MAKNA PARITTA
Apakah
manfaat paritta? Bagaimana dan darimana paritta‐paritta
berasal? Apa arti paritta dalam keberadaan tingkat spiritual kita? Dan mungkin,
pertanyaan penting yang banyak ditanyakan adalah : Apakah terdapat kebenaran
dalam paritta? Jika ada, pada bagian mana dari Tripitaka dapat kita temui jawaban
cemerlang terhadap pertanyaan‐pertanyaan ini?
Bukanlah
suatu hal yang mengejutkan bahwa banyak orang, bahkan yang berada dalam lingkaran
komunitas Buddhis, menghina dan mengejek orang yang melaksanakan pembacaan
paritta sebagai suatu bentuk praktek atau sebagai sebuah alat untuk memberikan
pelayanan kepada orang banyak dan umat Buddhis. Dalam sebuah kehidupan sosial
dan komunitas yang padat akan intelektual, dan banyak menderita dari kebiasaan‐kebiasaan
yang telah ada, opini‐opini keras dan
prasangka‐prasangka, serta pemikiran yang terlalu
menggunakan rasionalitas, Makna Paritta tidaklah heran karenanya bila banyak
orang yang buta dan tuli akan makna dan nilai dari paritta.
Kumpulan‐kumpulan dari
Lima Nikāya
Sebelum
kita memeriksa dengan cermat pertanyaan‐pertanyaan
di atas, marilah kita mempelajari beberapa macam kategori‐kategori
yang terdapat dalam buku Paritta. Di masa‐masa
lampau, para Arahat mengumpulkan beberapa Sutta dari Sutta Pitaka dan
menyatukannya menjadi sebuah buku Paritta tersendiri yang disebut,
“Catubhanavara Pali”. Dalam bahasa Sinhala/Sri Langka disebut sebagai “Mahapirith
Potha”. Dalam kumpulan‐kumpulan Paritta ini,
terdapat 29 bagian mulai dari Saranagamana hingga Atanatiya Sutta – kesemuanya tercantum
atau terdapat dalam “Catubhanavara Pali” ini. Sutta‐sutta
ini, yang dikumpulkan dari Sutta Pitaka, adalah sebagai berikut:
1). Dīgha nikāya – Mahāsamaya‐Atanatiya
2). Majjhima nikāya – Isigili Sutta‐Sacca
Vibhanga Sutta
3). Samyutta nikāya – Dhajagga Sutta, Bojjhanga Suttas, Dhamma
Cakkappavattana Sutta
4). Anguttara nikāya – Dasadhamma Sutta, Khandha Paritta, Girimananda
Sutta
5). Khuddaka nikāya – Mora Paritta, Mangala, Ratana, Karaniya Metā,
Parabhava, Alavaka dan Vasala Sutta.
Dalam
buku Maha Paritta, terdapat berbagai macam syair yang digubah oleh para Arahat
dan Guru guru masa lampau. Karenanya tidaklah heran apabila menemukan berbagai
tipe syair‐syair dan prosa‐prosa
yang berbeda di dalamnya.
Sudah
merupakan pengetahuan yang umum dalam lingkungan Umat Buddha, bahwa Paritta‐paritta
diucapkan oleh Sang Buddha sepanjang masa hidup Beliau. Berbagai
kejadian/peristiwa menarik yang terjadi dalam kehidupan sehari‐hari
Beliau menjadi penyebab munculnya berbagai Parittta yang kemudian dibabarkan
oleh Sang Buddha untuk tujuan perlindungan –tidak hanya dalam kehidupan
sekarang, akan tetapi juga dalam kehidupan berikutnya. Hal ini Makna Paritta terutama
terjadi, ketika masyarakat pada zaman kehidupan Sang Buddha, mengalami penderitaan
karena penyakit‐penyaki, wabah penyakit/epidemi, kelaparan yang merajarela,
dan bahkan bencana yang disebabkan oleh pengaruh dari makhluk‐makhluk
halus yang jahat. Karena itu, bukanlah suatu takhayul atau pun kepercayaan
belaka, bahwa pembacaan Sutta‐sutta ini
diketahui dapat digunakan untuk menangkis malapetaka dan memberikan pertolongan
kepada rakyat atau orang‐orang biasa yang dirundung oleh kemalangan.
Kekuatan Paritta
Contoh
yang sempurna dari Sutta‐sutta yang diketahui
oleh umum dan dihapalkan dengan penuh khidmat adalah Ratana Sutta. Bila Sivali
Paritta seringkali diucapkan untuk memperoleh berkah keuntungan dan kemakmuran,
maka Ratana Sutta seringkali digunakan dan dibacakan untuk mengatasi/menghindari
kesulitan‐kesulitan perorangan maupun pengaruh‐pengaruh
jahat. Diantara umat Buddha yang wanita, Angulimala Paritta dikenal karena
pengaruh‐pengaruhnya yang sangat kuat untuk
membantu kelahiran, terutama sekali digunakan untuk mengatasi bahaya‐bahaya
komplikasi pada saat melahirkan. Untuk tujuan ini Paritta biasanya dibacakan
sebanyak 108 kali di atas semangkuk air, yang kemudian diberikan kepada sang calon
itu.
Kritikan
dan ejekan terhadap praktek‐praktek religius
pembacaan paritta tanpa mengerti pendekatan psikologi mereka atau asal mula
kebiasaan ini, hanyalah akan memperlihatkan sebuah ketidaktahuan yang terang‐terangan
dan kebodohan. Dengan menyangkal arti penting atau berkah yang terdapat didalam
paritta‐paritta ini sama artinya dengan
menyangkal kreatifitas dan intuisi terdalam yang berada di dalam pikiran kita.
Dengan melakukan sendiri/mengalami sendiri membaca Paritta dengan penuh
kesungguhan dan keyakinan akan memberikan pengaruh‐pengaruh
khusus terhadap kerangka dasar berpikir kita. Mengubah kerangka berpikir dari
dalam batin dan pembacaan paritta yang dilakukan secara terus‐menerus
dapat menghasilkan suatu tingkat konsentrasi yang dapat membawa kita pada
dimensi kesadaran yang lebih tinggi dan mempengaruhi kekuatan‐kekuatan
baik yang berada di luar diri kita. Karenanya bukanlah suatu hal yang sia‐sia
sebagaimana yang ada dalam contoh yang pertama, khususnya bagi orang‐orang
barat. Di negara‐negara Buddhis
khususnya di Sri Langka, pembacaan Paritta‐paritta
merupakan sebuah peristiwa besar. Sebuah pendopo (paviliun) atau Mandapa
dibangun dengan penuh ketelitian dan kesabaran di salah satu tempat upacara.
Pendopo bersegi delapan dengan sebuah canopy (tudung) putih ini dihias indah dengan bunga‐bunga
dan dedaunan sirih, demikian pula dengan dinding‐dinding disekelilingnya.
Di dalam pendopo yang berfungsi sebagai tempat duduk para bhikkhu inilah
upacara pembacaan paritta diadakan –yang mungkin berlangsung selama satu malam,
3 malam, atau bahkan selama 7 malam.
Pembacaan Paritta Sepanjang Malam
Minimal
8 orang bhikkhu senior diperlukan untuk mengadakan sebuah Upacara Pembacaan Paritta
Sepanjang Malam. Upacara dimulai dengan sebuah prosesi yang dipimpin oleh para
bhikkhu, sambil membawa Buku Paritta dan Relik‐relik
Buddha. Sejumlah besar umat akan mengikuti prosesi ini hingga ke Mandapa.
Sesampai di Mandapa, diadakanlah “Buddha Puja” secara tradisional yaitu mempersembahkan
bunga kepada Sang Tiratana (Buddha, Dhamma, Sangha), dan menyalakan lampu-lampu
minyak di sekeliling pendopo.
Sebuah
mangkok berisi air kemudian ditempatkan di Mandapa, di depan para Bhikkhu yang telah
duduk. Seutas benang diikatkan pada mangkok air tersebut. Dengan benang yang
sama pula, Buku Paritta dan relik‐relik
Sang Buddha dililitkan dan kemudian ujung benang ini dipegang oleh para Bhikkhu.
Seutas benang lainnya kemudian dipegang oleh para umat. Mereka diminta untuk
memegang benang ini sepanjang Pembacaan Paritta ini berlangsung. Bagi umat
awam, dipahami bahwa benang yang dipegang ini berfungsi sebagai sebuah medium
dalam menyebarkan getaran pengaruh-pengaruh dari Pembacaan Paritta. Dengan
sikap yang tenang, para bhikkhu mengadakan upacara tersebut dengan
batin/pikiran yang dipenuhi oleh ‘saddha’ dan cinta kasih. Sesungguhnya dalam
cara yang tepat inilah para umat akan memperoleh berkah penuh dari mengadakan
sebuah Upacara Pembacaan Paritta.
Pada
saat awal dan akhir dari Pembacaan Paritta Sepanjang Malam, merupakan suatu hal
yang biasa bahwa semua bhikkhu harus berada di dalam Mandapa untuk membacakan
Sutta‐sutta secara bersama‐sama.
Sepasang bhikkhu yang ditunjuk, kemudian akan membacakan Sutta‐sutta
hingga pada Atanatiya Sutta. Adalah sebuah tradisi bahwa Atanatiya Sutta harus
dibacakan dengan suara keras oleh empat orang Bhikkhu secara bergantian. Hingga
akhirnya, pada saat subuh menjelang, pembacaan paritta terakhir akan dilakukan
oleh semua bhikkhu yang berkumpul tersebut. Kegiatan yang terakhir adalah
pemercikan Air Paritta dan Benang Suci.
Sutta‐sutta
seperti Mangala Sutta, Ratana Sutta (Khotbah tentang Permata‐permata)
dan Metta Sutta (Khotbah tentang cinta kasih) sangat populer di kalangan umat
Buddhis dan seringkali dibacakan dengan penuh bakti dan keyakinan. Semua Sutta memiliki
asal mula masing‐masing pada masa kehidupan
Sang Buddha. Khotbah‐khotbah atau Sutta-sutta
ini merupakan hasil yang terjadi secara alami dari berbagai tindakan Sang
Buddha dalam menyelesaikan permasalahan‐permasalahan
yang Beliau jumpai sepanjang masa hidupNya, dan orang‐orang
akan memperoleh keuntungan‐keuntungan besar
dalam melaksanakan nasehat Sang Buddha serta akan memperoleh perlindungan
sebagai buah dari kebajikan‐kebajikan yang
terkandung didalamnya. Khotbah‐khotbah ini
merupakan hasil yang terjadi secara alami dari berbagai kejadian yang mempengaruhi
Sang Buddha dan dalam proses campur tangannya, orang‐orang
memperoleh manfaat‐manfaat yang luar biasa
berupa nasehat yang bisa dijalankan dan memperoleh perlindungan sebagai hasil
dari kebajikan‐kebajikan yang terkandung didalamnya.
Ratana Sutta
Ratana
Sutta adalah sebuah contoh yang sangat bagus, diantara khotbah‐khotbah
seperti yang digambarkan diatas, yang memiliki asal mula sendiri pada masa Sang
Buddha hidup di kota Vesali yang makmur. Sutta ini dianggap sebagai sebuah
Sutta yang memiliki kekuatan besar dalam menolong penduduk Vesali menanggulangi
bencana kelaparan, makhluk-makhluk halus jahat, dan malapetaka. Bahkan hingga sekarang,
umat Buddhis di seluruh dunia memberikan penghormatan besar terhadap Sutta ini,
membacanya setiap hari dan memperoleh berkah serta perlindungan darinya dalam
kehidupan sehari‐hari.
Sutta
ini muncul pada suatu masa, ketika kota makmur Vesali berada pada suatu kondisi
kemerosotan dimana penduduknya terancam oleh bencana kelaparan, makhluk‐makhluk
halus jahat, serta wabah penyakit.
Malapetaka ini memuncak hingga banyak kematian terjadi dan diperburuk dengan
para makhluk‐makhluk halus jahat yang selalu menghantui
karena tertarik pada mayat‐mayat yang membusuk.
Rasa panik menyerang kota. Pada masa kritis tersebut, dua orang bangsawan
Licchavi beserta sekelompok besar pengikutnya pergi menemui sang Buddha yang
sedang berdiam di Rajagaha dengan tujuan meminta pertolongannya.
Sang
Buddha, setelah mendengar dukacita dan keputusasaan mereka, dengan penuh
simpati dan belas kasih menerima undangan bangsawan tersebut. Sang Buddha
beserta serombongan besar Bhikkhu segera meninggalkan Rajagaha menuju Vesali. Dikatakan
bahwa Yang Mulia Ananda Thera ikut dalam rombongan ini. Setelah menyeberangi
sungai Gangga, mereka akhirnya mencapai kota. Sebuah fenomena yang aneh
terjadi. Turunlah hujan yang amat deras menyapu dengan bersih mayat‐mayat
yang telah membusuk dari kota dan menghilangkan bau udara yang tidak sedap.
Kemudian Sang Buddha dengan penuh welas asih membacakan Ratana Sutta untuk penduduk
kota Vesali. Yang Mulia Ananda Thera diinstruksikan untuk mengulang membaca
Ratana Sutta untuk penduduk di seluruh penjuru kota Vesali. Air yang telah
diberkahi kemudian dipercikkan dari mangkuk milik Sang Buddha. Oleh karena
kekuatan kebahagiaan Sutta, semua makhluk halus jahat meninggalkan kota dan
penduduk segera terbebas dari pengaruh jahat dan keji mereka. Berakhirlah
bencana dan malapetaka pada kota tersebut.
Pemberkahan
dan perlindungan yang berasal dari Ratana Sutta yang dibacakan pada masa Sang Buddha
masih hidup, tetap dapat digunakan hingga saat ini. Ratana Sutta yang diuraikan
oleh Sang Buddha kepada para penduduk Vesali yang sedang berkumpul di Balai
Umum sebenarnya telah diuraikan secara persis sebanyak tak terhingga kali oleh
Buddha Buddha sebelumnya. Makna dan arti sutta ini telah dijelaskan dalam
berbagai pertemuan oleh komunitas Bhikkhu pada masa ini dalam berbagai
kesempatan. Umat Buddhis terus memperoleh manfaat dari pembacaan dan praktek
ajaran‐ajaran yang terdapat dalam Sutta ini.
Istilah
Pali ‘Ratana’ dikenal sebagai ‘Permata Mulia’. Dikenal demikian tertuju kepada
Buddha, Dhamma, dan Sangha. Kumpulan kebajikan‐kebajikan
dari Tiga Mustika ini mengundang para bijaksana untuk mempraktekkan ajaran
sebagai sebuah alat untuk menyeberangi lautan kehidupan dan kematian, menuju
pada tujuan utama, Nibbana.
Dalam
Permata Mulia –termuat berbagai sifat‐sifat
bajik yang dapat dipraktekkan para bijaksana dalam kehidupan sehari‐hari
mereka. Adalah melalui pengendalian nafsu pikiran hingga sampai pada gerbang
ketenangseimbangan sebagai buah pikiran konsentrasi, dimana jalan kematian
telah dihilangkan setahap demi setahap. Melalui perolehan insight dengan cara
setahap demi setahap menghapus kepercayaan akan adanya roh yang kekal, keragu-raguan,
dan kemelekatan pada ritual dan upacara, para bijaksana telah sepenuhnya
terbebaskan dari empat alam menyedihkan. Makhluk bumi dan makhluk angkasa
diundang untuk membagikan berkah dan kebahagiaan dari Khotbah Ratana. Dikatakan
bahwa bahkan Raja para dewa, Sakka, mengulang tiga syair terakhir dari Sutta
tersebut dan ikut mendatangi Sang Buddha bersama para pengikut nya di Vesali
pada saat khotbah penutupan terakhir yang diselenggarakan di Balai Umum.
Karaniyamettā Sutta
Sutta
lain yang sama terkenal dan pentingnya adalah Mettā Sutta (Khotbah Cinta
Kasih). Khotbah ini dikenal secara luas tidak hanya sebagai sebuah sumber perlindungan
akan tetapi juga sebagai sebuah objek meditasi. Manfaat dari praktek cinta
kasih sangatlah tidak terbatas. Ia tidak hanya membawa berkah bagi diri sendiri
akan tetapi bagi semua makhluk di alam semesta.
Khotbah
Cinta Kasih diajarkan oleh Buddha kepada 500 orang bhikkhu setelah banyak
diantara bhikkhu tersebut mengalami berbagai kesulitan ketika sedang berlatih
meditasi di tengah‐tengah lingkungan yang
tidak menyenangkan dalam sebuah hutan. Pada saat yang kedua, para Bhikkhu
mendekati tempat yang sama dan melanjutkan meditasi, mereka tidak lagi diganggu
oleh para dewa. Tidak seperti sebelumnya, para dewa yang terganggu karena para
Bhikkhu mengambil tempat mereka, kemudian merasa senang karena vibrasi dari
pancaran cinta kasih dan niat baik yang tersebar di penjuru udara.
Dalam
beberapa bagian dari Sutta tersebut, dapat ditemukan kebajikan‐kebajikan
yang hendaknya dipraktekkan oleh siapa saja yang bersungguh‐sungguh
ingin menjalani kehidupan spiritual di tengah‐tengah
kerja keras dan perjuangan demi kehidupan bermateri. Hal ini meliputi pikiran,
ucapan, dan tindakan benar, tanpa niat jahat, ketidakjujuran, dan kemarahan, melainkan
diisi dengan niat baik dan cinta kasih. “Bagaikan seorang ibu yang
mempertaruhkan jiwanya melindungi anaknya yang tunggal, demikianlah hendaknya
seseorang memancarkan kasih sayangnya tanpa batas terhadap semua makhluk”.
Dikatakan
bahwa selama masa Vassa, para bhikkhu yang pada mulanya mengalami kesulitan-kesulitan
dalam bermeditasi sebagai akibat dari gangguan para dewa, mencapai tingkat
arahat dengan bantuan berkah dari Karaniyametta Sutta.
Sebuah
kecaman pedas juga telah dilontarkan kepada para bhikkhu yang menggunakan
Parittaparitta, atau membagikan pasir perlindungan, benang dan objek‐objek
penghormatan lainya untuk tujuan perlindungan dan berkah. Bahkan para sarjana Buddhis,
ahli teori, dan para intelektual, menolak bahwa barang dapat diisi dengan energi‐energi
psikis – walaupun kenyataannya adalah bahwa hal‐hal
ini telah didemontrasikan melalui eksperimen dalam psychometry.
Telapatta Jātaka
Dalam
Telapatta Jātaka, Sang Buddha menceritakan sebuah kisah, mengenai salah satu kelahiran
Beliau di masa lampau, ketika Beliau dilahirkan sebagai seorang pangeran,
bagaimana ia terlindungi dari pengaruh‐pengaruh
jahat raksasa oleh pasir perlindungan dan benang yang diberikan oleh seorang
Pacceka Buddha kepadanya. Dan dengan bantuan benda‐benda
ini bagaimana ia akhirnya mencapai tempat tujuan dan menjadi seorang raja, dimana
kelima temannya terbunuh dalam perjalanan.
Telepatta
Jataka diceritakan oleh Sang Buddha ketika sedang berdiam di sebuah hutan dekat
kota Desaka dalam kerajaan Sumbha. Kisah nya adalah sebagai berikut:
“Pada
suatu waktu, ketika Brahmadatta berkuasa di Benares, Sang Bodhisatta yang
merupakan putra termuda yang ke‐seratus dari
sang raja, tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa. Pada saat itu, terdapatlah
Pacceka Buddha yang dimohon untuk datang menerima makan siang mereka di istana,
dan sang Bodhisatta melayani mereka.
Dengan
memiliki begitu banyak saudara, sang Bodhisatta merasa cemas apakah ia akan
dapat memperoleh mahkota raja dari ayahnya dalam kota tersebut. Dia kemudian
memutuskan untuk bertanya kepada para Pacceka buddha mengenai nasib nya dan untuk
meminta nasehat‐nasehat mereka mengenai
hal ini.
“Ketika
pacceka buddha tiba di istana untuk rutinitas sedekah mengelilingi kota mereka,
sang Bodhisatta mengurusi kebutuhan mereka, dan sambil melakukan hal ini, ia
menanyakan kepada mereka dengan sebuah pembukaan yang sopan.
Dan
Buddha menjawab, “Pangeran, kamu tidak akan pernah menjadi raja di kota ini.
tetapi di Gandhara, dua ribu liga dari sini, berdirilah kota Takkasila. Jika
kamu mencapai kota tersebut dalam tujuh hari maka kamu akan menjadi raja di
sana.”
Meskipun
demikian, mereka memperingatkan sang Bodhisatta bahwa jalan menuju hutan besar mengandung
resiko yang besar. Raksasa‐raksasa yang memakan
daging manusia sangat banyak dan mereka telah memasang perangkap‐perangkap
yang mirip dengan perkampungan maupun perumahan di sepanjang jalan. Sang Buddha
menambahkan bahwa terhadap sedikit harapan untuk menghindari rute ini, akan
tetapi hal ini akan mengambil jarak dua kali lebih jauh yaitu dengan memutari
hutan sehingga si pangeran tidak akan pernah tepat waktu untuk sampai di
Takkasila.
Setelah
mendengarkan peringatan dan nasehat Pacceka Buddha, si pangeran mendapatkan sesuatu
dari Pacceka Buddha untuk memastikan keselamatan dan keberhasilannya dalam
perjalanan. Kemudian, setelah memperoleh seutas benang dan pasir berkah, sang
pangeran memohon pamit kepada Buddha dan kemudian kepada orang tuanya. Mendengar bahwa sang pangerean pergi untuk berjuang
menjadi raja di Kota Takkasila, lima orang dari teman‐teman
nya memohon untuk diperbolehkan ikut dengannya.
“Kamu
mungkin tidak akan dapat ikut dengan saya,” jawab sang Bodhisatta; “seperti
yang telah dikatakan kepada saya, bahwa jalan yang akan ditempuh penuh dengan
para raksasa yang memikat indera manusia, dan menghancurkan siapa saja yang mengalah
pada bujuk rayuan mereka. Sangatlah besar bahaya yang akan dihadapi, tetapi aku
akan tetap pergi sendiri,” dia memperingatkan.
Kecantikan Para Raksasa Pemakan
Manusia
Mengesampingkan
peringatan sang pangeran, kelima orang teman nya tetap ikut dalam perjalanan tersebut,
dan segera mereka semua berangkat menuju ke Kota Takkasila. Mereka,
bagaimanapun juga berjanji kepada sang pangeran bahwa mereka tidak akan menoleh
pada bujuk rayu ancaman para raksasa dan jatuh ke dalam perangkap mereka.
Segera
mereka menemui para raksasa yang telah menunggu di jalan dalam desa‐desa
mereka. Satu dari lima teman sang Bodhisatta, seorang pencinta kecantikan,
terpikat pada kecantikan si raksasa dan berjalan di bagian paling belakang dari
rombongan.
“Mengapa
kamu berjalan di belakang?” tanya sang bodhisatta. Si pecinta kecantikan
memberikan alasan bahwa kakinya terluka dan meminta untuk beristirahat di
antara para raksasa tersebut.
Sebagai
hasil dari menuruti inderanya, si pecinta kecantikan akhirnya dimakan oleh si
raksasa, yang telah menggodanya. Segera, satu demi satu dari teman‐teman
sang bodhisatta jatuh kedalam perangkap para raksasa karena kelemahan penguasaan
akan indera‐indera mereka. Mereka adalah para
pecinta musik, pecinta hal‐hal yang berbau
harum, pecinta makanan, dan terakhir pecinta kenyamanan –kesemua dari mereka tewas
dan menjadi korban dari para raksasa.
Hanya
tinggal sang Bodhisatta sendiri yang meneruskan perjalanan. Salah seorang dari
raksasa tersebut terus mengikuti sang Bodhisatta, dengan sangat percaya bahwa
ia dapat memakan sang Bodhisatta nantinya. Sepanjang jalan, si raksasa membuat
orang‐orang di sepanjang jalan yang dilewati sang
Bodhisatta percaya bahwa ia adalah istri dari sang Bodhisatta. Dia bahkan pura‐pura
hamil dan kemudian terlihat seperti wanita yang telah melahirkan seorang anak.
Dengan menggendong seorang anak di pinggul, dia mengikuti sang Bodhisatta. Pada
setiap kesempatan, sang Bodhisatta menolak tuduhan-tuduhan dan menunjukkan
bahwa wanita tersebut adalah seorang raksasa.
Ketika
tiba di gerbang kota Takkasila, sang Bodhisatta memasuki sebuah rumah peristirahatan dan duduk. Si raksasa, setelah
memutuskan untuk memakan sang pangeran, mengikutinya menuju ke rumah
peristirahatan tetapi ia tidak dapat masuk karena kegunaan dan kekuatan dari
benang dan pasir berkah yang diberikan oleh Pacceka Buddha. Karenanya si
raksasa menampakkan dirinya dalam bentuk kecantikan yang luar biasa dan berdiri
di ambang pintu.
Kemudian
terjadilah, suatu waktu ketika Raja Takkasila sedang dalam perjalanannya menuju
ke taman indah miliknya, beliau bertemu dengan raksasa yang sangat cantik ini.
Terpikat pada kecantikan dan kecintaannya, sang raja mengirimkan seorang pelayannya
untuk mencari tahu apakah raksasa tersebut telah menikah atau belum.
“Iya,
Tuan, suami saya sedang duduk di balik bilik tersebut,” si raksasa menjawab si
pelayan.
“Dia
bukan istriku,” tolak sang Bodhisatta. “Dia adalah seorang raksasa dan telah
memakan lima orang teman saya.”
Dan
seperti sebelumnya, si raksasa berkata, “Oh Tuanku, seorang pria yang baik,
kemarahan akan menyebabkan laki‐laki mengucapkan
apa saja yang datang dari kepala mereka.”
Sang
raja meskipun telah mendengar informasi tersebut dari pelayannya, tidak
menanggapi ucapan sang Bodhisatta sebagai sesuatu yang serius dan mengutus
pelayannya untuk menjemput si raksasa. Sang raja mendudukan si raksasa di atas punggung
seekor gajah dan membawanya pulang ke istana setelah menjalani prosesi yang
khidmat mengelilingi kota. Saking terlenanya terhadap bujuk rayu si raksasa,
sang raja akhirnya menyerahkan kekuasaan mengenai segala sesuatu di dalam
istana dan mengijinkannya untuk memerintah. Suatu malam, ia mencuri keluar dari
istana sementara sang raja sedang tertidur lelap dan menuju ke kota bersama serombongan
raksasa lainnya. Dalam perjalanan kembali menuju ke istana, melahap semua yang
ada di sepanjang perjalanan mereka, bahkan tidak meninggalkan seekor burung
atau seekor anjing. Si wanita raksasa itu sendiri membunuh dan memakan sang
raja, hanya meninggalkan tulang‐tulangnya.
Keesokan
harinya, rakyat kota menemukan bahwa pintu‐pintu
gerbang tertutup tatkala mereka penuh dengan tangisan ketidaksabaran mereka.
Ketika memasuki istana, mereka menemukan tulang‐tulang
manusia berserakan di sekitarnya.
Sementara
itu, sang Bodhisatta yang sedang berdiri
di rumah peristirahatan, dengan tangan memegang pedang menunggu fajar dan
terlindungi oleh pasir berkah di kepalanya dan benang berkah disekeliling
lehernya.
Rakyat
Takkasila kemudian mengadakan pertemuan untuk menunjuk seorang raja yang baru, dan
sang Bodhisatta terpilih karena rakyat berpikir bahwa, “seorang manusia yang
dapat mengendalikan nafsu‐nafsu indera untuk
tidak terjerat pada si raksasa yang terus mengikutinya dalam kecantikkannya
yang luar biasa, adalah seorang yang mulia dan setia, dipenuhi dengan
kebijaksanaan. Jika orang seperti ini menjadi raja, maka ia akan dapat
memerintah seluruh penjuru kerajaan dengan baik.”
Demikianlah,
sang Bodhisatta yang terpilih menjadi raja kemudian dikawal menuju ibukota dan kemudian
dipakaikan berbagai perhiasan dan dinyatakan sebagai raja Takkasila.
Tanya Jawab Antara Raja
Milinda dan Yang Mulia Nagasena
Menurut
kitab Milindha Pañha (Pertanyaan-pertanyaan Raja Milinda), dinyatakan secara
jelas mengenai sifat dari “Makna Paritta” dan dinyatakan juga jenis‐jenis
orang yang dapat memperoleh dan yang tidak dapat memperoleh manfaat dari
paritta.
Dilema
Raja Milinda dalam memahami kekuatan pengaruh paritta dan hubungannya dengan seseorang
yang dapat dan yang tidak dapat memperoleh manfaat darinya, terangkum dalam percakapannya
dengan Yang Mulia Nagasena sebagai berikut:
Milinda:
“Yang Mulia Nagasena, telah dikatakan oleh Yang Terberkahi –Tidak di dalam langit,
tidak di tengah‐tengah samudra, Tidak
di dalam belahan gunung terpencil, Tidak ada satu pun tempat di penjuru dunia ini,
Dapat ditemukan tempat dimana seseorang dapat lari dari perangkap kematian.’
“Tetapi
di pihak lain, peran Paritta disebarluaskan oleh Sang Bhgava –sebagai contoh, Ratana
Sutta dan Khanda Paritta dan Mora Paritta dan Dhajagga Paritta dan Atanatiya
Paritta dan Angulimala Paritta. Jika, Nagasena, seseorang tidak dapat melarikan
diri dari perangkap kematian, walaupun dengan pergi ke surga, atau dengan pergi
ke tengah-tengah samudra, atau dengan pergi ke istana‐istana
tertinggi yang mewah, atau bahkan ke gua‐gua
atau lungau‐lungau atau lereng‐lereng
yang curam, atau lubang‐lubang di pegunungan,
maka upacara Paritta tidaklah akan berguna. Akan tetapi apabila dengan pembacaan
Paritta maka seseorang dapat terlepas dari kematian, maka pernyataan dalam
syair yang saya kutip tersebut adalah salah. Ini sungguh merupakan sebuah
masalah (“berkepala dua”), sungguh‐sungguh
merupakan sebuah masalah yang sulit. Saya serahkan pertanyaan ini kepada mu dan
berikanlah penyelesaiannya.”
Nagasena:
“Sang Buddha, O Raja, memang telah mengajarkan syair yang telah Anda kutip, dan
Beliau juga mendukung upacara Paritta. Tetapi syair-syair Paritta ini hanyalah
berarti bagi mereka yang masih memiliki sisa porsi kehidupan untuk dijalankan, bagi
mereka yang masih memiliki porsi hidup, dan mengendalikan diri mereka dari
Karma buruk. Tidak ada satupun upacara atau sarana buatan yang dapat digunakan
untuk memperpanjang kehidupan bagi seseorang yang masa hidup nya telah
berakhir. Seperti halnya, O Raja, sebuah batang kayu yang telah kering dan
mati, tumpul dan tidak bergetah, semua bentuk kehidupan telah pergi
meninggalkannya, telah mencapai akhir dari waktu hidupnya, ‐Yang
Mulia dapat memberikan beribu‐ribu ember air
untuk menyiramnya, tetapi ia tidak akan pernah menjadi segar lagi atau
menumbuhkan tunas dan daun‐daun lagi.
Demikian juga halnya, tidak ada satu upacara atau sarana buatan apapun, tidak
obat‐obatan dan tidak juga Paritta, yang
dapat memperpanjang kehidupan seseorang yang porsi hidup telah habis baginya.
Semua ilmu pengobatan di dunia menjadi tidak berguna, O Raja, bagi orang yang
seperti ini, tetapi Paritta adalah sebuah perlindungan dan bantuan bagi
seseorang yang masih memiliki porsi hidup, yang masih penuh akan kehidupan, dan
mengendalikan diri mereka dari berbuat karma‐karma
jahat. Dan inilah kegunaan Paritta yang telah diajarkan oleh Sang Bhagava. Layaknya,
O Raja, seorang petani menjaga butir padinya ketika matang dan mati dan bersiap‐siap
untuk panen dari arus air, tetapi ia membuat padi tumbuh dengan cara
memberikannya air ketika ia masih muda, dan berwarna gelap seperti awan, dan
penuh akan kehidupan –demikian juga halnya, O Raja, maka upacara Paritta dapat
dikeluarkan dan diabaikan dalam kasus seseorang yang telah mencapai akhir porsi
hidupnya, tetapi bagi seseorang yang masih memiliki porsi hidup untuk
dijalankan serta fisik yang sehat dan kuat, bagi mereka syair‐syair
Paritta mungkin dapat digunakan, dan mereka akan memperoleh manfaat darinya.”
Milinda:
“Tetapi, Nagasena, jika seseorang yang masih memiliki porsi hidup maka akan
tetap hidup, dan bagi seseorang yang telah habis porsi hidupnya maka akan
meninggal, bukankah ini berarti bahwa obat‐obatan
dan syair‐syair Paritta tidaklah berguna.”
Nagasena:
“Pernahkah Anda melihat, O Raja, kasus dimana sebuah penyakit disembuhkan oleh obat‐obatan?”
Milinda:
“Ya, beberapa ratus kali.”
Nagasena:
“Bila demikian, O Raja, pernyataan Anda mengenai manfaat syair‐syair
Paritta dan obatobatan pastilah salah.”
Milinda:
“Saya pernah melihat, Nagasena, para dokter membagikan obat‐obatan
untuk pasien minum atau oleskan pada tubuh, dan dengan cara ini penyakit‐penyakit
tersebut dapat disembuhkan.”
Nagasena:
“Demikianlah, O Raja, ketika suara orang yang mengulang syair‐syair
Paritta terdengar, meskipun lidah menjadi kering, hati menjadi sedikit berdentam,
dan kerongkongan menjadi haus, tetapi melalui pengulangan syair‐syair
inilah maka semua penyakit dapat dihilangkan, semua malapetaka dapat diusir
pergi. Apakah Anda pernah melihat, O Raja, seorang laki‐laki
yang digigit oleh ular kemudian diisap racunnya (oleh ular yang telah menggigit
tersebut) atau memberikan salep di atas dan di bawah lubang gigitan?”
Milinda:
“Pernah, itu adalah hal yang biasa terjadi di dunia saat ini.”
Nagasena:
“Maka apa yang Anda katakan bahwa syair Paritta dan obat‐obatan
adalah serupa dan tidak berguna adalah salah. Dan ketika syair paritta telah
dibacakan oleh seseorang, seekor ular, yang telah siap untuk menggigit, akan
tidak jadi menggigitnya, melainkan menutup rahangnya – sama halnya seperti
perampok yang telah mempersiapkan pentungannya untuk memukulNya menjadi tidak
jadi dipukulkan; mereka menurunkan pentungan dan memperlakukanNya dengan baik
–sama halnya dengan seekor gajah yang berahi yang berlari kearahNya akan berhenti
di hadapannya –sama halnya dengan hutan yang terbakar oleh api yang bergelora
akan padam seketika ketika berada di hadapanNya –sama halnya dengan racun ganas
yang termakan oleh Sang Buddha akan menjadi tidak berbahaya, dan berubah
menjadi makanan –sama halnya dengan seorang pembunuh yang berniat untuk
membunuhNya kemudian bahkan menjadi pelayannya –sama halnya dengan perangkap yang
telah diinjakNya menjadi tidak
tersentuh.
“Dan
lagi O Raja, apakah Anda pernah mendengar seorang pemburu yang selama tujuh
ratus tahun gagal melempar jaringnya kepada seekor merak yang sedang membaca
syair‐syair Paritta, tetapi kemudian berhasil
pada suatu hari ketika sang merak lupa membaca Paritta?”
Milinda:
“Iya, saya telah mendengar tentang hal tersebut. Kemasyhuran cerita itu telah
menyebar hingga ke penjuru dunia.”
Nagasena:
“Maka ucapan Anda bahwa syair-syair Paritta dan obat‐obatan
tidak berguna pastilah salah. Dan pernahkah Anda mendengar mengenai Danava yang
demi menjaga istrinya, ia memasukkan istrinya ke dalam sebuah kotak, dan
kemudian menelannya, dan membawa istrinya di dalam perut.
Dan
bagaimana Vidyadhara memasuki mulutnya, dan bermain dengan istrinya. Dan
bagaimana ketika Danava ketika menyadari hal tersebut, memuntahkan kotak
tersebut, dan membukanya, dan pada saat ia melakukan hal tersebut, Vidyadhara
dapat melarikan diri bersama dengan istrinya?”
Milinda:
“Iya, saya telah mendengar tentang cerita tersebut. Kemasyhuran cerita itu
telah menyebar ke seluruh penjuru dunia.”
Nagasena:
“Bila demikian, bukankah Vidyadhara dapat melarikan diri berkat kekuatan Paritta?”
Milinda:
“Iya, demikianlah yang terjadi.”
Nagasena:
“Bila demikian, maka pastilah ada kekuatan dalam Paritta. Dan pernahkah Anda mendengar
bahwa Vidyadhara lainnya yang masuk ke tempat tinggal selir‐selir
Raja Benares, dan melakukan hubungan seksual dengan Sang Ratu, dan kemudian tertangkap,
dan kemudian menjadi tidak terlihat, dan melarikan diri?”
Milinda:
“Iya, saya telah mendengar cerita tersebut.”
Nagasena:
“Bukankah ia dapat melarikan diri dari penangkapan karena kekuatan akan
Paritta?”
Milinda:
“Iya.”
Nagasena:
“Karenanya, O Raja, pastilah ada kekuatan di dalam Paritta.”
Milinda:
“Yang Mulia Nagasena, apakah Paritta merupakan perlindungan bagi setiap orang?”
Nagasena:
“Bagi beberapa iya, tidak bagi lainnya.”
Milinda:
“Berarti syair‐syair Paritta tidaklah selalu berguna?”
Nagasena:
“Apakah makanan menjaga semua orang tetap hidup?”
Milinda:
“Hanya bagi beberapa orang, lainnya tidak.”
Nagasena:
“Mengapa demikian?”
Milinda:
“Karena seseorang bisa meninggal karena makan terlalu banyak, ataupun manusia meninggal
karena penyakit korela.”
Nagasena:
“Kalau begitu, bukankah makanan tidak dapat menjamin manusia untuk tetap
hidup?”
Milinda:
“Terdapat dua alasan seseorang dapat meninggal meskipun ada makanan, yaitu hancur
karena mabuk di dalamnya (terhadap makanan), dan kelemahan pencernaan. Dan
bahkan makanan sehat pun dapat menjadi teracuni oleh mantera‐mantera
jahat.
Nagasena:
“Demikian juga halnya, O Raja, Paritta dapat menjadi perlindungan bagi sebagian
orang, tetapi tidak bagi yang lainnya. Terdapat tiga alasan mengapa Paritta
tidak dapat menjadi perlindungan –Karma Penghancur, perbuatan jahat, dan
ketidakyakinan. Paritta yang merupakan perlindungan bagi para mahluk menjadi kehilangan
kekuatannya dikarenakan perbuatan mahluk‐mahluk
itu sendiri. Sama halnya, O Raja, seorang ibu dengan penuh cinta merawat anak
yang berada dalam kandungannya, dan kemudian terus merawatnya dengan penuh
perhatian. Setelah kelahiran anak tersebut, sang ibu akan menjaga anaknya
bersih dari debu, noda, dan ingus, dan meminyakinya dengan parfum‐parfum
terbaik dan termahal, dan ketika orang lain menjelekkan atau menyerangnya maka
dia akan melawan mereka, dan dengan penuh rasa senang menggendong anaknya sebelum
ia bisa berjalan.
Tetapi
ketika sang anak nakal, atau pulang terlambat, maka sang ibu akan memukul
anaknya dengan rotan atau tongkat di lutut atau di tangannya. Sekarang, pada
keadaan seperti itu, akankah sang ibu membela sang anak, menggendongnya, dan
memeluknya saat itu?”
Milinda:
“Tidak.”
Nagasena:
“Mengapa tidak?”
Milinda:
“Karena si anak laki‐laki sedang melakukan
kesalahan.”
Nagasena:
“Sama halnya, O Raja, syair‐syair Paritta
yang merupakan perlindungan bagi seseorang, karena kesalahannya sendiri, dapat
balik menghukumnya.”
Milinda:
“Sangat bagus, Nagasena! Masalah telah terselesaikan, hutan‐hutan
menjadi bersinar, kegelapan menjadi
terang, jaringan desas desus menjadi terungkap –dan oleh dirimu, O pemimpin terbaik
dari berbagai aliran!”
Sumber : Makna Paritta
Judul
Asli : Efficacy Of Parritas
Oleh
: Venerable Sri S.V. Pandit P. Pemaratana Nayako Thero
Alih
Bahasa : Marlin ST.
Diterbitkan
oleh : Vidyāsenā Production
Tidak ada komentar:
Posting Komentar