KESUKARAN YANG DICARI SENDIRI
Aku teringat kepada satu kejadian yang benar-benar
terjadi pada waktu sebelum perang dunia kedua, yang kukira bermanfaat
sekali untuk dipakai contoh oleh para
muda-mudi di waktu yang akan datang, di mana mereka mungkin akan
menghadapi persoalan yang sama dan keadaan yang sama. Mereka dapat mengambil
contoh ini sebagai petunjuk jalan agar terhindar dari
akibat-akibat yang tidak baik.
Pada suatu hari aku mendapat undangan untuk menghadiri resepsi
pernikahan yang diadakan di sebuah rumah makan yang terkenal.
Waktu hari nikah tiba, pergilah aku ke toko untuk membeli hadiah
dan pulang ke rumah. Mempelai laki-laki disertai dengan beberapa kawannya sudah
menungguku dan mengingatkan kembali kepadaku untuk jangan lupa datang pada
malam harinya di resepsi. Alasan dari kedatangannya ialah untuk memastikan
agar aku jangan lupa tanggalnya, karena ia sangat
menghargai aku sebagai salah seorang kawan karib dari
mendiang ayahnya.
Aku berjanji dengan pasti untuk menghadiri resepsi, karena ayahnya
memang termasuk salah seorang sahabat karibku dan mempelai laki-laki inipun
dengan hormat memanggilku ’’paman”
Malam harinya aku pergi ke
rumah makan pada jam yang tertera di surat undangan. Waktu naik ke ruang
atas, aku melihat meja makan panjang yang dihias secara mewah sekali dan
beberapa tamu sudah duduk mengelilingi meja ini.
Aku disambut dengan hangat oleh kedua mempelai yang membawaku ke
salah satu sudut dari meja, di mana sudah kelihatan duduk beberapa tamu yang
terhormat. Aku menyadari, bahwa resepsi iru mewah sekali dan juga terlihat
banyak botol whisky buatan luar negeri siap untuk diminum. Selain itu tampak
juga sebuah orkes terkenal mengiringi penyanyi terkenal yang sedang menyanyi
di depan mikrofon. Sewaktu-waktu diselingi dengan beberapa muda-mudi
menyanyikan lagu-lagu Thai populer.
Suasana ruangan yang besar itu nampaknya gembira sekali terutama
untuk para muda-mudinya. Aku mengagumi anak sahabatku itu yang dapat
menyelenggarakan resepsi yang demikian mewah, padahal aku tahu, bahwa baik
keluarga mempelai laki-laki maupun keluarga mempelai wanita bukan termasuk
orang yang dapat dikatakan beruang.
Selesai makan-makan beberapa tamu yang terhormat mengucapkan
selamat kepada kedua mempelai dan mendoakan agar kedua mempelai bahagia dan
mendapat banyak rezeki. Setelah itu pihak mempelai menghaturkan banyak terima
kasih atas kehadiran dan restu para undangan.
Setelah beberapa waktu berselang aku telah lupa sama sekali dengan
resepsi yang megah yang berlangsung secara meriah sekali.
Kira-kira satu tahun kemudian aku diundang makan di rumah makan
oleh beberapa kawan. Sewaktu aku masuk, di sudut ruangan kebetulan aku melihat
seorang anak muda sedang makan dengan beberapa orang lain dan pemuda itu adalah
pemuda yang pada beberapa waktu berselang mengadakan resepsi perkawinan yang
megah dan.meriah.
Pemuda itu gembira sekali ketika melihat aku dan lantas ia bangun
untuk mempersilakan aku duduk di meja di mana ia sedang duduk makan. Dengan
halus akan menampiknya, karena aku datang juga dengan beberapa kawan. Kemudian
aku menanya: ”Apa kabar sekarang, keponakan? Apakah kamu sudah diberkahi
seorang anak?”
la bukan menjawab pertanyaanku dengan senyum sebagaimana layaknya
seorang yang baru saja menikah satu tahun lebih, tetapi dengan wajah sedih ia menjawab: “Paman, saya mengalami kesulitan besar. Istriku sekarang
sedang hamil, sedangkan saya belum dapat membayar kembali utang-utang yang
dipakai untuk membiayai pesta pernikahan kami. Lagipula akhir-akhir ini sulit
sekali mencari uang. Kalau nanti istriku melahirkan, maka ongkos akan
bertambah. Saya merasa kesal sekali, hingga pada satu saat saya ingin mati saja
agar keluar dari kesulitan ini.”
Aku tidak mengira akan mendengar kata-kata itu, karena waktu di
pesta perkawinan ia kelihatannya sangat bahagia dan gembira dan sekarang tanda-
tanda kebahagiaan itu lenyap sama sekali dari wajahnya.
Aku menepuk-nepuk pundaknya dan menghiburnya dengan kata-kata:
’’Janganlah berpikir demikian. Semua orang yang hidup di dunia ini memang
tidak dapat menghindari satu atau lebih perbuatan-perbuatan yang salah dalam
hidupnya dan kalau sesuatu kesalahan telah terlanjur dilakukan, ia harus dengan
tabah dan prihatin berusaha untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya itu.”
Mendengar kata-kata yang penuh nasehat, wajahnya tampak agak
terang sedikit. Ia pergi sebentar untuk minta maaf dari kawan-kawannya dan
kembali lagi mengambil tempat duduk di sampingku. Waktu kawan-kawanku sedang
sibuk memesan makanan, secara singkat ia menuturkan tentang kesulitan
yang ia hadapi sejak menikah, karena untuk membayar resepsi yang megah itu ia
harus meminjam dari sana-sini.
Sekarang satu tahun telah lewat, tetapi ia masih belum
dapat membayar kembali separuh dari utang- utangnya.
Aku tidak tega untuk menegur perbuatannya pada waktu
yang lalu itu, karena ini akan melukai perasaannya dan
menurut hematku ia sekarang sudah cukup menderita. Tetapi aku
tidak dapat tidak harus juga menyinggung persoalan ini
dan menyayangkan, bahwa uang pinjaman yang demikian banyak itu dibuang-buang
untuk membiayai satu resepsi yang hanya berlangsung satu
hari. Ini tidak ada harganya sama sekali. Sekarang ia masih harus menanggung
akibatnya, padahal tamu-tamu yang dulu datang di resepsi perkawinan mungkin sudah lupa
sama sekali dengan peristiwa tersebut. Sungguh sayang dan menyedihkan!
’’Berapa utang yang telah kau bayar kembali dan
berapa sisanya yang masih belum dibayar?” tanyaku.
’’Utang yang kecil-kecil semua telah kubayar luhas”,
jawabnya, ”dan kira-kira 40% lagi yang belum dibayar
kembali. Tetapi sekarang saya tidak punya uang lagi untuk bayar utang
dan karena itu
saya takut untuk berjumpa dengan orang yang memberi utang
kepadaku. Saya sudah lama tidak berani menemuinya lagi. Hari ini kawan-kawan
saya datang di Bangkok dari tempat yang jauh. Mereka mengundang saya untuk
makan siang bersama- sama mereka dan karena itu saya dapat bertemu
dengan paman. Sebab kalau tidak saya juga tidak berani bertemu dengan paman.
Saya bukan malas dan maksud saya bukan untuk menipu. Saya bersedia untuk
melakukan pekerjaan apa saja asal saya dapat
memperoleh uang untuk membayar kembali
utang-utang saya. Pekerjaan yang biasa saya lakukan waktu ini tidak ada lagi
dan semua modal saya telah habis dipakai membayar utang.”
Aku mendengar semua ini dengan perasaan iba dan selanjutnya
bertanya lagi: ’’Siapakah orangnya yang utangnya
hingga kini kau belum dapat lunasi dan di manakah
alamatnya? Apakah ia seorang yang kikir?”
”Oh tidak, paman”, jawabnya, ”ia adalah orang yang manis
budi dan terhormat. Kalau sifatnya serupa dengan yang
lain-lain, maka saya tidak tahu harus bersembunyi
di mana. Saja tahu benar bahwa saya seorang yang tidak baik dan tidak berharga untuk mendapat
kepercayaan apa-apa.”
Suaranya agak gemetar waktu ia
bicara. Selanjutnya aku bertanya, siapakah orang yang baik budi itu dan di
mana ia tinggal, karena aku ingin tahu siapakah gerangan orang yang baik hati
itu sehingga ia turut dipuji oleh orang yang utang kepadanya.
’’Namanya Khoon Luang”, jawabnya, ”dan
rumahnya di daerah selatan Bangkok.”
Waktu mendengar nama Khoon Luang disebut, lalu kubertanya: ’’Apakah
ia seorang yang tubuhnya kecil, kulitnya agak bersih, rambutnya sudah menipis
dan selalu tersenyum? Dan sekarang seorang pensiunan pegawai negeri?”
”Ya betul, itulah orangnya”, jawabnya, ’’saya malu sekali dan
takut untuk menemuinya, karena saya tidak dapat memegang janji. Apakah paman
mungkin dapat memberi nasehat kepadaku, sehingga aku dapat keluar dari
kesulitan ini?”
Melihat wajahnya yang sedih itu, aku merasa kasihan sekali dan besar hasratku untuk menolongnya, karena ia
berlaku jujur dan menceritakan semuanya kepadaku tanpa menyembunyikan apapun.
Lalu aku berkata: ’’Sesungguhnya kesalahan berpangkal pada pesta yang mewah
itu, tetapi memang ada jalan untuk memperbaikinya. Kalau aku memberi nasehat
kepadamu, apakah kamu mau melaksanakannya?” ’’Saya mengenal paman sudah lama”,
jawabnya dengan wajah yang menunjukkan pengharapan, ’’karena itu saya mohon
diberitahukan apa yang saya harus lakukan, karena saya pandang paman sebagai
ayah saya sendiri.”
Kata-katanya itu memberikan perasaan hangat dalam hatiku dan
berkata: ’’Terima kasih atas penghormatanmu. Inilah nasehatku. Pertama, salah
sekali untuk menghindari orang yang meminjamkan uang kepadamu, karena dengan
berbuat demikian engkau telah melakukan kesalahan besar. Engkau harus percaya
kepada kenyataan. Kau harus berani menghadapi kenyataan dengan hati yang tabah,
misalnya dalam persoalan dengan Khoon Luang, orang yang menjungjung tinggi
kejujuran. Ia meninggalkan jabatannya di Pemerintahan karena usia tua
dan kesehatan yang kurang baik. Aku kenal dengannya sejak ia masih menjadi pejabat
pemerintah. Kau harus berterima kasih kepadanya bahwa ia telah meminjamkan kau
uang. Biarpun uang itu telah digunakan secara salah, kau masih harus berhutang
budi kepadanya. Karena itu kau harus berlaku jujur kepadanya. Pergilah
menemuinya dan katakan dengan jujur apa yang sebenarnya telah terjadi. Kau
harus memberikan gambaran yang benar tentang keadaanmu. Setelah mendengar
ceritamu aku merasa pasti, bahwa ia akan mengerti dan menaruh kasihan terhadapmu. Kau juga harus memberitahukannya dan berjanji untuk
membayar utangmu dengan mencicil dan kau harus sering-sering
datang ke rumahnya untuk menjenguknya. Jangan lupa menawarkan
untuk melakukan pekerjaan apa saja yang dapat kau
kerjakan, meskipun pekerjaan itu mungkin pekerjaan
kasar. Kalau kau pikir kau dapat lakukan semua
ini, jangan ragu-ragu dan kerjakanlah.”
Setelah berselang beberapa saat aku ulangi pertanyaanku.
Setelah berpikir ia menjawab: ’’Nasehat paman sebenarnya
bertentangan sekali dengan pendapatku, karena saya justru
berpikir untuk menghindarinya sampai saya dapat mengumpulkan uang untuk
membayarnya sekaligus. Tetapi dengan melakukan gagasan
di atas hatiku rasanya tidak tentram, selalu gelisah dan ini
membuatku menderita sekali. Sekarang saya akan lakukan apa yang paman nasehati,
karena mungkin hal ini akan membuat hatiku agak tentram.”
Pada saat itu seorang pelayan membawa makanan yang telah
dipesan oleh kawan-kawanku, dan setelah memberi hormat kepadaku
anak muda itu lalu kembali ke mejanya.
Setelah kejadian itu beberapa tahun telah lewat.
Pada satu hari ketika seorang pejabat diperabukan, aku
kebetulan bertemu dengan Khoon Luang dan karena lama tidak bertemu, kami mengobrol
ke barat dan ke timur. Aku menanyakan tentang anak muda yang pernah berutang
kepadanya. Jawabannya a dalah sebagai berikut: ’’Berbicara mengenai anak muda
itu, aku heran sekali dengan kelakuannya. Beberapa waktu yang lalu ia meminjam
uangku dalam jumlah yang besar, dan setelah membayar kembali satu jumlah yang
kecil ia lalu menghindari diri untuk bertemu denganku.
Tetapi pada suatu hari tiba-tiba ia datang menemui aku dan
mengatakan bahwa ia merasa berhutang budi sekali kepadaku
karena telah meminjamkan uang kepadanya pada waktu ia menikah; tetapi karena ia
sekarang tidak punya uang, maka untuk membayar bunganya ia ingin bekerja
untukku dan katanya ia akan melakukan apa saja yang aku perintahkan. Waktu aku
mendengar tawarannya, timbul rasa kasihan dalam hatiku, karena aku seringkali
mengalami bahwa banyak orang yang utang dan tidak sanggup membayar lalu tidak
muncul-muncul lagi. Dan kalau kebetulan bertemu, mereka hanya berjanji saja
untuk membayar kembali utangnya.
Sejak hari itu, kalau ia pulang dari pekerjaannya ia sering datang
ke rumahku untuk melakukan pekerjaan di rumahku dan sewaktu-waktu ia juga membawa
istrinya untuk melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh wanita.
Istriku menaruh kasihan kepada istrinya,
karena ia masih mau melakukan pekerjaan di rumahku, padahal ia sudah hamil
tua. Istriku lalu mencarikan tempat di salah satu rumah sakit untuk calon ibu
itu, di mana ia dapat bersalin kalau waktunya telah tiba.
Saudara tentu tahu, bahwa kalau orang baik hati terhadap kita,
kitapun harus membalasnya, dengan baik hati pula.”
Aku merasa gembira mendengar kabar baik itu dan selanjutnya
bertanya: ’’Bagaimana dengan utangnya? Apakah ia telah membayar lunas?”
’’Belum”, jawab Khoon Luang, ”hanya tinggal sedikit lagi dan aku
tidak ambil pusing apakah ia akan membayar kembali atau tidak, sebab orang baik
seperti dia itu jarang sekali kita ketemukan. Sejak waktu itu aku menganggap
suami-istri itu sebagai anggota keluargaku dan aku sayang kepada mereka karena
kejujurannya. Sekarang mereka telah mempunyai anak laki-laki yang mungil dan
istriku sayang sekali kepada anak itu. Untuk suaminya aku telah mencarikan dua
pekerjaan borongan dan menghubunginya 'dengan beberapa orang lagi.”
Aku makin gembira, karena nasehatku ternyata telah berhasil baik,
bahkan di luar dugaanku semula.
Aku lalu berkata:
’’Betul-betul luar biasa dan beruntung sekali baginya,
bahwa ia telah bertemu dengan seorang tuan uang
yang begitu baik hati seperti saudara. Biasanya tuan uang
tidak pernah mau mengerti keadaan orang yang berutang kepadanya.
Ia hanya memikirkan, bagaimana ia harus dapat kembali uangnya
berikut bunganya dengan cara apapun juga. Dan hal ini
seringkali menimbulkan salah pengertian dan percekcokkan. Aku kira hal
yang saudara lakukan merupakan satu di dalam seribu yang berakhir
dengan kebaikan bagi kedua belah pihak.”
”Ah, aku pikir bahwa kedua
belah pihak harus bersikap jujur satu sama lain, sebab
kalau tidak ada saling pengertian yang baik, tidak mungkinlah tercapai
penyelesaian yang baik, misalnya kalau satu pihak saja
yang bersikap jujur. Seperti juga ada pepatah yang
berbunyi, kalau kita menepuk dengan sebelah tangan maka ia tidak akan mengeluarkan
suara. Bukankah demikian? Pada usiaku yang sekarang ini
kupikir bahwa akhir hidupku sudah tidak lama lagi. Oleh karena itu aku tidak
begitu menghiraukan uang dan merupakan perbuatan yang tidak pantas untuk
memeras uang dari orang lain. Sebaliknya kalau aku
menolong orang yang berada dalam kesulitan, maka perbuatan baik itu di
kemudian hari pasti akan memberikan buah yang baik.”
Pembicaraan kami yang mengesankan terhenti, waktu kami mendengar
suara musik Thai berbunyi, yang menandakan bahwa saat dari perabuan akan segera
dimulai. Semua hadirin berdiri dan membuat satu barisan yang berjalan menuju ke
peti jenazah untuk melakukan penghormatan terakhir. Setelah itu kami bubar dan
pulang ke rumah masing-masing.
Kira-kira delapan atau sembilan bulan setelah pertemuan di atas,
pada suatu pagi di harian Tahun Baru dan waktu aku sedang duduk di depan rumahku,
aku melihat sebuah mobil masuk dari pintu depan dan orang yang mengendarai
mobil adalah anak muda yang telah mengikuti nasehatku pada beberapa tahun yang
lalu. Setelah mobilnya berhenti, ia turun dengan membawa sebuah bungkusan
besar. Aku mempersilakan ia masuk ke kamar tamu. Setelah melakukan penghormatan
terhadap diriku, ia lalu berkata: ’’Saya datang untuk menghaturkan terima
kasih, paman.”
’’Mengapa kau harus menghaturkan terima kasih?” tanyaku
keheran-heranan, ”dan mengapa kau membawa barang sedemikian banyaknya?”
”Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan Selamat
Tahun Baru kepada paman dan semoga tahun ini membawa banyak rezeki dan banyak
kebahagiaan. Istri dan anak saya sebenarnya juga ingin turut untuk memberi
hormat kepada paman, tetapi hari ini Bapak Khoon Luang menyelenggarakan pesta
untuk anak-anaknya di rumah, sehingga istri ku harus pergi ke sana untuk
membantu. Tetapi dalam beberapa hari ini mereka pasti akan datang menemui
paman.”
Dengan agak terharu aku berkata: ’’terima kasih, kau membuat
mereka repot saja. Sekarang, coba ceritakan tentang
penghidupanmu dan bagaimana dengan pekerjaanmu.”
”Nah inilah yang menyebabkan saya datang ke sini untuk
menghaturkan terima kasih atas nasehat yang paman telah berikan kepadaku
beberapa tahun yang lalu. Sejak saya mengikuti nasehat paman, saya merasa lebih
bahagia, karena Bapak Khoon Luang dan istrinya telah memperlakukan istri dan
saya sendiri dengan penuh manis budi. Bapak Khoon Luang telah menolong saya
untuk mendapat dua pekerjaan memborong bangunan dan selain dari itu beliau pula
yang membiayai kedua pekerjaan tersebut. Setelah kedua pekerjaan selesai saya
mendapat untung yang lumayan, sehingga dapat melunasi semua sisa utang saya.
Sekarang saya bangga dapat berkata bahwa saya tidak lagi diganggu oleh
pikiran-pikiran yang ruwet dan merasa benar-benar bahagia. Inilah yang membuat
saya selalu ingat kepada paman dan baru sekarang saya dapat berkunjung, biarpun
sebenarnya saya sudah lama ingin datang ke sini. Akhir-akhir ini saya selalu
sibuk saja dan karena hari ini libur, maka saya gunakan kesempatan ini untuk
datang berkunjung ke rumah paman.”
’’Bicara sejujurnya, aku tidak menolong kau apa-apa”, jawabku,
’’hanya memberimu nasehat yang aku kira dapat menolongmu. Pada
hakekatnya, orang yang berbuatlah yang akan mendapat kebaikan, bukan orang yang sekedar memberi nasehat. Kau telah melaksanakan
nasehatku dan memperoleh hasil yang baik sekali, bahkan melampaui perkiraanku
semula. Engkau harus selalu ingat, bahwa kesulitan biasanya membayangi
penghidupan kita. Bukankah Sang Buddha pernah bersabda, bahwa kesulitan apapun
yang kita alami, kita sekali-kali tidak boleh berputus asa. Janganlah lari
kalau kesulitan itu timbul. Kesulitan justru harus dihadapi dengan hati yang tabah, sebab dengan hati yang tabah disertai kesabaran,
keuletan dan kebijaksanaan, setiap kesulitan cepat atau lambat akan dapat di
atasi. Dan inilah terbukti dengan dirimu.”
Dikutip dari
Buku PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)
Alihbahasa :
Pandita S. Widyadharma
Cetiya Vatthu
Dhaya - 1969
Tidak ada komentar:
Posting Komentar