Sabtu, 03 Agustus 2013

Kesukaran yang dicari sendiri


KESUKARAN YANG DICARI SENDIRI
Aku teringat kepada satu kejadian yang benar-benar terjadi pada waktu sebelum perang dunia kedua, yang kukira bermanfaat sekali untuk dipakai contoh oleh para muda-mudi di waktu yang akan datang, di mana mereka mungkin akan menghadapi persoal­an yang sama dan keadaan yang sama. Mereka dapat mengambil contoh ini sebagai petunjuk jalan agar terhindar dari akibat-akibat yang tidak baik.
Pada suatu hari aku mendapat undangan untuk menghadiri resepsi pernikahan yang diadakan di sebuah rumah makan yang terkenal. Waktu hari nikah tiba, pergilah aku ke toko untuk membeli hadiah dan pulang ke rumah. Mempelai laki-laki disertai dengan beberapa kawannya sudah me­nungguku dan mengingatkan kembali kepadaku untuk jangan lupa datang pada malam harinya di resepsi. Alasan dari kedatangannya ialah untuk memastikan agar aku jangan lupa tanggalnya, karena ia sangat menghargai aku sebagai salah se­orang kawan karib dari mendiang ayahnya.
Aku berjanji dengan pasti untuk menghadiri resepsi, karena ayahnya memang termasuk salah seorang sahabat karibku dan mempelai laki-laki inipun dengan hormat memanggilku ’’paman”
Malam harinya aku pergi ke rumah makan pada jam yang tertera di surat undangan. Waktu naik ke ruang atas, aku melihat meja makan panjang yang dihias secara mewah sekali dan beberapa tamu su­dah duduk mengelilingi meja ini.
Aku disambut dengan hangat oleh kedua mem­pelai yang membawaku ke salah satu sudut dari meja, di mana sudah kelihatan duduk beberapa tamu yang terhormat. Aku menyadari, bahwa re­sepsi iru mewah sekali dan juga terlihat banyak botol whisky buatan luar negeri siap untuk dimi­num. Selain itu tampak juga sebuah orkes terkenal mengiringi penyanyi terkenal yang sedang menya­nyi di depan mikrofon. Sewaktu-waktu diselingi dengan beberapa muda-mudi menyanyikan lagu-lagu Thai populer.
Suasana ruangan yang besar itu nampaknya gembira sekali terutama untuk para muda-mudinya. Aku mengagumi anak sahabatku itu yang dapat menyelenggarakan resepsi yang demikian mewah, padahal aku tahu, bahwa baik keluarga mempelai laki-laki maupun keluarga mempelai wanita bukan termasuk orang yang dapat dikatakan beruang.
Selesai makan-makan beberapa tamu yang ter­hormat mengucapkan selamat kepada kedua mem­pelai dan mendoakan agar kedua mempelai bahagia dan mendapat banyak rezeki. Setelah itu pihak mempelai menghaturkan banyak terima kasih atas kehadiran dan restu para undangan.
Setelah beberapa waktu berselang aku telah lupa sama sekali dengan resepsi yang megah yang berlang­sung secara meriah sekali.
Kira-kira satu tahun kemudian aku diundang makan di rumah makan oleh beberapa kawan. Se­waktu aku masuk, di sudut ruangan kebetulan aku melihat seorang anak muda sedang makan dengan beberapa orang lain dan pemuda itu adalah pemuda yang pada beberapa waktu berselang mengadakan resepsi perkawinan yang megah dan.meriah.
Pemuda itu gembira sekali ketika melihat aku dan lantas ia bangun untuk mempersilakan aku du­duk di meja di mana ia sedang duduk makan. Dengan halus akan menampiknya, karena aku da­tang juga dengan beberapa kawan. Kemudian aku menanya: ”Apa kabar sekarang, keponakan? Apa­kah kamu sudah diberkahi seorang anak?”
la bukan menjawab pertanyaanku dengan senyum sebagaimana layaknya seorang yang baru saja menikah satu tahun lebih, tetapi dengan wajah sedih ia menjawab: “Paman, saya mengalami kesulitan besar. Istriku sekarang sedang hamil, sedangkan saya belum dapat membayar kembali utang-utang yang dipakai untuk membiayai pesta pernikahan kami. Lagipula akhir-akhir ini sulit sekali mencari uang. Kalau nanti istriku melahirkan, maka ongkos akan bertambah. Saya merasa kesal sekali, hingga pada satu saat saya ingin mati saja agar keluar dari kesulitan ini.”
