Rabu, 26 September 2012

Apakah Umat Buddha Penyembah Berhala?

Apakah Umat Buddha Penyembah Berhala?
 
Penghormatan Terhadap Objek

Dalam setiap agama pasti terdapat objek-objek atau simbol-simbol yang ditujukan untuk Penghormatan. Dalam Buddhisme terdapat tiga objek agama yang utama untuk tujuan tersebut, yaitu:
  1. Saririka atau relik-relik jasmani Sang Buddha;
  2. Uddesika atau simbol-simbol agama seperti rupang (patung, gambar) Sang Buddha dan cetiya atau pagoda;
  3. Paribhogika atau barang-barang pribadi yang pernah digunakan oleh Sang Buddha.
Sudah menjadi hal yang biasa bagi semua umat Buddha di seluruh dunia untuk memberikan penghormatan kepada objek-objek di atas. Dan juga merupakan tradisi umat Buddha untuk membangun rupang Sang Buddha, cetiya atau pagoda pagoda serta menanam pohon Bodhi di setiap Vihara sebagai objek penghormatan keagamaan. 

Banyak orang salah paham dan menggangap umat Buddha sebagai penyembah berhala. Kesalahpahaman ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang ajaran Buddha serta adat istiadat dan tradisi Buddhis.

Penyembahan berhala secara umum berarti mendirikan patung dewa-dewi di beberapa agama theistik dalam berbagai bentuk oleh pemeluknya untuk disembah, mencari berkah dan perlindungan serta untuk berkah kemewahan, kesehatan dan kekayaan para pemohon. Beberapa pemohon bahkan memohon kepada patung untuk memenuhi bermacam kekuasaan pribadi walaupun kekuasaan itu diperoleh dengan cara yang salah. Mereka juga berdoa agar dosa mereka diampuni. 

Pemujaan terhadap rupang (gambar/patung) Sang Buddha sebenarnya berbeda dengan aspek yang diterangkan di atas. Bahkan istilah “menyembah” ini sendiri tidak sesuai dengan sudut pandang Buddhis. 

Memberi penghormatan” merupakan istilah yang lebih tepat. Umat Buddha tidak berdoa kepada patung atau berhala; apa yang mereka lakukan adalah memberi penghormatan kepada seorang guru agama yang agung yang layak diberi penghormatan. Rupang-rupang didirikan sebagai tanda penghormatan dan penghargaan untuk pencapaian tertinggi dari Pencerahan dan kesempurnaan yang dicapai oleh seorang guru agama yang luar biasa. Bagi seseorang Buddhis, rupang (gambar/patung) Sang Buddha hanya merupakan suatu tanda, simbol yang membantunya mengingat Sang Buddha. 

Umat Buddha berlutut dan memberi hormat kepada rupang (gambar/patung) sebenarnya memberi hormat kepada apa yang diwakili dari rupang (gambar/patung) itu. Mereka mencari keinginan duniawi dari rupang (gambar/patung) tersebut. Mereka merenung dan bermeditasi untuk mendapatkan inspirasi dari kepribadian mulia Sang Buddha. Mereka berusaha menyamakan kesempurnaanNya dengan mengikuti ajaran-ajaran mulia Sang Buddha. 

Umat Buddha menghormati kebajikan dan kesucian guru agamanya yang diwakili oleh rupang (gambar/patung) tersebut. Faktanya semua penganut agama menciptakan rupang (gambar/patung) yang mewakili guru agama mereka baik dalam bentuk visual atau dalam bentuk penggambaran secara pikiran untuk penghormatan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil untuk mengkritik dan menyatakan bahwa umat Buddha adalah penyembah berhala. 

Tindakan memberi penghormatan kepada seorang yang mulia, Sang Buddha, bukanlah suatu perbuatan yang dilakukan atas dasar rasa takut atau perbuatan untuk memohon kebahagiaan duniawi. Umat Buddha percaya bahwa perbuatan menghargai dan menghormati ciri-ciri suci yang dimiliki oleh guru agama mereka merupakan suatu perbuatan yang berpahala dan membawa berkah. Umat Buddha juga percaya bahwa mereka sendiri yang bertanggung jawab atas keselamatan diri mereka sendiri dan tidak harus bergantung kepada pihak ketiga. Meskipun demikian, ada pihak lain yang percaya bahwa mereka bisa mendapat keselamatan mereka melalui perantaran pihak ketiga dan mereka inilah yang mengkritik umat Buddha sebagai penyembah rupang (gambar/patung) seorang yang sudah tiada lagi di dunia. Fisik seseorang bisa mengalami disintegrasi dan terurai menjadi empat unsur tetapi kebajikannya akan kekal selamanya. Seorang Buddhis menghargai dan menghormati sifat-sifat mulia ini. Oleh itu, tuduhan terus menerus terhadap umat Buddha sangat disayangkan, sama sekali salah serta tidak berdasar. 

Ketika kita mempelajari ajaran Sang Buddha, kita dapat memahami Sang Bhagava telah mengatakan bahwa Sang Buddha hanyalah seorang guru yang telah menunjukkan jalan yang benar untuk keselamatan dan berpulang kembali kepada penganutnya untuk menjalani kehidupan beragama dan menyucikan pikiran mereka untuk mendapatkan keselamatan tanpa bergantung kepada guru agama mereka. Menurut Sang Buddha, tidak ada tuhan atau guru agama manapun yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga atau neraka. Manusia menciptakan surga dan nerakanya sendiri melalui pikiran, tindak-tanduk serta perkataan mereka sendiri. 

Oleh karena itu, berdoa kepada pihak ketiga untuk keselamatan diri tanpa menyingkirkan pikiran jahat merupakan satu perbuatan yang sia-sia. Namun begitu, ada beberapa orang termasuk umat Buddha dalam melakukan sembahyang tradisional di hadapan rupang (gambar/patung) akan mencurahkan masalah-masalah mereka, nasib malang yang dialami serta kesulitan yang dihadapi dan memohon pertolongan Sang Buddha untuk membantu mereka menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Walaupun perbuatan tersebut bukan suatu praktek Buddhis yang sebenar, tetapi perbuatan demikian dapat mengurangi ketegangan emosi, memberi inspirasi kepada pemohon untuk mendapatkan keberanian dan ketetapan hati untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Hal ini juga umum dilakukan dibeberapa agama lain. Tetapi bagi mereka yang dapat memahami sebenarnya penyebab dasar dari permasalahan mereka, mereka tidak membutuhkan tindakan seperti itu. Ketika umat Buddha menghormati Sang Buddha, mereka menghormatiNya dengan malafalkan kalimat-kalimat yang memuliakan kebajikan murniNya. Kalimat-kalimat ini bukanlah doa-doa dalam hal meminta kepada tuhan atau dewa untuk menghapus dosa mereka. Kalimat-kalimat ini hanya bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada seorang Guru Agung yang telah mencapai Pencerahan dan menunjukkan cara hidup yang benar untuk kebaikan manusia. Umat Buddha menghormati guru agama mereka atas dasar rasa berterima kasih sedangkan penganut agama lain berdoa dan membuat permohonan untuk mendapatkan keuntungan dan manfaat bagi mereka. Sang Buddha juga menasihati kita untuk “menghormati mereka yang pantas dihormati.” Oleh karena itu, seorang Buddhis boleh mengakui dan menghormati guru agama manapun yang pantas dan layak dihormati. 

Di tempat puja bakti, umat Buddha melaksanakan meditasi untuk melatih pikiran dan disiplin diri. Untuk tujuan meditasi, sebuah objek diperlukan; tanpa suatu objek untuk dipegang, tidaklah mudah untuk berkonsentrasi. Umat Buddha kadangkala menggunakan rupang (gambar/patung) Sang Buddha sebagai objek dimana mereka dapat berkonsentrasi dan mengontrol pikiran mereka. 

Di antara banyak objek meditasi, objek visual (yang bisa dilihat dengan nyata) memiliki efek yang lebih baik dalam pikiran. Di antara lima panca-indera, objek yang kita tangkap melalui kesadaran penglihatan (mata) memiliki pengaruh lebih besar pada pikiran dibanding dengan objek-objek yang ditangkap melalui kesadaran indera lainnya. Indera penglihatan dapat mempengaruhi pikiran lebih dari indera lainnya. Oleh karena itu, objek yang dapat ditangkap oleh mata membantu pikiran untuk konsentrasi secara lebih mudah dan lebih baik. 

Gambar atau bentuk adalah bahasa bawah sadar (sub-conscious). Jika demikian, rupang (gambar/patung) Sang Buddha tereflesikan dalam pikiran seseorang sebagai penjelmaan seorang yang sempurna, refleksi ini akan menembus pikiran bawah sadar seseorang dan jika cukup kuat, secara otomatis akan bertindak sebagai pengerem keinginan jahat. 

Sebagai suatu objek visual, rupang (gambar/patung) Buddha mempunyai dampak yang baik dalam pikiran; perenungan akan pencapaian dari Sang Buddha dapat menghasilkan kegembiraan, kesegaran pikiran dan menghilangkan ketegangan, keresahan dan frustasi di dalam diri seseorang. 

Salah satu tujuan dalam meditasi “Buddhanussati” (Perenungan Terhadap Buddha), yaitu untuk menciptakan rasa bakti dan keyakinan terhadap Sang Buddha dengan menyadari dan menghargai keagungan Beliau. Oleh karena itu, “menyembah” rupang (gambar/patung) Sang Buddha, dimana tidak terdapat doa permohonan, sumpah-sumpah atau ritual tidak bisa dianggap sebagai menyembah berhala, tetapi sebagai suatu bentuk penghormatan yang ideal. 

Penghormatan

Beberapa kalimat yang dibacakan oleh umat Buddha untuk mengenang Guru Agung mereka sebagai tanda penghormatan dalam rasa terima kasih dan dalam pujian kepada Sang Buddha berbunyi seperti berikut: 

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa

Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna.
Selanjutnya mereka membaca kalimat yang menjelaskan ciri-ciri agung dan kebajikan Sang Buddha seperti berikut: 

“Iti pi so Bhagava Araham Samma sambuddho 
 vijja carana–sampanno Sugato Lokavidu 
 Anuttaro Purisa dammasarathi 
 Sattha Devamanussanam Buddho Bhagava ti”

Keseluruhan kalimat ini di dalam bahasa Pali. Jika anda tidak terbiasa dengan bahasa ini, anda dapat melafalkan kalimat tersebut dalam berbagai bahasa yang anda ketahui. Terjemahannya di dalam bahasa Indonesia seperti berikut: 

“Karena itulah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna: Sempurna pengetahuan serta tindak–tandukNya, Sempurna menempuh Sang Jalan (ke Nibbana), Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada taranya, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar , Yang Patut Dimuliakan”

Sebuah Kisah Buddhis

Ada sebuah kisah yang akan membantu kita memahami mengapa rupang (gambar/patung) Sang Buddha penting untuk memberi inspirasi pikiran kita serta mengenang Sang Buddha dalam pikiran kita. Kisah ini terdapat di dalam kitab suci Buddhis tetapi tidak di dalam Tipitaka Pali. 

Beberapa ratus tahun setelah Sang Buddha mangkat, ada seorang bhikkhu yang taat di India bernama Upagupta. Beliau adalah penyebar agama yang paling popular pada masa itu. Setiap kali Beliau menyampaikan ceramah Dhamma, beribu–ribu orang akan datang mendengarkan ceramah Dhamma yang disampaikannya. 

Pada suatu hari, Mara, si penggoda, merasa iri hati dengan kemasyhuran Yang Mulia Upagupta. Mara mengetahui bahwa kemasyhuran Upagupta membantu penyebaran ajaran Sang Buddha. Mara tidak menyukai melihat perkataan Sang Buddha memenuhi pikiran dan hati banyak orang. Mara membuat rencana untuk menghentikan orang-orang orang mendengarkan ceramah-ceramah Upagupta. Suatu hari, ketika Upagupta memulai ceramahnya, Mara mengadakan suatu pertunjukan bersebelahan dengan tempat dimana Upagupta berkotbah. Sebuah pentas yang indah muncul dengan tiba–tiba. Terdapat gadis-gadis penari yang cantik dan musisi yang lincah. 

Orang-orang segera melupakan ceramah Upagupta dan beralih ke pertunjukkan untuk menikmati pernampilannya. Upagupta memperhatikan orang-orang perlahan-lahan meninggalkannya. Kemudian Beliau juga memutuskan untuk bergabung dalam kerumunan. Setelah itu ia memutuskan untuk memberikan pelajaran kepada Mara. 

Ketika pertunjukkan itu berakhir, Upagupta menghadiahkan sebuah kalung bunga kepada Mara. 

“Kau telah menyusun suatu pertunjukkan yang luar biasa,“ kata Yang Mulia Upagupta. 

Mara tentu saja merasa senang dan bangga dengan pencapaiannya. Dengan sukacitanya, Mara menerima kalung bunga dari Upagupta dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. 

Tiba–tiba kalung bunga itu berubah menjadi lilitan menyerupai ular. Perlahan-lahan lilitan itu menjadi semakin ketat dan mencekik leher Mara. Lilitan itu mencengkram lehernya begitu sakitnya, sehingga ia mencoba menarik lilitan itu hingga putus. Walau seberapa kuat Mara menariknya, ia tidak bisa melepaskan lilitan itu dari lehernya. Ia pergi mencari Sakka untuk membuka lilitan itu. Sakka juga tidak bisa melepasnya. “Saya tidak dapat melepaskan lilitan ini,” kata Sakka. “Pergilah dan temui Maha Brahma yang paling kuat.”

Lalu, Mara pun pergi menemui Maha Brahma dan meminta pertolongannya; tapi Maha Brahma juga tidak bisa berbuat apapun. “Saya tidak dapat melepaskan lilitan ini, satu-satunya orang yang dapat melepaskan lilitan ini adalah orang yang memakaikannya kepadamu,” kata Maha Brahma. 

Lalu, Mara terpaksa kembali ke Yang Mulia Upagupta. 

“Tolong bukakan lilitan ini; ini sangat menyakitkan,” Mara memohon. 

Baiklah, saya akan melakukannya tetapi dengan dua kondisi,” kata Upagupta. “Kondisi pertama yaitu kau harus berjanji untuk tidak mengganggu para penganut di masa depan. Kondisi kedua yaitu kau harus menunjukkan kepadaku wujud Sang Buddha yang sebenarnya. Karena saya tahu engkau pernah melihat Sang Buddha dalam beberapa kesempatan, tapi saya tidak pernah melihat Nya. Saya ingin melihat wujud sebenarnya dari Sang Buddha sama persis, dengan 32 tanda istimewa yang terdapat pada fisik Nya.” 

Mara merasa sangat gembira. Ia setuju dengan Upagupta. “Tapi satu hal”, pinta Mara. “Jika saya merubah diri saya menjadi rupa Sang Buddha, kau harus berjanji untuk tidak akan menyembah saya kerena saya bukan orang suci sepertimu.”

“Saya tidak akan menyembahmu,” janji Upagupta. 

Tiba-tiba Mara merubah dirinya menjadi rupa yang terlihat persis sama seperti Sang Buddha. Ketika Upagupta melihat rupa itu, pikirannya dipenuhi dengan inspirasi besar; rasa baktinya muncul dari dalam hatinya. Dengan tangan beranjali, dengan segera Beliau menyembah figur Buddha itu. 

“Kau telah melanggar janjimu,” teriak Mara. “Engkau berjanji tidak akan menyembah saya. Sekarang, kenapa kau menyembah saya?”

“Saya tidak menyembahmu. Kau harus memahami saya sedang menyembah Sang Buddha,” kata Yang Mulia Upagupta. 

Berdasarkan kisah ini, kita dapat memahami mengapa rupang (gambar/patung) Sang Buddha penting untuk memberi inspirasi kepada kita dan mengingat kemuliaan Sang Buddha dalam pikiran kita sehingga kita dapat memuliakannya. Kita sebagai Buddhis tidak menyembah simbol material atau wujud yang hanya mewakili Sang Buddha. Tetapi kita memberi penghormatan kepada Sang Buddha. 

Inspirasi dari Rupa Sang Buddha

Sang Buddha telah mangkat dan mencapai Nibbana. Sang Buddha tidak memerlukan penghormatan atau persembahan, tetapi hasil dari penghormatan akan mengikuti kita dan orang-orang akan mendapatkan manfaat dengan mengikuti teladanNya serta merefleksikan melalui pengorbanan tertinggi dan kualitas agungNya. 

Seorang Buddhis tidak melakukan pengorbanan binatang atas nama Sang Buddha. 

Ketika beberapa Buddhis melihat rupang (gambar/patung) Sang Buddha, rasa bakti dan kebahagiaan muncul dalam pikirannya. Rasa bakti atau kebahagiaan ini merupakan suatu objek yang menciptakan pikiran luhur di dalam pikiran seorang Buddhis yang berbakti. Rupang (gambar/patung) Sang Buddha ini juga membantu orang untuk melupakan kerisauan mereka, kekecewaan dan masalah-masalah serta membantu mereka mengontrol pikiran mereka. 

Beberapa filosof terkenal dunia, para sejarahwan dan sarjana menyimpan rupang (gambar/patung) Sang Buddha di atas meja di dalam ruang baca mereka untuk mendapatkan inspirasi kehidupan dan pemikiran yang lebih tinggi. Kebanyakan dari mereka adalah non-Buddhis. Banyak orang menghormati kedua orang tua mereka yang telah meninggal, guru, para pahlawan besar, para raja dan ratu, pemimpin nasional dan politik serta orang-orang lain yang disayangi dengan menyimpan gambar-gambar untuk menghargai memori mereka. Mereka mempersembahkan bunga untuk menyatakan perasaan kasih, terima kasih, penghargaan, penghormatan dan bakti mereka. Mereka mengenang kembali kualitas mulia dan mengingatnya dengan bangga atas pengorbanan dan pelayanan yang diberikan oleh para tokoh ketika mereka masih hidup. 

Orang-orang juga mendirikan patung untuk mengenang beberapa tokoh pemimpin politik tertentu yang telah membantai berjuta nyawa yang tidak bersalah. Karena kejahatan dan ketamakan mereka untuk mendapatkan kekuasaan, mereka menjajah negara-negara yang miskin dan menciptakan penderitaan, kekejaman, dan kesengsaraan yang tak terkira dengan tindakan perampasan mereka. Namun, mereka masih dianggap sebagai pahlawan besar; dan peringatan tanda jasa diselenggarakan untuk menghormati mereka, dan memberikan bunga-bunga di atas makam dan kuburan mereka. Jika perbuatan tersebut dapat dibenarkan mengapa sebagian orang mengejek umat Buddha sebagai pemuja berhala ketika mereka memberikan penghormatan kepada guru agama mereka yang telah melayani umat manusia tanpa merugikan yang lain dan yang telah menaklukkan seluruh dunia melalui kasih sayang, belas kasih dan kebijaksanaanNya? 

Bisakah seseorang dengan pikiran sehat mengatakan bahwa menghormati rupang (gambar/patung) Sang Buddha sebagai sesuatu yang tidak berbudaya, tidak bermoral atau tindakan yang merugikan seperti mengganggu kedamaian dan kebahagiaan orang lain? 

Apabila sebuah rupang (gambar/patung) sama sekali tidak penting bagi manusia dalam menjalankan agama maka simbol-simbol agama tertentu dan tempat-tempat beribadat juga tidak diperlukan. Umat Buddha dikecam oleh beberapa orang sebagai penyembah batu. Tetapi menyembah batu tidak berbahaya dan lebih terhormat dibandingkan dengan umat agama lain yang melakukan pelemparan batu. 
 
Pentingnya Praktek

Bagaimanapun juga, untuk mempraktekkan ajaran-ajaran Sang Buddha, keberadaan rupang (gambar/patung) Sang Buddha bukanlah suatu keharusan . Seorang Buddhis dapat mempraktekkan agama mereka tanpa rupang (gambar/patung) Sang Buddha; mereka bisa melakukan hal ini kerena Sang Buddha tidak menganjurkan manusia untuk mengembangkan pengkultusan individu, dimana menurut ajaran Sang Buddha, seorang Buddhis tidak sepatutnya bergantung kepada orang lain bahkan kepada Sang Buddha sendiri untuk keselamatan dirinya. 

Semasa kehidupan Sang Buddha, ada seorang bhikkhu bernama Wakkali. Bhikkhu ini selalu duduk di hadapan Sang Buddha dan mengagumi keindahan ciri-ciri fisik Sang Buddha. Wakkali mengatakan bahwa ia mendapat kebahagiaan dan inspirasi yang besar dengan mengagumi keindahan Sang Buddha. Sang Buddha menjawab, “Engkau tidak dapat melihat Buddha yang sebenarnya dengan hanya melihat tubuh fisiknya saja. Mereka yang melihat ajaran saya maka melihat saya”

Aspek yang paling penting sekali dalam Buddhisme adalah mempraktekkan nasihat-nasihat yang diberikan oleh Sang Buddha. Di dalam hal ini, tidak ada bedanya antara seorang Buddhis yang memberi penghormatan kepada Sang Buddha dengan yang tidak. Tetapi bagi beberapa umat, penghormatan ini sangat penting. Bagaimanapun juga, Sang Buddha tidak mengatakan bahwa Beliau mengharapkan penghormatan. 

Asal Muasal Rupang Buddha

Lalu, Bagaimanakah rupang (gambar/patung) Buddha bermula? Sukar untuk mengetahui apakah ide ini diberikan oleh Sang Buddha atau tidak. Tidak ada satupun dalam kitab suci Buddhis bahwa Sang Buddha meminta untuk membuat rupang (gambar/patung) Nya. Namun, Sang Buddha memberikan ijin untuk menyimpan relik-relik Beliau. 

Suatu ketika Yang Mulia Ananda pernah ingin mengetahui mengetahui apakah diijinkan mendirikan pagoda (cetiya) untuk mengenang Sang Buddha sebagai cara menghormati Beliau. Kemudian Yang Mulia Ananda bertanya kepada Sang Buddha, ”Apakah layak, Yang Mulia, untuk membangun sebuah pagoda ketika Sang Bhagava masih hidup?”

Sang Buddha menjawab, “Tidak, adalah tidak layak ketika Saya masih hidup. Engkau bisa membangun objek penghormatan ini hanya setelah Saya tiada.”

Juga dalam kotbah terakhirNya, Maha Parinibbana Sutta, Sang Buddha menasihati para siswaNya bahwa jika mereka ingin menghormati Sang Buddha setelah Ia tiada, mereka boleh membangun pagoda-pagoda untuk menyimpan relik tubuhNya. Nasihat ini sesuai dengan kebiasaan di India pada masa itu: kebiasaan membangun pagoda-pagoda untuk menyimpan relik orang–orang yang suci. Relik ini disimpan sebagai suatu kenangan sebagai tanda penghormatan kepada orang-orang suci. Pada saat yang sama, Sang Buddha sendiri tidak menganjurkan dan juga tidak melarang para siswaNya untuk mendirikan rupang (gambar/patung)Nya setelah Ia meninggal dunia. Idea untuk menciptakan rupang (gambar/patung) Buddha datang dari pengikut-pengikutNya yang ingin memuja pemimpin terkasih mereka dan bertujuan mendapat inspirasi dari pribadi Sang Buddha yang luhur. Mereka juga menggunakannya untuk menyimpan sebagian dari relik Sang Buddha di dalam rupang (gambar/patung) tersebut setelah didirikan. 

Fa-hsien, yang mengunjungi India pada akhir abad keempat menyebutkan dalam catatannya bagaimana rupang (gambar/patung) Sang Buddha yang pertama didirikan. Bagaimanapun, kitab-kitab suci Buddhis tidak menyebut apa-apa tentang pengamatan Fa-hsien tersebut. Meskipun demikian, mitologi mencatat sebagai berikut: 

Pada suatu ketika, Sang Buddha menghabiskan waktu selama tiga bulan di surga mengajarkan Abhidhamma atau Dhamma Yang Tertinggi. Selama kepergian Beliau, orang-orang yang pergi ke vihara merasa sangat tidak gembira kerena mereka tidak dapat melihat Sang Buddha. Mereka mulai mengeluh. Siswa Utama, Yang Mulia Sariputta, pergi menemui dan melaporkan situasi itu kepada Sang Buddha. Sang Buddha menasihati Beliau untuk mencari seseorang yang dapat membuat rupang (gambar/patung) yang sama persis dengan diri Sang Buddha; kemudian orang-orang akan menjadi gembira melihat rupang Sang Buddha. Sariputta pun kembali dan menemui raja untuk meminta kebaikannya untuk menolong mencari seseorang yang dapat membuat tiruan Sang Buddha. Tidak lama kemudian, orang yang dicari ditemukan; dia mengukir rupang dari kayu cedana. Setelah rupang itu diletakkan di vihara, orang-orang menjadi sangat gembira. Sejak saat itu, selanjutnya, menurut Fa-hsien, orang-orang mulai meniru replika Sang Buddha tersebut. 

Tetapi hal yang sukar untuk menemukan bukti di dalam literatur Buddhis dan sejarah untuk mendukung keberadaan Rupang Sang Buddha di India sampai hampir 500 tahun setelah Sang Buddha mangkat. Pada masa itu, para umat biasanya menghormati Sang Buddha dengan menyimpan bunga teratai atau gambar telapak kaki Sang Buddha. Nampaknya, pada permulaan beberapa umat Buddha tidak menyukai membuat rupang Sang Buddha, mengingat memungkinkan terjadinya penyimpangan terhadap ciri-ciri penting Sang Buddha. 

Banyak para sejarahwan mengklaim bahwa rupang (gambar/patung) Sang Buddha dibuat pertama kali di India pada masa pendudukan bangsa Yunani. Orang–orang Yunani membantu dan menganjurkan orang–orang India dalam seni membangun rupang Sang Buddha. Sejak saat itu, orang-orang di berbagai negara mulai mendirikan rupang Sang Buddha. Rupang-rupang di berbagai negara diukir dan dibentuk mengikut gaya dan seni yang menggambarkan ciri–ciri fisik orang–orang di negara tersebut. Di dalanm negara Buddhis itu sendiri, gaya dari Rupang Sang Buddha pun berkembang menjadi beragam bentuk dan gaya disesuaikan dengan perubahan jaman dan sejarah. 

Pendapat Para Intelektual Mengenai Rupang Buddha

Pendit Nehru, mantan Perdana Menteri India, mengulas tentang rupang (gambar/patung) Buddha seperti berikut: 

“MataNya tertutup, tetapi ada suatu kekuatan spiritual yang keluar dari matanya dan energi vital memenuhi strukturnya. Banyak jaman bergulir, dan nampaknya Sang Buddha tidak pergi terlalu jauh; suara Nya berbisik di telinga kita dan memberitahu kita supaya jangan lari dari perjuangan tetapi, menghadapinya dengan pandangan tenang, dan melihat peluang–peluang besar dalam hidup untuk terus berkembang dan maju.” Nehru juga pernah berkata, “Semasa saya berada di dalam penjara, saya sentiasa memikirkan tentang rupang (gambar/patung) Buddha yang merupakan sumber inspirasi yang luar biasa untuk saya.”

Semasa Perang Dunia Kedua, General Ian Hamilton menemukan sebuah rupang Buddha di dalam sebuah reruntuhan vihara di Burma. Ia mengirim rupang tersebut ke Winston Churchill yang pada waktu itu menjadi Perdana Menteri Inggris dengan satu pesanan: 

“Ketika anda khawatir, lihatlah rupang yang wajahnya begitu tenang dan tersenyumlah kepada kekhawatiran anda.”

Count Keyserling, seorang filosof berkata: 

“Saya tidak mengetahui hal lain yang lebih agung di dunia ini selain dari figur seorang Buddha; yang merupakan suatu penjelmaan spiritual yang sungguh sempurna di dalam dunia nyata (visible domain)”

Sarjana lain berkata: 

“Rupang (gambar/patung) Buddha yang kita lihat merupakan suatu simbol yang mewakili kualitas. Pujian dan penghormatan kepada Sang Buddha tidak lain merupakan suatu simbol penghargaan atas keagungan dan kebahagian yang kita ketemui melalui ajaranNya.”

Ketenangan dan ketentraman rupang Sang Buddha telah menjadi konsep umum kecantikan dari keindahan yang ideal. Rupang Sang Buddha merupakan sesuatu yang sangat berharga, aset kebudayaan Asia yang paling berharga dan dipunyai oleh banyak orang. Tanpa rupang Buddha, Asia hanya akan dikenali sebagai suatu kawasan geografi saja mespikun semakmur apapun. 

Umat Buddhis menghormati patung Sang Buddha sebagai monumen keagungan, kebijaksanaan, yang paling sempurna, dan penuh belas kasih dari seorang guru agama yang pernah hidup di dunia ini. Rupang ini diperlukan untuk mengingat kembali Sang Buddha dan kualitas agungNya yang memberikan inspirasi kepada jutaan manusia dari generasi ke generasi dalam dunia yang berbudaya. Rupang ini menolong mereka berkonsentrasi kepada Buddha. Mereka merasakan kehadiran Sang Guru di dalam pikiran mereka, dan dengan demikian menjadikan penghormatan mereka lebih jelas dan bermakna. 

Sebagai seorang Buddhis, akan sangat tepat sekiranya untuk anda mempunyai rupang atau gambar Buddha di dalam rumah anda. Simpanlah rupang atau gambar ini bukan sebagai pajangan yang dipamerkan tetapi sebagai objek puja, penghormatan, dan inspirasi. Ketentraman rupang Buddha merupakan satu simbol yang memancarkan kasih sayang, kesucian dan kesempurnaan yang menjadi sumber penghibur dan inspirasi dalam membantu anda mengatasi berbagai permasalahan dan kekhawatiran yang harus anda hadapi dalam akitivitas keseharian di dunia yang bermasalah ini. 

Ketika anda memberi penghormatan kepada Sang Buddha, anda akan mendapat banyak manfaat apabila anda bermeditasi beberapa saat dengan memfokuskan pikiran anda pada kualitas agung dan mulia Sang Buddha. Jika anda memikirkan Guru Agung, anda dapat menyempurnakan diri anda melalui bimbinganNya. Oleh karena itu, bukan hal yang tidak wajar penghormatan ini terekspresikan di dalam bentuk seni dan pahatan yang terbaik dan terindah di dunia. 

Seorang penulis terkenal lainnya mengatakan di dalam bahasa filsafatnya mengenai arti sebenarnya di dalam memberi penghormatan kepada Sang Buddha, seperti berikut: 

“Kita juga perlu memberi penghormatan meskipun pemujaan itu diarahkan bukan untuk seorang - karena sebenarnya semua personalitas merupakan mimpi, tetapi pemujaan itu diarahkan kepada kesesuaian hati kita. Dengan itu, kita dapat menemui kekuatan baru dan membangun mahligai kehidupan kita sendiri, membersihkan hati kita sampai layak untuk membawa rupang tersebut di dalam tempat perlindungan kasih sayang yang mendalam. Di atas altarnya, kita semua perlu mempersembahkan hadiah bukan cahaya yang padam, bunga-bunga yang layu, tetapi tindakan kasih sayang, pengorbanan dan tanpa keakuan terhadap semua yang berada di sekeliling kita.”

Anatol France, di dalam autobiografinya menulis, “Di awal bulan Mei, 1890, kesempatan membawaku untuk mengunjungi sebuah musium di Paris. Di sana berdiri dewa-dewa Asia dalam kesunyian dan kesederhanaan, pandanganku jatuh pada patung Sang Buddha yang memberi isyarat kepada penderitaan manusia untuk mengembangkan pemahaman dan belas kasih. Jika ada tuhan yang pernah berjalan di atas muka bumi ini, saya merasakan Beliaulah (Buddha) orangnya. Saya merasa seperti berlutut dan berdoa kepadaNya seperti kepada Tuhan.”

Mr. Ouspensky, seorang penulis Barat lainnya, mengekspresikan perasaannya terhadap rupang Buddha yang ia temukan di Sri Lanka. Ia berkata, “Rupang Buddha ini merupakan suatu bagian seni yang sungguh istimewa. Saya tidak mengetahui hasil karya seni lainnya yang sejajar dengan rupang Buddha dengan mata dari batu safir, dimana sepengetahuan saya tidak ada karya seni yang dapat mengekspresikan dengan sempurna idea suatu agama seperti wajah rupang Buddha yang mengekspresikan ide Buddhisme.” Selanjutnya ia berkata, ”Tidak perlu membaca banyak buku tentang Buddhisme atau berjalan bersama dengan para professor yang mempelajari agama–agama Timur atau belajar dengan para bhikkhu. Seseorang harus datang ke sini, berdiri di hadapan rupang Buddha ini dan biarkan pancaran mata birunya menembus kehidupannya, dan dia akan memahami apa itu Buddhisme.”

Kesenian Buddhis yang indah dari membangun rupang, menciptakan lukisan dinding tentang beragam kisah Buddhis telah memberikan inspirasi yang sangat besar pada kekayaan seni dan budaya di hampir setiap negara Asia lebih dari 2000 tahun. 

Apakah yang membuat pesan-pesan Sang Buddha begitu diminati oleh orang yang telah mengembangkan intelektual mereka? Jawabannya mungkin terlihat pada ketentraman rupang Sang Buddha. Bukan hanya dalam warna dan garis manusia mengekspresikan keyakinannya terhadap Sang Buddha dan ajaranNya. Tangan manusia menempa logam dan batu memproduksi rupang Buddha yang merupakan salah satu ciptaan terbesar dari kejeniusan manusia. 

Jika umat Buddha benar–benar ingin melihat kehadiran Sang Buddha dalam segala keagungan dan keindahanNya, mereka harus menerjemahkan ajaran-ajaranNya ke dalam tindakan dan situasi praktis pada kehidupan sehari-hari mereka. Dengan mempraktekkan ajaran-ajaranNya mereka dapat mendekatkan diri dan merasakan pancaran yang luar biasa dari kebijaksanaan dan belas kasihNya yang tidak kunjung padam. Hanya menghormati rupang Sang Buddha tanpa mengikuti ajaran muliaNya bukannya cara untuk menemukan keselamatan. 

KehidupanNya begitu indah, hatiNya begitu suci dan baik, pikiranNya begitu dalam dan tercerahkan, kepribadianNya begitu menginspirasikan dan tanpa ke-aku-an – kehidupan yang sangat sempurna, hati yang sangat berbelas kasih, pikiran yang sangat tenang, kepribadian yang sangat tentram yang patut di hormati, layak diberi penghormatan dan layak diberi persembahan. Sang Buddha yang merupakan kesempurnaan tertinggi dari umat manusia, dan keindahan dari kemanusiaan. 

Sir Edwin Arnold menjelaskan sifat alami Kebuddhaan di dalam bukunya ”Light of Asia” (Cahaya Asia) seperti berikut: 

“Ini adalah bunga dari pohon manusia kita yang berkembang dalam beribu–ribu tahun. Takkala berkembang, mengisi dunia dengan harum kebijaksanaan dan menjatuhkan madu kasih sayang.”

Seorang penyair terkemuka India, Rabindranath Tagore menyebutkan hal penting dari penampilan Sang Buddha dalam bahasa puitisnya dengan cara berikut: 

Semua makhluk menangis atas kelahiran baru mereka.Oh, Engkau yang hidup tanpa batasSelamatkanlah mereka, bangkitkanlah suara harapan abadiMuBiarkan teratai cinta dengan harta madu yang tak terhingga itu,membuka kelopaknya dalam cahayanya.Oh Kedamaian, Oh Kebebasan,Di dalam belas kasih dan kebaikanMu yang tidak terukur,Singkirkanlah semua noda gelap dari hati dunia ini.
 
Namo Buddhaya – Terpujilah Sang Buddha.
 
-Evam- 
 
Judul Asli: Are Buddhist Idol – Worshippers?Oleh: Y.M. K. Sri DhammanandaDiterjemahkan oleh: Bhagavant.com

CATUMA SUTTA

CATUMA SUTTA
Sumber : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya II,
Oleh : Team Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit : Proyek Sarana Kehidupan Beragama Buddha Departemen Agama RI, 1994

Demikianlah yang saya dengar.

Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berada di Amalakivana, Catuma. Pada waktu itu sekitar 500 orang bhikkhu, dipimpin oleh Sariputta dan Moggalana tiba di Catuma untuk menemui Sang Bhagava dan terjadilah suara bising. Suara bising ini terjadi ketika para bhikkhu baru datang bertegur sapa dengan para bhikkhu yang sudah datang terlebih dahulu, sementara tempat untuk meletakkan patta-patta dan civara-civara. 

Kemudian Sang Bhagava menegur bhikkhu Ananda, berkata : “Ananda, apakah suara yang bising ini, suara yang sangat keras, seperti suara para nelayan menarik hasil tangkapan.”

“Sang Bhagava, sekitar 500 orang bhikkhu ini dengan Sariputta dan Moggalana sebagai pemimpin telah tiba di Catuma untuk menemui Sang Bhagava, dan para bhikkhu yang baru datang bertegur sapa dengan para bhikkhu yang sudah datang lebih dulu, sementara tempat disiapkan, mangkuk-mangkuk dan jubah-jubah diletakkan, terjadilah suara yang bising dan keras itu.” 

“Kalau begitu Ananda, atas namaku kumpulkan para bhikkhu, katakan Sang Bhagava mengumpulkan para bhikkhu.”

“Baiklah bhante,” jawab bhikkhu Ananda dan segera menemui para bhikkhu dan berkata, “Sang Bhagava mempersilahkan para bhikkhu berkumpul.”

“Baiklah bhante,” jawab para bhikkhu. Segera bhikkhu Ananda menemui Sang Bhagava, sedangkan para bhikkhu duduk dengan sopan. Sang Bhagava berkata begini, ketika para bhikkhu sedang duduk, “Tidaklah engkau para bhikkhu berpikir bahwa suara yang bising dan keras itu seperti suara nelayan menarik hasil tangkapannya.” 

“Bhante, sekitar 500 orang bhikkhu, dipimpin oleh Sariputta dan Moggalana tiba di Catuma untuk menemui Sang Bhagava, dan sementara ……. tempat disiapkan mangkuk-mangkuk dan jubah-jubah diletakkan, terjadilah suara yang bising dan keras itu.” 

“Para bhikkhu, pergilah, engkau boleh meninggalkan tempat. Engkau jangan duduk dekat aku.” 

“Baiklah Bhante,” para bhikkhu menjawab dengan segera, sambil memberi salam, tetap pada barisannya, berkemas-kemas pergi membawa patta dan civara-nya.

Pada suatu ketika Suku Sakya sedang berkumpul di sebuah ruangan pertemuan untuk suatu keperluan kegiatan. Suku Sakya dari Catuma ini melihat dari jarak jauh para bhikkhu datang; dan setelah mendekat mereka berkata begini kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, hendak pergi ke manakah anda sekalian?” 

“Teman-teman, para bhikkhu Sangha telah dibubarkan oleh Sang Bhagava.” 

“Bhante, kalau begitu duduklah dahulu sebentar; mungkin kami dapat membujuk Sang Bhagava.” 

“Baiklah teman-teman,” para bhikkhu menjawab orang-orang Sakya dengan segera. Lalu orang-orang Sakya menemui Sang Bhagava, mereka duduk pada jarak yang sopan. Sementara mereka duduk pada jarak yang sopan, orang-orang Sakya dari Catuma itu berkata begini kepada Sang Bhagava: “Bhante, gembirakanlah para bhikkhu sangha, berilah salam kepada para bhikkhu sangha. Yang Mulia, jika dulu para bhikkhu sangha ditolong oleh Bhante, maka tolonglah para bhikkhu sangha sekarang. Bhante ada beberapa bhikkhu baru yang belum lama menjalani hidup kebhikkhuan, belum lama belajar dhamma dan vinaya ini. Jika mereka tidak mendapat kesempatan untuk melihat Bhante, bisa terjadi perubahan pada diri mereka. Seperti halnya biji-bijian yang tidak mendapat air, mereka bisa berubah, Sang Bhagava. 

Karenanya Bhante, ada beberapa bhikkhu baru yang belum lama menjalani hidup kebhikkhuan, belum lama belajar dhamma dan vinaya ini. Jika mereka tidak mendapat kesempatan untuk melihat Bhante, bisa terjadi perubahan pada diri mereka. Seperti halnya anak sapi tidak bertemu induknya, mereka bisa berubah. Bhante, ada beberapa bhikkhu baru yang belum lama menjalani hidup kebhikkhuan, belum lama belajar dhamma dan vinaya ini. Jika mereka tidak mendapat kesempatan untuk melihat Bhante, bisa terjadi perubahan pada diri mereka. Yang Mulia, gembirakanlah para bhikkhu sangha, berilah mereka tegur sapa. Bhante, jika dulu para bhikkhu sangha ditolong oleh Bhante, maka tolonglah para bhikkhu sangha sekarang.” 

Lalu Brahmasahampati, yang mengetahui apa yang sedang dipikirkan Sang Bhagava, seperti seorang yang kuat menunjukkan kekuatan lengannya ke depan dan ke belakang saja layaknya, ia menghilang dari alam Brahma dan muncul di belakang Sang Bhagava. Lalu Brahmasahampati mengatur jubahnya ke samping lengan, memberi salam kepada Sang Bhagava dengan sikap anjali, berkata begini kepada Sang Bhagava, “Bhante, senangkanlah hati para bhikkhu …. (ulangi seperti pada orang-orang Sakya) …. Bhante …. Jika dulu para bhikkhu sangha ditolong oleh Bhante, maka tolonglah para bhikkhu sangha sekarang.” 

Sang Bhagava dapat menerima perumpamaan biji-bijian dan perumpamaan anak lembu dari orang-orang Sakya dan Brahmasahampati. Lalu bhikkhu Moggalana menyapa para bhikkhu, berkata, “Bhante, bangunlah, ambil patta dan jubah kalian. Sang Bhagava telah menerima orang-orang Sakya dan Brahmasahampati dengan perumpamaan biji-bijian dan perumpamaan anak lembu.” 

“Baiklah Bhante,” jawab para bhikkhu, segera bangun dari tempat duduknya, mengambil patta dan jubahnya, mendekati Sang Bhagava. Setelah mendekat, memberi salam Sang Bhagava, mereka duduk pada tempat yang tersedia. Sang Bhagava berkata begini kepada Bhante Sariputta, “Sariputta, apa yang kau pikirkan ketika para bhikkhu sangha kupersilahkan pergi?” 

“Ketika Sang Bhagava mempersilahkan para bhikkhu pergi, saya berpikir, Sang Bhagava tidak merasa cemas sekarang dan Dia akan menikmati kebahagiaan dalam Jhana. Kami pun demikian, merasa tidak cemas sekarang dan akan menikmati kebahagian dalam Jhana.” 

“Apakah engkau menunggu, Sariputta, apakah engkau menunggu, Sariputta. Sariputta, jangan lagi membiarkan pikiran semacam itu timbul lagi.” Lalu Sang Bhagava berkata kepada bhikkhu Moggalana, 

“Moggalana, apa yang kau pikir ketika bhikkhu sangha saya persilahkan pergi?” 

“Bhante, ketika bhikkhu sangha dipersilahkan pergi oleh Sang Bhagava, saya berpikir, Sang Bhagava tidak merasa cemas sekarang. Dia akan menikmati kebahagiaan dalam Jhana. Saya dan bhikkhu Sariputta akan memimpin bhikkhu sangha.”

“Bagus Moggalana, itu bagus. Karenanya selain saya, Moggalana maupun Sariputta dapat memimpin bhikkhu sangha.”

Kemudian Sang Bhagava berkata kepada bhikkhu sangha, “Para bhikkhu, ada empat bahaya yang dapat terjadi bagi seorang yang terjun ke dalam air. Apakah keempat bahaya itu? Bahaya dari ombak, bahaya dari buaya, bahaya dari pusaran air, bahaya dari ikan buas. Ini adalah empat macam bahaya yang dapat terjadi bagi seorang yang menjalani hidup kebhikkhuan dalam dhamma dan vinaya.  Apakah keempat bahaya itu ? Bahaya dari ombak, bahaya dari buaya, bahaya dari pusaran air, bahaya dari ikan buas.

Apakah bahaya dari ombak? Para bhikkhu, ada beberapa pemuda menjalani kehidupan kebhikkhuan dengan keyakinan, berpikir begini ‘Walaupun aku dibebani dengan kelahiran, umur tua, mati, sakit, penderitaan, kesengsaraan, ratapan dan putus asa, dibebani dengan penderitaan, dikuasai oleh penderitaan, mungkin akhir dari bentuk penderitaan yang menyeluruh ini belum dapat terlihat.’ 

Temannya pengikut kaum Brahmana mendesak dan menyuruhnya, ‘Mengapa engkau harus keluar, mengapa engkau harus kembali, mengapa engkau harus melihat ke depan, mengapa harus melihat ke sekeliling, mengapa harus beranjali, mengapa harus membawa jubah dan mengkuk.’ Bila ia berpikir begini, ‘Ketika aku hidup berumah tangga dulu, kami terbiasa menyuruh dan mendesak orang lain, tetapi karena mereka anak sendiri, cucu sendiri.’ Mereka berpikir mereka harus menyuruh dan mendesak kami …. lalu melanggar latihan, dia kembali kepada kehidupan dunia yang rendah. Para bhikkhu, mereka melanggar vinaya dan kembali kepada kehidupan dunia yang rendah inilah yang disebut sebagai orang yang ditakut-takuti bahaya ombak. Bahaya dari ombak ini adalah sama artinya dengan amarah. 

Para bhikkhu, apakah bahaya dari buaya? Begini, beberapa pemuda dari keluarga yang telah menjalani kehidupan kebhikkhuan dengan keyakinan berfikir, ‘Walaupun aku dibebani dengan kelahiran, umur tua, ……… mungkin akhir dari bentuk penderitaan yang menyeluruh ini belum dapat terlihat.’ Temannya pengikut kaum Brahmana mendesak dan menyuruhnya, ‘Ini boleh kau makan, ini tak boleh kau makan, ini boleh kau ambil, ini tak boleh kau ambil, ini boleh kau cicipi, ini tak boleh kau cicipi, ini boleh kau minum, ini tak boleh kau minum, engkau harus makan apa yang diperbolehkan, engkau tidak boleh makan apa yang tidak diperbolehkan, engkau harus mengambil apa yang diperbolehkan, engkau tidak boleh mengambil apa yang tidak diperbolehkan, engkau boleh mencicipi apa yang boleh untuk dicicipi, engkau tidak boleh mencicipi apa yang tidak diperbolehkan, engkau tidak boleh minum apa yang tidak diperbolehkan, engkau harus makan pada waktu yang tepat, engkau tidak boleh makan pada waktu yang salah, engkau harus mengambil pada waktu yang tepat, engkau tidak boleh mengambil pada waktu yang salah, engkau harus mencicipi pada waktu yang tepat, engkau tidak boleh mencicipi pada waktu yang salah, engkau harus minum pada waktu yang tepat, engkau tidak boleh minum pada waktu yang salah.’ Bila ia berpikir begini  ‘Dulu ketika aku masih hidup sebagai perumah tangga, kami makan apa yang kami suka, kami tidak makan apa yang kami tidak suka, kami mengambil apa yang kami suka, kami tidak mengambil apa yang kami tidak suka, kami mencicipi apa yang kami suka, kami tidak mencicipi apa yang kami tidak suka, kami minum apa yang kami suka, kami tidak minum apa yang kami tidak suka, kami makan apa pada waktu yang tepat, kami tidak makan apa pada waktu yang salah, kami mengambil pada waktu yang tepat, kami tidak mengambil pada waktu yang salah, kami mencicipi pada waktu yang tepat, kami tidak mencicipi pada waktu yang salah, kami minum pada waktu yang tepat, kami tidak minum pada waktu yang salah, tetapi bila seorang kepala rumah tangga yang setia memberi kami makanan yang mewah, padat dan lembut, pada waktu yang salah, seolah ia menguji mulut ……. dan melanggar latihan, dia kembali kepada kehidupan dunia yang rendah. Para bhikkhu, mereka yang melanggar vinaya dan kembali kepada kehidupan dunia yang rendah inilah yang disebut sebagai orang yang ditakut-takuti bahaya buaya. Bahaya dari buaya ini sama artinya dengan kerusakan. 

Para bhikkhu, apakah bahaya dari pusaran air? Begini para bhikkhu, beberapa pemuda dari keluarga, menjalani kehidupan kebhikkhuan, berpikir begini, ‘Walaupun aku dibebani dengan karena kelahiran, umur tua, ………. mungkin akhir dari bentuk penderitaan yang menyeluruh ini belum, dapat terlihat.’ Dia lalu menjalani kehidupan kebhikkhuan memakai jubahnya pagi hari, mengambil mangkuk dan jubah luarnya, memasuki sebuah desa, sebuah pasar untuk berpindapata dengan jasmani yang tidak terkendali, dengan ucapan yang tidak terkendali, dengan pikiran yang tidak bersih, perasaan-perasaan yang tidak terkendali. Di sana dia melihat seorang kepala rumah tangga atau anak kepala rumah tangga memanjakan dan memberikan dirinya dengan lima saluran perasaan mendapatkan kesenangan oleh karenanya. Bila ia berpikir begini, ‘Dulu ketika aku menjalani kehidupan rumah tangga, memanjakan dan memberikan diri dengan lima saluran kesenangan indera, kami mendapatkan kebahagiaan. Karena adanya kekayaan di rumahku, mungkin saja menikmati kekayaan sekaligus melakukan hal yang terpuji.’ Dia melanggar latihan, kembali kepada kehidupan dunia yang rendah. Para bhikkhu, mereka yang melanggar vinaya dan kembali kepada kehidupan dunia yang rendah inilah yang disebut sebagai orang yang ditakut-takuti bahaya pusaran air. Bahaya pusaran air ini adalah sama artinya dengan lima saluran kesenangan indera. 

Para bhikkhu, apakah bahaya dari ikan buas? Begini, para bhikkhu  beberapa pemuda dari keluarga, menjalani kehidupan kebhikkhuan, berfikir begini walaupun aku dibebani dengan kelahiran, umur tua ….. mungkin akhir dari bentuk penderitaan yang menyeluruh ini belum dapat terlihat. Dia lalu menjalani kehidupan kebhikkhuan, memakai jubahnya pagi hari mengambil mangkuk dan jubah luarnya, memasuki sebuah desa, sebuah pasar untuk berpindapata dengan jasmani yang tak terkendali, dengan ucapan yang tidak terkendali, dengan pikiran yang tidak bersih, perasaan-perasaan yang tidak terkendali. Dia melihat seorang wanita yang berpakaian kurang sempurna atau kurang tertutup. Ketika dia melihat wanita dengan pakaian yang kurang sempurna dan kurang tertutup, nafsu mengusai pikirannya dan dengan pikiran yang dikuasai oleh nafsu, ia melanggar latihan, dia kembali kepada kehidupan dunia yang rendah. Para bhikkhu, mereka yang melanggar vinaya dan kembali kepada kehidupan dunia yang rendah inilah yang disebut sebagai orang yang ditakut-takuti bahaya ikan buas. Bahaya dari ikan buas ini adalah sama artinya dengan wanita.
Itulah para bhikkhu, empat bahaya yang dapat terjadi pada seorang yang menjalani dhamma dan vinaya dalam kehidupan kebhikkhuan.” 

Demikian apa yang dikatakan oleh Sang Bhagava, para bhikkhu bersenang hati dengan apa yang dikatakan Sang Bhagava.




















LATUKIKOPAMA SUTTA

LATUKIKOPAMA SUTTA
 Perumpamaan Burung Puyuh
Sumber : Majjhima Nikaya 4
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris
Oleh : Dra. Wena Cintiawati, Dra. Lanny Anggawati
Penerbit : Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, 2007


1. DEMIKIAN YANG SAYA DENGAR. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di negeri suku Anguttarapa di kota mereka yang bernama Apana.

2. Kemudian, ketika hari telah pagi, yang terberkahi berpakaian, mengambil mangkuk dan jubah luar Beliau, dan pergi ke Apana untuk mengumpulkan dana makanan. Ketika Beliau berkeliling untuk dana makanan di Apanan dan  telah kembali, setelah makan Beliau pergi ke suatu hutan kecil untuk tinggal pada hari itu. Setelah memasuki hutan, Beliau duduk di akar pohon untuk tinggal pada hari itu.

3. Ketika menjelang, Y.M. Udayin berpakaian, mengambil mangkuk serta jubah luarnya, dan dia juga pergi ke Apana untuk mengumpulkan dana makanan. Ketika dia berkeliling untuk dana makanan di Apana dan telah kembali, setelah makan dia pergi ke hutan kecil yang sama untuk tinggal pada hari itu. Setelah memasuki hutan, dia duduk di akar pohon untuk tinggal pada hari itu.

4. Kemudian, pada saat Y.M. Udayin sedang bermeditasi sendirian, pemikiran ini muncul di benaknya: “Betapa banyaknya keadaan-keadaan menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Yang Terberkahi dari kami! Betapa banyak keadaan-keadaan menyenangkan yang telah dibawa oleh Yang Terberkahi bagi kami! Betapa banyak keadaan-keadaan tak-bajik yang telah disingkirkan olehYang Terberkahi dari kami! Betapa banyak keadaan-keadaan bajik yang telah dibawa oleh Yang Terberkahi bagi kami!”

5. Maka, ketika pantang tiba, Y.M. Udayin bangkit dari meditasinya, menghadap Yang Terberkahi, dan setelah memberi hormat, dia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

6. “Di sini, Yang Mulia Bhante, sementara saya sedang sendirian bermeditasi, pemikiran berikut ini muncul di benak saya: ‘Betapa banyaknya keadaan-keadaan menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Yang Terberkahi dari kami! … Betapa banyak keadaan-keadaan bajik yang telah dibawa oleh Yang Terberkahi bagi kami!’ Yang Mulia Bhante, dulu kami terbiasa makan di petang hari, di pagi hari, dan di siang hari di luar jam makan. Kemudian ada suatu saat ketika Yang Terberkahi berkata kepada para bhikkhu demikian: ‘Para bhikkhu, tinggalkan makan siang di luar jam yang pantas.’(671) Yang Mulia Bhante, pada waktu itu saya bingung dan sedih, dan berpikir: ‘Para perumah-tangga yang setia memberi kami beraneka makanan lezat selama siang hari di luar jam yang pantas, tetapi Yang Terberkahi memberitahu kami untuk meninggalkannya, Yang Mahatinggi memberitahu kami untuk melepaskannya.’ Disebabkan oleh cinta kasih dan hormat kami kepada Yang Terberkahi, dan karena malu dan takut akan perbuatan salah, kami meninggalkan makan siang di luar jam yang pantas.

“Kemudian kami makan hanya di petang dan pagi hari. Kemudian ada suatu saat ketika Yang Terberkahi berkata kepada para bhikkhu demikian: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan malam itu, yang berada di luar jam yang pantas.’ Yang Mulia Bhante, pada waktu itu saya bingung  dan  sedih, dan berpikir: ‘Yang Terberkahi memberitahu kami untuk meninggalkan yang lebih lezat di antara dua kali makan kami itu, Yang Mahatinggi memberitahu kami untuk melepaskannya.’ Pernah suatu kali, ada seseorang yang memperoleh sup di siang hari dan dia berkata: ‘Sisihkan itu dan kita semua akan makan bersama di petang hari.’ [Hampir] semua masak-memasak dilakukan di malam hari, hanya sedikit yang di siang hari. Disebabkan oleh cinta kasih dan hormat kami kepada Yang Terberkahi, dan karena malu dan takut akan perbuatan salah, kami meninggalkan makan malam di luar jam yang pantas.

“Sudah terjadi, Yang Mulia Bhante, bahwa para bhikkhu – yang berkelana untuk mengumpulkan dana makanan di kegelapan malam yang pekat – terjatuh ke lubang tinja, jatuh ke dalam gorong-gorong, berjalan menabrak semak berduri, dan jatuh di atas sapi yang sedang tidur; mereka bertemu para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan para penjahat yang sedang merencanakan tindakan kejahatan, dan para bhikkhu itu telah digoda secara seksual oleh perempuan. Pernah sekali, Yang Mulia Bhante, saya pergi berkelana untuk mengumpulkan dana makanan di kegelapan malam yang pekat. Seorang perempuan yang sedang mencuci pot melihat saya karena kilatan halilintar dan dia menjerit ketakutan: ‘Ampuni aku, setan telah datang mengambilku!’ Saya memberitahu dia: ‘Saudari, saya bukan mengambilku!’ Saya memberitahu dia: ‘Saudari, saya bukan setan, saya adalah bhikkhu yang menunggu dana makanan.’ – ‘Kalau demikian, engkau adalah bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah meninggal! (672) Bhikkhu, lebih baik bila engkau menyuruh perutmu dibelah dengan pisau jagal yang tajam daripada mencari-cari dana makanan demi perutmu itu di kegelapan malam yang pekat!’ Yang Mulia Bhante, ketika ingat hal itu, saya berpikir: ‘Betapa banyaknya keadaan-keadaan menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Yang Terberkahi dari kami! Betapa banyak keadaan-keadaan menyenangkan yang telah dibawa oleh Yang Terberkahi bagi kami! Betapa banyak keadaan-keadaan tak-bajik yang telah disingkirkan oleh Yang Terberkahi dari kami! Betapa banyak keadaan-keadaan bajik yang telah dibawa oleh Yang Terberkahi bagi kami!’”

7. “Demikian pula, Udayin, ada orang-orang yang salah-jalan di sini yang – ketika diberitahu olehku “Tinggalkan ini.’- mengatakan: ‘Apa, hanya hal sepele semacam ini, hal kecil semacam ini? Petapa ini terlalu menuntut!’ dan mereka tidak meninggalkan hal itu dan mereka bersikap tak-sopan padaku dan juga pada para bhikkhu yang ingin berlatih. Bagi mereka hal itu menjadi tali tambatan yang kuat, kokoh, ulet, dan tak membusuk, serta kuk yang tebal.

8. “Misalnya, Udayin, seekor puyuh dirantai dengan tanaman rambat yang membusuk sehingga pasti akan cedera, tertangkap, atau mati. Misalnya seseorang mengatakan ‘Tanaman rambat membusuk yang dipakai merantai puyuh itu sehingga ia pasti akan cedera, tertangkap, atau mati, baginya merupakan rantai yang lemah, tak-kuat, membusuk, dan tanpa-inti.’ Apakah dia berbicara dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia Bhante. Bagi puyuh itu, tanaman rambat membusuk yang dipakai merantainya sehingga ia pasti akan cedera, tertangkap, kuat mati, merupakan tali tambatan yang kuat, kokoh, ulet, tak- membusuk, serta kuk yang tebal.”

“Demikian pula, Udayin, ada orang-orang yang salah-jalan di sini yang – ketika diberitahu olehku ‘Tinggalkan ini’ …tidak meninggalkan hal itu dan mereka bersikap tak-sopan padaku dan juga pada para bhikkhu yang ingin berlatih. Bagi mereka, hal itu menjadi tali tambahan yang kuat, kokoh, ulet, tak-membusuk, serta kuk yang tebal.

9. :Udayin, ada keluarga-keluarga di sini yang – ketika diberitahu olehku ‘Tinggalkan ini’ mengatakan: ‘Apa, hanya hal sepele semacam ini, hal kecil yang harus ditinggalkan seperti ini, Yang Terberkahi memberitahu kita untuk meninggalkannya, Yang Maha tinggi memberitahu kita untuk melepasnya.’ Namun mereka meninggalkan hal itu dan mereka bersikap sopan padaku dan juga pada para bhikkhu yang ingin berlatih. Setelah meninggalkan hal itu, mereka hidup dengan nyaman, tak-tergoda, bertahan hidup dari pemberian orang lain, dengan pikiran [menyendiri] seperti pikiran rusa liar. Bagi mereka, hal itu menjadi tali tambatan yang lemah, tak-kuat, membusuk, dan tanpa-inti.

10. “Misalnya, Udayin, seekor gajah jantan kerajaan dengan gading sepanjang tiang kereta kencana, tubuhnya sudah dewasa, keturunan-tinggi dan sudah terbiasa bertempur, dirantai oleh tali kulit tyang kokoh. Dengan hanya sedikit memutar tubuhnya saja dia sudah dapat memutus dan meletuskan tali kulit itu dan kemudian pergi ke mana pun ia suka. Nah, misalnya seseorang mengatakan: ‘Tali kulit kokoh yang dipakai untuk merantai gajah jantan kerajaan … baginya merupakan tali tambatan yang kuatt, kokoh, ulet, tak-membusuk, serta kuk yang tebal.’ Apakah dia berbicara dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia Bhante. Tali kulit kokoh yang dipakai merantai gajah jantan kerajaan itu, yang dengan hanya sedikit memutar tubuhnya saja sudah dapat memutus dan meletuskan tali kulit itu dan kemudian pergi ke mana pun ia suka, baginya merupakan tali tambatan yang lemah, tak-kuat, membusuk, dan tanpa-inti.”

“Demikian juga, Udayin, ada keluarga-keluarga di sini yang ketika diberitahu olehku ‘Tinggalkan ini’ … meninggalkan hal itu dan tidak bersikap tak-sopan padaku atau pada para bhikkhu yang ingin berlatih. Setelah meninggalkan hal itu, mereka hidup dengan nyaman, tak-tergoda, bertahan hidup dari pemberian orang lain, dengan pikiran [menyendiri] seperti pikiran rusa liar. Bagi mereka, hal itu menjadi tali tambatan yang lemah, tak kuat, membusuk, dan tanpa-inti.

11. “Misalnya, Udayin, ada seorang laki-laki yang miskin, tak beruang, melarat, dan dia mempunyai gubuk bobrok yang terbuka untuk gagak-gagak, bukan jenis terbaik, dan alas tidur anyaman yang bobrok, bukan jenis terbaik, dan sejumlah biji-bijian dan biji waluh di dalam pot, bukan jenis terbaik, dan seorang istri yang parah, bukan jenis terbaik. Dia mungkin melihat seorang bhikkhu di taman vihara – yang sedang duduk di bawah keteduhan sebatang pohon, tangan dan kakinya telah dicuci bersih setelah menyantap makanan yang lezat – membaktikan diri untuk pemikiran yang lebih tinggi. Laki-laki itu mungkin berpikir: ‘Betapa menyenangkannya keadaan petapa itu! Betapa sehatnya keadaan petapa itu! Seandainya aja aku dapat mencukur rambut dan jenggotku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berumah!’ Tetapi karena tidak dapat meninggalkan gubuk bobrok yang terbuka untuk gagak-gagak, bukan jenis terbaik, dan alas tidur anyaman yang bobrok, bukan jenis terbaik, dan sejumlah biji-bijian dan biji waluh di dalam pot, bukan jenis terbaik, dan seorang istri yang parah, bukan jenis terbaik, dia tidak dapat mencukur rambut dan jenggotnya, tidak dapat mengenakan jubah kuning, dan tidak dapat meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berumah. Misalnya seseorang mengatakan: ‘Rantai-rantai yang dipakai merantai laki-laki ini sehingga dia tidak dapat meninggalkan gubuk bobroknya…. Dan istrinya yang parah, bukan jenis terbaik, dan tidak dapat mencukur rambut dan jenggotnya, tidak dapat mengenakan jubah kuning, dan tidak dapat meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berumah – baginya merupakan tali tambatan yang lemah, tak-kuat, membusuk, dan tanpa-inti.’ Apakah dia berbicara dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia Bhante, Rantai-rantai yang dipakai merantai laki-laki ini sehingga dia tidak dapat meninggalkan gubuk bobroknya … dan istrinya yang parah, bukan jenis terbaik, dan tidak dapat mencukur rambut serta jenggotnya, tidak dapat mengenakan jubah kuning, dan tidak dapat meninggalkan kehidupan berumah  menuju  tak-berumah – bagi dia, hal itu merupakan tali  tambatan yang kuat, kokoh, ulet, tak-membusuk serta kuk yang tebal.”

“Demikian juga, Udayin ada orang-orang yang salah-jalan di sini yang – ketika diberitahu olehku ‘Tinggalkan ini” … tidak meninggalkan hal itu dan mereka bersikap tak-sopan padaku dan juga pada para bhikkhu yang ingin berlatih. Bagi mereka, hal itu merupakan tali tambatan yang kuat, kokoh, ulet, tak-membusuk, serta kuk yang tebal.

12. “Misalnya, Udayin, ada seorang perumah-tangga karya atau putra perumah-tangga,  dengan kekayaan dan harta yang besar, dengan banyak  emas batangan, dengan banyak lumbung, banyak ladang, banyak tanah, banyak istri, dan banyak budak laki dan perempuan. Dia mungkin melihat seorang bhikkhu di taman vihara – yang sedang duduk di bawah keteduhan sebatang pohon, tangan dan kakinya telah di cuci bersih setelah menyantap makanan yang lezat – membaktikan diri untuk pemikiran yang lebih tinggi. Laki-laki itu mungkin berpikir: ‘Betapa menyenangkannya keadaan petapa itu! Betapa sehatnya keadaan petapa itu! Seandainya saja aku dapat mencukur rambut  dan jenggotku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berumah!’

Karena dapat meninggalkan banyak emas batangan, banyak lumbung, banyak ladang, banyak tanah, banyak istri, dan banyak budak laki dan perempuan, dia dapat  mencukur rambut  dan jenggotnya, dapat mengenakan jubah kuning, dan  dapat meninggalkan kehidupan berumah menuju tak-berumah. Misalnya seseorang mengatakan: ‘Rantai-rantai yang dipakai merantai perumah-tangga atau putra perumah-tangga sehingga dia dapat meninggalkan banyak batang emas… banyak budak laki-perempuannya, dan dapat mencukur rambut dan jenggotnya, dapat mengenakan jubah kuning, dan dapat meninggalkan  kehidupan berumah menuju tak-berumah-bagi dia hal-hal itu merupakan tali tambatan yang kuat, kokoh, ulet, tak-membusuk.’ Apakah dia berbicara dengan benar?”

“Tidak, Yang Mulia Bhante. Rantai-rantai yang dipakai merantai perumah-tangga atau putra perumah-tangga sehingga dia dapat meninggalkan banyak emas batangan…banyak budak laki dan perempuannya, dan dapat mencukur rambut dan jenggotnya. Dapat mengenakan jubah kuning, dan dapat meninggalkan kehidupan berumah menuju  tak-berumah – bagi dia hal-hal itu  merupakan tali tambatan  yang lemah, tak-kuat, membusuk, dan tanpa-inti.

“Demikian juga, Udayin, ada keluarga-keluarga di sini yang ketika diberitahu olehku ‘Tinggalkan ini’… meninggalkan hal itu dan tidak bersikap tak-sopan padaku atau pada para bhikkhu yang ingin berlatih. Setelah meninggalkannya, mereka hidup dengan nyaman,  tak-tergoda, bertahan hidup dari pemberian orang lain, denngan pikiran [menyendiri] seperti pikiran rusa liar. Bagi mereka, hal itu menjadi tali tambatann yang lemah, tak-kuat, membusuk, dan tanpa-inti.

13. “Udayin, ada empat jenis manusia  yang dapat  ditemukan di dunia ini. Apakah yang empat itu? (673)

14. “Di sini, Udayin manusia mempraktekkan jalan menuju ditinggalkannya kemelekatan, menuju dilepaskannya kemelekatan. (674) Ketika dia mempraktekkan jalan itu, kenangan dan niat yang berhubungan dengan kemelekatan menyerangnya. Dia mentoleransinya; dia tidak menanggalkannya, tidak menghilangkannya, tidak menyingkirkannya, dan tidak meniadakannya. Manusia semacam ini kusebut terbelenggu, bukan tak-terbelenggu. Mengapa demikian? Karena aku telah mengetahui perbedaan kemampuan khusus pada manusia ini.

15. “Di sini, Udayin manusia mempraktekkan jalan menuju ditinggalkannya kemelekatan, menuju dilepaskannya kemelekatan. Ketika dia mempraktekkan jalan itu, kenangan dan niat  yang berhubungan dengan kemelekatan menyerangnya. Dia tidak mentoleransinya.; dia menaggalkannya, menghilangkannya, menyingkirkannya, dan meniadakannya Manusia semacam ini kusebut terbelenggu, bukan tak-terbelenggu. Mengapa demikian? Karena aku telah mengetahui perbedaan kemampuan khusus pada diri manusia ini. (675)

16. “Di sini, Udayin, manusia mempraktekkan  jalan menuju ditinggalkannya kemelekatan, menuju dilepaskannya kemelekatan. Ketika dia mempraktekkan jalan itu, kenangan dan niat yang berhubungan dengan kemelekatan kadang-kadang menyerangnya karena tergelincirnya kewaspadaan. Kewaspdaannya mungkin lambat munculnya, tetapi dengan cepat dia meninggalkannya, menghilangkannya, menyingkirkannya, dan meniadakannya.(676) Sama seperti orang yang membiarkan dua atau tiga tetas air menetes ke piring besi yang dipanaskan sepanjang hari, air itu mungkin menetes lamban tetapi akan cepat menguap dan lenyap. Demikian pula, di sini seseorang mempraktekkan jalan itu…Kewaspadaannya mungkin lamban munculnya, tetapi dengan cepat dia meninggalkannya, menhilangkannya, menyingkirkannya, dan meniadakannya. Manusia  semacam ini juga kusebut terbelenggu, bukan tak-terbelenggu.Mengapa demikian? Karena aku telah mengetahui perbedaan kemampuan khusus pada manusia ini.

17. “Di sini, Udayin, seseorang, setelah memahami bahwa kemelekatan adalah akar penderitaan, membebaskan dirinya dari kemelekatan dan terbebas bersama dengan hancurnya kemelekatan. Manusia semacam ini kusebut tak-terbelenggu, bukan terbelenggu. (677) Mengapa demikian? Karena aku telah mengetahui perbedaan kemampuan khusus pada manusia ini.

18. “Udayin, ada lima tali kesenangan indera. Apakah yang lima itu? Bentuk yang dapat dikognisi oleh mata – yang diinginkan, dihasrati, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan nafsu indera dan menggoda nafsu jasmani, Suara yang dapat dikognisi oleh telinga … Bebauan yang dapat dikognisi oleh hidung … citarasa yang dapat dikognisi oleh lidah …Sentuhan yang dapat dikognisi oleh tubuh – yang diinginkan, dihasrati, menyenangkan, dan disukai, berhubungan dengan nafsu indera dan menggoda nafsu jasmani. Ini adalah lima tali kesenangan indera.

19. “Udayin, kesenangan dan kegembiraan yang muncul bergantung pada lima tali kesenangan indera ini disebut kesenangan indera – kesenangan yang kotor, kesenangan yang kasar, kesenangan yang tak-luhur. Kukatakan bahwa jenis kesenangan ini seharusnya tidak dikejar, bahwa halitu seharusnya tidak dikembangkan, bahwa hal itu seharusnya tidak diolah, bahwa hal itu seharusnya ditakuti.

20. “Di sini, Udayin, sangat terpisah dari kesenangan-kesenangan indera. Terpisah dari keadaan-keadaan yang tak-bajik, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana pertama … Dengan berhentinya pemikiran pemicu dan pemikiran bertahan, dia masuk dan berdiam di dalam jhana kedua … Dengan juga melemahnya kegiuran … dia masuk dan berdiam di dalam jhana ketiga … Dengan ditinggalkannya kesenangan dan penderitaan …dia masuk dan berdiam di dalam jhana keempat …

21. “Ini disebut sukacita meninggalkan keduniawian, sukacita kesendirian, sukacita kedamaian, sukacita pencerahan. (678) Kukatakan bahwa jenis kesenangan ini seharusnya dikejar, bahwa hal itu seharusnya dikembangkan, bahwa hal itu seharusnya diolah, bahwa hal itu seharusnya tidak ditakuti.

22. “Di sini, Udayin, sangant terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan yang tak-bajik, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana pertama…Ini, kukatakan, termasuk dalam yang-terganggu. (679) Dan apakah disana yang termasuk dalam yang-terganggu? Pemikiran pemicu dan pemikiran bertahan yang belum berhenti di saana, itulah yang termasuk dalam yang-terganggu.

23. “Di sini, Udayin, dengan berhentinya pemikiran pemicu dan pemikiran bertahan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam  jhana kedua … Ini, kukatakan, juga termasuk dalam yang-terganggu. Dan apakah yang di sana termasuk dalam yang terganggu? Kegiuran dan kesenangan yang belum berhenti di sana, itulah yang termasuk dalam yang-terganggu.

24. “Di sini, Udayin dengan juga melemahnya kegiuran … seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana ketiga … Ini, kukatakan, juga termasuk dalam yang-terganggu. Dan apakah yang di sana termasuk dalam yang-terganggu? Ketenang-seimbangan dan kesenangan yang belum berhenti di sana, itulah yang termasuk dalam yang-terganggu.

25. “Di sini, Udayin, dengan ditinggalkannya kesenangan dan penderitaan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jahan keempat … Ini, kukatakan, termasuk dalam yang –tak-terganggu.

 
26. “Di sini, Udayin, sangat terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan yang tak-bajik, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana pertama … Itu, kukatakan, tidaklah cukup. (680) Tinggalkanlah hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu, kukatakan. Dan apakah yang melampauinya?

27. “Di sini, Udayin, dengan berhentinya pemikiran pemicu dan pemikiran bertahan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana kedua … Itulah yang melampauinya. Tetapi hal itu juga, kukatakan, tidaklah cukup. Tinggalkanlah hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu, kukatakan. Dan apakah yang melampauinya?

28. “Di sini, Udayin, dengan  juga melemahnya kegiuran … seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana ketiga … Itulah  yang melampauinya. Tetapi hal itu juga, kukatakan, tidaklah cukup. Tinggalkan hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu, kukatakan. Dan apakah yang melampauinya?

29. “Di sini, Udayin, dengan ditinggalkannya kesenangan dan penderitaan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam jhana keempat … Tetapi hal itu juga, kukatakan, tidaklah cukup. Tinggalkanlah hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu, kukatakan. Dan apakah yang melampauinya?

30. “Di sini, Udayin, dengan sepenuhnya meninggalkan  persepsi mengenai bentuk, dengan lenyapnya mengenai dampak indera, bersama tanpa-perhatian terhadap persepsi mengenai keragaman, menyadari bahwa / ruang adalah tak-terhingga, ‘ seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam landasan ruang tak-terhingga. Itulah yang melampauinya. Tetapi hal itu juga, kukatakan, tidaklah cukup. Tinggalkan hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu, kukatakan. Dan apakah yang melampauinya

31. “Di sini, Udayin, dengan sepenuhnya meninggalkan landasan ruang tak-terhingga, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tak-terhingga,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam landasan kesadaran tak-terhingga. Itulah yang melampauinya. Tetapi hal itu juga, kukatakan, tidaklah cukup. Tinggalkan hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu, kukatakan. Dan apakah yang melampauinya?

32. “Di sini, Udayin, dengan sepenuhnya meninggalkan landasan kesadaran tak-terhingga, menyadari bahwa ‘tidak ada apa pun,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam landasan kekosongan. Itulah yang melampauinya. Tetapi hal itu juga, kukatakan, tidaklah cukup. Tinggalkan hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu, kukatakan. Dan apakah yang melampauinya?

33. “Di sini, Udayin, dengan sepenuhnya meninggalkan landasan kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi. Itulah yang melampauinya. Tetapi hal itu juga, kukatakan, tidaklah cukup. Tinggalkan hal itu, kukatakan; lampauilah hal itu kukatakan. Dan apakah yang melampauinya?

34. “Di sini, Udayin, dengan sepenuhnya meninggalkan landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam di dalam berhentinya persepsi dan perasaan. (681) Itulah  yang melampauinya. Demikianlah aku berbicara tentang ditinggalkannya bahkan landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi. Apakah engkau melihat, Udayin, belenggu apa pun, baik yang kecil maupun besar, yang tidak kubicarakan peninggalannya?”

Tidak, Yang Mulia Bhante.”

Demikianlah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Y.M. Udayin merasa puas dan bergembira di dalam kata-kaa Yang Terberkahi.


Catatan

671 Dari bacaan ini dan bacaan berikutnya, tampaknya Sang Buddha membatasi waktu makan yang diizinkan bagi para bhikkhu di dalam dua tahap yang berurutan, pertama melarang hanya makan siang saja namun mengizinkan makan malam. Tetapi, di dalam ketrangan Vinaya tentang asal mula Pac 37 (Vin iv.85) tidak disebutkan larangan berurutan ini. Sebaliknya, teks itu tampaknya menganggap bahwa sudah merupakan pengetahuan umum bahwa para bhikkhu tidak boleh menyantap makanan lewat tengan hari, dan hal ini menunjukkan bahwa Sang Buddha menentukan peraturan agar tidak makan bukan pada waktunya dengan satu pernyataan lengkap yang berlaku untuk semua makanan setelah tengah hari.

672 Ucapan itu tampaknya memakai bahasa Pali yang sangat tidak resmi. MA menjelaskan: Seandainya ibu dan ayah seseorang masih hidup, mereka akan memberi putra mereka berbagai jenis makanan dan menawarkan kepadanya tempat untuk tidur, sehingga dia tidak harus berkelanan ke sana kemari untuk mendapatkan makanan di malam hari.

673 MA: Sang Buddha memberikan ajaran ini untuk menganalisa manusia yang meninggalkan apa yang telah diberitahukan untuk ditinggalkan (§9) menjadi empat jenis manusia yang berbeda.

674 Upadhi. MA menerangkan: Untuk meninggalkan empat jenis Upadhi – kelompok khanda, kekotoran batin, bentukan berkehendak, dan tali-tali kesenangan indera (khandh’upadhi kiles’upadhi abhisankhar’upadhi kamagun’upadhi).

675 MA: Manusia biasa, Pemasuk-Arus, Yang-Kembali-Sekali-Lagi, Yang-tidak-Kembali-Lagi semuanya dapat dimasukkan ke dalam kategori pertama (§14), Yang-Tidak-Kembali-Lagi karena nafsu untuk dumai masih ada padanya sehingga kadang-kadang dia masih bergembira dalam pemikiran-pemikiran kenikmatan duniawi. Empat yang sama dapat dimasukkan ke dalam kategori kedua (§15), manusia biasa karena dia mungkin menekan kekotoran batin yang telah muncul, membangkitkan energi, mengembangkan pandangan terang, dan menghapus kekotoran batin dengan mencapai jalan di-atas-duniawi.

676 Jenis ini dibedakan dari jenis sebelumnya hanya oleh kelambanannya dalam menggugah kewaspadaan untuk meninggalkan kekotoran-kekotoran yang telah muncul.

677 Ini adalah Arahat, yang sendirian telah menghapus semua belenggu.

678 Di sini saya berangkat dari Nm dalam  menerjemahkan sukha sebagai “sukacita” dan bukan “kesenangan” untuk menghindari frasa-frasa yang terdengar kikuk yang terjadi karena konsistensi yang kaku. MA menjelaskan jhana-jhana sebagai nekkhammasukha karena jhana-jhana itu menghasilkan sukacita meninggalkan kesenangan indera; sebagai pavivekasukha karena jhana-jhana itu menghasilkan sukacita terpisah dari orang banyak dan dari kekotoran batin; sebagai upasamasukha karena sukacita mereka bertujuan untuk meredakan kekotoran batin; dan sebagai sambodhasukha karena sukacita mereka bertujuan untuk mencapai pencerahan. Jhana-jahna itu sendiri, tentu saja, bukanlah keadaan-keadaan pencerahan.

679 Semua keadaan pikiran di bawah jhana keempat dikelompokkan sebagai “yang tergoncang” (injita). Jhana keempat dan semua keadaan yang lebih tinggi disebut “yang tak-tergoncang” (aninjita). Lihat n.1000.
680 MA:Sungguh tidak cocok bila menjadi melekatinya dengan nafsu keinginan, dan orang seharusnya tidak berhenti pada titik ini.

681 Berhentinya persepsi dan perasaan bukan hanya satu pencapaian yang lebih tinggi lagi di sepanjang skala konsentrasi, tetapi di sini menyiratkan pengembangan pandangan terang total, yang memuncak di dalam tingkat arahat.

BHADDALI SUTTA

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQBUI30uHli-Ien0OeeUyhi9VQZ5R3SMF8vP6kM_yNggLP5jftYji7L52IXyVjaAQlSsB2RhuB3-IHKUIcjm3fCWx-tpS0NlBA2VOSHQ64ndZdcrlPzOgTbFSQnpbvS8nCdHxXRxY3t2RR/s1600/image023.jpg
BHADDALI SUTTA
Kepada Bhaddali
Sumber : Majjhima Nikaya 4
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris
Oleh : Dra. Wena Cintiawati, Dra. Lanny Anggawati
Penerbit : Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, 2007
 
1. DEMIKIAN YANG SAYA DENGAR. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman Ananthapindika. Di sana Beliau berbicara kepada para bhikkhu demikian: “Para bhikkhu.” – “Bhante,” jawab mereka. Yang Terberkahi berkata demikian: 

2. “Para bhikkhu, aku makan sekali saja. Dengan melakukan hal itu, aku bebas dari penyakit dan penderitaan, dan aku menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman. (660) Ayo, paara bhikkhu, makanlah sekali saja. Dengan melakukan hal itu, kalian juga akan bebas dari penyakit dan penderitaan, dan kalian akan menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman.” 

3. ketika  hal ini dikatakan, Y.M. Bhaddali berkata Yang Terberkahi: “Bhante, saya tidak bersedia makan satu kali; karena seandainya harus melakukannya, saya mungkin merasa cemas dan khawatir  tentang hal itu.” (661)

 “Kalau demikian, Bhaddali, makanlah satu bagian di tempat kamu diundang dan bawalah pergi sebagian untuk dimakan. Dengan makan secara demikian, engkau dapat mempertahankan diri.”

“Bhante, saya juga tidak bersedia makan dengan cara demikian; karena jika seandainya harus melakukannya, saya mungkin merasa cemas dan khawatir tentang hal itu.” (662)

4. Kemudian, ketika peraturan latihan ini diumumkan oleh Yang Terberkahi, (663) Y.M. Bhaddali secara terbuka menyatakan kepada Sangha para bhikkhu ketidak-sediaannya untuk menjalankan latihan. Maka Y.M. Bhaddali tidak menemui Yang Terberkahi selama seluruh masa tiga-bulan masa Vassa [masa Musim Hujan] itu, karena dia tidak memenuhi latihan di dalam Ajaran Sang Guru. 

5. Pada kesempatan itu, sekelompok bhikkhu sedang sibuk membuatkan jubah untuk Yang Terberkahi sambil berpikir “Bersama selesainya jubah ini, di akhir tiga bulan masa Vassa [masa Musim Hujan], Yang Terberkahi akan mulai berkelana.” 

6. Pada waktu itu, Y.M. Bhaddali menemui para bhikkhu tersebut dan bertukar tegur-sapa dengan mereka, dan setelah ramah tamah ini berakhir, dia duduk di satu sisi. Setelah dia duduk, para bhikkhu itu berkata: “Sahabat Bhaddali, jubah ini sedang dibuat untuk Yang Terbekahi. Bersama selesainya jubah ini, di akhir tiga bulan masa Vassa [masa Musim Hujan], Yang Terberkahi akan mulai berkelana. Ayolah, sahabat Bhaddali, tinjaulah pertanyaanmu itu dengan baik. Jangan sampai hal itu menjadi lebih sulit bagimu nantinya.” 

7. “Baik, sahabat-sahabat,” jawabnya. Y.M. Bhaddali pun pergi menghadap Yang Terberkahi, dan setelah memberi hormat, dia duduk di satu sisi dan berkata: “Bhante, pelanggaran telah menguasai saya, sehingga seperti orang yang tolol, bingung dan salah  besar, ketika peraturan latihan disampaikan oleh Yang Terberkahi, saya secara terbuka menyatakan di hadapan Sangha para bhikkhu ketidak-sediaan saya untuk menjalankan latihan. Bhante, sudilah Yang Terberkahi mengampuni pelanggaran saya yang dilihat sedemikian demi pengendalian diri di masa depan.” 

8. “Memang, Bhaddali, pelanggaran telah menguasaimu, sehingga seperti orang yang tolol, bingung dan salah besar, ketika peraturan latihan disampaikan olehku, engkau secara terbuka menyatakan di hadapan Sangha para bhikkhu ketidak-sediaanmu untuk menjalankan latihan. 

9. “Bhaddali, keadaan ini tidak terlihat olehmu pada waktu itu: ‘Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi, dan Yang Terberkahi akan mengenalku demikian: “Bhikkhu yang bernama Bhaddali adalah orang yang tidak memenuhi latihan di dalam Ajaran Guru.” Keadaan ini tidak terlihat olehmu pada waktu itu. 

“Juga, keadaan ini tidak terlihat olehmu pada waktu itu: ‘Banyak bhikkhu berdiam di Savatthi selama masa Vassa, dan mereka juga akan mengenalku demikian: “Bhikkhu yang bernama Bhaddali adalah orang yang tidak memenuhi latihan di dalam Ajaran Guru.”’ Keadaan ini juga  tidak terlihat olehmu pada waktu itu.” 

10.. “Bhante, pelanggaran telah menguasai saya, sehingga seperti orang yang tolol, bingung dan salah besar, ketika peraturan latihan disampaikan oleh Yang Terberkahi,  saya secara terbuka menyatakan di hadapan Sangha para bhikkhu ketidak-sediaan saya untuk menjalankan latihan. Bhante, sudilah Yang Terberkahi mengampuni pelanggaran saya yang dilihat sedemikian demi pngendalian diri di masa depan.” 

“Memang, Bhaddali, pelanggaran telah menguasaimu, sehingga seperti orang yang tolol, bingung dan salah besar, ketika peraturan latihan disampaikan olehku, engkau secara terbuka menyatakan di hadapan Sangha para bhikkhu ketidak-sediaanmu untuk menjalankan latihan.

11. “Bagaimana pendapatmu, Bhaddali? Seandainya saja seorang bhikkhu di sini adalah manusia yang terbebas-dalam-kedua-jalan, (664) dan aku memberitahu dia:’Ayo, bhikkhu, jadilah papan bagiku untuk berjalan melintasi Lumpur.’ Apakah dia akan berjalan menyeberang sendiri, (665) ataukah dia akan berbuat lain dengan tubuhnya, ataukah dia akan mengatakan ‘Tidak’?” 

“Tidak, Yang Mulia Bhante.” 

“Bagaimana pendapatmu, Bhaddali? Seandainya saja seorang bhikkhu disini adalah manusia yang terbebas-oleh-kebijaksanaan… saksi-tubuh… orang yang mencapai-pandangan…orang yang terbebas-oleh keyakinan… seorang pengikut-Dhamma…seorang pengikut-keyakinan, dan aku memberitahu dia: ‘Ayo, bhikkhu, jadilah papan bagiku untuk berjalan melintasi Lumpur.’ Apakah dia akan berjalan menyeberang sendiri, ataukah dia akan berbuat lain dengan tubuhnya, ataukah dia akan mengatakan ‘Tidak’?” 

“Tidak, Yang Mulia Bhante.” 

12. “Bagaimana pendapatmu, Bhaddali? Apakah pada saat itu engkau adalah manusia yang terbebas-dalam-kedua-jalan? Atau manusia yang terbebas-oleh-kebijaksanaan atau saksi tubuh atau seorang yang mencapai-pandangan atau seorang yang terbebas-oleh-keyakinan atau seorang pengikut-Dhamma atau seorang pengikut-keyakinan?” 

“Bukan, Yang Mulia Bhante.” 

“Bhaddali, pada saat itu apakah engkau bukan pelaku-kesalahan yang kosong dan hampa?” 

13. “ya, Yang Mulia Bhante. Yang Mulia Bhante, pelanggaran telah menguasai saya, sehingga seperti orang yang tolol, bingung dan salah besar, ketika peraturan latihan disampaikan oleh Yang Terberkahi, saya secara terbuka menyatakan di hadapan Sangha para bhikkhu ketidak-sediaan saya untuk menjalankan latihan. Yang Mulia Bhante, sudilah Yang Terberkahi mengampuni pelanggaran saya yang dilihat sedemikian demi pengendalian diri di masa depan.” 

“Memang, Bhaddali, pelanggaran telah menguasaimu, sehingga seperti orang yang tolol, bingung dan salah besar, ketika peraturan latihan disampaikan olehku, enngkau secara terbuka menyatakan di hadapan Sangha para bhikkhu ketidak sediaanmu untuk menjalankan latihan. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu sedemikian rupa dan memperbaiki kesalahan sesuai dengan Dhamma, kami memaafkan engkau; karena memang merupakan perkembangan dalam Vinaya Manusia Agung jika seseorang melihat pelanggarannya sedemikian dan memperbaiki kesalahan sesuai dengan Dhamma dengan cara menjalankan pengandalian diri di masa depan. 

14. “Di sini, Bhaddali, seorang bhikkhu tidak memenuhi latihan di dalam Ajaran Guru. Dia mempertimbangkan demikian. ‘Sebaiknya aku memutuskan untuk tinggal di tempat istirahat yang terpencil: di hutan, akar pohon, gunung, jurang, gua di sisi bukit, tempat pembuangan mayat, semak belukar, ruang terbuka, tumpukan jerami – mungkin aku bisa merealisasikan keadaan supra-manusia, luar biasa dalam pengetahuan dan visi yang pantas bagi para luhur.’ Dia memilih tempat-istirahat terpencil seperti itu. Sementara dia hidup menarik diri demikian, Guru mencelanya, sahabat-sahabat dalam kehidupan suci yang melakukan penyelidikan mencelanya, para dewa mencelanya, dan dia mencela dirinya sendiri. Dicela demikian oleh Guru, oleh sahabat-sahabat dalam kehidupan suci, oleh para dewa, oleh dirinya sendiri, dia tidak merealisasikan keadaan supra-manusia, tidak luar biasa dalam pengetahuan dan visi yang pantas bagi para luhur. Mengapa? Memang demikianlah halnya dengan orang yang tidak memenuhi latihan di dalam Ajaran Guru. 

15. “Di sini, Bhaddali, seorang bhikkhu benar-benar memenuhi latihan di dalam Ajaran Guru. Dia mempertimbangkan demikian: ‘Sebaiknya aku memutuskan untuk tinggal di tempat istirahat yang terpencil: di hutan, akar pohon, gunung, jurang, gua di sisi bukit, tempat pembuangan mayat, semak, ruang terbuka, tumpukan jerami – mungkin aku bisa merealisasikan keadaan supra-manusia, luar biasa dalam pengetahuan dan visi yang pantas bagi para luhur.’ Dia memilih tempat – istirahat terpencil seperti itu. Sementara dia hidup menarik diri demikian, Guru tidak mencelanya, sahabat-sahabat dalam kehidupan suci yang melakukan penyelidikan tidak mencelanya, para dewa tidak mencelanya, dan dia tidak mencela dirinya sendiri. Tidak dicela demikian oleh Guru, oleh sahabat-sahabat dalam kehidupan suci, oleh para dewa, oleh dirinya sendiri, dia merealisasikan keadaan supra-manusia, luar biasa dalam pengetahuan dan visi yang pantas bagi para luhur. 

16. “Benar-benar terpisah dari kesenangan-kesenangan indra, terpisah dari keadaan-keadaan yang tak-bajik, dia masuk dan berdiam di dalam jhana pertama, yang dibarenngi oleh pemikiran pemicu dan pemikiran bertahan, dengan kegiuran dan kesenangan yang terlahir dari kesendirian, Mengapa? Memang demikianlah halnya dengan orang yang memenuhi latihan di dalam Ajaran Guru.

17. “Bersama berhentinya pemikiran pemicu dan pemikiran bertahan, dia masuk dan berdiam di dalam jhana kedua …Dengan juga melemahnya kegiuran…dia masuk dan berdiam di dalam jhana ketiga … Bersama dengan ditinggalkannya kesenangan dan penderitaan … dia masuk dan berdiam di dalam jhana keempat … Mengapa? Memang demikianlah halnya dengan orang yang memenuhi latihan di dalam Ajaran Guru. 

18. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi telah demikian dimurnikan dan terang, tak-ternoda, bebas dari ketidak-sempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap, dan mencapai keadaan tak-terganggu, dia mengarahkannya pada pengetahuan tentang ingatan akan kehidupan-kehidupan lampau … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah, bersama dengan berbagai aspek dan cirri khasnya, dia mengingat berbagai kehidupan masa lampaunya. Mengapa? Memang demikianlah halnya dengan orang yang memenuhi latihan di dalam Ajaran Guru. 

19. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi telah demikian dimurnikan dan terang … dan mencapai keadaan tak-terganggu, dia mengarahkannya pada pengetahuan tentang lenyap dan muncul kembalinya para makhluk … (seperti Sutta 51, §25) … Demikianlah, dengan mata dewa, yang termurnikan dan melampaui manusia, dia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan tindakan-tindakan mereka. Mengapa? Memang demikianlah halnya dengan orang yang memenuhi latihan di dalam Ajaran Guru. 

20. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi telah dimurnikan demikian dan terang .. mencapai keadaan tak-terganggu, dia mengarahkannya menuju pengetahuan tentang hancurnya noda-noda. Dia memahami sebagaimana adanya: ‘Inilah penderitaan’ … (seperti Sutta 51, §26) … Dia memahami sebagaimana adanya: ‘Inilah jalan menuju berhentinya noda-noda.’ 

21. “Ketika dia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebas dari noda nafsu indera, dari noda dumadi, dan dari noda kebodohan-batin. Ketika pikiran itu terbebas, di sana muncullah pengetahuan: ‘Pikiran ini terbebas.’ Dia memahami: ‘Kelahiran telah hancur, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan, tidak ada lagi kemunculan di alam mana pun juga.’ Mengapa? Memang demikianlah halnya dengan orang yang memenuhi latihan di dalam Ajaran Guru.”

22. Setelah itu Y.M. Bhaddali bertanya: “Yang Mulia Bhante, apakah penyebabnya, apakah alasannya, mengapa mereka mengambil tindakan terhadap seorang bhikkhu di sini dengan berulang-ulang menegurnya? Apakah penyebabnya, apaka alasannya, mengapa mereka tidak mengambil tindakan terhadap seorang bhikkhu di sini dengan berulang-ulang menegurnya?”

23. “Di sini, Bhaddali, seorang bhikkhu merupakan pelanggar-tetap dengan banyak pelanggaran. Ketika dibetulkan oleh para bhikkhu, dia memutar-balikkan kebenaran, mengalihkan pembicaraan, menunjukkan gangguan, kebencian, dan kepahitan; dia tidak maju dengan benar, dia tidak tunduk, dia tidak membersihkan diri, dia tidak mengatakan: Biarlah saya bertindak demikian sehingga Sangha merasa puas.’ Para bhikkhu, dengan mempertimbangkan masalah ini, pun berpikir: ‘Sungguh baik jioka para mulia ini memeriksa bhikkhu tersebut dengan cara sedemikian sehingga jalannya perkara terhadap dia tidak terlalu cepat dibereskan.’ Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu itu dengan cara sedemikian sehingga jalannya perkara terhadap dia tidak terlalu cepat dibereskan. 

24. “Sebaiknya, di sini seorang bhikkhu merupakan pelanggar-tetap dengan banyak pelanggaran. Ketika dibetulkan oleh para bhikkhu, dia tidak memutar balikkan kebenaran, tidak mengalihkan pembicaraan, tidak menunjukkan gangguan, kebencian, dan kepahitan; dia maju dengan benar, dia tunduk, dia membersihkan diri, dia mengatakan: ‘Biarlah saya bertindak sedemikian sehingga Sangha merasa puas.’ Para bhikkhu, dengan mempertimbangkan masalah ini, pun berpikir: ‘Sungguh baik jika para mulia ini memeriksa bhikkhu tersebut dengan cara sedemikian sehingga jalannya perkara terhadap dia cepat dibereskan.’ Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu itu dengan cara sedemikian sehingga jalannya perkara terhadap dia cepat dibereskan.

25. “Di sini, seorang bhikkhu adalah pelanggar sesekali tanpa banyak pelanggaran. Ketika dibetulkan oleh para bhikkhu, dia memutar-balikkan … (ulang sisa§23)…Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu itu dengan cara sedemikian sehingga jalannya perkara terhadap dia tidak terlalu cepat dibereskan. 

26. “Sebaliknya, di sini seorang bhikkhu adalah pelanggar sesekali tanpa banyak pelanggaran. Ketika dibetulkan oleh para bhikkhu, dia tidak memutar balikkan…(ulang sisa §24)…Dan para bhikkhu memeriksa bhikkhu itu dengan cara sedemikian sehingga jalannya perkara terhadap dia cepat dibereskan. 

27. “Di sini seorang bhikkhu maju sedikit dalam hal keyakinan dan cinta kasih. (666) Maka, para bhikkhu mempertimbangkan demikian: ‘Sahabt-sahabat, bhikkhu ini maju sedikit dalam hal keyakinan dan cinta kasih. Semoga dia tidak kehilangan keyakinan dan cinta kasih, karena mungkin saja demikian halnya jika kita mengambil tindakan terhadap dia dengan berulang-ulang menegurnya.’ Seandainya saja seorang memiliki hanya satu mata; maka para sahabat dan teman-temannya, sanak dan saudara, akan menjaga satu matanya itu, dengan berpikir: ‘Jangan sampai dia kehilangan satu matanya lagi.’ Demikianlah juga, seorang bhikkhu maju sedikit dalam hal keyakinan dan cinta kasih…’ Semoga dia tidak kehilangan keyakinan dan cinta kasihnya itu, karena mungkin saja demikian halnya jika kita mengambil tindakan terhadap dia dengan secara berulang-ulang menegurnya.’ 

28. “Inilah penyebabnya, inilah alasannya, mengapa mereka mengambil tindakan terhadap seorang bhikkhu di sini dengan berulang-ulang menegurnya; inilah penyebabnya, inilah alasannya, mengapa mereka tidak mengambil tindakan terhadap seorang bhikkhu di sini dengan berulang-ulang menegurnya.”

29. “Yang Mulia bhante, apakah penyebabnya, apakah alasannya, mengapa sebelumnya  hanya ada lebih sedikit peraturan latihan dan lebih banyak bhikkhu menjadi mantap dalam pengetahuan akhir? Apakah alasannya, mengapa sekarang ada lebih banyak peraturan latihan dan lebih sedikit bhikkhu yang mantap dalam pengetahuan akhir?” 

30. “Memang demikian halnya, Bhaddali. Ketika para makhluk merosot dan Dhamma sejati mulai lenyap, maka ada lebih banyak peraturan latihan dan lebih sedikit bhikkhu menjadi mantap dalam pengetahuan akhir. Sang Guru tidak mengumumkan peraturan latihan bagi para siswa sampai hal-hal tertentu yang merupakan dasar bagi noda-noda terwujud di sini dalam Sangha; (667) tetapi bila hal-hal tertentu yang merupakan dasar bagi noda-noda terwujud di sini di dalam Sangha, maka Sang Guru mengumumkan peraturan latihan bagi siswa untuk menghalau hal-hal yang merupakan dasar bagi noda-noda itu. 

31. “Hal-hal yang merupakan dasar bagi noda-noda tidak terwujud di sini di dalam Sangha sampai Sangha menjadi besar; tetapi bila Sangha telah menjadi besar, maka hal-hal yang merupakan dasar bagi noda-noda itu terwujud di sini di dalam Sangha, dan dengan demikian Guru mengumumkan peraturan latihan bagi para siswa untuk menghalau hal-hal yang merupakan dasar bagi noda-noda itu. Hal-hal yang merupakan dasar untuk noda-noda tidak terwujud di sini dalam Sangha sampai Sangha telah mencapai puncak perolehan-duniawi…puncak ketenaran…puncak pembelajaran yang besar…puncak kemasyuran yang berlangsung-lama; tetapi bila Sangha telah mencapai puncak kemasyuran yang berlangsung-lama, maka hal-hal yang merupakan dasar bagi noda-noda itu terwujud di sini di dalam Sangha, dan dengan demikian Guru mengumumkan peraturan latihan bagi para siswa untuk menghalau hal-hal yang merupakan dasar bagi noda-noda itu. 

32. Hanya ada sedikit dari kalian, Bhaddali, pada waktu aku dulu mengajarkan Dhamma melalui kiasan kuda jantan muda keturunan-murni. Apakah engkau ingat hal itu, Bhaddali?” 

“Tidak, Yang Mulia Bhante.” 

“Apa alasanmu untuk hal itu?” 

“Yang Mulia Bhante, sudah lama saya merupakan orang yang tidak memenuhi latihan di dalam Ajaran Guru.” 

“Itu bukanlah satu-satunya penyebab atau satu-satunya alasan Alih-alih, dengan meliputi pikiranmu dengan pikiranku, aku telah lama mengenalmu demikian: ‘Ketika aku sedang mengajarkan Dhamma, manusia yang salah jalan ini tidak memperhatikan, tidak menyimak, tidak merangkumnya dengan segenap pikirannya, tidak mendengarkan Dhamma dengan telinga yang antusias.’ Walaupun demikian, Bhaddali, tetap saja aku akan mengajarkan padamu Dhamma melalui kiasan kuda jantan muda keturunan-murni. Dengarkan dan perhatikan dengan cermat apa yang akan kukatakan.” 

“Ya, Yang Mulia Bhante,” jawab YM. Bhaddali. 

Yang Terberkahi mengatakan hal ini: 

33. Bhaddali, misalkan seorang pelatih kuda yang piawai mendapatkan seekor kuda jantan muda keturunan-murni yang bagus. Pertama-tama dia membuat kuda itu terbiasa memakai sanggurdi. Sementara kuda itu dibuat terbiasa memakai sanggurdi-karena hal itu merupakan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya – kuda itu meronta, menggeliat-geliat, dan terombang-ambing, tetapi dengan pengulangan yang terus-menerus dan latihan bertahap, ia menjadi damai dalam tindakan itu. (668)

“Setelah kuda jantan muda itu menjadi damai dalam tindakan tersebut, pelatih kuda pun selanjutnya membuatnya terbiasa memakai tali kekang. Sementara kuda itu dibuat terbiasa memakai tali kekang – karena hal itu merupakan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya – kuda itu meronta, menggeliat-geliat, dan terombang-ambing, tetapi dengan pengulangan yang terus-menerus dan latihan bertahap, ia menjadi damai dalam tindakan itu. 

“Setelah kuda jantan itu menjadi damai dalam tindakan tersebut, pelatih kuda pun selanjutnya membuatnya berlaku dengan melatih langkah, berlari dalam lingkaran, melompat tinggi, lari kencang, maju menyerang, dengan kualitas kerajaan, dengan warisan kerajaan, dengan kecepatan tertinggi, dengan ketangkasan tertinggi, dengan kelembutan tertinggi. Sementara kuda itu dibuat terbiasa melakukan  hal-hal ini – karena  hal itu merupakan sesuatu yang belum  pernah dilakukan sebelumnya-kuda itu meronta, menggeliat-geliat, dan terombang-ambing, tetapi dengan pengulangan yang terus –menerus dan latihan bertahap, ia  menjadi damai dalam tindakan itu. 

“Ketika kuda jantan muda itu telah menjadi damai dalam tindakan tersebut, pelatih kuda pun selanjutnya mengganjarnya dengan menyikatnya dan mengurusnya. Jika seekor kuda jantan muda keturunan-murni yang elok memiliki sepuluh faktor ini, dia pantas untuk raja, melayani raja, dan dianggap sebagai salah satu faktor seorang raja. 

34. “Demikian pula, Bhaddali, jika seorang bhikkhu memiliki sepuluh sifat, dia pantas memperoleh pemberian, pantas memperoleh keramah-tamahan, pantas memperoleh, persembahan, pantas memperoleh penghormatan, ladang jasa yang tak ada bandingnya bagi dunia. Apakah yang sepuluh itu? Di sini, Bhaddali, seorang bhikkhu memiliki pandangan benar dari orang yang telah melampaui latihan, (669) niat benar dari orang yang telah melampaui latihan, ucapan benar dariorang yang telah melampaui latihan, tindakan benar dari orang yang telah melampaui latihan, penghidupan benar dari orang yang telah melampaui latihan, kewaspadaan benar dari orang yang telah melampaui latihan, konsentrasi benar dari orang yang telah melampaui latihan, pengatahuan benar dari orang yang telah melampaui latihan, dan pembebasan benar dari orang yang telah melampaui latihan. (670) Jika seorang bhikkhu memiliki sepuluh sifat ini, dia pantas memperoleh pemberian, pantas memperoleh keramah-tamahan, pantas memperoleh persembahan, pantas memperoleh penghormatan, ladang jasa yang tak ada bandingannya bagi dunia.” 

Demikianlah yang dikatakan oleh Yang Terberkahi. Y.M. Bhaddali merasa puas dan bergembira di dalam kata-kata Yang Terberkahi. 



Catatan 

(660) Hal ini mengacu pada praktek Sang Buddha makan satu kali hanya sebelum tengah hari. Menurut Patimokkha, para bhikkhu dilarang makan sejak dari tengah hari sampai fajar berikutnya, walaupun praktek sesi-tunggal ini hanya disarankan dan bukan diharuskan. 

(661) MA: Dia akan mencemaskan  dan mengkhawatirkan apakah dia dapat menjalani kehidupan suci seumur hidupnya. 

(662) Kecemasannya terus berlanjut karena dia masih harus menghabiskan sisa makanannya sebelum tengah hari. 

(663) Ini adalah peraturan yang melarang makan di luar batas-batas waktu yang pantas. Lihat Vin Pac 37 / iv.35. 

(664) Tujuh istilah yang digunakan di bagian ini mewakili pengelompokan berunsur-tujuh tentang individu-individu agung. Mereka dijelaskan secara rinci di MN 70.14-21. 

(665) Baik Nm maupun Horner mengambil sankameyya di sini dengan pengertian bahwa bhikkhu tersebut membuat dirinya sendiri berfungsi menjadi papan, yaitu berbaring di atas lumpur. Tetapi hal ini dikontradiksi oleh jawaban negatif Bhaddali. Jadi tampaknya lebih mungkin bila kata-kerja ini diambil dengan pengertian bahwa dia menyeberang sendiri (seperti arti kata-kerja itu sendiri) tanpa memperdulikan perintah Sang Buddha. MA menunjukkan bahwa Sang Buddha tidak akan pernah memberikan perintah semacam itu kepada siswa-siswa Beliau. Beliau hanya mengatakan hal hal ini untuk menekankan perilaku bandel Bhaddali. 

(666) MA: Dia mempertahankan diri dengan sejumlah keyakinan duniawi dan kecintaan duniawi kepada pentahbis dan gurunya. Karena bhikkhu-bhikkhu lain membantunya, di tetap berada di dalam kehidupan tak-berumah dan akhirnya bisa menjadi seorang bhikkhu besar yang mencapai pengetahuan langsung. 

(667) Bacaan ini mengacu pada prinsip tetap bahwa Sang Buddha tidak membuat peraturan latihan sampai ada suatu kasus yang muncul, yang membutuhkan pengumuman resmi tentang peraturan latihan yang pantas. Lihat Vin Par 1/iii.9-10. 

(668) Tasmin thane parinibbayati. Kata-kerja yang digunakan di sini merupakan bentuk verbal dan parinibbana, dan secara harafiah dapat diterjemahkan – walaupun salah- menjadi “Dia mencapai Nibbana akhir di dalam tindakan itu.” 

(669) “orang yang di luar latihan” (asekha) adalah Arahat. MA menjelaskan sepuluh factor ini sebagai unsur-unsur pokok bagi buah tingkat arahat. 

(670) Pengetahuan benar (samma nana) merupakan pengetahuan yang berhubungan dengan buah tingkat arahat. Pembebasan benar (samma vimutti) adalah pembebasan Arahat dari semua kekotoran batin.