Kamis, 01 Agustus 2013

FAKTA KEHIDUPAN (ATTHA LOKA DHAMMA)

FAKTA KEHIDUPAN
~Ven. Narada Maha Thera

Kita hidup dalam dunia yang tidak seimbang. Dunia yang tidak seluruhnya berisi bunga mawar atau pun seluruhnya berduri. Bunga mawar itu lembut, indah, dan harum; tapi tangkainya penuh dengan duri. Karena bunga mawarlah, orang membiarkan duri- durinya. Bagaimana pun, orang tidak akan meremeh­kan bunga mawar karena ada duri-durinya.

Bagi seorang yang optimis, dunia ini seluruhnya berisi bunga mawar; bagi seorang yang pesimis, dunia ini seluruhnya berduri. Tapi untuk seorang realis, dunia ini tidak seluruhnya berisi bunga mawar atau pun seluruhnya berduri. Baginya dunia berisi keduanya, bunga mawar yang indah dan duri-duri yang tajam.

Orang yang mengerti tidak akan terbius oleh keindahan bunga mawar, tapi ia akan melihatnya sebagaimana adanya. Dengan mengetahui dengan baik sifat dari duri-duri, ia pun akan melihat mereka sebagaimana adanya dan akan berhati-hati agar tidak terluka.

Bagaikan bandul yang terus menerus bergoyang ke kiri dan kanan, empat keadaan yang diinginkan dan empat keadaan yang tidak diinginkan terus berlangsung di dunia ini. Setiap orang tanpa kecuali harus meng­hadapi keadaan-keadaan ini sepanjang hidupnya. Keadaan-keadaan ini adalah keuntungan (lobha) dan kerugian (alobha), terkenal akan kebaikan (yasa) dan terkenal akan keburukan (ayasa), pujian (pasamsa) dan celaan (nindha), kegembiraan (sukha) dan kesedihan (dukkha).

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN

Pengusaha, sesuai hukumnya, akan mengalami baik keuntungan mau pun kerugian. Adalah hal yang wajar bahwa seorang akan merasa puas diri ketika ia memperoleh keuntungan. Dalam hal ini tidak ada yang salah. Keuntungan baik legal mau pun ilegal menghasilkan kenikmatan dalam jumlah tertentu yang dicari oleh manusia biasa. Tanpa saat-saat yang menyenangkan, bagaimana pun singkatnya, hidup tidak akan berarti. Dalam dunia yang kacau dan penuh persaingan, adalah benar bahwa orang hendaknya menikmati beberapa jenis kegembiraan yang menyenangkan hatinya. Kegembiraan ini, walau pun secara materi, akan membantu meningkatkan kesehatan dan umur panjang.

Masalah akan timbul jika kerugian terjadi. Ke­untungan diterima dengan gembira, tapi tidak demikian halnya dengan kerugian. Kerugian sering menyebab­kan penderitaan batin dan kadang kala usaha bunuh diri dilakukan karena kerugian yang tidak tertanggulangi. Dalam situasi yang berlawanan inilah, seseorang hendaknya menunjukkan keberanian moral yang tinggi dan mempertahankan keseimbangan batin yang baik. Kita semua pernah mengalami jatuh dan bangun dalam perjuangan hidup. Seseorang hendaknya menyiapkan diri menghadapi yang baik mau pun yang buruk, sehingga ia tidak akan terlalu kecewa.

Ketika sesuatu dicuri, orang umumnya merasa sedih. Tetapi dengan merasa sedih, ia tidak akan dapat mengganti kehilangannya. Ia hendaknya menerima kehilangan itu secara filosofis. Hendaknya ia memiliki sikap yang murah hati dengan berpikir: “si pencuri lebih membutuhkan barang tersebut daripada saya. Semoga ia berbahagia.”