Aku tidak mengira akan mendengar kata-kata itu, karena waktu di pesta perkawinan ia kelihatannya sangat bahagia dan gembira dan sekarang tanda- tanda kebahagiaan itu lenyap sama sekali dari wajahnya.
Aku menepuk-nepuk pundaknya dan menghi­burnya dengan kata-kata: ’’Janganlah berpikir de­mikian. Semua orang yang hidup di dunia ini me­mang tidak dapat menghindari satu atau lebih per­buatan-perbuatan yang salah dalam hidupnya dan kalau sesuatu kesalahan telah terlanjur dilakukan, ia harus dengan tabah dan prihatin berusaha untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya itu.”
Mendengar kata-kata yang penuh nasehat, wa­jahnya tampak agak terang sedikit. Ia pergi seben­tar untuk minta maaf dari kawan-kawannya dan kembali lagi mengambil tempat duduk di sampingku. Waktu kawan-kawanku sedang sibuk memesan makanan, secara singkat ia menuturkan tentang kesulitan yang ia hadapi sejak menikah, karena untuk membayar resepsi yang megah itu ia harus meminjam dari sana-sini.
Sekarang satu tahun telah lewat, tetapi ia masih belum dapat membayar kembali separuh dari utang- utangnya.
Aku tidak tega untuk menegur perbuatannya pada waktu yang lalu itu, karena ini akan melukai perasa­annya dan menurut hematku ia sekarang sudah cu­kup menderita. Tetapi aku tidak dapat tidak harus juga menyinggung persoalan ini dan menyayang­kan, bahwa uang pinjaman yang demikian banyak itu dibuang-buang untuk membiayai satu resepsi yang hanya berlangsung satu hari. Ini tidak ada harganya sama sekali. Sekarang ia masih harus menanggung akibatnya, padahal tamu-tamu yang dulu datang di resepsi perkawinan mungkin sudah lupa sama sekali dengan peristiwa tersebut. Sungguh sayang dan menyedihkan!
’’Berapa utang yang telah kau bayar kembali dan berapa sisanya yang masih belum dibayar?” tanyaku.
’’Utang yang kecil-kecil semua telah kubayar luhas”, jawabnya, ”dan kira-kira 40% lagi yang belum dibayar kembali. Tetapi sekarang saya tidak punya uang lagi untuk bayar utang dan karena itu saya takut untuk berjumpa dengan orang yang memberi utang kepadaku. Saya sudah lama tidak berani menemuinya lagi. Hari ini kawan-kawan saya datang di Bangkok dari tempat yang jauh. Mereka mengundang saya untuk makan siang bersama- sama mereka dan karena itu saya dapat bertemu dengan paman. Sebab kalau tidak saya juga tidak berani bertemu dengan paman. Saya bukan malas dan maksud saya bukan untuk menipu. Saya ber­sedia untuk melakukan pekerjaan apa saja asal saya dapat memperoleh uang untuk membayar kembali utang-utang saya. Pekerjaan yang biasa saya lakukan waktu ini tidak ada lagi dan semua modal saya telah habis dipakai membayar utang.”
Aku mendengar semua ini dengan perasaan iba dan selanjutnya bertanya lagi: ’’Siapakah orangnya yang utangnya hingga kini kau belum dapat lunasi dan di manakah alamatnya? Apakah ia seorang yang kikir?”
”Oh tidak, paman”, jawabnya, ”ia adalah orang yang manis budi dan terhormat. Kalau sifatnya serupa dengan yang lain-lain, maka saya tidak tahu harus bersembunyi di mana. Saja tahu benar bahwa saya seorang yang tidak baik dan tidak berharga untuk mendapat kepercayaan apa-apa.”
Suaranya agak gemetar waktu ia bicara. Selan­jutnya aku bertanya, siapakah orang yang baik budi itu dan di mana ia tinggal, karena aku ingin tahu siapakah gerangan orang yang baik hati itu sehingga ia turut dipuji oleh orang yang utang kepadanya.
’’Namanya Khoon Luang”, jawabnya, ”dan rumahnya di daerah selatan Bangkok.”
Waktu mendengar nama Khoon Luang disebut, lalu kubertanya: ’’Apakah ia seorang yang tubuhnya kecil, kulitnya agak bersih, rambutnya sudah menipis dan selalu tersenyum? Dan sekarang seorang pensiunan pegawai negeri?”
”Ya betul, itulah orangnya”, jawabnya, ’’saya malu sekali dan takut untuk menemuinya, karena saya tidak dapat memegang janji. Apakah paman mungkin dapat memberi nasehat kepadaku, sehingga aku dapat keluar dari kesulitan ini?”
Melihat wajahnya yang sedih itu, aku merasa kasihan sekali dan besar hasratku untuk menolongnya, karena ia berlaku jujur dan menceritakan semuanya kepadaku tanpa menyembunyikan apapun. Lalu aku berkata: ’’Sesungguhnya kesalahan berpangkal pada pesta yang mewah itu, tetapi memang ada jalan untuk memperbaikinya. Kalau aku memberi nasehat kepadamu, apakah kamu mau melaksanakannya?” ’’Saya mengenal paman sudah lama”, jawabnya dengan wajah yang menunjukkan pengharapan, ’’karena itu saya mohon diberitahukan apa yang saya harus lakukan, karena saya pandang paman sebagai ayah saya sendiri.”
Kata-katanya itu memberikan perasaan hangat dalam hatiku dan berkata: ’’Terima kasih atas peng­hormatanmu. Inilah nasehatku. Pertama, salah sekali untuk menghindari orang yang meminjam­kan uang kepadamu, karena dengan berbuat demi­kian engkau telah melakukan kesalahan besar. Eng­kau harus percaya kepada kenyataan. Kau harus berani menghadapi kenyataan dengan hati yang tabah, misalnya dalam persoalan dengan Khoon Luang, orang yang menjungjung tinggi kejujuran. Ia meninggalkan jabatannya di Pemerintahan ka­rena usia tua dan kesehatan yang kurang baik. Aku kenal dengannya sejak ia masih menjadi peja­bat pemerintah. Kau harus berterima kasih kepada­nya bahwa ia telah meminjamkan kau uang. Biar­pun uang itu telah digunakan secara salah, kau masih harus berhutang budi kepadanya. Karena itu kau harus berlaku jujur kepadanya. Pergilah menemuinya dan katakan dengan jujur apa yang sebenarnya telah terjadi. Kau harus memberikan gambaran yang benar tentang keadaanmu. Setelah mendengar ceritamu aku merasa pasti, bahwa ia akan mengerti dan menaruh kasihan terhadapmu. Kau juga harus memberitahukannya dan berjanji untuk membayar utangmu dengan mencicil dan kau harus sering-sering datang ke rumahnya untuk menjenguknya. Jangan lupa menawarkan untuk melakukan pekerjaan apa saja yang dapat kau kerjakan, meskipun pekerjaan itu mungkin pekerjaan kasar. Kalau kau pikir kau dapat lakukan semua ini, jangan ragu-ragu dan kerjakanlah.”
Setelah berselang beberapa saat aku ulangi per­tanyaanku. Setelah berpikir ia menjawab: ’’Nasehat paman sebenarnya bertentangan sekali dengan pendapatku, karena saya justru berpikir untuk meng­hindarinya sampai saya dapat mengumpulkan uang untuk membayarnya sekaligus. Tetapi dengan me­lakukan gagasan di atas hatiku rasanya tidak tentram, selalu gelisah dan ini membuatku menderita sekali. Sekarang saya akan lakukan apa yang paman nasehati, karena mungkin hal ini akan membuat hatiku agak tentram.”
Pada saat itu seorang pelayan membawa makanan yang telah dipesan oleh kawan-kawanku, dan sete­lah memberi hormat kepadaku anak muda itu lalu kembali ke mejanya.
Setelah kejadian itu beberapa tahun telah lewat.
Pada satu hari ketika seorang pejabat dipera­bukan, aku kebetulan bertemu dengan Khoon Luang dan karena lama tidak bertemu, kami me­ngobrol ke barat dan ke timur. Aku menanyakan tentang anak muda yang pernah berutang kepada­nya. Jawabannya a dalah sebagai berikut: ’’Berbicara mengenai anak muda itu, aku heran sekali dengan kelakuannya. Beberapa waktu yang lalu ia memin­jam uangku dalam jumlah yang besar, dan setelah membayar kembali satu jumlah yang kecil ia lalu menghindari diri untuk bertemu denganku.
Tetapi pada suatu hari tiba-tiba ia datang menemui aku dan mengatakan bahwa ia merasa berhutang budi sekali kepadaku karena telah meminjamkan uang kepadanya pada waktu ia menikah; tetapi karena ia sekarang tidak punya uang, maka untuk membayar bunganya ia ingin bekerja untukku dan katanya ia akan melakukan apa saja yang aku perintahkan. Waktu aku mendengar tawarannya, timbul rasa kasihan dalam hatiku, karena aku seringkali meng­alami bahwa banyak orang yang utang dan tidak sanggup membayar lalu tidak muncul-muncul lagi. Dan kalau kebetulan bertemu, mereka hanya ber­janji saja untuk membayar kembali utangnya.
Sejak hari itu, kalau ia pulang dari pekerjaannya ia sering datang ke rumahku untuk melakukan peker­jaan di rumahku dan sewaktu-waktu ia juga membawa istrinya untuk melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh wanita. Istriku menaruh kasihan kepada istrinya, karena ia masih mau melaku­kan pekerjaan di rumahku, padahal ia sudah hamil tua. Istriku lalu mencarikan tempat di salah satu rumah sakit untuk calon ibu itu, di mana ia dapat bersalin kalau waktunya telah tiba.
Saudara tentu tahu, bahwa kalau orang baik hati terhadap kita, kitapun harus membalasnya, dengan baik hati pula.”
Aku merasa gembira mendengar kabar baik itu dan selanjutnya bertanya: ’’Bagaimana dengan utangnya? Apakah ia telah membayar lunas?”
’’Belum”, jawab Khoon Luang, ”hanya tinggal sedikit lagi dan aku tidak ambil pusing apakah ia akan membayar kembali atau tidak, sebab orang baik seperti dia itu jarang sekali kita ketemukan. Sejak waktu itu aku menganggap suami-istri itu se­bagai anggota keluargaku dan aku sayang kepada mereka karena kejujurannya. Sekarang mereka telah mempunyai anak laki-laki yang mungil dan istriku sayang sekali kepada anak itu. Untuk suaminya aku telah mencarikan dua pekerjaan borongan dan menghubunginya 'dengan beberapa orang lagi.”
Aku makin gembira, karena nasehatku ternyata telah berhasil baik, bahkan di luar dugaanku semula.
Aku lalu berkata: ’’Betul-betul luar biasa dan beruntung sekali baginya, bahwa ia telah bertemu dengan seorang tuan uang yang begitu baik hati seperti saudara. Biasanya tuan uang tidak pernah mau mengerti keadaan orang yang berutang ke­padanya. Ia hanya memikirkan, bagaimana ia harus dapat kembali uangnya berikut bunganya dengan cara apapun juga. Dan hal ini seringkali menim­bulkan salah pengertian dan percekcokkan. Aku kira hal yang saudara lakukan merupakan satu di dalam seribu yang berakhir dengan kebaikan bagi kedua belah pihak.”
”Ah, aku pikir bahwa kedua belah pihak harus bersikap jujur satu sama lain, sebab kalau tidak ada saling pengertian yang baik, tidak mungkin­lah tercapai penyelesaian yang baik, misalnya kalau satu pihak saja yang bersikap jujur. Seperti juga ada pepatah yang berbunyi, kalau kita menepuk dengan sebelah tangan maka ia tidak akan menge­luarkan suara. Bukankah demikian? Pada usiaku yang sekarang ini kupikir bahwa akhir hidupku sudah tidak lama lagi. Oleh karena itu aku tidak begitu menghiraukan uang dan merupakan per­buatan yang tidak pantas untuk memeras uang dari orang lain. Sebaliknya kalau aku menolong orang yang berada dalam kesulitan, maka perbuatan baik itu di kemudian hari pasti akan memberikan buah yang baik.”
Pembicaraan kami yang mengesankan terhenti, waktu kami mendengar suara musik Thai berbunyi, yang menandakan bahwa saat dari perabuan akan segera dimulai. Semua hadirin berdiri dan membuat satu barisan yang berjalan menuju ke peti jenazah untuk melakukan penghormatan terakhir. Setelah itu kami bubar dan pulang ke rumah masing-ma­sing.
Kira-kira delapan atau sembilan bulan setelah pertemuan di atas, pada suatu pagi di harian Tahun Baru dan waktu aku sedang duduk di depan rumah­ku, aku melihat sebuah mobil masuk dari pintu depan dan orang yang mengendarai mobil adalah anak muda yang telah mengikuti nasehatku pada beberapa tahun yang lalu. Setelah mobilnya ber­henti, ia turun dengan membawa sebuah bungkusan besar. Aku mempersilakan ia masuk ke kamar tamu. Setelah melakukan penghormatan terhadap diriku, ia lalu berkata: ’’Saya datang untuk menghaturkan terima kasih, paman.”
’’Mengapa kau harus menghaturkan terima ka­sih?” tanyaku keheran-heranan, ”dan mengapa kau membawa barang sedemikian banyaknya?”
”Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan Selamat Tahun Baru kepada paman dan semoga tahun ini membawa banyak rezeki dan banyak ke­bahagiaan. Istri dan anak saya sebenarnya juga ingin turut untuk memberi hormat kepada paman, tetapi hari ini Bapak Khoon Luang menyelenggarakan pesta untuk anak-anaknya di rumah, sehingga istri ku harus pergi ke sana untuk membantu. Tetapi dalam beberapa hari ini mereka pasti akan datang menemui paman.”
Dengan agak terharu aku berkata: ’’terima kasih, kau membuat mereka repot saja. Sekarang, coba ceritakan tentang penghidupanmu dan bagaimana dengan pekerjaanmu.”
”Nah inilah yang menyebabkan saya datang ke sini untuk menghaturkan terima kasih atas nasehat yang paman telah berikan kepadaku beberapa tahun yang lalu. Sejak saya mengikuti nasehat paman, saya merasa lebih bahagia, karena Bapak Khoon Luang dan istrinya telah memperlakukan istri dan saya sendiri dengan penuh manis budi. Bapak Khoon Luang telah menolong saya untuk mendapat dua pekerjaan memborong bangunan dan selain dari itu beliau pula yang membiayai kedua pekerjaan tersebut. Setelah kedua pekerjaan selesai saya mendapat untung yang lumayan, sehing­ga dapat melunasi semua sisa utang saya. Sekarang saya bangga dapat berkata bahwa saya tidak lagi diganggu oleh pikiran-pikiran yang ruwet dan me­rasa benar-benar bahagia. Inilah yang membuat saya selalu ingat kepada paman dan baru sekarang saya dapat berkunjung, biarpun sebenarnya saya sudah lama ingin datang ke sini. Akhir-akhir ini saya selalu sibuk saja dan karena hari ini libur, maka saya gunakan kesempatan ini untuk datang berkunjung ke rumah paman.”
’’Bicara sejujurnya, aku tidak menolong kau apa-apa”, jawabku, ’’hanya memberimu nasehat yang aku kira dapat menolongmu. Pada hakekatnya, orang yang berbuatlah yang akan mendapat kebaikan, bukan orang yang sekedar memberi nasehat. Kau telah melaksanakan nasehatku dan memperoleh hasil yang baik sekali, bahkan melampaui perkiraan­ku semula. Engkau harus selalu ingat, bahwa kesu­litan biasanya membayangi penghidupan kita. Bukankah Sang Buddha pernah bersabda, bahwa ke­sulitan apapun yang kita alami, kita sekali-kali tidak boleh berputus asa. Janganlah lari kalau kesulitan itu timbul. Kesulitan justru harus dihadapi dengan hati yang tabah, sebab dengan hati yang tabah diser­tai kesabaran, keuletan dan kebijaksanaan, setiap kesulitan cepat atau lambat akan dapat di atasi. Dan inilah terbukti dengan dirimu.”
Dikutip dari Buku  PERBUATAN BAIK (KUSALA KAMMA)
Alihbahasa : Pandita S. Widyadharma
Cetiya Vatthu Dhaya - 1969