Sabtu, 03 Agustus 2013

Suatu perbuatan baik tak mungkin cuma-cuma


SUATU PERBUATAN BAIK TAK MUNGKIN CUMA-CUMA
Pada tahun 1949 seorang dokter Thai datang ke India untuk mempelajari penyakit daerah tropis dan penyakit kulit. Ia bermalam di sebuah hotel Y.M.C.A. di Calcutta.
Pada suatu hari ia kehabisan uang dan selekas­nya ia mengirim kawat kepada keluarganya di Thailand supaya ia dikirimkan uang. Ia menunggu-nunggu sampai beberapa minggu lamanya, tetapi belum juga ia dapat kabar dari keluarganya.
Keadaan keuangannya sudah menjadi sangat kritis sekali, sehingga ia sekarang sudah tak dapat lagi membayar keperluannya sehari-hari. Kita semua tahu bagaimana sengsaranya kalau kita berada di negara asing, jauh dari sanak keluarga dan handai taulan, dan kita tidak mempunyai uang.
Di sebelah kamar dokter ini adalah kamar seo­rang insinyur India yang masih muda usianya. Insinyur ini bekerja di hutan dan hanya kadang-kadang saja datang ke kota untuk mengambil per­bekalan. Insinyur ini melihat wajah dari dokter yang penuh ketegangan dan kegelisahan. Ia meng­hampiri dokter itu dan setelah memperkenalkan diri ia kemudian berkata: "Saya harap dokter dapat memaafkan atas kelancangan saya ini. Saya telah memperhatikan wajah anda dan saya merasa pasti bahwa anda sedang berada dalam kesulitan besar. Saya harap anda berkenan memberitahukan kesulitan-kesulitan anda dan mungkin saya dapat membantunya”.
Dokter itu untuk beberapa saat lamanya agak tertegun mendengar pertanyaan tersebut. Kemu­dian dengan sopan ia menjawab: ’’Terima kasih atas kebaikan hati anda, tetapi saya rasa saya tidak mengalami kesulitan apa-apa”.
Dengan tersenyum insinyur itu berkata lagi: ”Oh, saya harap anda jangan salah mengerti. Pan­danglah saya sebagai seorang sahabat. Walaupun kita baru pertama kali bertemu, namun saya dengan ikhlas ingin sekali menolong anda. Harap anda ceri­takan kepada saya kesulitan apa sebenarnya yang menimpa diri anda”.
Dokter itu merasa terharu atas tawaran yang mulia untuk menolongnya dari kesulitan, meskipun ia belum dapat memahami, apa sebenarnya yang mendorong insinyur itu sehingga ia mau menolong seorang asing yang baru saja ia kenal. Padahal pu­luhan, yah bahkan ratusan ribu orang bangsanya sendiri yang demikian miskinnya, sehingga mereka tidur di alam terbuka tanpa ada seorangpun yang menghiraukannya.
Meskipun ia merasa pasti, bahwa kawan barunya itu ingin menolongnya dengan sungguh-sungguh dan dengan setulus hati, namun ia masih merasa sungkan untuk membentangkan kesulitannya ke­pada orang asing yang baru saja dikenalnya. Ia lalu menjawab: ’’Anda betul-betul baik sekali, tetapi pada saat ini saya belum memerlukan pertolongan apa-apa. Terima kasih atas perhatian anda yang de­mikian besar.”
Ketika insinyur mendengar penolakan itu dengan tenang dan dengan wajah penuh pengertian ia lalu berkata: ”Mohon dimaafkan apabila saya telah melakukan sesuatu yang kurang berkenan di hati anda; tetapi saya merasa pasti, bahwa anda sekarang berada dalam kesulitan keuangan dan saya akan gembira sekali kalau anda dapat memberitahukan kepada saya berapa banyak uang yang anda butuhkan”.
Dokter itu merasa heran sekali atas terkaan yang tepat dari kawan barunya itu dan oleh karena tidak dapat menyangkal lagi, ia lalu berkata: ’’Sesungguhnyalah, bahwa saat ini saya berada dalam kesulitan keuangan. Tetapi saya telah mengirim kawat kepada keluargaku di Thailand agar segera mengirim uang. Saya kira kiriman itu agak terlambat, karena keluarga saya sedang berlibur dan saya merasa pasti bahwa kalau mereka pulang, pastilah saya akan men­dapat kiriman uang. Saya memang berada dalam ke­sulitan karena keterlambatan kiriman uang dari Thailand, tetapi saya juga tidak mungkin menerima uluran tangan anda, karena kita baru saja bertemu untuk pertama kali ini. Lagipula saya tidak dapat memberikan jaminan apa-apa kepada anda. Meski­pun saya tidak dapat menerima tawaran anda yang luhur itu, tetapi budi anda akan tetap saya ingat selama saya masih hidup.”
Insinyur itu merasa kecewa sekali dan dengan tegas ia menjawab: ’’Saya harap anda jangan memi­kirkan tentang jaminan. Saya sebenarnya telah mengenal anda sebagai umat Buddha yang baik dan hati anda penuh dengan perasaan welas asih. Anda telah memperlakukan semua orang dari kasta apapun dengan sama rata dan tidak memandang kaya atau miskin, bahkan anda telah mengabaikan urusan anda sendiri, hanya karena anda ingin me­nolong orang lain. Apakah itu bukan merupakan jaminan yang cukup?” Insinyur itupun lalu tertawa terbahak-bahak.
’’Bagaimana anda dapat mengetahuinya semua itu?” tanya dokter itu dengan keheran-heranan.
”Ah, itu mudah saja”, jawabnya. ’’Saya telah mengetahui tindak-tanduk anda beberapa hari yang lalu, waktu penjaga malam gedung ini yang dari kasta ’paria’ pada suatu malam menjerit-jerit karena sakit. Waktu itu mungkin anda mendengar jeritan­nya dan karena anda seorang yang penuh welas-asih, maka anda segera turun ke bawah untuk memeriksa si sakit, meskipun hal tersebut bertentangan sekali dengan adat-istiadat di sini, di mana orang jangan­kan menyentuh badannya, sedangkan tersentuh oleh bayangannya saja sudah merasa jijik.”
Waktu insinyur itu beristirahat sebentar, dokter itu lalu memotong pembicaraannya dengan ber­kata: ’’Bagaimana anda dapat mengetahui semua ini?”
Ia tersenyum dan melanjutkan: ’’Pada malam itu hawa terasa panas sekali sehingga saya tidak dapat tidur. Waktu saya mendengar anda turun, sayapun ikut turun untuk melihat apa yang anda akan lakukan. Saya menyaksikan segala sesuatu yang anda lakukan terhadap orang paria itu. Waktu itu saya berdiri di belakang sebuah pilar yang tidak dapat dilihat oleh anda. Saya memperhatikan an­da memeriksa dan mengobati pasien anda untuk melenyapkan sakitnya dan tidak henti-hentinya terdengar anda menghiburnya dengan kata-kata yang lemah-lembut. Meskipun ia tidak dapat me­ngerti apa yang anda katakan, namun secara naluri (instinct) pasti ia mengetahui dari nada suara anda, bahwa anda benar-benar ingin menolongnya. Selan­jutnya saya melihat ia memegang tangan anda untuk ditekankan di pipinya sebagai cetusan rasa terima kasih. Ketika itu aku berada dekat sekali, sehingga aku dapat melihat air mata terima-kasih yang keluar dari matanya. Saya kira sebelumnya ia tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu. Kemudian saya me­lihat ia tertidur dan dengan hati-hati anda melepas­kan tangan anda dari genggamannya dan selanjutnya dengan diam-diam anda kembali ke kamar anda. Saat itu malam telah berganti menjadi pagi hari. Anda telah mengorbankan kesenangan dan waktu istirahat anda untuk mengurus kepentingan orang lain tanpa pikiran untuk mendapat balas jasa apapun juga. Setelah itu akupun kembali ke kamarku dan peristiwa yang baru saja kusaksikan berkesan sekali di hati sanubariku. Masih jelas terlintas dalam pikir­anku cara yang spontan dan penuh cinta-kasih, pada waktu anda merawat si sakit dan mau tidak mau aku berpikir, ’alangkah indahnya dunia ini apabila semua orang melakukan perbuatan seperti anda’.
Sayapun tahu bahwa pada malam-malam berikutnya anda masih tetap mengunjunginya sampai si sakit menjadi sembuh benar. Anda pasti tahu bahwa orang itu tidak dapat memberikan imbalan apa-apa kepada anda kalau ia telah sembuh, namun demikian anda masih mau mengeluarkan uang untuk membeli obat untuk si sakit, padahal anda sendiri kekurangan uang untuk membeli makanan. Saya mohon maaf kalau saya telah mencampuri urusan pribadi anda. Mungkin hal ini disebabkan karena saya terlalu lama berada di hutan belukar dan hanya sekali-kali saja datang ke kota, sehingga membuat saya menjadi orang yang usilan dengan urusan orang Iain.”
’’Saya tidak menyalahkan anda, lagipula hal itu sama "sekali tidak merugikan diriku”, jawab dokter itu sambil menarik napas panjang. "Perbuatan anda untuk mengikuti dan mengamat-amati tindak-tan­dukku semata-mata terdorong oleh perasaan ingin tahu dan untuk mempelajari watak seorang asing dan bukan didasarkan atas pikiran-pikiran yang tidak baik. Apa yang saya lakukan terhadap si pen­jaga malam semata-mata didasarkan atas pertimbangan prikemanusiaan dan saya rasa akan dilakukan juga oleh setiap pemeluk agama lain. Anda ha­rus tahu, bahwa kami sebagai siswa-siswa Sang Buddha diajar untuk mengasihi dan menaruh belas kasihan terhadap semua makhluk yang ada di dunia ini tanpa perbedaan kasta, kedudukan, suku mau­pun bangsa, bahkan juga terhadap binatang-binatang.
Sang Buddha mengajar bahwa kita dilahirkan untuk membagi kebahagiaan dan penderitaan kita; maka itu adalah penting sekali agar kita selalu berusaha untuk membantu saudara-saudara kita yang sedang menderita. Kami selalu akan berusaha agar tidak menyakiti atau merugikan orang lain, tetapi ber­usaha untuk selalu berbuat baik dan menolong me­reka yang sedang ditimpa kemalangan; dan kamipun diajar untuk selalu bersikap manis budi dan mem­punyai toleransi yang besar terhadap mereka yang mempunyai pendirian lain.
Di samping itu sesuai dengan kode ethik kedokter­an tidak mungkinlah aku membiarkan saja orang sakit tanpa memberikan pertolongan atau obat, dan bukanlah menjadi soal apakah aku akan dibayar atau tidak, karena kami mempunyai keyakinan bahwa jiwa seseorang itu tidak dapat dinilai dengan uang. Agama Buddha mengajarkan kita untuk mengabaikan kasta-kasta dan harus memperlakukan me­reka sama rata, entah ia seorang bangsawan atau seorang petani miskin. Bahkan binatang-binatangpun harus kami perlakukan sama dan kalau mereka sakit kami akan menolongnya dan berbuat apa saja yang dapat kami lakukan untuk menyembuhkan penyakitnya.”
Dengan wajah berseri-seri insinyur India itu menjawab: ’’Memang sesungguhnyalah penggolong­an manusia dalam kelas-kelas harus dianggap termasuk jaman yang lalu dan manusia-manusia dalam jaman moderen ini harus mempunyai pan­dangan yang lain. Saya yakin, bahwa Ajaran Buddha Gotama didasarkan atas fakta-fakta dan hukum Ke­sunyataan (absolute Truth) yang tidak akan lenyap. Kebajikan dan moralitas yang luhur termasuk salah satu tujuan dari agama Buddha. Biarpun Ajaran Sang Buddha sekarang sudah berusia lebih dari 2.500 tahun, namun kenyataannya masih tetap ampuh dan tidak ketinggalan jaman. Anda memi­liki watak yang baik dan perbuatan anda patut menjadi contoh bagi seluruh umat manusia. Saya menaruh hormat kepada anda dan sayapun ingin mengikuti jejak anda. Tetapi karena saya bukan seorang dokter, maka saya harus melakukan per­buatan baik dengan cara yang lain. Misalnya kalau melihat seorang dalam kesulitan saya akan merasa tidak senang apabila saya belum dapat memberikan sesuatu pertolongan. Karena hari libur saya besok akan berakhir dan saya harus kembali ke hutan belu­kar besok pagi, maka sayang sekali saya tidak mem­punyai banyak waktu untuk berbincang-bincang dengan anda sampai sepuas-puasnya. Tetapi anda dapat memberikan saya sedikit kebahagiaan dengan menyetujui saya membantu anda dalam mengatasi kesulitan keuangan anda, sebelum saya kembali besok pagi ke hutan. Hal tersebut akan memberi saya kepuasan dan kebahagiaan dan saya harap anda dapat menyelami jalan pikiran saya.”
’’Saya mengerti jalan pikiran anda dan saya me­rasa berterima kasih sekali”, jawab dokter itu sete­lah berpikir sejenak. ”Karena saya tidak ingin me­ngecewakan anda, maka dari itu saya menerima uluran tangan anda. Saya ingin meminjam uang se­banyak 200 Rupee dan saya rasa jumlah ini cukup sambil menunggu kiriman dari rumah.”
”Apa, 200 Rupee!” seru insihyur itu. ’’Apakah anda rasa itu cukup? Saya rasa anda masih malu-malu untuk menerima pinjaman uang dari saya. Saya harap anda menganggap saya sebagai seorang sahabat karib atau seorang yang masih termasuk keluarga. Biarpun saya baru sekali ini bertemu dengan anda, tetapi saya merasa bahwa saya telah kenal anda selama 10 tahun, yah, bahkan lebih dari itu. Karena itu saya akan meminjamkan anda uang sebanyak 400 Rupee dan saya harap anda jangan menolak, sebab hal itu akan membuat saya sedih dan kecewa.”
Insinyur itu segera mengeluarkan dompetnya dan memberikan 400 Rupee kepada dokter itu yang segera menulis surat utang dan memberikannya kepada sahabatnya.
Setelah melihat surat utang itu, insinyur itu mencabiknya sambil berkata: ’’Saya tidak memerlu­kan surat utang dari anda. Watak dan tindak tanduk anda adalah lebih penting dari pada secarik kertas ini. Sekarang saya dapat kembali ke hutan dengan hati yang bungah dan juga bangga, karena saya mendapat kesempatan untuk melakukan sesuatu terhadap anda. Nah, dokter, sekarang saya harus kembali ke kamar saya dan saya harap dapat berte­mu lagi dengan anda besok pagi sebelum saya be­rangkat.”
Ia lalu meninggalkan kamar dokter itu.
”Hai, kawan tunggu dulu sebentar”, dokter itu memanggil.
’’Anda belum memberitahukan kepada saya, bagaimana saya harus mengembalikan uang itu dan bila anda kembali dari hutan.”
Insinyur itupun menghentikan tindakannya dan sambil tersenyum ia menjawab: ’’Kalau saya sedang bekerja di hutan saya selalu berpindah-pindah tempat. Lagipula saya tak dapat membeli apa-apa di hutan. Karena itu saya harap anda tidak usah ber­susah-payah untuk mengirim uang pinjaman itu ke­pada saya. Tunggu saja sampai suatu ketika saya kembali datang ke kota dan kita dapat bertemu kembali. Yang menjadi persoalan ialah, bahwa saya juga tidak tahu dengan pasti bila saya kembali ke kota.”
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dokter itu sudah bangun dan menjumpai insinyur itu sudah siap-siap untuk berangkat. Di taman sudah menung­gu sebuah jip penuh berisi peti-peti perlengkapan dan makanan untuk di hutan.
’’Saya merasa gembira sekali dapat berjumpa lagi dengan anda pada pagi ini”, kata insinyur muda itu. ’’Kemarin malam saya lupa memberitahukan anda bahwa saya telah mendengar penjaga malam menangis sambil meratap-ratap.”
”Oh, apa sebenarnya yang telah terjadi. Saya kira ia telah sembuh benar”, berkata dokter itu dengan nada keheran-herana'n.
”Ya, memang ia telah sembuh benar. Ia menangis dan meratap untuk menyatakan terima kasihnya atas kebaikan anda.”
Bagaimana anda dapat tahu hal itu?” tanya si dokter.
’’Saya rasa kalau anda pada saat itu belum tidur, anda pasti dapat mendengar ia meratap dengan kata-kata bahwa anda baik sekali terhadap dirinya dan dengan teliti telah mengobati dirinya sampai menjadi sembuh benar. Anda mempunyai hati yang luhur untuk memperlakukannya sebagai seorang manusia, bertentangan sekali dengan perlakuan yang sampai kini ia alami. Kebaikan anda tertanam dalam-dalam di sanubarinya. Ini semua ia ratapkan sambil menangis.
Tetapi saya lupa, bahwa sekiranya anda juga men­dengar apa yang ia katakan, anda juga tidak akan mengerti apa yang ia ucapkan.
Setelah saya mendengar pujian-pujian terhadap diri anda, saya lalu tertidur dengan mata basah oleh air mata. Saya selalu mendengar dan percaya, bahwa kaum paria tidak pernah menyatakan terima kasih nya terhadap orang yang menolongnya.
Dengan mendapat kawan seperti anda, biarpun ha­nya untuk waktu yang singkat, membuat saya bangga sekali.”
Dokter ini tersenyum kemalu-maluan dan ber­kata: ”Semua orang yang dilahirkan di dunia ini adalah sama, baik kecerdasannya maupun perasaan­nya. Semua orang, baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya, mempunyai hak yang sama sebagai penduduk di dunia ini. Namun tidak dapat disangkal akan adanya orang-orang yang mengang­gap dirinya lebih tinggi dari yang lain, yang meman­dang rendah dan menghina orang yang miskin. Mereka ini menganggap, bahwa orang lain sangat rendah kecerdasannya. Mereka tidak diberi kesem­patan untuk membuktikan kecakapannya, diha­lang-halangi dalam pergaulan sosial dan diperlaku­kan sebagai makhluk rendah.
Perlakuan yang tidak semestinya ini telah membuat mereka kehilangan martabatnya sebagai manusia dan membuat mereka memiliki perasaan rendah diri yang berlebih-lebihan. Mereka merasa sebagai manusia rendah yang tidak layak bergaul dengan orang-orang dari kasta yang lebih tinggi. Perasaan ini mempengaruhi pikiran mereka sedemikian rupa, sehingga mereka merasa termasuk golongan he­wan.
Sebenarnya mereka adalah sama dengan orang lain dan merekapun memiliki kemampuan berpikir dan kecerdasan; sebagaimana juga dimiliki oleh orang lain. Kalau saja mereka diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan yang baik dan kepada mereka diberi kesempatan yang sama seperti orang lain, maka pastilah merekapun dapat menjadi orang yang pintar dan termashur atau setidak-tidaknya mendu­duki jabatan yang penting.
Kami sebagai umat Buddha dididik untuk mempunyai rasa cinta-kasih dan belas-kasihan kepada semua makhluk, yaitu manusia dan binatan-binatang. Sebab itu, kepercayaan yang mengatakan bahwa menyentuh seorang paria akan membawa malapetaka, sebenarnya tidak masuk akal dan dalam peritistiwa ini justru membawa kebaikan untuk diriku. Sebab perawatan yang aku berikan kepada penjaga malam yang sakit mengakibatkan aku bertemu dengan anda dan aku mendapat pin­jaman uang dari anda sebesar 400 Rupee. Uang ini lebih dari cukup sambil menunggu kiriman uang dari keluargaku. Sesungguhnya kemarin aku sangat gelisah sekali, mengingat uang telah habis dan ki­riman dari keluarga belum saja tiba. Tetapi dengan uang yang anda pinjamkan kesulitan ini dapat ter­atasi.”
’’Saya merasa gembira sekali mendapat kehor­matan untuk menolong anda”, berkata insinyur itu dengan senyum bangga. Setelah itu ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman, tetapi dokter itu tidak menyambut tangannya.
’’Anda lupa, bahwa tangan Saya ini telah menyen­tuh seorang paria, bahkan telah ditekankan kepada pipinya”, memperingati dokter itu. ’’Apakah anda tidak takut nanti ikut dikotori?”
”Ah, saya dapat menghargai cara berkelakar anda”, jawab insinyur itu sambil tertawa, ’’tetapi sejak saya menyaksikan perbuatan anda, saya seka­rang merasa tenang dan bahagia, dan saya telah menjelma menjadi orang yang baru.”
Tiba-tiba terdengar seruan dari pembantunya bahwa segala sesuatu telah siap.
Insinyur itu berkata kepada kawannya: ”Nah, sahabatku, telah tiba saatnya bagi kita untuk ber­pisah. Aku mengucapkan selamat tinggal kepada anda.” Kembali ia mengulurkan tangannya dan seka­rang telah disambut dengan hangat oleh dokter itu sambil berpandang-pandangan mata dengan penuh rasa haru.
’’Selamat tinggal, sahabatku yang baik”, katanya, ’’sampai jumpa kembali.”
’’Saya doakan agar anda selalu dalam keadaan sehat walafiat dan semoga anda selamat dan tidak kurang suatu apapun dalam perjalanan. Selamat jalan!” jawab si dokter.
Insinyur itupun naiklah ke jip dan berangkat ke tempat tujuannya.
' Untuk beberapa waktu lamanya dokter itu masih berdiri di tempat ia bersalam-salaman dengan sahabatnya yang baik hati itu. Pada saat itu kedua mata dokter basah dengan air mata dan ia berdoa: ’’Se­moga Sang Tri Ratna selalu melindungi sahabatku dan semoga ia selalu bahagia hendaknya”.

Dikutip dari Buku  PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)
Alihbahasa : Pandita S. Widyadharma
Cetiya Vatthu Dhaya - 1969

Tidak ada komentar:

Posting Komentar