Pada masa Sang Buddha hidup, seorang wanita bangsawan mempersembahkan makanan kepada Yang Arya Sariputra dan beberapa orang bhikkhu. Ketika melayani mereka, ia menerima pesan yang menyatakan bahwa suatu musibah telah terjadi pada keluarganya. Tanpa menjadi cemas, dengan tenang ia menaruh pesan itu dalam kantung di pinggangnya dan melayani para bhikkhu seolah-olah tidak ada yang terjadi. Seorang pelayannya yang membawa guci berisi mentega (terbuat dari susu kerbau India) untuk dipersembahkan kepada para bhikkhu, secara tidak disengaja tergelincir dan memecahkan guci yang dibawanya. Mengira bahwa sang wanita akan merasa sedih karenanya, Yang Arya Sariputra menghiburnya dengan berkata bahwa segala sesuatu yang dapat pecah suatu saat pasti akan pecah. Sang wanita berkata, “Bhante, apalah artinya kehilangan yang tidak berarti ini? Saya baru saja menerima pesan yang menyatakan suatu musibah telah menimpa keluarga saya. Saya menerima hal itu tanpa kehilangan keseimbangan batin saya. Saya melayani Anda semua walau pun ada berita buruk tersebut.”

Ketabahan semacam ini yang dimiliki wanita tersebut sungguh sangat terpuji.

Suatu saat Sang Buddha pergi mencari sedekah di suatu desa. Karena campur tangan Mara, Sang Buddha tidak memperoleh makanan. Ketika Mara menanyakan apakah Sang Buddha merasa lapar, Sang Buddha dengan agung menerangkan sikap mental mereka yang telah terbebas dari kekotoran batin, dan menjawab, “Ah, betapa bahagianya kita yang hidup terbebas dari kekotoran batin. Sebagai pemberi kebahagiaan, kita bahkan dapat disamakan dengan para dewa di alam cahaya.”

Pada kesempatan lain, Sang Buddha dan para muridnya berdiam selama musim hujan (vassa) di suatu desa atas undangan seorang brahmana yang ternyata benar-benar lupa akan tugasnya untuk memenuhi kebutuhan Sang Buddha dan Sangha. Selama tiga bulan, walau pun Yang Arya Moggallana rela berkorban untuk mendapatkan makanan dengan kekuatan batinnya, Sang Buddha tidak mengeluh, dan merasa puas atas rumput makanan kuda yang ditawarkan oleh seorang penjual kuda.

Seseorang yang tidak beruntung harus berusaha untuk menerima kenyataan secara jantan. Sungguh sayang, orang menghadapi kerugiannya seringkali secara berkelompok dan tidak sendirian. Ia harus menghadapinya dengan ketenangan (upekkha) dan memandangnya sebagai suatu kesempatan untuk menumbuhkan kebajikan yang mulia.

TERKENAL AKAN KEBAIKAN DAN TERKENAL AKAN KEBURUKAN

Terkenal atas hal yang baik dan terkenal atas hal yang buruk adalah pasangan keadaan lain yang tidak terhindarkan, yang kita hadapi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Terkenal karena hal yang baik kita terima; terkenal karena hal yang buruk sangat kita benci. Terkenal karena hal yang baik menggembirakan hati kita; terkenal karena hal yang buruk menyedihkan kita. Kita ingin menjadi terkenal. Kita mendambakan foto kita terpampang di surat kabar. Kita sangat gembira ketika kegiatan kita, bagaimana pun tidak berartinya, dipublikasikan. Kadangkala kita bahkan menginginkan publikasi yang dilebih-lebihkan.

Banyak orang ingin melihat fotonya di majalah, seberapa pun biaya yang harus dikeluarkannya. Untuk mendapatkan kehormatan, sebagian orang menawarkan hadiah atau memberikan sumbangan besar kepada orang yang berkuasa. Demi ketenaran, sebagian orang memamerkan kedermawanan mereka dengan memberikan sedekah kepada seratus orang bhikkhu atau lebih; tetapi mereka mungkin sama sekali tidak mempedulikan penderitaan orang miskin dan orang yang membutuhkan di lingkungan sekitar mereka. Seorang dapat mendenda dan menghukum orang yang sangat kelaparan, yang untuk menghilangkan rasa laparnya mencuri sebutir kelapa di kebunnya, tetapi ia tidak ragu-ragu untuk mempersembahkan seribu butir kelapa untuk mendapat nama baik.

Inilah kelemahan-kelemahan manusia. Kebanyakan orang memiliki maksud terselubung. Orang yang tidak egois yang bertindak tanpa terpengaruh oleh perasaannya sangatlah jarang di dunia ini. Kebanyakan orang yang terikat keduniawian memiliki maksud terselubung. Siapakah orang yang sempurna? Berapa banyak orang yang memiliki maksud yang benar-benar mumi? Berapa banyak orang yang benar-benar tidak mementingkan diri sendiri (dan mendahulukan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain)?

Kita tidak perlu memburu ketenaran. Jika kita benar-benar pantas untuk menjadi terkenal, ketenaran akan datang kepada kita tanpa perlu dicari. Kumbang akan tertarik kepada bunga yang berisi madu. Bunga sendiri tidak mengundang kumbang.

Tentu saja, kita tidak hanya merasa senang tapi juga sangat bahagia ketika ketenaran kita tersebar. Tetapi kita harus menyadari bahwa ketenaran, kehormatan, dan kekuasaan hanyalah keadaan sementara. Mereka dapat segera menghilang begitu saja.

Bagaimana dengan ketenaran akan keburukan? Hal ini tidak enak didengar dan mengganggu pikiran. Kita pasti gelisah ketika kata-kata tentang reputasi buruk kita menusuk telinga. Perasaan sakit akan lebih hebat ketika laporan tersebut tidak adil dan fitnah belaka.

Umumnya diperlukan waktu bertahun-tahun untuk mendirikan gedung yang megah. Dalam satu atau dua menit, dengan senjata penghancur modem, dengan mudah gedung itu runtuh. Kadang kala diperlukan waktu bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup untuk membangun reputasi yang baik. Dalam waktu singkat nama baik yang diperoleh dengan susah payah itu hancur. Tidak ada orang yang terlepas dari kata penghancur yang dimulai dengan kata ‘tetapi'. “Ya, ia orang yang baik; dia melakukan ini dan itu,” tatapi reputasi yang baik ini diperburuk dengan kata ‘tetapi’ .Anda mungkin hidup sebagai seorang Buddha 'tetapi Anda tidak akan terlepas dari kritik, serangan, dan hinaan.

Sang Buddha adalah guru yang paling terkenal dan paling sering difitnah dalam masanya. Orang- orang besar seringkali dikenal, walau pun kadangkala mereka dikenal bukan karena hal-hal yang baik.

Beberapa orang yang membenci Sang Buddha menyebarkan desas desus bahwa seorang wanita sering bermalam di vihara. Setelah gagal dalam upaya ini, mereka menyebarkan fitnah di antara penduduk bahwa

Sang Buddha dan para muridnya membunuh wanita tersebut dan menyembunyikan mayatnya di timbunan sampah bunga-bunga layu dalam vihara. Para penghasut akhirnya mengakui bahwa merekalah pelakunya.

Ketika misi bersejarah-Nya berhasil dan banyak orang meminta ditahbiskan oleh-Nya, para musuh memfitnah-Nya, dengan berkata bahwa Beliau merebut putra dari para ibu, memisahkan para istri dari suami mereka, dan bahwa Beliau menghambat kemajuan negara.

Gagal dalam usaha-usaha untuk menghancurkan sifat-Nya yang mulia, sepupu-Nya sendiri Devadatta, murid-Nya yang iri, berusaha membunuh-Nya dengan menggulingkan batu dari atas, tapi gagal.
Jika demikian menyedihkannya nasib dari Sang Buddha yang sempurna dan tidak bersalah, bagaimanakah nasib dari manusia biasa yang tidak sempurna?

Semakin tinggi Anda mendaki bukit, semakin mudah Anda terlihat dan tampak dalam mata orang lain. Punggung Anda terlihat, tapi bagian depan tersembunyi. Dunia mudah menemukan kesalahan, menunjukkan kegagalan dan keraguan Anda, tetapi mengabaikan kebajikan Anda yang lebih mudah terlihat. Kipas perontok merontokkan sekam tapi tetap membiarkan padinya; sebaliknya saringan mempertahankan ampas yang kasar dan membiarkan sari buah yang manis mengalir. Orang yang bermoral mengambil bagian yang halus dan menghilangkan bagian yang kasar, orang yang tidak bermoral mengambil bagian yang kasar, tapi menghilangkan bagian yang halus.

Ketika Anda difitnah, secara sengaja atau tidak, ingatlah nasehat dari Epictus, untuk berpikir atau berkata, “O dengan pengenalannya yang terbatas dan pengetahuannya yang sedikit tentang saya, saya hanya sedikit dikritik. Tetapi jika ia mengenal saya lebih baik, maka lebih serius dan lebih hebatlah tuduhan yang ditujukan kepada saya.”

Tidaklah perlu menghabiskan waktu memperbaiki laporan-laporan palsu kecuali jika keadaan memaksa Anda membuat suatu penjelasan. Musuh Anda akan senang ketika ia melihat Anda terluka. Inilah yang sesungguhnya diharapkannya. Jika Anda acuh saja, tuduhan itu akan menghilang dengan sendirinya.
Dalam melihat kesalahan orang lain,
hendaknya kita berlaku seperti orang buta.
Dalam mendengar kritikan yang tidak adil kepada orang lain,
hendaknya kita berlaku seperti orang tuli.
Dalam membicarakan keburukan orang lain,
hendaknya kita berlaku seperti orang bisu.
Adalah tidak mungkin untuk menghentikan tuduhan, laporan, mau pun desas-desus yang salah.
Dunia ini penuh dengan duri dan kerikil. Adalah tidak mungkin untuk memindahkan seluruhnya. Tapi, jika kita harus berjalan melewati rintangan tersebut, daripada mencoba memindahkannya, lebih baik memakai sepasang sandal dan berjalan tanpa terluka.
Dhamma mengajarkan:
Berlakulah seperti seekor singa
yang tidak takut akan suara apa pun.
Berlakulah seperti angin
yang tidak terikat oleh jaring.
Berlakulah seperti bunga teratai
yang tidak terkotori oleh lumpur di mana ia tumbuh.
Berkelanalah sendiri
bagaikan seekor badak.
Sebagai raja rimba, singa tidak memiliki rasa takut. Secara alamiah singa tidak dapat ditakuti oleh geraman dari binatang lain. Dalam dunia ini, kita dapat mendengar laporan palsu, tuduhan yang tidak benar, dan kata-kata hinaan. Seperti seekor singa, kita hendaknya tidak mendengarkannya. Seperti sebuah bumerang, semua akan kembali ke tempat asalnya. Anjing menggonggong tapi kafilah tetap berlalu.

Kita hidup dalam dunia yang berlumpur. Begitu banyak bunga teratai muncul dari lumpur tanpa terkotori dan menghiasi dunia. Bagaikan bunga teratai kita hendaknya mencoba menjalani kehidupan yang tidak tercela dan mulia, tidak mempedulikan lumpur yang mungkin dilemparkan kepada kita.

Kita hendaknya mengharapkan lumpur yang dilemparkan kepada kita, bukan bunga mawar. Dengan demikian kekecewaan tidak akan terjadi.

Walau pun sulit, kita hendaknya berusaha mengembangkan ketidakterikatan. Kitadatang sendiri, dan kita akan pergi sendiri. Ketidakterikan adalah suatu kebahagiaan di dunia ini.

Tanpa mempedulikan fitnahan, kita hendaknya berkelana sendiri melayani orang lain dengan seluruh kemampuan kita.

Hal yang agak aneh bahwa orang-orang besar telah difitnah, dicemarkan namanya, diracun, disalibkan, atau ditembak. Socrates yang agung telah diracun. Yesus Kristus yang mulia telah disalibkan. Mahatma Gandhi yang tidak bersalah telah ditembak.

Apakah berbahaya untuk menjadi orang yang terlalu baik?

Ya, selama hidup mereka dikritik, diserang, dan dibunuh. Setelah kematiannya, mereka dipuja dan dihormati.
Orang-orang besar tidak peduli akan kemasyhuran atau pun namanya tercemar. Mereka tidak marah ketika dikritik atau difitnah karena mereka bekerja bukan untuk nama baik atau kemasyhuran. Mereka tidak peduli apakah orang menghargai jasa mereka atau tidak. Mereka memiliki hak atas kerja mereka, tapi tidak atas buah yang diperolehnya (kritik dan hinaan).

PUJIAN DAN CELAAN

Pujian dan celaan adalah dua keadaan duniawi lain yang mempengaruhi manusia. Adalah hal yang wajar untuk menjadi bersemangat ketika dipuji dan menjadi tertekan karena dicela. Menghadapi pujian dan celaan, Sang Buddha bersabda, orang yang bijaksana tidak menunjukkan kegembiraan mau pun kesedihan, bagaikan sebongkah batu yang kokoh yang tidak tergoyahkan oleh angin.

Pujian, jika pantas, akan menyenangkan di telinga. Jika tidak, seperti pujian yang berlebih-lebihan,walau pun menyenangkan hanyalah tipuan semata. Tetapi suara-suara itu tidak akan menimbulkan akibat apa- apa jika tidak terdengar oleh kita.

Dari sudut pandang duniawi, satu kata pujian dapat berdampak luas. Dengan sedikit pujian, bantuan dapat diperoleh dengan mudah. Satu kata pujian yang baik cukup untuk menarik pendengar sebelum seorang berbicara. Jika, pada awainya, seorang pembicara memuji pendengar, ia akan didengarkan. Jika ia mengkritik pendengar pada awainya, tanggapan yang diperolehnya tidak akan memuaskan.

Orang yang bermoral tidak menggunakan sanjungan untuk mendapatkan bantuan; dan juga tidak mengharapkan untuk disanjung-sanjung oleh orang lain. Orang yang pantas dipuji akan mereka puji tanpa rasa iri. Orang yang pantas dicela akan mereka cela tidak dengan merendahkan, tetapi dilandasi kasih sayang dengan tujuan untuk memperbaiki mereka.

Banyak orang yang mengenal Sang Buddha secara dekat memuji-muji kebajikan-Nya dengan caranya masing-masing. Upali, seorang yang sangat kaya, pada saat baru menganut ajaran Buddha, memuji kebajikan-Nya yang berlimpah satu persatu tanpa pikir panjang. Sembilan kebajikan mulia Sang Buddha yang dilakukan pada hidup-Nya saat ini masih diucapkan oleh para pengikutnya sambil memandang patung- Nya. Inilah salah satu subjek meditasi bagi para pemeluk agama Buddha. Kebajikan-kebajikan yang sangat mulia ini masih merupakan inspirasi yang besar bagi para penganutnya.

Bagaimana dengan celaan?

Sang Buddha bersabda, “Mereka yang banyak berbicara dicela. Mereka yang sedikit berbicara dicela. Mereka yang diam juga dicela. Di dunia ini tidak ada yang tidak dicela!”

Celaan sepertinya merupakan warisan universal manusia.

Sebagian besar orang di dunia menyatakan bahwa Sang Buddha tidak disiplin, namun bagaikan seekor gajah di medan perang menahan semua panah yang ditembakkan kepadanya, Sang Buddha menahan segala hinaan.

Orang yang bermoral rendah dan jahat cenderung mencari keburukan orang lain, tetapi tidak akan mencari kebaikannya.

Tidak ada orang, kecuali seorang Buddha, yang sempurna baiknya. Sebaliknya, tidak ada orang yang benar-benar jahat. Ada keburukan dari orang yang terbaik di antara kita. Ada kebaikan dari orang yang terjahat di antara kita.

"Ia yang berdiam diri bagaikan gong yang telah pecah ketika diserang, dihina, dan dikutuk, ialah, Saya sebut" Sang Buddha bersabda, "berada dalam Nibbana, walau pun ia belum mencapai Nibbana.”

Seorang dapat bekerja dengan maksud yang baik. Tetapi dunia luar seringkali salah mengerti dan menganggap ia dilandasi motif yang mustahil dan mengada-ada.

Seorang dapat melayani dan menolong orang lain dengan sepenuh kemampuannya bahkan sampai berhutang atau menjual barang berharga miliknya untuk menolong -temannya yang kesulitan; tapi akhirnya, dunia ini begitu ternoda sampai-sampai orang yang ditolongnya itu akan mencari-cari kesalahannya, memerasnya, menodai sifat baiknya, dan menikmati keruntuhannya.

Dalam cerita Jataka, dinyatakan bahwa Gutilla seorang pemusik mengajarkan segala yang diketahuinya kepada muridnya, tapi muridnya begitu tidak tahu berterimakasih, ia malah berusaha bersaing dengan gurunya dan menghancurkannya.

Pada suatu kesempatan, Sang Buddha diundang oleh seorang brahmana untuk dijamu di rumahnya.

Atas undangan itu, Sang Buddha berkunjung ke rumahnya. Namun bukan menjamu-Nya, brahmana tersebut mencaci-maki-Nya dengan kata-kata kotor.

Sang Buddha dengan sopan bertanya, “Apakah tamu-tamu datang ke rumah Anda, Brahmana yang baik?”

“Ya,” jawab brahmana.

“Apa yang kamu lakukan ketika para tamu datang?”

“Oh, kami akan menyiapkan jamuan yang mewah.”

“Jika mereka tidak datang?”

“Wah, dengan senang hati kita menghabiskan jamuan tersebut.”

“Baiklah, Brahmana yang baik, Anda telah mengundang saya untuk dijamu dan Anda telah menjamu saya dengan caci-maki. Saya tidak menerima apa-apa. Silakan Anda mengambilnya lagi.”

Sang Buddha tidak membalas. Tidak membalas merupakan nasehat Sang Buddha. “Kebencian tidak dapat diatasi dengan kebencian tetapi hanya dengan kasih sayang saja kebencian itu reda,” adalah ucapan mulia dari Sang Buddha.

Tidak ada guru agama yang begitu dipuji seperti Sang Buddha dan begitu kerasnya dikritik, dihina, dan dicela seperti Sang Buddha. Inilah takdir dari orang- orang besar.

Sang Buddha dituduh membunuh seorang wanita dengan bantuan murid-murid-Nya. Penduduk yang bukan beragama Buddha mengecam Sang Buddha dan murid-murid-Nya dengan kerasnya hingga Yang Arya Ananda m.emohon kepada Sang Buddha untuk pergi ke desa lain.

“Bagaimana, Ananda, jika para penduduk desa itu juga mencaci-maki kita?”

“Jika begitu, Bhante, kita lanjutkan ke desa lain.”

“Jika demikian, Ananda, di seluruh India tidak ada tempat untuk kita. Bersabarlah. Celaan-celaan ini akan berhenti dengan sendirinya.”

Magandiya, seorang wanita harem, mendendam kepada Sang Buddha yang berkata buruk tentang penampilannya yang menarik ketika ayahnya, karena ketidaktahuan, mengharapkan Sang Buddha untuk memperistri anaknya. Ia menyewa para pemabuk untuk menghina Sang Buddha di depan umum. Dengan ketenangan yang sempurna, Sang Buddha menahan segala hinaan tersebut.

Hinaan adalah hal yang biasa dalam kemanusiaan. Semakin banyak Anda bekerja dan semakin hebat Anda, Anda semakin dihina dan dipermalukan.

Yesus Kristus telah dihina, dipermalukan, dan disalibkan. Socrates dihina oleh istrihya sendiri. Setiap kali ia pergi untuk menolong orang lain, istrinya yang tidak memiliki toleransi itu selalu memarahinya. Suatu hari istrinya sakit dan tidak mampu melakukan tugas rutinnya yang galak. Socrates meninggalkan rumahnya hari itu dengan wajah yang sedih. Teman-temannya bertanya mengapa ia bersedih. Ia menjawab bahwa istrinya tidak memarahinya hari itu karena sakit.

“Anda seharusnya merasa gembira karena tidak memperoleh omelan yang tidak menyenangkan itu,” ujar teman-temannya.

“Oh tidak! Ketika ia memarahi saya, saya memperoleh kesempatan yang baik untuk melatih kesabaran. Itulah alasan mengapa saya bersedih,” ucap sang filsuf.

Inilah pelajaran-pelajaran yang dapat diingat oleh kita semua. Ketika dihina, kita hendaknya berpikir kita diberi kesempatan untuk melatih kesabaran. Walau pun diganggu, kita hendaknya berterimakasih kepada musuh-musuh kita.

KEGEMBIRAAN DAN KESEDIHAN

Kebahagiaan dan kesedihan adalah pasangan berlawanan terakhir. Merekalah faktor terkuat yang mempengaruhi umat manusia.

Apa yang dapat ditahan dengan mudah adalah sukha (kebahagiaan); apa yang sulit ditahan adalah dukkha (kesedihan).

Kegembiraan yang umum adalah terpenuhinya suatu keinginan. Segera sesudah benda yang kita inginkan dapat diperoleh, kita menginginkan kebahagiaan yang lain lagi. Betapa tidak pernah puasnya nafsu kita yang mementingkan diri sendiri.

Menikmati kesenangan berdasarkan hawa nafsu adalah kebahagiaan tertinggi dan satu-satunya bagi manusia biasa. Ada saat-saat membahagiakan pada saat mengharapkan, terpenuhinya, dan mengenang kenikmatan material tersebut. Jenis kegembiraan ini sangat berharga bagi orang yang terikat pada hawa nafsunya, tetapi kegembiraan ini hanyalah tipuan dan sementara saja.

Dapatkah harta benda memberikan kebahagiaan sejati? Jika demikian, seorang milyuner tidak akan merasa frustasi akan kehidupannya. Di negara-negara tertentu yang telah mencapai kemajuan materi, begitu banyak orang menderita penyakit mental. Mengapa hal ini terjadi jika harta benda saja dapat memberikan kebahagiaan?

Dapatkah kekuasaan akan seluruh dunia menghasilkan kebahagiaan yang sesungguhnya? Aleksander Agung, yang dengan penuh kemenangan berbaris menuju India, menaklukkan daerah-daerah di sepanjang perjalanannya, menarik nafas panjang karena tidak ada lagi daerah di bumi yang bisa dikuasai.

Seringkah kehidupan para negarawan yang mempunyai kekuasaan berada di ujung tanduk. Kasus yang menyedihkan dari Mahatma Gandhi dan John F. Kenneddy adalah contoh-contohnya.

Kebahagiaan sejati ditemukan di dalam diri kita, dan tidak dapat dinyatakan berdasarkan kekayaan, kekuasaaan, kehormatan, atau penaklukan wilayah.

Jika harta benda diperoleh dengan paksa atau secara tidak adil atau disalahgunakan, atau bahkan dipandang dengan kemelekatan, mereka akan menjadi sumber penyakit dan kesedihan bagi pemiliknya.

Apa yang menggembirakan bagi seseorang mungkin bukanlah kegembiraan bagi orang lain. Apa yang menjadi makanan dan minuman bagi seseorang mungkin merupakan racun bagi orang lain.

Sang Buddha menyebutkan empat jenis kebahagiaan bagi umat awam, yaitu kegembiraan karena memiliki (atthi sukha): kesehatan, kekayaan, panjang umur, kecantikan, kegembiraan, kekuatan, harta benda, anak, dan sebagainya.

Sumber kedua dari kebahagiaan berasal dari kenikmatan karena memiliki hal-hal tersebut (bhoga sukha). Laki-laki dan wanita biasa (umat awam) dapat menikmati kebahagiaan tersebut. Sang Buddha tidak menasihatkan semua orang untuk meninggalkan kesenangan duniawi dan hidup dalam kesunyian.

Kenikmatan akan kekayaan tidak hanya terletak pada penggunaannya untuk diri sendiri tetapi juga dalam memberikannya untuk kesejahteraan orang lain. Apa yang kita makan hanyalah bersifat sementara. Apa yang kita pelihara akan kita tinggalkan. Apa yang kita berikan akan kita bawa. Kita akan diingat selamanya karena perbuatan baik yang kita lakukan dengan harta benda kita.

Tidak terjerat utang (anana sukha) adalah sumber kebahagiaan yang lain. Jika kita puas dengan apa yang kita miliki dan jika kita hidup hemat, kita tidak akan berutang. Orang yang berutang hidup dalam rasa tertekan dan selalu dalam kewajibannya kepada kreditur. Walau pun miskin, ketika bebas dari utang, kita akan merasa lega dan bahagia.

Menjalani hidup yang bebas dari tuduhan (anavajja sukha) adalah satu dari sumber-sumber kebahagiaan terbaik bagi umat awam. Orang yang tidak tercela adalah berkat bagi dirinya dan bagi orang lain. Ia dikagumi oleh semua orang dan merasa lebih bahagia, karena dipengaruhi getaran kedamaian dari orang lain. Bagaimana pun, harus dinyatakan bahwa sangatlah sulit untuk memperoleh pandangan yang baik dari semua orang. Orang yang berpikiran mulia hanya peduli akan kehidupan yang tak tercela dan tidak peduli kepada tanggapan orang lain.

Sebagian besar manusia di dunia ini menyenangkan dirinya dengan menikmati kesenangan duniawi, sedangkan yang lain mencari kebahagiaan dengan meninggalkan kesenangan duniawi. Ketidak terikatan atau menjauhi kenikmatan materi adalah kebahagiaan bagi kaum spiritual. Kebahagiaan Nibbana, kegembiraan karena terbebas dari penderitaan, adalah kebahagiaan yang tertinggi.

Kebahagiaan kita terima, tetapi tidak untuk kebalikannya —kesedihan— yang lebih sulit untuk ditahan. Kesedihan atau penderitaan datang dalam berbagai bentuk. Kita menderita ketika kita mengalami usia tua, yang sebenarnya merupakan hal yang wajar. Dengan ketenangan, kita harus menahan penderitaan karena usia tua.

Lebih menyakitkan daripada penderitaan karena usia tua adalah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit. Bahkan sakit gigi yang teringan atau sakit kepala terkadang sulit untuk ditahan. Ketika kita menderita penyakit, tanpa menjadi khawatir hendaknya kita dapat menahannya, betapa pun sakitnya. Kita harus menghibur diri sendiri dengan berpikir bahwa kita telah lolos dari penyakit lain yang lebih parah.

Seringkali kita berpisah dengan orang yang dekat dan kita sayangi. Perpisahan ini menyebabkan perasaan kita sakit. Kita hendaknya menyadari bahwa segala pertemuan harus berakhir dengan perpisahan. Inilah kesempatan yang baik'untuk melatih ketenangan.

Kadang kala kita dipaksa berada dengan orang yang kita benci. Kita hendaknya berusaha bertahan. Mungkin, karma kita yang sekarang atau yang lalu sedang berbuah. Kita hendaknya mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru atau mencoba mengatasi rintangan tersebut dengan cara- cara lain.

Bahkan Sang Buddha, makhluk yang sempurna, yang telah menghancurkan segala kekotoran batin, harus menahan penderitaan fisik yang disebabkan oleh penyakit dan kecelakaan.

Sang Buddha menderita sakit kepala terus menerus. Penyakit terakhir-Nya menyebabkan penderitaan fisik-Nya lebih hebat. Akibat Devadatta menggulingkan batu untuk membunuh-Nya, kaki-Nya terluka oleh pecahan batu sehingga perlu dioperasi. Kadangkala Beliau terpaksa menahan lapar. Karena ketidakpatuhan murid-murid- Nya, Beliau terpaksa beristirahat di hutan selama tiga bulan. Di dalam hutan dialasi daun-daun yang ditebarkan di atas tanah, menentang angin dingin yang menusuk, Beliau mempertahankan ketenangan yang sempurna. Di antara kesakitan dan kebahagiaan Beliau hidup dengan pikiran yang seimbang. Kematian adalah kedukaan terdalam yang terpaksa kita hadapi dalam pengembaraan kita menempuh samsara. Kadang kala, kematian datang tidak secara satu persatu tetapi sekaligus sehingga akan sulit untuk ditanggung.

Patacara kehilangan orang-orang terdekat dan dikasihinya —orang tua, suami, saudara laki-laki, dan dua anaknya— dan ia menjadi gila. Sang Buddha menghiburnya.

Kisa Gotami kehilangan bayi satu-satunya, dan ia pergi mencari obat untuk anaknya yang sudah mati itu. Ia membawa jenazah anaknya, mendekati Sang Buddha dan meminta obat.

“Saudari, dapatkah kau bawakan benih sesawi?”

“Tentu, Yang Mulia!"

“Tapi, Saudari. benih itu harus berasal dari rumah di mana penghuninya belum mengalami kematian.”

Benih sesawi diperolehnya, tapi tidak ada sebuah tempat pun yang tidak pernah mengalami kematian. la akhirnya memahami fakta kehidupan.

Ketika seorang ibu ditanya mengapa ia tidak menangisi kematian tragis dari putra tunggalnya, ia menjawab, “Tanpa diundang ia datang. Tanpa diberitahu ia pergi. Ia datang seperti ia pergi. Mengapa kita harus menangis? Apakah gunanya menangis?”

Bagaikan buah yang jatuh dari pohon —muda, masak atau tua— demikianlah kita meninggal semasa bayi, remaja, atau dalam usia tua.

Matahari terbit di timur hanya untuk terbenam di barat.

Bunga mekar di pagi hari untuk layu di sore hari.

Kematian yang tidak terhindarkan menimpa kita semua tanpa kecuali, kita harus menghadapinya dengan ketenangan yang sempurna.

“Bagaikan tanah, apa pun yang dilemparkan kepadanya, baik manis atau kotor, tanpa mempedulikannya ia tidak menunjukkan baik kebencian mau pun rasa suka. Demikianlah ia yang baik atau buruk, pikirannya harus selalu seimbang.”

Sang Buddha bersabda, “Ketika tersentuh oleh kondisi duniawi, pikiran dari seorang Arahat tidak pernah terpengaruh.”

Di antara keuntungan dan kerugian, terkenal karena kebaikan atau keburukan, pujian dan celaan, kebahagiaan dan kesedihan, marilah kita mencoba memelihara pikiran yang seimbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar