasi praktis pada
kehidupan sehari-hari mereka. Dengan mempraktekkan ajaran-ajaranNya mereka dapat
mendekatkan diri dan merasakan pancaran yang luar biasa dari kebijaksanaan dan
belas kasihNya yang tidak kunjung padam. Hanya menghormati rupang Sang Buddha
tanpa mengikuti ajaran muliaNya bukannya cara untuk menemukan keselamatan.
KehidupanNya begitu indah, hatiNya begitu suci dan
baik, pikiranNya begitu dalam dan tercerahkan, kepribadianNya begitu
menginspirasikan dan tanpa ke-aku-an – kehidupan yang sangat sempurna, hati yang
sangat berbelas kasih, pikiran yang sangat tenang, kepribadian yang sangat
tentram yang patut di hormati, layak diberi penghormatan dan layak diberi
persembahan. Sang Buddha yang merupakan kesempurnaan tertinggi dari umat
manusia, dan keindahan dari kemanusiaan.
Sir Edwin Arnold menjelaskan sifat alami
Kebuddhaan di dalam bukunya ”Light of Asia” (Cahaya Asia) seperti
berikut:
“Ini adalah bunga dari pohon manusia kita
yang berkembang dalam beribu–ribu tahun. Takkala berkembang, mengisi dunia
dengan harum kebijaksanaan dan menjatuhkan madu kasih sayang.”
Seorang penyair terkemuka India, Rabindranath
Tagore menyebutkan hal penting dari penampilan Sang Buddha dalam bahasa
puitisnya dengan cara berikut:
Semua makhluk menangis atas kelahiran baru
mereka.Oh, Engkau yang hidup
tanpa batasSelamatkanlah mereka,
bangkitkanlah suara harapan abadiMuBiarkan teratai cinta dengan harta madu yang tak terhingga itu,membuka kelopaknya dalam
cahayanya.Oh Kedamaian, Oh
Kebebasan,Di dalam belas kasih
dan kebaikanMu yang tidak terukur,Singkirkanlah semua noda gelap dari hati dunia ini.
Namo Buddhaya – Terpujilah Sang
Buddha.
-Evam-
Judul Asli: Are Buddhist Idol –
Worshippers?Oleh: Y.M. K. Sri
DhammanandaDiterjemahkan oleh:
Bhagavant.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar