Ven. NARADA Maha Thera
Orangtua
Ada empat ladang
tempat berbuat kebajikan”,
kata Sang Buddha. Yaitu : 1.
Sang Buddha,
2. Para Arahat,
3. Ibu, dan
4. Ayah.
Para Buddha adalah kusuma
kemanusiaan. Jarang sekali mereka muncul di dunia ini. Hanya pada masa adanya
Buddha maka murid-murid suci bermunculan. Tetapi ibu yang baik serta ayah
pencinta biasanya terdapat di setiap rumah. Biasanya mereka dengan mudah dan
gampang sekali dijadikan ladang pembuatan jasa dan rasa terima kasih dari anak-
anaknya.
Walaupun hanya sedikit ditanamkan
pada ladang yang subur ini, akan memberikan hasil yang melimpah.
Sungguh berbahagia sekali bagi
anak-anak yang mendapat berkah untuk dapat bersama-sama dengan orangtua mereka,
sehingga mereka dapat menunjukkan rasa cinta dan terima kasih kepada mereka.
Menurut Sang Buddha, anak-anak
sangat berhutang budi sekali kepada orangtua mereka, sehingga anak-anak tak
dapat membalas jasa-jasa beliau-beliau tersebut, walaupun mereka memikul ayah
dan ibu di kedua bahu mereka, serta memberikan dan melayani semua kebutuhan
mereka selama seratus tahun. Anak-anak tetap tak dapat membayar atau membalas
jasa-jasa mereka, walaupun anak-anak memberikan permata setumpuk setinggi
pinggang serta memberikan semua kesenangan di dunia ini.
Dalam kitab-kitab kuno juga
dipuji kedudukan orangtua dengan mengatakan bahwa seorang guru agama adalah
sebanding dengan sepuluh guru biasa, ayah sebanding dengan seratus guru
agama, sedangkan ibu adalah sebanding dengan seribu ayah.
Mengapa orangtua sangat
dipuji-puji oleh para guru-guru yang lampau, hal itu dapatlah kita maklumi.
Alasannya tak sulit dicari. Orangtua yang baik memberikan miliknya yang paling
baik kepada anak-anaknya. Mereka melupakan diri mereka, dan hanya memperhatikan
kesenangan dan kebahagiaan anak-anak saja. Mereka dengan mudah menghabiskan
harta yang mereka peroleh dengan susah payah demi pendidikan anak-anak mereka.
Kesenangan orangtua hanya
bilamana melihat anak-anaknya maju, hidup damai dan bahagia. Pada waktu untuk pertama
kali melahirkan ibu menderita sekali dan tak mempedulikan nyawanya. Ibu
membesarkan anak-anaknya dengan darahnya. Tanpa istirahat di malam hari untuk
menjaga anaknya. Tak dapat dibayangkan penderitaan yang dialaminya sewaktu memelihara
anaknya. Ibu menderita sakit bila anaknya sakit. Bila anak bahagia merekapun
turut bahagia. Anak-anak adalah bahagian dari hidup para ibu. Anak-anak adalah
harta mereka yang tak ternilai harganya. Anak-anak adalah merupakan sumber
suka-duka mereka. Tanpa anak-anak mereka kesepian, sedih dan menderita.
Sekarang, apakah ada cara untuk
membalas jasa-jasa orangtua yang tercinta itu? Ya, ada. Yaitu dengan mencegah
mereka berbuat kejahatan, menganjurkan mereka berbuat kebaikan dan bersusila,
dan menjadi teladan untuk hidup yang baik. Anak-anak bukan hanya melayani dan
memberikan kesenangan materi saja, tetapi juga harus memberikan kesenangan
batin atau rohaniah pula.
Sebab itu, O anak-anak yang baik,
jadilah anak yang dengar kata dan patuh kepada orangtua yang sangat berharga sekali
pada kehidupan kita ini. Hormatilah mereka setiap hari seperti yang telah
dilakukan oleh Raja Aggabodhi pada masa yang lampau. Perhatikanlah kemauan
mereka dan janganlah melukai hati mereka. Bahagiakanlah dan jangan menyakiti
mereka. Jagalah kehormatan nama orangtua dengan kita bersikap susila dan
mulia. Tunjukkanlah bahwa kau adalah anak yang patut dibanggakan oleh
orangtuamu, apalagi di masa mereka telah tiada. Janganlah merusak nama mereka
walaupun mereka telah meninggal dunia.
Kasih Sayang Ayah
Anak-anak sering tak menyadari
betapa besar kasih sayang dan pengorbanan yang telah ditujukan kepada mereka
dan telah dilaksanakan oleh orangtua mereka.
Telah merupakan hukum bahwa cinta
orangtua adalah lebih besar daripada cinta anak-anak kepada orangtua. Ya, kita
tak dapat mengharapkan cinta kasih anak-anak yang belum dewasa harus sama
dengan orangtua yang telah berpengalaman itu. Bila mereka telah menjadi
orangtua, mungkin sekali mereka belum dapat menyadari dengan baik apa cinta
orangtua itu. Di bawah ini diuraikan sebuah gambaran tentang hal tersebut di
atas.
Pangeran Ajatasattu karena
dibujuk oleh Devadatta, mencoba membunuh ayahnya Raja Bimbisara agar supaya
dapat naik tahta. Pangeran yang malang itu tertangkap dan diborgol. Ayahnya
yang penyayang, bukannya menghukum dia karena telah melakukan perbuatan keji,
malah memberikan tahtanya kepada anaknya.
Anak yang tak berbudi ini
menunjukkan rasa terima kasihnya dengan memenjarakan ayahnya supaya mati
kelaparan. Hanya ibunya yang mendapat izin untuk menengok ayahnya setiap hari
di penjara. Ratu yang baik ini membawa makanan dengan menyembunyikannya dalam
kain ikat pinggang. Ketika hal ini diketahui, Pangeran (anaknya) melarang
ibunya berbuat begitu. Ratu tetap membawa makanan yang disembunyikan di bawah
konde rambut. Pangeran mengetahui dan melarangnya pula. Akhirnya Ratu mandi
dengan air harum dan mengoleskan tubuhnya dengan adonan madu, mentega, keju dan
gula. Raja menjilati tubuh isterinya demi mempertahankan hidupnya. Tetapi
akhirnya Pangeran yang kejam mengetahui hal ini pula, lalu ia sama sekali
melarang ibunya untuk berkunjung ke penjara.
Raja Bimbisara walaupun tak
makan, beliau ber-cangkamana
(meditasi dengan cara berjalan bolak-balik) menikmati kebahagiaan batin, karena
ia adalah seorang Sotapana. Tetapi anaknya yang biadab dan keji ini memutuskan
untuk mengakhiri hidup dari ayahnya yang malang itu. Dengan tanpa belas
kasihan ia memerintahkan tukang cukur istana untuk mengiris telapak kaki
ayahnya serta mengolesnya dengan garam dan minyak, setelah itu memanaskannya
dengan bara. Sang Raja ketika melihat tukang cukur datang, berpikir bahwa
anaknya telah menyadari kebodohannya maka mengirimkan tukang cukur untuk
mencukur rambut dan jenggotnya setelah itu ia dibebaskan. Tetapi perkiraannya
adalah salah sama sekali, karena ia malahan akan mati dengan cara yang sangat
menyedihkan.
Tukang cukur dengan kejamnya
melaksanakan perintah dari pengeran yang buas tersebut. Raja yang baik
meninggal. Pada saat itu pula seorang bayi telah lahir bagi raja Ajatasattu.
Berita tentang kematian dan kelahiran tiba di istana bersamaan waktunya. Berita
kelahiran yang dibacakan lebih dahulu. O, tak terlukiskan betapa besar cinta
kasih muncul dan diberikan pada anaknya yang pertama. Tubuhnya bergetar,
perasaan cintanya menembus sampai ke sumsum tulangnya.
Tiba-tiba ia lari dan berteriak:
’’Bebaskan ayahku tercinta dengan cepat !”
Tetapi ayahnya telah menutup mata
untuk selama-lamanya.
Surat yang kedua diberikan
kepadanya. Segera ia lari mendapatkan ibu yang tercinta dan bertanya: ’’Ibuku,
apakah ayah mencintaiku ketika aku masih kecil ?”
”Apa yang kau katakan, anakku !
Sewaktu kau masih dalam kandunganku, aku merasa ingin sekali menghisap darah
dari tangan kanan ayahmu, tetapi hal ini tak berani kukatakan. Akibatnya aku
menjadi pucat dan kuras. Akhirnya aku dibujuk untuk mengatakan keinginanku yang
jelek tersebut. Dengan gembira dan senang ayahmu mengabulkan keinginanku, dan
aku mengisap darah yang menjijikkan tersebut. Tukang ramal mengatakan bahwa kau
akan menjadi musuh ayahmu. Sebab itulah kau dinamakan AJATASATTU, musuh yang
belum lahir. Aku mau menggugurkan, tetapi ayahmu mencegah perbuatan tersebut.
Setelah kau Lahir, aku mau membunuhmu, tetapi ayahmu melarangku pula. Pada suatu
ketika kau menderita bisul di tanganmu, anakku, tak seorangpun yang dapat
membujukmu supaya tidur. Tetapi ayahmu yang lagi sibuk dengan tugas-tugasnya di
istana, memeluk dan meletakkan kau di pangkuannya, serta dengan hati-hati
sekali ia mengisap bisulmu. O, di dalam mulutnya bisulmu pecah. O, anakku,
nanah dan darah ! Ya, ayahmu menelannya, karena cinta dan sayangnya padamu.”
Ajatasattu menangis tersedu-sedu.
Anak-anak, dapatkah kamu
membayangkan perasaannya?
Sudah merupakan kenyataan bahwa
orangtua mengerti semua keadaan anak-anaknya, sebab merekapun telah melalui
masa-masa yang demikian pula. Inilah yang menyebabkan mengapa mereka bersikap
simpatik dan baik terhadap kesalahan-kesalahan anak-anak. Mereka selalu siap
sedia untuk bersabar dan memaafkan kesalahan-kesalahan anak-anak. Disadari
atau tidak anak-anak dapat melukai perasaan mereka.
Karena salah mengerti anak-anak
dapat bersikap bermusuhan dengan mereka. Juga karena masih kekanak-kanakan maka
anak-anak tak sabar dan dapat menyusahkan mereka. Karena masih kurang bijaksana
anak-anak sering melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak
orangtuanya demi kebahagiaan dan kesenangan mereka sendiri. Walaupun mereka
bersalah, lupa bahkan agak keterlaluan terhadap orangtua, tapi orangtua yang simpatik
tetap memaafkan dan menerima mereka. Dalam kemalangan, tanpa diminta mereka
akan datang dan dengan segera memberikan pertolongan. Bila kita menjadi kesal
mereka akan segera memberikan hiburan. Demikianlah kebajikan dan keagungan
orangtua.
Tetapi dapatkah anak-anak
mengerti perasaan dan tanggung jawab dari ayah-ibu terhadap mereka ? Tidak
dapat, karena mereka belum mencapai tingkat tersebut. Hanya ayah dan ibulah
yang sungguh-sungguh mengerti apa sebenarnya rasa cinta-kasih orangtua itu.
Ajatasattu adalah contoh yang
tepat.
Kasih Sayang Ibu
Dalam Sonadanda Jataka, Sang
Bodhisatta mengumandangkan kebajikan seorang ibu dalam uraian yang berikut ini
:
’’Dengan kasih dan sayang ia
menjadi pelindung kami, membesarkan kami dengan susunya.
Ibu adalah jalan ke surga, dia
sangat pengasih, ia merawat dan memelihara kami dengan penuh pengertian, ia dikaruniai
dengan kerelaan.
ibu adalah jalan ke surga, dan
dialah yang sangat mencintai kami.
Karena mendambakan anak ia selalu
berlutut, sembahyang di depan cetiya.
Memperhatikan perubahan musim dan
mempelajari peredaran masa, selama hamil ia mendambakan kehalusan.
Dan segera bayi yang masih dalam
kandungan mulai mengetahui kawan yang mencintainya.
Selama setahun atau kurang ia
menjaga dengan hati-hati hartanya.
Kemudian terlahirlah ia dan sejak
itu ia memakai nama keluarganya.
Dengan susu dan senandung ia
membelai anak yang gelisah. Diselimuti oleh pelukan tangan ibu yang hangat
kesusahannya lenyap.
Ibu menjaga bayi yang belum
mengetahui apa-apa ini dari gangguan angin dan panas.
Ia bagaikan jururawat yang
mengasuh anaknya.
Apapun yang ia butuhkan, ibu akan
berusaha dan sedapat mungkin memenuhinya.
Ibu mendoakan: ’’Semoga anakku
berbahagia kelak. ”
Hai anakku sayang, buatlah ini
dan itu, kata ibu dengan pengharapan.
Tetapi ketika ia telah dewasa ibu
mengeluh dan bersedih :
Ia pergi dengan sembarangan
mengganggu isteri orang lain di malam hari. Sedangkan ibu dengan penuh
kekhawatiran dan takut bertanya-tanya dalam hatinya:
’’Mengapa ia belum kembali selarut
malam ini ?”
Karena bilamana seseorang telah
diliputi oleh kenekadan maka ibunya dilupakan. Sedangkan Sang Ibu, demi untuk
melenyapkan kekhawatirannya berdoa untuk masa depannya, tetapi jelas
penderitaan nerakalah pahala bagi anak yang berbuat demikian itu.
Demikianlah mereka yang sangat
mencintai kekayaan dengan amat sangat, kelak kekayaan itu segera akan lenyap.
Seseorang yang melupakan ibunya, pasti akan menyesalinya nanti.
Seseorang yang melupakan ayahnya,
pasti akan menyesalinya nanti.
Hadiah, kata-kata lemah lembut,
melakukan perbuatan- perbuatan baik dan terpuji serta ketenangan batin terpelihara
pada waktu dan kondisi yang tepat. Kebajikan- kebajikan ini merupakan poros
bagi roda, dalam dunia ini.
Bila hal-hal ini tiada, maka nama
keluarga akan terbawa- bawa oleh anaknya.
Ibu bagaikan ratu yang harus
dihormati dan dimahkotai.
Para bijaksana menekankan bahwa
mereka yang berbuat demikian adalah orang yang bajik.
Demikianlah, orangtua adalah
mutlak bagi semua pujian. Kedudukan mereka haruslah begitu adanya.
Sejak dari dahulu kala orangtua
dipanggil sebagai ’’Brahma”. Sungguh agung sijat mereka.
Orangtua yang baik wajib menerima
semua penghormatan anak-anaknya.
Ia yang bijaksana akan
menghormati orangtua dengan pelayanan baik dan sungguh-sungguh. Ia harus
memberikan makanan, minuman, tempat tinggal dan pengobatan kepada mereka. Harus
memandikan, menggosok mereka dengan minyak, serta dengan penuh kepatuhan
membasuh kaki-kaki mereka.
Kebajikan yang demikianlah sangat
dipujikan dan dianjurkan oleh para bijaksana.
Selagi dalam dunia ini; maupun
setelah mati, terlahir di alam surga yang penuh kesenangan.”
(Jataka Translation Vol. v. pp.
173, 174.)
’’Siapakah kawan terbaik di rumah
?” tanya dewata kepada Sang Buddha.
Kewajiban Orangtua
Kewajiban orangtua adalah
berusaha mengembangkan kesejahteraan anak-anaknya. Dalam kenyataan orangtua
yang pencinta dan baik selalu siap sedia melakukan kewajiban-kewajiban mereka
dengan senang. Walaupun sering pula ada ’’anak-anak tak berbakti” melupakan
pengorbanan yang telah diderita oleh orangtua karena kasih sayang mereka, dan
menolak kenyataan, tak mempedulikan kewajiban mereka sebagai anak, namun
demikian orangtua dengan sedikit penyesalan selalu berusaha memenuhi kebutuhan
anak-anaknya, bukan hanya selama anak-anak masih dalam asuhan saja tetapi juga
setelah mereka berumah-tangga pula.
Selama dalam kandungan, setelah
lahir, sampai mereka kawin, orangtua membesarkan mereka dengan sungguh-sungguh
dan berusaha untuk menjadikan mereka anak-anak yang berguna.
Orangtua sangat menginginkan
anaknya menjadi orang yang berguna atau terpandang. Orangtua akan gembira bila
anak-anak melampaui mereka. Mereka akan kecewa bilamana anak-anak malahan hidup
lebih rendah daripada keadaan mereka. Untuk membimbing anak-anak pada jalan
yang benar, maka orangtua memberikan contoh dan suri-tauladan yang benar juga.
Adalah sulit sekali mengharapkan anak-anak yang baik dari orangtua yang tidak
baik. Selain kecenderungan karma yang dimiliki anak sebagai akibat karma pada
kehidupan yang lampau, mereka juga memiliki warisan dari keburuk- an dan
kebajikan dari orangtuanya pula. Orangtua yang bertanggung jawab harus
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak mewariskan sifat-sifat yang tidak
diinginkannya kepada anak-anaknya.
Menurut Sigalovada Sutta, ada
lima kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orangtua :
1.
Berusaha untuk menghindarkan
anak-anak dari kejahatan.
Rumah adalah sekolah yang
pertama, dan orangtua adalah guru yang pertama pula bagi anak-anak. Biasanya
anak-anak mendapat pendidikan dasar tentang baik dan buruk dari orangtua
mereka. Tidaklah bijaksana orangtua yang secara langsung maupun tidak langsung
mengajarkan ajaran-ajaran dasar untuk berdusta, menipu, tak jujur, memaki,
balas dendam, ketakutan dan seterusnya kepada anak-anak mereka selagi mereka
masih kanak-kanak. Apakah ayah atau ibu yang bertanggung jawab untuk
mengajarkan hal-hal yang buruk tersebut pada anak-anak mereka yang masih bodoh
itu, orangtua sendirilah yang harus memutuskannya.
Orangtua harus bertingkah laku
yang sesuai agar supaya anak-anaknya patuh pada mereka. Orangtua jangan sekali-
kali membohongi anak-anaknya. Anak-anak harus dilatih berlaku sabar untuk
memenuhi keinginan mereka. Orangtua harus bersikap cepat agar supaya apa yang
anak-anak butuhkan telah dipenuhi sebelum mereka memintanya. Kadang- kadang
orangtua melakukan kesalahan besar dengan membohongi tentang apa yang mereka
miliki. Tetapi adakalanya hal yang dimintakan oleh anak tadi, malahan diberikan
kepada anaknya yang lain. Walaupun pemberian tersebut disertai dengan pesan.
Maka akibatnya anak yang meminta tadi telah mendapatkan pelajaran tentang
kebohongan dan penipuan untuk pertama kalinya. Akhirnya mereka menjadi p andai
dengan sifat-sifat buruk, yang mereka contohi dari guru pertama mereka
tersebut.
Bagaimanakah dengan balas-dendam
? Hal ini juga kadang-kadang dipelajari di rumah, dan sering dari ibu yang menyayanginya
pula. Anak yang terguling di lantai, dan menangis. Ibu buru-buru datang,
membangkitkan anak, membelainya dan memukul lantai sebagai pembalasan.
Anak-anak tak boleh dibesarkan
dengan ketakutan. Tidak berbahaya bila anak menangis sedikit, tetapi tangisan
sebaiknya jangan dihentikan dengan menakut-nakutinya.
Penurut, menghormat dan rendah
hati sebaiknya dipisahkan dari ketakutan yang tak beralasan. Menurut Sang Bud-
dha, ketakutan adalah salah satu dari pasukan Mara, si jahat. Kita harus takut
pada kejahatan tetapi bukan takut kepada orang. Karena ketakutan yang tak
beralasan dan tak perlu ini maka anak-anak menjadi lemah, dan secara tak
langsung telah mengembangkan ”rasa rendah diri”. Mereka takut tempat- tempat
gelap dan hal-hal yang tak jelas. Mereka takut sendirian dan pergi sendiri.
Sebaiknya mereka membaca
ceritera-ceritera Jataka Pangeran Pancayudha, Raja Dutugemunu, Puteri Vihara
Mahadevi dan yang lainnya.
Pangeran Pancayudha yang berumur
enambelas tahun, tidak takut berkelahi dengan setan kejam dan jahat. Ketika
Pangeran disarankan untuk tidak melalui hutan yang didiami oleh setan ini; ia
menjawab, ’baiklah, kita mati hanya sekali’. Ia berjalan melalui hutan
tersebut, tanpa gentar dan dapat mengalahkan setan tersebut pula.
Seorang puteri muda bernama
Vihara Mahadevi, dengan rela mengorbankan hidupnya demi anaknya.
Ibu pemberani inilah yang telah
melahirkan seorang anak heroik bernama Dutugemunu.
Bilamana seorang anak berbuat
salah, ia harus dikoreksi dengan segera pada waktu yang tepat. Adalah tidak
tepat memalukan anak di muka umum. Seringkali anak-anak menjadi lebih bersikap
kepala batu dan membantah di tempat umum. Sesungguhnya semua anak-anak adalah
baik. Sifat-sifat mereka harus dipelajari dahulu, dan nasihat yang cocok harus
diberikan. Kadang-kadang hanya dengan beberapa kata saja telah dapat merubah
mereka.
Dalam ceritera Jataka disebutkan
bahwa ada seorang raja mempunyai anak yang amat jahat dan ganas. Ia dibawa kepada
seorang petapa yang tinggal di kebun kerajaan. Lalu petapa tersebut berjalan-jalan
bersama pangeran di kebun itu. Setelah melihat pohon Nimba yang tingginya
kira-kira dua kaki dan hanya berdaun satu atau dua saja, lalu pangeran
menanyakan apakah nama pohon itu. Petapa yang bijaksana itu menyuruh mencoba untuk
memakannya. Kepahitan karena rasa tak enak dari daun Nimba, maka ia segera
menyuruh merusaknya, dengan berpikir bahwa bila pohon kecil ini sudah pahit,
bagaimana pula pahitnya bila pohon kecil ini kelak tumbuh menjadi besar.
’’Cabutlah pohon itu !”, teriaknya. ’’Tunggu sedikit, O pangeran,” kata
petapa. ’’Orang-orang menilai anda juga demikian. Bila anda sebagai pangeran
telah jahat dan ganas, maka apakah yang terjadi bila anda telah menjadi raja ?”
Pangeran memperhatikan
betul-betul hal ini. Dan karena beberapa kata nasihat saja ia telah berubah
sama sekali.
2.
Mengajarkan mereka untuk berbuat
baik.
Orangtua adalah guru di rumah,
guru-guru adalah orang- tua di sekolah. Orangtua dan guru adalah bertanggung
jawab untuk masa depan anak-anak agar hidup sesuai dengan apa yang mereka
ajarkan. Demikianlah dan begitulah mereka nanti, seperti apa yang diajarkan
pada mereka. Mereka duduk di atas kaki orangtua sewaktu mereka masih kecil.
Mereka menerima apa yang diberikan. Mereka mengikuti setiap langkah orangtua.
Mereka dipengaruhi oleh pikiran, ucapan dan perbuatan orangtuanya. Demikianlah
kewajiban orangtua untuk menempatkan mereka pada tempat yang sesuai di rumah
maupun di sekolah.
Anak-anak sebaiknya tidak
ditinggalkan di bawah asuhan pengasuh atau pembantu yang bodoh. Adalah tak
dibesar- besarkan untuk mengatakan bahwa sering anak-anak lebih terikat atau
dekat pada pengasuh mereka daripada orangtuanya sendiri. Hal-hal seperti ini
harus diperhatikan oleh orangtua untuk mengatasinya.
Kesederhanaan, patuh, keijasama,
bersatu, berani, rela berkorban, jujur, lurus, melayani, bijaksana, baik,
rajin, puas, bersikap baik, taat pada agama, dan sifat-sifat kebajikan lain-
nya, sebaiknya diajarkan kepada anak-anak dengan cara-cara yang mudah
dimengerti. Bibit yang ditanamkan dengan baik akan tumbuh menjadi pohon berbuah
banyak.
Sebaiknya merekapun diajarkan
untuk melaksanakan dasar-dasar dari Pancasila.
Dengan melaksanakan sila
pertama tidak membunuh, mereka telah membangkitkan rasa kasih-sayang
dan tak kejam. Mereka mulai mengetahui apa maknanya hidup ini.
Sila kedua adalah tak mencuri, membangkitkan rasa jujur dan
lurus. Demikian juga untuk tidak mencuri mainan- mainan pun sebaiknya diajarkan
pula. Membawa anak-anak ke pacuan kuda dan lain-lain adalah perbuatan buruk
lain yang dapat mengakibatkan penderitaan dan hal-hal yang tak terduga nanti.
Sila ketiga berkenaan dengan
moral yang baik.
Anak-anak sebaiknya diajarkan
menjadi suci dan sopan santun atau bersih. Perhatian yang sungguh-sungguh harus
dilakukan agar mereka tak bersahabat dengan anak-anak jahat, dan mereka
sebaiknya kembali sebelum malam. Dalam hubungan ini, maka orangtua harus
menjadi contoh, bila tidak maka anak-anak akan mengikuti kelakuan atau
perbuatan orangtuanya nanti. Orangtua amoral jangan mengharapkan anaknya
menjadi moralis. Orangtua yang hidup suci dan bersih adalah membahagiakan
anak-anak dan mereka sendiri pula. Sedangkan noda amoral akan membawa
kehancuran bagi orangtua dan anak-anak.
Anak-anak sebaiknya diajarkan
supaya selalu berlaku be- nar, sebagai sila keempat. Bila mereka telah membuat
kesalahan, biarkanlah mereka mengakuinya tanpa berusaha menutup-nutupinya
dengan kesalahan yang lain pula. Anak-anak harus dilatih demikian, dan orangtua
harus dengan tegas berkata, ’O, anakku janganlah berbicara bohong.’ Orangtua
harus mempertimbangkan suatu kesalahan dan harus diingatkan kepada mereka.
Anakku sekarang katakan yang benar dan jangan bohong.
”0, anakku sayang, siapa yang
benar adalah terpuji. Walaupun bergurau, janganlah berkata bohong.”
Memfitnah, pada anak-anak harus
dicabut sebelum itu bertunas. Bilamana seorang anak akan diganjar karena kesalahannya
sendiri, sedapat mungkin jangan sampai ia melakukan fitnahan seperti
mengatakan bahwa kakaknya juga melakukan perbuatan salah.
Kata-kata kasar dan ceritera
omong-kosong harus dihindarkan pula. Anak-anak baik harus dilatih menggunakan
kata-kata lembut. Mereka tak boleh dengan kasar dan tak sadar mengucapkan
kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka harus dinasihatkan untuk
mengucapkan apa yang benar, fakta dan baik.
Sebaiknya mereka menjaga mulut
mereka sejak masih kecil. Lidah yang tak terlatih akan menghasilkan senjata
penghancur dan lebih ganas daripada bom atom. Sedangkan lidah yang terlatih
akan membawa beijuta-juta orang menjadi baik dan berbuat baik pula.
Orangtua telah menyadari bahaya
yang diakibatkan oleh minuman keras, alkohol atau rokok. Tak perlu dikomentari
lagi di sini untuk menerangkan bahaya dengan mengizinkan anak-anak mencicipi
anggur atau bir sekali sebulan dan seterusnya. Mencicipi merupakan permulaan,
sedangkan menyukai adalah pertengahan, dan pemuasan adalah akhirnya. Bilamana
anak-anak menghadiri pesta-pesta, orangtua harus memperhatikan dengan seksama
atau sebaiknya memberikan nasihat atau larangan, daripada anaknya telah
terlanjur mencoba meminum minuman keras tersebut, karena anak-anak mempunyai
sifat ingin tahu akan kepahitan atau keenakan dari minuman alkohol tersebut.
Sehubungan dengan hal ini
orangtua yang bijaksana harus terlebih dahulu tidak meminum minuman keras
sebelum menasihati anak-anaknya untuk melaksanakan sila kelima yaitu tidak
minum minuman alkohol dan sebagainya.
3.
Memberikan pendidikan yang baik
bagi anak-anak.
Pendidikan yang pantas adalah
warisan paling tepat dari orangtua untuk anak-anaknya. Ini adalah harta yang
sangat berharga sekali. Inilah berkah terbaik yang dianugerahkan orangtua bagi
turunannya. Bukan hanya anak laki-laki saja yang pantas menikmati berkah ini,
tetapi anak perempuan pun harus mendapatkannya pula.
Pendidikan harus diberikan pada
anak-anak selagi masa mudanya berdasarkan moral agama dan negara. Ini mempunyai
tujuan dasar yang baik sekali. Sebaiknya mereka dibimbing oleh seorang guru
yang berpendidikan baik dan mengetahui dengan jelas apa tugas kewajibannya
serta bertanggung jawab. Kebahagiaan jasmani maupun batin dapat dicapai oleh
anak bila ia berkesempatan mendapatkan pendidikan baik serta bimbingan
keagamaan dari seorang bhikkhu. Satu gambaran yang jelas sekali adalah Raja
Siri Sanghabodhi yang bermoral tinggi sekali, karena ia telah dilatih secara
keagamaan di bawah bimbingan seorang pamannya yang menjadi bhikkhu Thera.
Bila anak-anak terpaksa harus
tinggal jauh dari rumah maka orangtua berkewajiban pula untuk memilih
lingkungan yang baik bagi tempat tinggal anaknya.
Pendidikan keagamaan harus
menduduki tempat yang penting sekali dalam kurikulum lembaga pendidikan
Buddhis. Agama tak boleh dipisahkan dari pendidikan umum. Kemajuan material
dan spiritual harus sama-sama jalannya, dan tak boleh dipisah-pisahkan. Ini
adalah lebih baik daripada hanya mempelajari dari buku-buku saja. Janganlah
membiarkan mereka berpura-pura dengan maksud hanya untuk menipu orangtua
mereka saja. Janganlah membiarkan anak-anak mempelajari agama semata-mata hanya
untuk lulus saja. Pengetahuan Dharma dibutuhkan untuk digunakan atau dilaksanakan.
Seperti apa yang tersebut dalam kitab Dhamma- pada: ’’Barangsiapa yang
mempelajari Dharma tanpa melaksanakannya, orang tersebut bagaikan gembala yang
hanya menghitung-hitung temak orang lain saja.”
Sekarang ini ada beberapa mata
pelajaran yang belum sesuai diajarkan dan akan menyebabkan hasil yang sia-sia
semata-mata. Apakah tidak baik memanfaatkan tenaga untuk mengajarkan
pelajaran-pelajaran yang lebih menarik dan berguna sekali bagi mereka ? Bagi
anak-anak perempuan, sebelum mereka mencapai tingkat di mana mereka dapat
memilih jurusan akademi mana yang mau diikuti, maka sebaiknya pendidikan
ditekankan pada pokok-pokok ajaran yang dapat mengarahkan mereka untuk menjadi
isteri atau ibu yang baik.
Walaupun perhatian banyak
ditujukan pada pendidikan, maka ada pula yang tak boleh dilupakan atau
dipisahkan yaitu memperhatikan kesehatan. Seorang sarjana yang sakit- sakitan
tak akan sanggup dengan aktif membantu negara dan bangsa.
4.
Mengawinkan anak-anak dengan
pasangan yang sesuai.
Perkawinan adalah: ’’hidup
bersama untuk selamanya.” Dikatakan demikian karena janji untuk bersama-sama
selama hidup, dan bukan hanya untuk waktu yang terbatas saja atau bila telah
mempunyai anak. Hidup bersama ini tak dapat dengan mudah memisahkannya. Sebab
sebelum perkawinan diadakan, semua persoalan dipecahkan bersama-sama dahulu dan
hasilnya memuaskan bagi kedua belah pihak. Berbeda pendapat berarti munculnya
pertentangan.
Dalam hal ini orangtua menuntut
kewajiban, sedangkan anak-anak memintakan haknya. Menurut cara Buddhis maka kewajiban
lebih kuat daripada ’hak’. Bilamana kedua belah pihak ini tak merubah sikap
masing-masing, maka sebaiknya menggunakan pemecahan bijaksana dan mencapai
jalan keluar yang baik. Karena bila kedua pihak tidak berhasil maka akan
terjadi hal-hal yang kurang baik dan merugikan.
Dalam Maha Mangala Jataka (no. 453)
diberikan pedoman atau prinsip untuk memilih isteri yang baik sebagai berikut
:
Siapapun yang beristeri luwes,
umur sepadan, patuh, baik dan subur; penurut, bajik serta berasal dari keluarga
baik-baik. Inilah berkah-berkah yang terdapat pada isteri.”
Walaupun pemilihan mungkin
dibatasi pada batasan-batasan tertentu saja, adalah lebih baik mengelak memilih
seorang pria untuk dijadikan suami bila ia adalah, ’’hidung belang, pemabuk,
penjudi dan pemboros.” (Vasala Sutta).
Kesehatan hendaknya diperhatikan
pula sebelum melaksanakan perkawinan. Kalau tidak maka orangtua akan dihina
karena turunan mereka. Orangtua yang tak sehat atau subur dapat juga membantu
negara dan hangsa bila mereka mengangkat anak dari keluarga-keluarga miskin dan
mendidik mereka menjadi warga yang ideal atau terpandang. Cinta kasih dan
kebahagiaan mereka, dapat mereka tumpahkan pada anak-anak tersebut.
5.
Memberikan warisan kepada
anak-anak pada waktu yang tepat.
Orangtua yang baik bukan hanya
mencintai dan memelihara anak-anaknya selama dalam asuhan mereka saja, tetapi
juga mempersiapkan kesenangan dan kebahagiaan anak-anaknya di masa mendatang.
Walaupun dengan susah payah mereka mengumpulkan dan menyimpan harta, tetapi
akhimya mereka akan menghadiahkan itu dengan rela kepada anak- anaknya.
Hadiah perkawinan yang tepat
diberikan orangtua untuk anak perempuannya adalah seperti nasihat-nasihat
berikut ini, yang diberikan oleh ayah kepada Visakha di hari perkawinannya
(lihat Dhammapada Atthakata):
a.
Jangan
membawa keluar api yang berada di dalam rumah.
b.
Jangan
memasukkan api dari luar rumah.
c.
Memberi
hanya kepada mereka yang memberi.
d.
Jangan
memberi kepada mereka yang tak memberi.
e.
Memberi
kepada mereka yang memberi dan yang tak memberi.
f.
Duduklah
dengan bahagia.
g.
Makanlah
dengan bahagia.
h.
Tidurlah
dengan bahagia.
i.
Rawatlah
pada api.
j.
Hormatilah
dewata keluarga.
Yang dimaksudkan dengan kesepuluh
hal-hal di atas ini adalah sebagai berikut :
a.
Api
di sini berarti memfitnah. Seorang isteri seharusnya tidak memburuk-burukkan
suami maupun mertuanya kepada orang lain. Demikian pula dengan
kekurangan-kekurangan ataupun percekcokan-percekcokan rumah tangga jangan diceriterakan
kepada orang lain.
b.
Seorang
isteri sebaiknya tidak mendengarkan ceritera- ceritera atau ocehan-ocehan dari
keluarga-keluarga lain.
c.
Hanya
meminjamkan sesuatu kepada mereka yang mau mengembalikan.
d.
Tidak
meminjamkan sesuatu kepada mereka yang tak akan mengembalikan.
e.
Orang-orang
miskin dan kawan-kawan harus ditolong walaupun mereka tak akan
mengembalikannya lagi.
f.
Seorang
isteri seharusnya duduk pada posisi yang sesuai. Bilamana melihat mertuanya
datang, ia harus berdiri dan bukannya tetap duduk saja. Nasihat ini merupakan
sopan santun bagi wanita dan menunjukkan rasa hormat kepada mertua.
g.
Sebelum
makan, seorang isteri terlebih dahulu menyiapkan kebutuhan atau
keperluan-keperluan mertua atau suami-nya. Ia juga memperhatikan apakah
pembantu-pembantu rumah tangganya telah dipenuhi kebutuhan-kebutuhan makan
mereka pula.
h.
Ini
bukan berarti bahwa seorang isteri harus tidur selama ia mau. Tetapi sebelum
tidur ia memeriksa apakah semua pintu-pintu dan jendela telah ditutup atau
belum, apakah alat-alat rumah tangganya terjamin keselamatannya; apakah
pembantu-pembantu telah menyelesaikan tugas-tugas mereka, dan apakah mertua dan
suaminya sudah pergi tidur atau belum. Seorang isteri hendaknya bangun
pagi-pagi sekali dan tak akan tidur di siang hari kecuali badannya merasa tak
enak atau tidak sehat.
i.
Mertua
dan suaminya dipandang sebagai api.
Rawatlah
mereka baik-baik seperti kita merawat api di waktu memasak, api membantu kita
di dapur.
j.
Mertua
dan suami dipandang sebagai dewata yang patut dihormati.
Sang
Buddha sendiri menyatakan bahwa mertua adalah ’devata’ (sassudeva).
Menurut tradisi ketimuran, isteri
memandang suaminya sebagai ’yang dipertuan’ atau ’issara’. Sang Buddha bersabda
bahwa isteri adalah sahabat karib suami. Adalah merupakan kewajiban suami untuk
memperlakukannya dengan baik dan berlaku sebagai ’dewa penolong’-nya, dan
menganggap isteri sebagai pribadinya yang kedua (atmani).
Isteri yang patuh dan rajin
sangat memandang tinggi sekali suami yang baik sebagai ’dewa pelindung’-nya.
Seorang isteri seharusnya juga
aktif melakukan kewajiban agama. Para bhikkhu dan petapa yang mengunjungi ru-
mahnya pada waktu yang tepat harus diperlakukan dengan hormat. Ia sebaiknya
melayani mereka.
Kewajiban Anak-anak
Anak-anak sangat berhutang sekali
pada orangtua mereka, yang telah melahirkan mereka dan berusaha dengan baik
serta sungguh-sungguh dengan berbagai cara untuk mereka. Jelas anak-anak tak
dapat membayar hutang mereka, walaupun anak-anak mengorbankan hidupnya untuk
orangtua.
Di dalam Dharma disebutkan tiga
macam posisi anak- anak, yaitu :
1.
Mereka
yang lebih rendah keadaannya daripada orangtua- nya dalam berbagai hal
(avajata).
2.
Mereka
yang sama keadaannya dengan orangtuanya (anujata).
3.
Mereka
yang melebihi orangtuanya dalam berbagai hal (atijata).
Merupakan tugas dari setiap anak
untuk berusaha melebihi orangtua dalam pelajaran, kebajikan, status, pelayanan
dan sebagainya. Bilamana anak-anak tak dapat melebihi orangtua maka anaklah
yang harus dikritik daripada orangtuanya, karena anak-anak hanya menikmati
kesenangan duniawi saja. Bilamana anak-anak tak sanggup untuk melebihi
kemampuan orangtuanya, maka mereka sekurang-kurangnya harus menyamai mereka,
tetapi bukan di bawah kemampuan atau keadaan orangtuanya.
Menurut Sigalovada Sutta, ada
lima kewajiban yang harus dilaksanakan oleh anak-anak kepada orangtua mereka,
yaitu:
1.
Menyokong orangtua.
Tak ada komentar lagi yang perlu
diberikan tentang kewajiban yang mutlak ini. Dalam tradisi Buddhis, anak-anak
setiap hari harus mengambil atau memintakan Tisarana dan Panca Sila, dan
sesudah itu ber-namaskara pada orangtuanya, dan menghormati mereka.
Ini adalah kata-kata kuno tentang
cara penghormatan :
”0,
Ibu sayang, tak terkatakan betapa besar penderitaan yang dikau derita sejak
daku dalam kandunganmu.
Daku
merangkapkan kedua tanganku di atas kepalaku, daku menghormatmu dan memohon m
aaf padamu untuk kesalahan-kesalahanku,
Bila
daku menangis, dikau memberikan cinta kasihmu serta membelaiku hingga daku
tertidur.
Semua
kotoran tubuhku bagaikan permata bagimu, dan dikau menyentuhnya bagaikan benda
harum baunya.
Untuk
jasa dan semua cinta kasihmu yang tak terhingga,
O,
ibuku sayang, semoga dikau menjadi Samma Sambuddha untuk menyelamatkan dan
menolong dunia yang penuh derita ini. ”
Barangkali banyak di antara
pembaca telah mengenal atau tahu ceritera dari Raja Aggabodhi dengan
perilakunya yang patut dicontoh oleh semua anak-anak.
Dalam Culavamsa diuraikan tentang
betapa besar cinta kasih serta hormat Raja Aggabodhi kepada ibunya yang telah
tua, ceriteranya sebagai berikut :
’’Raja
sangat senang sekali melayani ibunya di waktu siang maupun malam. Ia selalu
pergi menunggunya di waktu pagi, dan melayaninya dengan menggosok kepala ibunya
dengan minyak, membubuhi parfum di bagian-bagian tubuh yang lecet karena
keringat, membersihkan kuku-kukunya serta memandikannya dengan hati-hati. Raja
sendiri yang mengenakan pakaian kepada ibunya, dengan pakaian baru dan lembut,
ia mengambil pakaian-pakaian kotor dan mencuci nya sendiri pula. Dengan air di
tempat itu pula ia memercikkan air ke kepala dan mahkotanya, dan
sungguh-sungguh menghormat ibunya dengan bunga harum bagaikan sedang menghormat
di depan cetiya. Setelah menghormat ibunya tiga kali, ia berjalan ke kanan
mengelilinginya, dan memberikan pakaian-pakaian kepada pembantu-pembantu
ibunya dengan kebutuhan-kebutuhan lain yang mereka perlukan; ia menyediakan
makanan-makanan enak untuk ibunya, lalu memakan makanan-makanan yang sisa yang
ditinggalkan tak dimakan oleh ibunya.
Kepada
pembantu-pembantu ibunya ia memberikan makanan yang baik seperti diperuntukkan
bagi, raja, sesudah itu ia menyiapkan tempat tidur ibunya dengan membubuhi
harum- haruman, kemudian ia memindahkan ibunya dengan hati- hati, mencuci kaki
ibu, mengoles dengan hati-hati tubuhnya dengan minyak, dengan
terbungkuk-bungkuk ia menggosok kaki dan tangannya supaya ibunya tertidur.
Setelah itu dengan mengarah sebelah kanan ia mengelilingi tempat tidur ibunya
tiga kali dengan penuh hormat; menyuruh para pembantu atau pelayan untuk
menjaganya, dan dengan tanpa membelakangi ibunya ia pergi. Pada tempat di mana
ibunya tak dapat melihatnya lagi, ia berhenti dan memberi hormat tiga kali
lagi. Dan dengan bahagia atas perbuatannya serta selalu memikirkan tentang
ibunya, ia kembali ke istana. Selama ibunya masih hidup raja tetap melakukan
pekerjaan ini.
(Culavamsa,
Translated by W, Geiger - p. 132).
Dalam Sama Jataka, diceriterakan
bahwa ketika Sama Kumara dipanah, ia jatuh tak sadarkan diri dengan kepala
mengarah pada orangtuanya dengan sikap menghormat.
Pangeran Jali dan Putri
Krishnajina sebagai anak-anak adalah sangat patuh kepada orangtuanya. Kedua
putra-putri Raja Vessantara menyembunyikan diri mereka di kolam karena takut
kepada seorang tua yang datang mencari mereka. Tetapi ketika ayah mereka
memanggilnya, mereka segera lari mendapatkan ayahnya walaupun ragu-ragu
sejenak.
(Vessantara
Jataka).
Kepatuhan Pangeran Rama tak dapat
dilukiskan pula. Karena akal bulus dari ibu tirinva, maka Rama telah
diasingkan oleh ayahnya selama empat belas tahun. Beberapa tahun kemudian
setelah Raja mangkat, para menteri mendatangi hutan di mana ia tinggal dan
memohon supaya pangeran Rama memerintah di kerajaan. Pangeran yang patuh menolak
permohonan tersebut karena belum habis masa pengasingannya tersebut.
Jadi kepatuhan seharusnya menjadi
sifat utama bagi anak- anak yang baik. Mereka tak boleh memperlakukan orangtua-nya
dengan kasar sedikitpun juga. Isteri-isteri yang galak, sebaiknya tak
diizinkan melayani orangtua kita yang telah lanjut usianya. Karena mereka
seharusnya melayani orangtua tersebut dengan perhatian khusus ketika orangtua
telah lanjut maupun sakit. Isteri harus merenungkan bahwa ini adalah
kesempatan yang baik untuk melayani mereka itu.
2.
Harus melakukan
kewajiban-kewajiban perlu lainnya bagi orangtua.
Anak-anak harus mengerti apa
kiranya yang dibutuhkan orangtua dan melakukannya untuk memuaskan orangtua.
Adalah kewajiban anak-anak untuk
menyenangkan dan membahagiakan orangtuanya. Anak-anak harus bersedia mengorbankan
kesenangannya demi kebahagiaan orangtuanya. Di dalam ceritera-ceritera Jataka
diterangkan tentang Bodhisatta yang telah merenungkan bahwa adalah kesempatan
yang baik sekali baginya untuk mengorbankan hidupnya demi kebahagiaan
orangtuanya.
’’Mereka
yang melaksanakan Dharma dan merawat orangtuanya yang sengsara; para dewata
mengetahui kasih sayang mereka dan datang menyembuhkan sakit mereka.”
’’Mereka
yang melaksanakan Dharma dan merawat orangtuanya yang sengsara; para dewata
dalam dunia ini memuji perbuatan mereka dan kelak mereka akan terlahir di alam sorga.” . .
(Tamiya
Jataka).
Kewajiban anak-anak bukan hanya
mencari kebahagiaan materi saja, tetapi kebahagiaan batin juga. Mereka harus
mengusahakan untuk mengembangkan kedermawanan (dana), sila, kasih sayang dan
kebijaksanaan (panna) dari orangtua mereka. Bila mereka tak sanggup, mereka
dapat membawa orangtua berziarah ke tempat-tempat suci dan berusaha
menganjurkan mereka berbuat jasa bagi pencapaian kehidupan yang kekal.
3.
Mempertahankan kekayaan keluarga.
Mereka harus mempertahankan terus
harta orangtua tanpa menghambur-hamburkan dengan sia-sia. Seringkali orangtua yang
hemat menjadi kaya dengan usaha mereka yang sungguh-sungguh. Apa yang telah
mereka kumpulkan dengan penuh ketabahan, seringkali anak-anak mereka menghambur-hamburkannya
dalam beberapa tahun saja, karena kena pengaruh lingkungan yang boros,
akibatnya kehidupan yang penuh penderitaanlah kelak yang mereka alami.
Anak-anak diharapkan juga untuk
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan atau usaha-usaha yang telah dirintis oleh
orangtua mereka. Berdana secara berkala dan membantu keuangan untuk agama atau
yayasan-yayasan sosial, menolong orang-orang miskin atau sakit dan lain-lain;
perbuatan-perbuatan baik yang telah diperbuat oleh orangtua seharusnya tak dilupakan
untuk diteladani, apalagi setelah mereka tiada, meninggal dunia.
4.
Berperilaku yang sesuai demi mempertahankan
nama baik keluarga.
Nama terhormat orangtua harus
dijaga oleh anak-anak. Anak-anak berpendidikan tak akan memalukan orangtuanya
yang baik, apalagi bila orangtua tidak ada. Apa yang memalukan untuk
diceriterakan walaupun pada orangtua sendiri, haruslah hal itu tidak
diceriterakan pada umum maupun orang-orang tertentu.
Anak-anak seharusnya memberikan
jasa-jasa untuk orang-tuanya yang telah meninggal.
Telah menjadi tradisi Buddhis
untuk memperingati orang-tua walaupun mereka telah meninggal. Mereka sebaiknya
selalu ingat orangtua apabila melakukan perbuatan baik dan jasanya
diperuntukkan bagi orangtua yang telah meninggal tersebut. Bila mereka
membutuhkan jasa, maka mereka akan mendapatkan kebahagiaannya. Apakah orangtua
(yang telah meninggal) menerima jasa yang dibagikan itu atau tidak, tetap
perbuatan jasa tersebut akan membawa kebahagiaan kepada si pembuatnya. Mereka
juga dapat mengarahkan pikiran-pikiran yang baik bagi orangtua yang telah
meninggal dan dapat membantu mereka menjadi bahagia. Lebih lanjut mereka
menunjukkan sikap hormat serta sifat-sifat baik pula bagi anak-anak mereka
sendiri.
Pemberian dana secara berkala
dapat dilakukan atas nama mereka. Dengan demikian agama, amal dan
sekolah-sekolah dapat didirikan. Buku-buku agama dan pamflet-pamflet dapat
dicetak, bea-siswa dapat diberikan sebagai cara melakukan penghormatan kepada
orangtua yang telah meninggal tersebut.
Kita akhiri uraian pendek ini
dengan anjuran seperti apa yang terdapat pada Maklumat Brahmagiri II dari Raja
Asoka, yang telah mengikuti petunjuk-petunjuk Guru Agung kita, menekankan
pfentingnya kewajiban anak. Maklumat ini ada lah ringkasan dari khotbah Sang
Buddha kepada pangeran-pangeran suku Licchavi, sebagai berikut :
”Ibu-ayah
dan guru mesti dilayani sebaik-baiknya. Kasih sayang harus ditujukan pada semua
makhluk hidup. Harus berbicara benar, kebajikan ini harus dikembangkan.”
’’Demikian
pula Uppajhayo (guru yang menahbiskan seseorang menjadi bhikkhu) mesti
dihormati murid. Hubungan harus dijaga dengan baik.”
’’Inilah
perilaku kuno yang wajar. Inilah penyebab untuk umur panjang. Demikianlah yang
harus dilaksanakan.”
0O0
Judul Asli : "Parents and Children
oleh : Ven. Narada Maha Thera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar