Selasa, 09 Juli 2013

PANDANGAN SALAH TERHADAP AGAMA BUDDHA



Pengantar
 
mungkin sebagian dari kita umat Buddha belum merasa bangga sebagai seorang Buddhis. Tapi hendaknya mulai saat ini kita bisa mencoba untuk bangga sebagai seorang Buddhis setelah mengetahui keunikan dan kelebihan yang dimiliki agama Buddha. Bahkan, Albert Einstein saja sudah memuji agama Buddha sebagai agama yang sejalan dengan ilmu pengetahuan.
Jika ada suatu agama yang akan memenuhi tuntutan kebutuhan ilmu pengetahuan modern, maka agama tersebut adalah Buddhisme.
–(Albert Einstein)
Penyusun berpendapat bahwa agama Buddha BUKAN AGAMA YANG KUNO, Justru agama Buddha adalah AGAMA YANG MODERN karena sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Berikut adalah sebagian dari hal-hal yang menurut penulis adalah keunikan di dalam Buddhisme. 

Buku ini bukanlah pemikiran atau buah cipta Penyusun, Penyusun mengakui bahwa materi yang ada dalam buku ini adalah hasil saduran dari beberapa situs internet, yang dapat Penyusun kumpulan. 

Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan masukan dari pembaca, agar penyusun dapat memenuhi keinginan pembaca dalam mempelajari dan membabarkan Dhamma 

Semoga buku ini dapat bermanfaat untuk kita semua 

Penyusun 

Juni 2013. 


I. PANDANGAN SALAH TERHADAP AGAMA BUDDHA
 
Banyak konsep-konsep keliru yang tersebar di sekitar kita dan bahkan ada yang telah menjadi pendapat umum, sehingga kita seringkali secara tidak sadar menerima dan menelannya begitu saja sebagai suatu kebenaran. Akibatnya kita pun jadi tidak menyadari kekeliruan pandangan kita terhadap suatu peristiwa atau obyek.  

Menyadari hal itu, tidak mengherankan kalau di kalangan masyarakat Indonesia--termasuk di kalangan mereka yang mengaku beragama Buddha--juga beredar anggapan-anggapan keliru terhadap agama Buddha. Memang tidak mudah menjadi orang yang selalu bisa mengikuti anjuran Sang Buddha untuk "ehipassiko" (datang dan lihatlah) maupun untuk berpedoman "jangan mudah percaya" sebagaimana yang dibabarkan Sang Buddha dalam Kalama Sutta.  

Namun lepas dari kelemahan manusia yang mudah menerima begitu saja segala informasi tanpa disaring terlebih dahulu, anggapan keliru sesungguhnya sering bermula--dan juga mendapatkan penegasan--dari praktek-praktek non Buddhis yang dilakukan umat Buddha. Dalam hal ini semestinya umat Buddha mawas diri dan berusaha menjaga agar citra umat Buddha tidak menjadi jelek di mata umum. Sedangkan untuk meluruskan anggapan-anggapan keliru yang sudah beredar, memang diperlukan usaha-usaha ekstra untuk memberikan penerangan yang jelas kepada masyarakat teruatama di kalangan umat Buddha sendiri.
Beberapa anggapan keliru itu adalah:  

1. Agama Buddha tidak mengenal Tuhan
 
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke sorga ciptaan Tuhan yang kekal.
"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."
Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asankhata) maka manusia yang berkondisi (sankhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi. 

Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain. 

Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tipitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya Bumi dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan. 

Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana batin manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa – dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya. 

2. Agama Buddha mengajarkan untuk menyembah berhala 
 
Anggapan bahwa agama Buddha mengajarkan untuk menyembah berhala disebabkan karena kalau dilihat sepintas lalu memang ada kemiripan antara umat Buddha yang bersujud di muka Buddha rupang dengan para penyembah berhala. Namun sesungguhnya umat Buddha yang telah memahami Buddha dhamma hanya akan menjadikan Buddha rupang sebagai sarana untuk menghormati sifat-sifat luhur Sang Buddha, sehingga akan dapat meneladani Sang Buddha. Sama seperti seorang warganegara ketika memberikan penghormatan bendera nasionalnya, yang dihormati bukanlah secarik kain, tetapi lambang kebesaran bangsa dan negara yang terkandung pada bendera tersebut.  

Buddharûpam merupakan simbol dari bukti nyata bahwa ada seorang manusia yang telah mencapai Penerangan Sempurna yang telah membabarkan
Dhamma yang mulia,
yang indah pada awalnya,
yang indah pada pertengahannya,
dan indah pula pada pengakhirannya
(Yo Dhammam desesi
âdikalyânam
majjhekalyânam
pariyosânakalyânam).
Beliau adalah Guru Agung umat manusia yang memiliki kebijaksanaan agung (Mahâ Paññâ), kesucian yang luhur (Mahâ Parisuddhi), dan welas asih yang universal (Mahâ Karunâ) yang telah dikembangkan dan diwujudkan dalam kehidupan-Nya. Hal tersebut dilakukan selama 45 tahun setelah Beliau mencapai Penerangan Sempurna; Nibbâna melalui pembabaran Dhamma yang dilakukan-Nya terus-menerus dengan jadwal sehari-hari yang sangat padat. Perjuangan dan pengorbanan Beliau-lah yang membuat manusia menjadikan sosok Buddha sebagai kiblat atau sebagai fokus yang diletakkan di atas altar. Buddharûpam sesungguhnya bukanlah objek yang wajib, karena tanpa Buddharûpam umat Buddha dapat melakukan aktivitas Dhamma di dalam kehidupan sehari-hari detik per detik. Praktik Dhamma adalah yang utama.
Seyogianya umat tidak melakukan permohonan atau pun permintaan apa-apa. Sesungguhnya Buddharûpam digunakan sebagai : 
  1. Lambang penghormatan sebagai tanda terima kasih dan anumodâna atas segala upaya Beliau mencapai Penerangan Sempurna sehingga sampai hari ini banyak umat yang tertolong dan terbantu dengan Dhamma yang telah Beliau uraikan.
  2. Sarana atau alat/objek untuk bermeditasi karena keagungan, kemuliaan, dan cinta kasih yang universal yang Beliau pancarkan.
  3. Visi kedepan umat Buddha. Buddha adalah gelar kesucian yang diberikan kepada Pertapa Gotama (adalah Pangeran Siddhattha Gotama anak dari Raja Sudodhana dan Ratu Mahâ Maya yang memerintah Kerajaan Kapilavatthu) karena Beliau telah mencapai Penerangan Sempurna di bawah Pohon Bodhi. Tujuan Pangeran Siddhattha Gotama meninggalkan istana yang megah dan penuh dengan kebahagiaan duniawi adalah untuk membebaskan diri dari dukkha karena mengalami kelahiran, kelapukan, dan kematian. Jadi dengan melihat Buddharûpam, maka dalam diri kita timbul pemahaman bahwa suatu saat nanti saya sebagai murid/siswa Beliau akan mencapai Nibbâna. Inilah sebenarnya tujuan akhir dari setiap umat Buddha. Sementara tujuan jangka pendeknya adalah hidup berbahagia di dunia ini, dan tujuan jangka menengahnya adalah meninggal dunia akan terlahir di alam Surga yang penuh dengan kebahagiaan.
2. Agama Buddha mengajarkan untuk hidup pasif dan berpandangan pesimis  

Anggapan keliru ini muncul karena Sang Buddha menyatakan bahwa hidup ini adalah dukkha. sesungguhnya pengertian dukkha di sini adalah "tidak memuaskan". Agama Buddha tidak menyangkal bahwa hidup manusia ini diliputi senang dan susah yang silih berganti. Namun karena selain senang ada pula susah dan keduanya itu tidak kekal, maka hidup menjadi sesuatu keadaan yang tidak memuaskan. Dengan demikian dalam hal ini tentunya pandangan yang diajarkan agama Buddha bukanlah pandangan yang pesimistis, tetapi justru pandangan yang sanat realistis.

Sang Buddha menyatakan bahwa hidup ini dukkha maksudnya agar kita menyadari bahwa kehidupan kita yang sekarang masih belum sempurna dan setelah kita memahaminya tentu kita akan berusaha merealisasikan keadaan yang sempurna atau kebahagiaan sejati. Seperti halnya orang yang sakit, baru setelah mengetahui dirinya sakit ia akan berobat ke dokter untuk mengetahui sebab sakitnya dan apa obatnya. Setelah mengetahui obatnya ia akan memakannya supaya bisa sembuh dan sehat kembali.

Sang Buddha tidak hanya menyatakan bahwa hidup ini dukkha, tetapi juga menjelaskan sebab dari dukkha, keadaan lenyapnya dukkha, dan jalan untuk melenyapkan dukkha. Dengan demikian jelas bahwa agama Buddha tidak mengajarkan untuk hidup pasif. Umat Buddha justru manusia-manusia aktif yang berusaha melaksanakan jalan tengah yang diajarkan Sang Buddha untuk dapat mencapai kesempurnaan, atau paling tidak bisa mencapai keadaan yang lebih baik daripada sebelumnya dan bukannya semakin merosot.  

3. Agama buddha mengajarkan untuk melarikan diri dari kenyataan hidup 
 
Para Bhikkhu sering dikatakan telah meninggalkan keduniawian, sehingga dianggap agama Buddha mengajarkan untuk melarikan diri dari kenyataan hidup. Sesungguhnya hal ini tidak benar. Benar bahwa para bhikkhu meninggalkan rumah, tetapi mereka tetap berada di dunia ini. Bahkan para Buddha, Bodhisatva, dan Arahat aktif menyebarkan kebenaran demi kesejahteraan dunia, tetapi akan lebih tepat jika dipahami sebagai "mengatasi keduniawian".  

Sesungguhnya justru para bhikkhu-lah yang dalam latihan dan perenungannya benar-benar menghadapi kenyataaan hidup dan senantiasa berusaha mengatasi keserakahan, kebencian, dan kedunguan. Sedangkan umat awam banyak yang tidak berusaha menghadapi dan mengatasi masalah-masalah kehidupan secara tuntas, mereka lebih sering melarikan diri dari kenyataan hidup.  

4. Agama Buddha hanya cocok untuk orang-orang tua 
 
Anggapan keliru bahwa agama Buddha hanya cocok untuk orang-orang yang sudah tua dan tidak lagi punya kesibukan dapat timbul karena orang melihat praktek sebagian umat Buddha awam yang dalam melakukan kebaktian pagi dan sore menggunakan waktu yang cukup lama. Menganggap kebaktian dalam agama Buddha itu menyita waktu lama adalah keliru. Sebetulnya para perumah tangga yang memiliki banyak tugas dan pekerjaan dalam melakukan kebaktian secara singkat saja, tidak harus sepanjang seperti yang dilakukan seperti para Bhikkhu.  

Agama Buddha sesungguhnya lebih cocok untuk orang-orang muda, karena sangat banyak keuntungannya jika seseorang sudah dapat mempraktekkan ajaran agama Buddha sejak masih muda.  

6. Agama Buddha adalah agama nenek moyang yang sudah ketinggalan jaman 
 
Anggapan seperti ini terjadi di tempat-tempat di mana umat Buddha menganut agama Buddha secara turun-temurun, namun hanya tinggal tradisinya saja. Tradisi itu pun dilaksanakan dengan tanpa pengertian benar. Tempat ibadah yang terkesan kuno juga telah ikut memunculkan anggapan bahwa agama Buddha sudah ketinggalan jaman.  

Sesungguhnya kalau kita mau mengkaji ajaran agama Buddha, maka tidak akan pernah timbul pendapat bahwa agama Buddha itu sudah ketinggalan jaman. Agama Buddha memang agama warisan nenek moyang, namun agama Buddha merupakan agama yang tidak akan pernah ketinggalan jaman karena agama Buddha itu mengajarkan Kesunyataan, kebenaran mutlak yang tidak tergantung pada waktu, tempat, dan keadaan. Bahkan pada jaman sekarang agama Buddha semakin menarik perhatian dunia Barat dan semakin mudah diterima oleh kaum intelektual karena merupakan agama yang tetap selaras dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern.  

7. Agama Buddha penuh dengan ketakhayulan dan menganjurkan bakar-bakar kertas 
 
Anggapan ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, orang tidak mengerti makna sesungguhnya dari upacara-upacara dalam agama Buddha. Kedua, orang menganggap praktek-praktek non Buddhis sebagai bagian dari ajaran Sang Buddha.  

Lilin, dupa, dan bunga yang kita persembahkan di altar semata-mata wujud penghormatan kita kepada Sang Buddha, sekaligus tanda bahwa kita ingat akan Dhamma yang beliau ajarkan. Lilin melambangkan cahaya Dhamma, dupa melambangkan keharuman Dhamma, dan bunga melambangkan keindahan Dhamma.  

Kebaktian agama Buddha juga jauh dari ketakhayulan. Tujuan kebaktian dalam agama Buddha hanyalah untuk memusatkan perhatian dan memperkuat keyakinan kita kepada Buddha, Dhamma, Sangha. Agama Buddha justru menyatakan bahwa adanya pandangan "melalui upacara, kesucian dan pembebasan mutlak akan dapat diperoleh" merupakan salah satu belenggu yang harus dipatahkan.  

Mengenai bakar-bakar uang kertas, rumah-rumahan kertas, dan sebagainya, semua itu adalah warisan tradisi orang Tionghoa dari jaman dahulu dan bukan milik agama Buddha. Demikian pula mengambil ciamsi, menanyakan peruntungan, meramalkan nasib, semua itu tidak dibenarkan dalam agama Buddha. Sesungguhnya umat Buddha telah memiliki pegangan yang mantap yaitu Hukum Karma.  

8. Agama Buddha menganjurkan umat Buddha untuk menjadi Bhikkhu 
 
Anggapan keliru bahwa kalau semua orang belajar agama Buddha maka nanti semua orang akan jadi Bhikkhu sehingga umat manusia akan musnah, merupakan anggapan yang terlalu berlebihan. Anggapan keliru tersebut timbul lebih karena kecemasan orang-orang tua yang melihat ada banyak pemuda yang meninggalkan rumah untuk menjadi bhikkhu, dan karena keterikatan mereka terhadap anak sangat kuat maka mereka tidak ingin anaknya menjadi bhikkhu. Sebagian dari mereka malah melarang anaknya pergi ke Vihara atau bahkan ada yang lebih suka jika anaknya tidak menganut agama Buddha.  

Sesungguhnya menjalani kehidupan dalam ke-bhikkhu-an tidaklah mudah, oleh karena itu, orang yang memilih hidup menjadi bhikkhu jumlahnya tidak bisa banyak. Dan menurut agama Buddha sendiri, orang yang ingin mempelajari agama Buddha tidak harus menjadi Bhikkhu. Daripada menjadi bhikkhu namun tidak dapat menjalankan Dhamma dan Vinaya dengan baik, lebih baik menjadi umat awam yang baik saja. Menjadi bhikkhu atau tidak adalah pilihan yang dibenarkan agama Buddha. Namun dengan menjadi bhikkhu seseorang memang akan dapat sepenuhnya hidup untuk Buddhadhamma.  

9. Agama Buddha menganjurkan umat Buddha untuk vegetarian 
 
Anggapan keliru ini timbul karena agama Buddha yang berkembang di cina sangat mengutamakan hidup vegetarian, sehingga timbul anggapan agama Buddha mengharuskan umatnya untuk vegetarian. Padahal umat Buddha di banyak negara di luar Cina tidak vegetarian. Agama Buddha tidak mengharuskan umatnya vegetarian. Namun demikian, vegetarian merupakan latihan yang baik untuk dijalankan. Vegetarian akan dapat mengembangkan dan memelihara rasa welas asih kita sehingga kita tidak tega menyakiti makhluk hidup lain.  

10. Agama Buddha membuat negara menjadi tidak maju 
 
Adanya anggapan ini adalah didasarkan kenyataan-kenyataan yang ada sebagai bukti. Namun ternyata anggapan tersebut diatas keliru, karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai bukti yang sebaliknya, yaitu agama Buddha jsutru telah berhasil membuat suatu negara menjadi maju. Di Indonesia sendiri, kejayaan masa lalu terjadi pada zaman Kesatuan Sriwijaya dan Keprabuan Majapahit ketika agama Buddha menjadi agama yang dianut. Masa jaya India adalah pada saat Raja Asoka memerintah dan mengembangkan agam Buddha. Jepang menjadi kuat setelah Restorasi Meiji. Demikian pula di Cina, kejayaan dinasti Tang dan dinasti Sung tidak lepas dari pengaruh agama Buddha.  

11. Agama Buddha tidak melakukan pelayanan sosial 
 
Anggapan ini dapat timbul karena dua hal. Pertama karena organisasi-organisasi umat Buddha memang kurang aktif bergerak dalam pelayanan sosial. Kedua, karena pelayanan sosial yang dilakukan umat Buddha cenderung tanpa publisitas sehingga tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas.  

Sesungguhnya agama Buddha sendiri mengajarkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang banyak. Umat Buddha diajarkan untuk menumbuhkan maitrikaruna dan boddhicitta. Dalam kenyataannya di masa lalu, di India, vihara-vihara juga menyediakan sarana-sarana pendidikan masyarakat. Sistem sekolah modern dimulai oleh agama Buddha, demikian pula pada masa itu bidang pengobatan berkembang baik di lingkungan agama Buddha.  

Pada masa kini, sebagai contoh, di Taiwan kegiatan pelayanan sosial dalam bidang kesehatan yang hasilnya sangat mengagumkan telah dilakukan oleh Bhikshuni Cheng Yen melalui Yayasan Tzu Chi-nya. 

II. ARTI DAN SIMBOL DALAM PUJA
 
Apabila kita mencermati altar Sang Buddha yang terdapat di Ârâma, Vihâra, Cetiya ataupun di rumah-rumah umat Buddha (yang berpedoman pada Kitab Suci Tipitaka, maka akan ditemui benda-benda yang terdapat di atas altar tersebut adalah Buddharûpam (atau Arahattarûpam) tidak wajib ada  dan Âmisa-pûjâ (benda-benda persembahan). Benda-benda persembahan yang terdapat dalam altar di antaranya : air, dupa/gaharu atau hio, pelita/ lampu/lilin, dan bunga, sedangkan makanan serta buah-buahan merupakan benda persembahan yang tidak wajib. 

Âmisa-pûjâ (benda-benda persembahan) yang dipersembahkan di atas altar Buddha bukanlah sebagai persembahan yang diberikan kepada Buddha agar Beliau menikmatinya. Pengertian demikian adalah sangat tidak tepat dan boleh dikatakan SALAH BESAR. Dengan demikian apakah makna dari simbolik tersebut ? Berikut akan dijelaskan satu persatu dari keempat persembahan wajib dan satu merupakan persembahan tambahan yang terjadi belakangan. Âmisa-pûjâ (benda-benda persembahan) adalah : 

1. Air, 
 
Melambangkan kesucian, kesetiaan, dan kejujuran. Air berguna untuk membersihkan sesuatu, segala  sesuatu yang terdapat dalam air ataupun warna yang ditaruh ke dalam air dapat kelihatan dengan jelas, dan air sifatnya dapat menyesuaikan diri dengan wadahnya serta selalu mencari tempat yang rendah. Jadi dengan melihat air yang dipersembahkan di atas altar Buddha, maka menimbulkan pemahaman bagi kita bahwa Dhamma dapat berguna untuk membersihkan kekotoran batin baik yang kasar (Lobha / keserakahan, Dosa / kebencian atau dendam, Moha / ketidak tahuan) dan yang halus (Kâmâsava / kekotoran batin yang berasal dari nafsu indera, Bhavâsava / keinginan untuk hidup, Ditthâsava / pandangan salah, Avijjâsava / kegelapan batin), orang yang melakukan kesalahan dan pelanggaran Dhamma dapat diketahui, orang yang mengerti Dhamma dapat menempatkan diri di mana pun mereka berada, orang yang mengerti Dhamma adalah orang yang rendah hati, tiada angkuh dan tiada sombong. Pada saat akan mempersembahkan air di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat : 

”Kami persembahkan air yang melambangkan kesucian, kesetiaan, dan kejujuran ini di atas altar Buddha. Semoga demikianlah kami dalam menjalani kehidupan ini dengan meningkatkan kesucian batin, kesetiaan, dan kejujuran kami.”
 
2. Dupa/gaharu atau hio, 
 
Melambangkan harumnya Dhamma. Bila dupa tidak disulut, maka harumnya tidak menyebar ke berbagai penjuru. Akan tetapi, apabila dupa disulut, maka harumnya akan menyebar ke mana-mana ke segala penjuru. Demikianlah halnya dengan Dhamma ajaran mulia Bhagavâ, apabila kita melaksanakannya di dalam kehidupan sehari-hari, maka pelaksana Dhamma akan selalu harum namanya, penuh dengan pujian dan penghargaan yang diberikan orang atau pihak lain. Setiap umat memohon tuntunan Pernaungan dan Lima latihan kemoralan di akhir permohonan, bhikkhu selalu mengatakan bahwa dengan melaksanakan sîla, seseorang akan terlahir di alam Surga, memperoleh kesejahteraan dunia dan Dhamma, serta mencapai Nibbâna. Pelaksana Dhamma akan selalu dilindungi …………. Pada saat akan mempersembahkan dupa di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : 

” Kami persembahkan dupa ini di atas altar Buddha yang melambangkan harumnya pelaksanaan sîla, semoga demikianlah hendaknya sîla yang kami praktikkan dalam kehidupan sehari-hari akan membawa nama baik bagi Dhamma; ajaran Buddha.”
 
3. Pelita / lampu / lilin, 
 
Melambangkan penerangan. Ilustrasi : sebuah kamar yang gelap gulita akan menjadi kelihatan terang dan jelas, apabila dihidupkan lampu ataupun terdapat lilin yang telah disulut di dalam kamar tersebut. Lilin ini melambangkan Dhamma ajaran Bhagavâ. Dhamma akan menerangi hidup umat manusia dan seharusnya menjadi pedoman dan kompas manusia untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan rintangan, tantangan, dan hambatan. Orang yang tidak memiliki Dhamma bagaikan orang buta, sehingga orang tersebut harus memiliki Dhamma. Dhamma yang dimilikinya belum mantap bagaikan orang buta yang selalu membawa tongkat sebagai penunjuk jalan. Pada saat akan mempersembahkan lilin/pelita di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : ” 

Kami persembahkan lilin/pelita ini di atas altar Buddha yang melambangkan penerangan, semoga demikianlah hendaknya Dhamma; ajaran Buddha akan menjadi penuntun dan pedoman hidup kami sehingga akan membawa kebahagiaan dalam hidup kami untuk terlahir di alam Surga hingga tercapainya Nibbâna.”
 
4. Bunga/kembang, 
 
Melambangkan keindahan yang tidak bertahan lama atau yang akan mengalami kelapukan / ketidak kekalan. Dengan memperhatikan bunga, seyogianya kita memahami ajaran tentang ketidakkekalan. Kecantikan, kedudukan, kepandaian, keahlian, kekayaan, martabat, jabatan, dan lain-lainnya adalah tidak bertahan selamanya akan mengalami perubahan pada saatnya tiba. Oleh karena itu, bunga yang dipersembahkan ke atas altar Buddha adalah sebagai alarm kehidupan bagi kita, di mana suatu saat apa yang kita miliki dan kita harapkan tidaklah dapat kita lekati sepanjang masa. Semuanya akan berpisah. Dengan demikian, kita harus menghindari keangkuhan, kesombongan, dan tinggi hati. Pada saat akan mempersembahkan bunga di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : 

” Kami persembahkan bunga ini di atas altar Buddha yang melambangkan keindahan yang tidak dapat bertahan lama dan suatu saat akan mengalami kelapukan/ketidakkekalan, semoga demikian-lah hendaknya kami dapat memanfaatkan kehidupan ini dengan penuh perhatian, sehingga menghindarkan diri kami dari keangkuhan, kesombongan, dan tinggi hati.”
 
5. Makanan serta buah-buahan, 
 
Melambangkan buah dari suatu perbuatan atau keberhasilan atas segala usaha yang telah dilaksanakan. Setiap perbuatan atau usaha yang dilakukan, suatu saat nanti akan membuahkan hasil atau akibat. Berbuat baik akan berakibat kebahagiaan, kemujuran atau berkecukupan/kaya sedangkan berbuat kejahatan akan berakibat penderitaan, kesialan atau serba kekurangan. Segala sesuatu yang akan diterima bila tepat pada waktunya, maka akan menjadi kenyataan, untuk itu manusia dituntut ketenangan dan kesabaran dalam menunngu kenyataan tersebut. Pada saat akan mempersembahkan makanan/buah-buahan di atas altar sebaiknya merenungkan kalimat berikut : 

” Kami persembahkan makanan/buah-buahan ini di atas altar Buddha yang melambangkan keberhasilan atau tercapainya cita-cita, semoga demikianlah hendaknya perbuatan yang telah kami lakukan dalam kehidupan ini akan membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidup kami untuk terlahir di alam Surga hingga tercapainya Nibbâna.”
 
III. TEMPAT MELAKSANAKAN PUJA  
 
1. Vihara 
 
adalah Tempat pelaksanaan Puja yang merupakan kompleks bangunan yang mempunyai sana lengkap, yang meliputi :
- Uposathagara (Gedung Uposatha) :
Uposathagara memiliki kegunaan sebagai tempat untuk melaksanakan upacara pentahbisan Bhikkhu/Bhikkhuni, Samanera/Samaneri ; tempat mempersembahkan Jubah Kathina ; tempat membacakan Patimokkha ; Tempat membahas pelanggaran yang dilakukan Bhikkhu/bhikkhuni
- Dhammasala, adalah tempat untuk mendengarkan dhamma dan juga tempat untuk melaksanan puja bakti
- Kuti, adalah tempat untuk bhikkhu/bhikkhuni berdiam/ tinggal
- Perpustakaan, adalah tempat untuk menyimpan satu set Tripitaka 

2. Cetiya
 
adalah bangunan yang lebih kecil daripada Vihara, yang biasanya hanya terdapat Bhaktisala, untuk melaksanakan kebaktian. ada beberapa macam cetya.
- Dhamma Cetya, adalah cetya yang memiliki satu set Tipitaka lengkap
- Dhatu Cetya, adalah cetya yang memiliki Relik Buddha
- Paribhoga Cetya, adalah cetya yang memiliki barang-barang peninggalan Buddha
- Uddesika Cetya, adalah cetya yang hanya memiliki gambar Buddha ataupun Rupang Buddha 

3. Altar
 
Altar merupakan tempat meletakkan simbol-simbol/lambang-lambang kesucian agama Buddha, seperti :
- Patung Buddha melambangkan penghormatan kepada Sang Buddha
- Lilin melambangkan penerangan dhamma Sang Buddha.
- Dupa/hio yang melambangkan keharuman Dhamma Sang Buddha.
- Bunga, melambangkan anicca atau ketidakkekalan.
- Air, yang dianggap memiliki sifat-sifat seperti : dapat membersihkan noda-noda, dapat memberikan tenaga kepada makhluk-makhluk, dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan, selalu mencari tempat yang rendah (tidak sombong)
- Buah, melambangkan buah dari kamma-kamma kita, selain itu sebagai lambang dari rasa terima kasih. 

4. Stupa
 
Bentuk stupa melambangkan pemikiran terpusat.
Merupakan tempat untuk menyimpan relik Buddha atau para arahat. 

5. Pagoda
 
Memliki fungsi yang sama dengan Stupa, yaitu untuk menyimpan relik orang suci, dan merupakan budaya dari Cina, bangunannya selalu ganjil dan ujungnya runcing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar